Ummu Khoir
Pengkajian yang seksama terhadap syariat Islam, akan
memberikan kesimpulan bahwa Islam menetapkan beberapa
tugas pokok bagi wanita.
Tugas Utama Wanita
Tugas utama (pokok) seorang wanita adalah sebagai ibu
dan manajer (pengatur) rumah tangga. Ini adalah
pandangan yang jernih dan benar terhadap wanita. Sebab
tugas ini hanya dikhususkan kepada wanita dan
terlaksananya tugas ini akan dapat menjamin lestarinya
generasi manusia serta menjamin ketenangan hidup
individu manusia dalam keluarganya.
Lestarinya jenis manusia adalah suatu perkara yang
sangat penting, sangat erat hubungannya dengan
keberlangsungan kehidupan di alam (dunia) ini. Apakah
artinya usaha dunia melestarikan lingkungan hidup dan
satwa-satwa tanpa memperhatikan kelestarian generasi
manusia. Alam ini dan seisinya diciptakan oleh Al
Khalik (Pencipta manusia) untuk menopang kehidupan
manusia, agar bisa dimanfaatkan olehnya.
Sungguh ironis sekali apa yang dilakukan oleh dunia
(khususnya Barat) saat ini, yaitu mengerahkan segala
kemampuannya untuk menjaga kelestarian alam, namun
disisi lain mengabaikan kelestarian manusia. Bahkan
berupaya memusnahkannya (sadar atau tidak sadar).
Padahal ini bertentangan dengan naluri manusia itu
sendiri.
Semua orang baik laki-laki maupun wanita ingin
memiliki keturunan. Mereka akan merasakan kesempurnaan
hidup bila sudah memiliki generasi yang bisa
meneruskan keluarganya. Maka logis sekali bila
pasangan suami-istri yang belum punya keturunan
(padahal sudah menikah lama) akan berusaha sekuat
tenaga bagaimana supaya bisa menghasilkan keturunan,
sekalipun harus dibayar dengan harga yang mahal.
Allah SWT telah menanamkan fitrah ke dalam diri
manusia untuk mengembangkan keturunan, agar generasi
manusia bisa dipertahankan kelestariannya dalam
menjalankan fungsi kekhalifahannya dimuka bumi ini.
Dari usaha melanjutkan keturunan ini, Allah telah
menetapkan bahwa wanitalah tempat "persemaian"
generasi manusia ini. Hal ini harus kita fahami
sebagai fungsi utama wanita dalam kehidupan ini. Sebab
hal yang demikian itu tidak bisa dijalankan laki-laki.
Untuk menjamin kelangsungan hidup generasi manusia
ini, Allah SWT telah menetapkan beberapa hukum yang
khusus untuk wanita. Diantaranya hukum tentang
kehamilan, kelahiran, penyusuan, pengasuhan anak dan
masa iddah bagi wanita yang ditinggal suami (karena
cerai/meninggal). Bahkan Allah SWT telah memberikan
keringanan kepada wanita agar dia mampu menjalankan
tugasnya dengan baik, seperti:
·tidak wajib bekerja untuk mencari nafkah
bagi dirinya maupun keluarganya
boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan bagi wanita
hamil dan menyusui
larangan bagi laki-laki untuk membawa anak (kecil)nya
bepergian (jauh) bila anak masih dalam pengasuhan
(hadlonah) ibunya
dan lain-lain
Semua hukum-hukum tersebut adalah untuk melindungi
wanita agar tugas utamanya terlaksana dengan baik
(sebagai ibu).
Islam telah menempatkan wanita dengan tugasnya sebagai
ibu sebagai posisi yang mulia, mengingat pentingnya
peran ibu dalam keberlangsungan generasi manusia.
Tanpa kerelaan dan keikhlasan seorang ibu memelihara
janin yang dikandungnya selama + 9 bulan, tidak akan
lahir anak manusia ke bumi ini. Demikian pula dengan
kerelaan dan kesabarannya ketika menyusui dan mengasuh
bayinya, berperan besar terhadap pertumbuhan,
perkembangan dan kesehatan anak. Posisi seorang wanita
yang ridlo dengan kehamilannya sebanding (dari segi
pahala) dengan seorang prajurit yang berperang di
jalan Allah dan ia sedang berpuasa. Rasulullah saw
bersabda:
"…Tidaklah seseorang diantara kamu merasa ridlo jika
ia hamil dari hasil dengan suaminya dan suaminya
merasa bangga dengan kehamilannya itu; bahwa wanita
tersebut mendapat pahala sama dengan seorang prajurit
yang puasa ketika berperang di jalan Allah…(HR. Ibnu
Atsir).
Peluang Wanita Berperan dalam Pendidikan Generasi
Seorang ibu mengandung janin (calon anak manusia)
dalam rahimnya selama + 9 bulan. Setelah lahir ke
dunia ia menyusuinya selama 2 tahun serta mengasuhnya
sampai mampu mandiri (+ usia 6-9 tahun), yakni mampu
mengurus diri sendiri dan mampu membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk. Inilah aktivitas minimal
yang harus dilakukan seorang ibu terhadap anaknya
(secara langsung). Dalam keadaan ini berarti seorang
ibu memiliki peluang yang besar untuk berperan dalam
proses perkembangan seorang anak (minimal 6-9 tahun).
Bahkan pada masa awal kehidupan anak ini, peran ibu
sangat menentukan kondisi perkembangannya. Dengan
demikian, peran ibu sangat besar pengaruhnya dalam
proses pendidikan anak, terutama di masa awal
perkembangannya. Dan inilah yang menjadi dasar (basic)
pada proses pendidikan selanjutnya.
Seorang anak bagaikan selembar kertas putih bersih
tanpa ada coretan (tulisan) maupun warna. Orang tuanya
lah yang berperan menentukan coretan-coretan dan warna
apa yang akan diberikan pertama kali. Dan ini
merupakan warna dasar yang akan menentukan warna apa
yang akan diterima/dipilih pada proses pewarnaan
selanjutnya. Kalau pewarnaan dasar telah menghasilkan
warna yang khas, maka warna dasar inilah yang akan
menyeleksi warna apa yang akan diterimanya dan diserap
kemudian. Sebaliknya jika warna dasar tidak khas dan
tidak jelas, maka tidak akan ada proses seleksi untuk
menerima warna berikutnya. Bisa jadi warna apapun akan
diterima sehingga menjadi warna yang berantakan (tidak
khas) dan hasilnya juga akan kacau. Demikianlah
permisalan gambaran tentang proses pendidikan pada
seorang anak dalam rangka membentuk kepribadiannya.
Sebab anak memang dilahirkan dalam keadaan suci
(fitrah). Sebagaimana sabda Rasulullah saw :
"Tidak ada seorang anakpun yang baru lahir kecuali
dilahirkan dalam keadaan suci. Kedua orang tuanyalah
yang menyebabkan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau
Musyrik"(HR Muslim).
Seorang ibu memiliki kesempatan dan potensi yang lebih
besar untuk berperan secara langsung dalam proses
pemberian warna dasar pada anak , yakni peletak
dasar/landasan pembentukan kepribadiannya. Sebab
ibulah yang paling dekat dengan anak sejak awal
pertumbuhannya, sesuai dengan tugas pokoknya.
Sedangkan ayah kemungkinan besar lebih banyak di luar
rumah karena menjalankan tugasnya mencari nafkah
keluarga. Sekalipun demikian, ayah tetap dituntut
peran dan tanggung jawabnya dalam proses pembentukan
kepribadian anak. Sebab tugas mendidik anak adalah
tanggung jawab kedua orang tuanya, bukan hanya ibu.
Seorang ibu bisa memulai proses pendidikan pada
anaknya sejak janin (masih dalam kandungan). Minimal
yang harus dilakukan seorang ibu terhadap janin dalam
kandungannya adalah memilihkan makanan yang halal dan
baik untuk membesarkan janin. Senantiasa berdzikir dan
berdo'a kepada Allah SWT, ketika merasakan setiap
gejala yang diakibatkan keberadaan janin dalam
kandungan. Tidak mengeluh terhadap rasa sakit yang
dialaminya di saat hamil, tetapi sepenuhnya berserah
diri kepada Allah dan senantiasa mengharapkan
pertolongan Allah agar tetap bisa menunaikan segala
kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan
kepadanya. Berupaya menenangkan perasaan/emosionalnya
dengan membaca ayat-ayat Al Qur'an, sehingga suasana
hatinya tetap tenang dan ikhlas menjalani masa
kehamilannya. Sebab kondisi psikologis seorang ibu -
menurut pendapat para ahli akan berpengaruh pada
perkembangan janin yang dikandungnya.
Demikian pula setelah anak lahir, ibu berperan besar
untuk menciptakan kondisi lingkungan tempat anak
dibesarkan. Suara apa yang pertama didengarnya ketika
pertama kali ia bisa mendengar. Pemandangan seperti
apa yang dilihatnya ketika ia pertama kali melihat.
Kata-kata apa yang diucapkannya ketika ia pertama kali
berbicara. Dan lingkungan pertama yang masuk ke dalam
'rekaman kaset kosong' seorang anak adalah rumahnya.
Apa-apa yang ada di dalam rumahnya itulah yang pertama
direkamnya, terutama yang paling dekat kepadanya
adalah ibu. Oleh karena itu ibulah madrasah pertama
bagi anak-anaknya.
Anehnya, saat ini banyak orang tua yang harus
mengikuti kehendak anaknya. Bukan anak yang mengikuti
kehendak orang tuanya. Ini sudah merupakan suatu
problema yang sering muncul di kalangan orang tua saat
ini. Bahkan problema ini sudah tersebar luas di
mana-mana. Anak mempunyai keinginan - yang lebih besar
dipengaruhi lingkungannya - yang berbeda dengan
keinginan orang tuanya. Bahkan di aberani menentang
orang tuanya demi mewujudkan keinginannya. Hal
iniberarti orang tua telah gagal mengisi kaset
kosongnya dan memberi warna dasar pada kertas
putihnya, yang mampu menjadi landasan perkembangan
kepribadian anak serta tolok ukur untuk menyaring
informasi dan perilaku serta memilih warna-warna yang
ada di luar rumahnya, mana yang akan diambil dan mana
yang ditolak.
Wahai para muslimah…optimalkanlah peran untuk mengisi
kaset-kaset kosongmu serta memberi warna dasar pada
kertas-kertas putihmu yang bersih. Terlaksananya
peranmu ini sangat menentukan warna generasi di masa
datang.
Potensi Wanita Muslimah dalam Pendidikan Generasi
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa peran wanita sangat
besar artinya dalam pembentukan generasi di masa
datang, mengingat besarnya peluang dan kesempatan
wanita (seorang ibu) berperan mengawali proses
pendidikan anak-anaknya sejak dini. Potensi dan
kemampuan para wanita muslimah sangat berpengaruh
besar membentuk warna dan corak generasi umat Islam di
masa datang.
Wanita yang lemah, bodoh dan berperilaku buruk akan
menghasilkan generasi yang warnanya tidak jauh berbeda
dengan dirinya. Sebab di masa awal, anak mendapatkan
teladan yang buruk untuk membentuk eksistensi dan
kepribadian dirinya. Anak akan menyerap informasi dan
perilaku apapun yang ada didekatnya tanpa bisa
memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk.
Sebaliknya kalau wanitanya pintar (menguasai tsaqofah
Islam), cerdas, kreatif, berperilaku baik serta
berkepribadian Islam yang tinggi, maka warna dasar di
masa datang akan baik. Bahkan kalau perannya berjalan
optimal, wanita seperti ini akan mampu membentuk
generasi yang tangguh, yang tidak terombang-ambing
oleh ombak kehidupan. Mereka akan tetap mampu bertahan
dan berdiri dengan tegar serta kokoh prinsip hidupnya,
apapun kondisi yang menghadangnya.
Seorang ibu harus mampu mendidik anak-anaknya dengan
landasan rasa cinta dan kasih sayang yang benar,
sehingga anak-anaknya pun akan mempunyai rasa cinta
dan kasih sayang yang benar pula terhadap orang tua
dan keluarganya. Rasa cinta dan kasih sayang yang
benar adalah yang mendahulukan rasa cinta kepada Allah
dan Rasul-Nya di atas segalanya. Dengan demikian rasa
cinta pada anak tidak akan menghalangi seorang ibu
untuk mendidik anaknya menjadi mujahid yang rela
mengorbankan jiwanya untuk Islam. Demikian pula
seorang anak tidak terhalangi mengorbankan miliknya
yang paling berharga untuk memperjuangkan tegaknya
Islam, sekalipun harus berpisah dengan orang tua dan
keluarganya.
Banyak sudah contoh para ibu yang berhasil mengarahkan
dan mendidik anaknya menjadi anak-anak yang patuh dan
berbakti kepada orang tuanya, dan memiliki semangat
ruhiyah yang tinggi untuk mengamalkan dan
memperjuangkan Islam. Diantaranya adalah Asma' binti
Abu Bakar dan Al Khansa.
Asma' binti Abu Bakar Ash-Shidiq adalah salah seorang
ibu yang patut diteladani. Beliau telah berhasil
mendidik anaknya Abdullah bin Zubair sebagai pahlawan
Islam yang tangguh imannya dan selalu menginginkan
ridlo Allah dan ridlo ibu bapaknya. Dapat kita simak
dari petikan percakapan Asma' dengan putranya Abdullah
di saat-saat akhir hayatnya, ketika ia memimpin
perlawanan dalam perselisihan dan peperangannya dengan
tentara-tentara Mu'awiyah dan puteranya Yazid. Menurut
Abdullah, Yazid bin Mu'awiyah bin Abu Sufyan adalah
laki-laki yang terakhir kali dapat menjadi khalifah
muslimin, seandainya memang dapat…., karena ketidak
becusannya dalam soal apapun.
Ditemuinya ibundanya Asma' dan dipaparkannya
dihadapannya suasana ketika itu secara terperinci,
begitu pun mengenai akhir kesudahan yang sudah nyata
tak dapat dielakkan lagi….
Kata Asma' kepada putranya:
"Anakku, engkau tentu lebih tahu tentang dirimu!
Apabila menurut keyakinanmu, engkau berada di jalan
yang benar dan berseru untuk mencapai kebenaran itu,
sabar dan tawakallah dalam melaksanakan tugas itu
sampai titik darah penghabisan. Tiada kata menyerah
dalam kamus perjuangan melawan kebuasan budak-budak
Bani Umaiyah…! Tetapi kalau menurut pikiranmu, engkau
hanya mengharapkan dunia, maka engkau adalah
seburuk-buruk hamba, engkau celakakan dirimu sendiri
serta orang-orang yang tewas bersamamu!"
Ujar Abdullah:
"Demi Allah, wahai bunda! Tidaklah ananda mengharapkan
dunia atau ingin hendak mendapatkannya…! Dan
sekali-kali tidaklah ananda berlaku aniaya dalam hukum
Allah, berbuat curang atau melanggar batas…!"
Kata Asma' pula:
"Aku memohon kepada Allah semoga ketabahan hatiku
menjadi kebaikan bagi dirimu, baik engkau mendahuluiku
menghadap Allah maupun aku. Ya Allah, semoga ibadahnya
sepanjang malam, shaum sepanjang siang dan bakti
kepada kedua orang tuanya. Engkau terima disertai
cucuran Rahmat-Mu. Ya Allah, aku serahkan segala
sesuatu tentang dirinya kepada kekuasaan-Mu dan aku
rela menerima keputusan-Mu. Ya Allah berilah aku
pahala atas segala perbuatan Abdullah bin Zubair ini,
pahalanya orang-orang yang sabar dan bersyukur…!"
Kemudian mereka pun berpelukan menyatakan perpisahan
dan selamat tinggal. Beberapa hari kemudian, Abdullah
bin Zubair terlibat dalam pertempuran sengit yang tak
seimbang, sehingga Syahid agung itu akhirnya menerima
pukulan maut yang menewaskannya. Tubuhnya diangkat
oleh Hajaj bin Yusuf, antek Bani Umaiyah, kemudian
disalib untuk menghina ibunya, keluarganya dan
penduduk Mekkah. Hal itu diketahui Asma'. Ia
mengetahui bagaimana keberanian anaknya dan tentang
kegugurannya. Ia bersyukur kepada Allah karena sang
anak gugur dalam mempertahankan prinsip dan
keyakinannya. Ia berdo'a kepada Allah agar tidak mati
sebelum dapat mengurus jenazah anaknya yang suci itu.
Do'anya dikabulkan Allah.
Sikapnya terhadap anaknya, ketika sang anak meminta
nasehat kepadanya, betul-betul suatu sikap yang
membuat algojo yang paling bengis tidak berkutik.
Demikian pula Al Khansa, beliau seorang ibu yang
terkenal mampu memberikan dorongan yang kuat kepada
putranya untuk berjihad. Beliau seorang ibu yang sabar
dan tabah menerima berita bahwa semua anaknya telah
syahid satu demi satu dalam satu peristiwa, yaitu di
peperangan Qodisyiah. Beliau merupakan contoh wanita
yang mempunyai kebesaran jiwa melebihi wanita-wanita
lain. Keberanian putra-putranya, keluhuran akhlaq
mereka, kefasihan lidah dan keahlian mereka dalam
bersyair menjadikan Al Khansa tersohor sebagai wanita
yang berhasil sebagai ibu dan pantas menjadi teladan.
Al Khansa memiliki iman, kesabaran dan ketaqwaan yang
mantap. Dia selalu ikut andil dalam setiap perjuangan
demi tegaknya Islam. Pada tahun 14 H, saat terjadi
perang Qodisyiah dia datang bersama keempat anaknya
untuk ikut bergabung bersama kaum muslimin lainnya.
Mereka diberi bekal berupa dorongan dan semangat
dengan kata-kata yang menyala-nyala:
"Wahai putra-putraku! Kalian masuk Islam dengan penuh
kesadaran. Kalian berhijrah dengan penuh kerelaan.
Demi Allah, tiada Tuhan selain Dia. Kalian adalah
empat bersaudara dari satu ayah dan satu ibu. Aku
tidak akan mencampuri kehormatan kalian, tetapi kalian
telah mengetahui, apa yang dijanjikan bagi kaum
muslimin yang memerangi kaum kafir. Sadarilah…!
Kehidupan akhirat lebih kekal dan lebih baik dari
kehidupan dunia yang sementara ini. Bulatkan tekad dan
kesabaran kalian. Bertaqwalah kalian selalu agar apa
yang kau inginkan berhasil.
"Wahai putra-putraku ! Jika kalian lihat api
peperangan telah berkecamuk dan menjadi dahsyat,
masuklah kalian dengan semangat yang menyala-nyala.
Disanalah kalian akan menemukan keuntungan dan
kehormatan di alam abadi dan kekal".
Berbekal semangat yang dipompakan ibunya itu, keempat
anak Al Khansa pun berangkat ke medan perang dengan
penuh iman dan keberanian. Tujuan mereka satu yaitu
mencari syahadah, dan itu pun diperolehnya. Mereka
gugur dalam pertempuran itu. Sementara ummat Islam
memperoleh kemenangan, Al Khansa menerima kabar
keadaan putranya dengan penuh sabar.
Bahkan kebanggan tumbuh dihatinya, melihat
putra-putranya menjadi syuhada dalam pertempuran besar
itu. Dia berkata:
"Alhamdulillah…! Allah telah mengutamakan dan
memberikan karunia padaku dengan kematian anak-anakku
sebagai syuhada. Aku mengharap semoga Allah
mengumpulkan aku dengan mereka di dalam rahmat-Nya
kelak".
Ini adalah dua diantara sekian ibu teladan yang mampu
menghantarkan putra-putranya menjadi para mujahid yang
tangguh, rela mengorbankan miliknya yang paling
berharga untuk kejayaan/ketinggian Islam. Masih ada
contoh lain para ibu yang mampu menghantarkan putranya
menjadi ilmuwan bahkan mujtahid. Diantaranya: Ibunda
Imam Abu Hanifah, Ibunda Imam Syafi'I, Ibunda Imam
Ahmad bin Hambal dan Ibunda Imam Bukhari. Keempat imam
ini ditinggal ayahnya sejak kecil (yatim), ibunyalah
yang memelihara dan mendampingi mereka hingga besar.
Mereka memiliki daya hafal yang tinggi sejak kecil. DI
usia mudanya mereka sudah menguasai bahasa Arab dan
seluk beluknya, hafal ayat-ayat Al Qur'an dan
hadits-hadits Nabi, serta sangat gemar menuntut ilmu.
Memang untuk menguasai banyak ilmu mereka belajar dari
banyak guru. Belajar bahasa Arab ke beberapa orang
guru, fiqih ke beberapa orang guru, dan hadits Nabi ke
beberapa orang guru. Tapi setidaknya ibunda para imam
tersebut telah mampu mendidik mereka menjadi anak-anak
yang gemar menuntut ilmu dan tidak kenal lelah. Satu
hal yang lebih penting lagi adalah mereka punya rasa
kemandirian yang tinggi sejak usia muda, sebab para
imam tersebut rata-rata berada dalam kehidupan yang
miskin. Mereka berusaha sendiri mencari biaya untuk
kebutuhan hidupnya dan biaya perjalanan, sebab mereka
belajar ke berbagai kota. Imam Ibnu Hambal misalnya,
beliau pernah bekerja di tukang-tukang jahit, memungut
sisa-sisa panen yang tertinggal setelah meminta ijin
pada pemiliknya, mencari upah dari menenun kain dan
menulis, bahkan pernah mencari upah dengan mengangkut
barang-barang di perjalanan seperti kuli angkut. Semua
ini beliau lakukan untuk keperluan hidupnya dan biaya
perjalanannya agar bisa menuntut ilmu.
Dari contoh-contoh ini kita dapati betapa besar peran
ibu mendampingi dan mengarahkan anak-anaknya.
Kemiskinanpun tidak menghalangi seorang ibu untuk
menghantarkan anak-anaknya menjadi orang yang berilmu
sebab seorang ibu bisa menanamkan rasa kemandirian
yang tinggi kepada anaknya agar sanggup berkorban
apapun demi meraih kemuliaan hidupnya di hari akhir
nanti (di hadapan Allah SWT).
Dengan demikian agar peran wanita muslimah dalam
pendidikan generasi di masa datang bisa optimal untuk
menghasilkan generasi para mujahid tangguh, politikus
ulung dan para mujtahid, maka proses pembinaan para
wanita muslimah tidak boleh dicukupkan ala kadarnya
apalagi diabaikan. Para wanita muslimah harus dibina
dengan tsaqofah Islam secara mapan atau mendalam,
sehingga dia mampu mengarahkan dan bahkan mendidik
anak-anaknya menjadi generasi-generasi yang diharapkan
mampu berperan meraih kejayaan Islam kembali.
Bagaimana mungkin seorang ibu mampu mendidik
anak-anaknya menjadi mujahid kalau dia tidak memahami
betapa mulianya kedudukan seorang mujahid. Mana
mungkin seorang ibu mampu menghantarkan seorang anak
menjadi ulama sementara dia buta terhadap tsaqofah
Islam. Apalagi kalau dorongan ruhiyahnya tidak ada.
Dorongan ruhiyah sebagai kekuatan pokok yang
menggerakkan seorang ibu untuk berperan optimal.
Bagaimana mungkin seorang ibu mampu mendidik anaknya
menjadi pejuang-pejuang Islam kalau dirinya sendiri
masih enggan berkorban untuk Islam. Dia masih lebih
mengutamakan kemapanan materi daripada berbuat sesuatu
yang lebih mulia di hadapan Allah. Ia masih lebih
mencintai urusan dunianya daripada melakukan
kewajibannya kepada Allah. Mustahil ibu seperti ini
akan mampu mencetak generasi harapan umat untuk meraih
kebangkitan dan kejayaan Islam kembali.
Wahai para muslimah…dengan berfikir secara jernih dan
mendalam, mari kita berbenah diri, membekali diri kita
dengan memperkaya tsaqofah Islam dan membentuk ruhiyah
yang tinggi agar kita menjadi ibu-ibu yang mampu
mengubah corak generasi kita, sebagai peletak dasar
warna dan corak generasi manusia di masa datang.
Khatimah
Demikianlah gambaran tentang besarnya peran dan
tanggung jawab wanita dalam proses pendidikan
generasi. Namun ini baru peran minimal yang terbatas
pada lingkup keluarga serta wadah yang tidak formal.
Masih ada peran lain yang harus diterjuninya sebagai
wujud pelaksanaan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar,
yakni mendidik/membina masyarakat agar senantiasa
terikat syariat Islam. Sebab wanita juga terkena
kewajiban amar ma'ruf nahi munkar.
PUSTAKA
1. Abdul Badi' Shaqr. Wanita-wanita Pilihan.
Pustaka Manthiq. 1990.
2. Ahmad Asy Syurbasy. Sejarah dan Biografi
Empat Imam Mazhab.
3. Jabir Asysyaal. Al Qur'an bercerita Soal
Wanita. GIP. 1989.
4. Khalid Muh. Khalid. Karakteristik Perihidup
Enam Puluh Sahabat Rasulullah. CV Diponegoro. Bandung.
1981.
5. Nashir bin Sulaiman Al-'Umr. Kedudukan Ilmu
dan Ilmuwan dalam Islam. Pustaka Al Kautsar. 1994.
6. Shahih Muslim.
7. Taqiyuddin An Nabhany. Al Mafahimu. 1953. Al
Quds.
8. Taqiyuddin An Nabhany. An Nizhomul Ijtima'iy
fil Islam. Darul Ummah. Beirut.
Pengkajian yang seksama terhadap syariat Islam, akan
memberikan kesimpulan bahwa Islam menetapkan beberapa
tugas pokok bagi wanita.
Tugas Utama Wanita
Tugas utama (pokok) seorang wanita adalah sebagai ibu
dan manajer (pengatur) rumah tangga. Ini adalah
pandangan yang jernih dan benar terhadap wanita. Sebab
tugas ini hanya dikhususkan kepada wanita dan
terlaksananya tugas ini akan dapat menjamin lestarinya
generasi manusia serta menjamin ketenangan hidup
individu manusia dalam keluarganya.
Lestarinya jenis manusia adalah suatu perkara yang
sangat penting, sangat erat hubungannya dengan
keberlangsungan kehidupan di alam (dunia) ini. Apakah
artinya usaha dunia melestarikan lingkungan hidup dan
satwa-satwa tanpa memperhatikan kelestarian generasi
manusia. Alam ini dan seisinya diciptakan oleh Al
Khalik (Pencipta manusia) untuk menopang kehidupan
manusia, agar bisa dimanfaatkan olehnya.
Sungguh ironis sekali apa yang dilakukan oleh dunia
(khususnya Barat) saat ini, yaitu mengerahkan segala
kemampuannya untuk menjaga kelestarian alam, namun
disisi lain mengabaikan kelestarian manusia. Bahkan
berupaya memusnahkannya (sadar atau tidak sadar).
Padahal ini bertentangan dengan naluri manusia itu
sendiri.
Semua orang baik laki-laki maupun wanita ingin
memiliki keturunan. Mereka akan merasakan kesempurnaan
hidup bila sudah memiliki generasi yang bisa
meneruskan keluarganya. Maka logis sekali bila
pasangan suami-istri yang belum punya keturunan
(padahal sudah menikah lama) akan berusaha sekuat
tenaga bagaimana supaya bisa menghasilkan keturunan,
sekalipun harus dibayar dengan harga yang mahal.
Allah SWT telah menanamkan fitrah ke dalam diri
manusia untuk mengembangkan keturunan, agar generasi
manusia bisa dipertahankan kelestariannya dalam
menjalankan fungsi kekhalifahannya dimuka bumi ini.
Dari usaha melanjutkan keturunan ini, Allah telah
menetapkan bahwa wanitalah tempat "persemaian"
generasi manusia ini. Hal ini harus kita fahami
sebagai fungsi utama wanita dalam kehidupan ini. Sebab
hal yang demikian itu tidak bisa dijalankan laki-laki.
Untuk menjamin kelangsungan hidup generasi manusia
ini, Allah SWT telah menetapkan beberapa hukum yang
khusus untuk wanita. Diantaranya hukum tentang
kehamilan, kelahiran, penyusuan, pengasuhan anak dan
masa iddah bagi wanita yang ditinggal suami (karena
cerai/meninggal). Bahkan Allah SWT telah memberikan
keringanan kepada wanita agar dia mampu menjalankan
tugasnya dengan baik, seperti:
·tidak wajib bekerja untuk mencari nafkah
bagi dirinya maupun keluarganya
boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan bagi wanita
hamil dan menyusui
larangan bagi laki-laki untuk membawa anak (kecil)nya
bepergian (jauh) bila anak masih dalam pengasuhan
(hadlonah) ibunya
dan lain-lain
Semua hukum-hukum tersebut adalah untuk melindungi
wanita agar tugas utamanya terlaksana dengan baik
(sebagai ibu).
Islam telah menempatkan wanita dengan tugasnya sebagai
ibu sebagai posisi yang mulia, mengingat pentingnya
peran ibu dalam keberlangsungan generasi manusia.
Tanpa kerelaan dan keikhlasan seorang ibu memelihara
janin yang dikandungnya selama + 9 bulan, tidak akan
lahir anak manusia ke bumi ini. Demikian pula dengan
kerelaan dan kesabarannya ketika menyusui dan mengasuh
bayinya, berperan besar terhadap pertumbuhan,
perkembangan dan kesehatan anak. Posisi seorang wanita
yang ridlo dengan kehamilannya sebanding (dari segi
pahala) dengan seorang prajurit yang berperang di
jalan Allah dan ia sedang berpuasa. Rasulullah saw
bersabda:
"…Tidaklah seseorang diantara kamu merasa ridlo jika
ia hamil dari hasil dengan suaminya dan suaminya
merasa bangga dengan kehamilannya itu; bahwa wanita
tersebut mendapat pahala sama dengan seorang prajurit
yang puasa ketika berperang di jalan Allah…(HR. Ibnu
Atsir).
Peluang Wanita Berperan dalam Pendidikan Generasi
Seorang ibu mengandung janin (calon anak manusia)
dalam rahimnya selama + 9 bulan. Setelah lahir ke
dunia ia menyusuinya selama 2 tahun serta mengasuhnya
sampai mampu mandiri (+ usia 6-9 tahun), yakni mampu
mengurus diri sendiri dan mampu membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk. Inilah aktivitas minimal
yang harus dilakukan seorang ibu terhadap anaknya
(secara langsung). Dalam keadaan ini berarti seorang
ibu memiliki peluang yang besar untuk berperan dalam
proses perkembangan seorang anak (minimal 6-9 tahun).
Bahkan pada masa awal kehidupan anak ini, peran ibu
sangat menentukan kondisi perkembangannya. Dengan
demikian, peran ibu sangat besar pengaruhnya dalam
proses pendidikan anak, terutama di masa awal
perkembangannya. Dan inilah yang menjadi dasar (basic)
pada proses pendidikan selanjutnya.
Seorang anak bagaikan selembar kertas putih bersih
tanpa ada coretan (tulisan) maupun warna. Orang tuanya
lah yang berperan menentukan coretan-coretan dan warna
apa yang akan diberikan pertama kali. Dan ini
merupakan warna dasar yang akan menentukan warna apa
yang akan diterima/dipilih pada proses pewarnaan
selanjutnya. Kalau pewarnaan dasar telah menghasilkan
warna yang khas, maka warna dasar inilah yang akan
menyeleksi warna apa yang akan diterimanya dan diserap
kemudian. Sebaliknya jika warna dasar tidak khas dan
tidak jelas, maka tidak akan ada proses seleksi untuk
menerima warna berikutnya. Bisa jadi warna apapun akan
diterima sehingga menjadi warna yang berantakan (tidak
khas) dan hasilnya juga akan kacau. Demikianlah
permisalan gambaran tentang proses pendidikan pada
seorang anak dalam rangka membentuk kepribadiannya.
Sebab anak memang dilahirkan dalam keadaan suci
(fitrah). Sebagaimana sabda Rasulullah saw :
"Tidak ada seorang anakpun yang baru lahir kecuali
dilahirkan dalam keadaan suci. Kedua orang tuanyalah
yang menyebabkan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau
Musyrik"(HR Muslim).
Seorang ibu memiliki kesempatan dan potensi yang lebih
besar untuk berperan secara langsung dalam proses
pemberian warna dasar pada anak , yakni peletak
dasar/landasan pembentukan kepribadiannya. Sebab
ibulah yang paling dekat dengan anak sejak awal
pertumbuhannya, sesuai dengan tugas pokoknya.
Sedangkan ayah kemungkinan besar lebih banyak di luar
rumah karena menjalankan tugasnya mencari nafkah
keluarga. Sekalipun demikian, ayah tetap dituntut
peran dan tanggung jawabnya dalam proses pembentukan
kepribadian anak. Sebab tugas mendidik anak adalah
tanggung jawab kedua orang tuanya, bukan hanya ibu.
Seorang ibu bisa memulai proses pendidikan pada
anaknya sejak janin (masih dalam kandungan). Minimal
yang harus dilakukan seorang ibu terhadap janin dalam
kandungannya adalah memilihkan makanan yang halal dan
baik untuk membesarkan janin. Senantiasa berdzikir dan
berdo'a kepada Allah SWT, ketika merasakan setiap
gejala yang diakibatkan keberadaan janin dalam
kandungan. Tidak mengeluh terhadap rasa sakit yang
dialaminya di saat hamil, tetapi sepenuhnya berserah
diri kepada Allah dan senantiasa mengharapkan
pertolongan Allah agar tetap bisa menunaikan segala
kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan
kepadanya. Berupaya menenangkan perasaan/emosionalnya
dengan membaca ayat-ayat Al Qur'an, sehingga suasana
hatinya tetap tenang dan ikhlas menjalani masa
kehamilannya. Sebab kondisi psikologis seorang ibu -
menurut pendapat para ahli akan berpengaruh pada
perkembangan janin yang dikandungnya.
Demikian pula setelah anak lahir, ibu berperan besar
untuk menciptakan kondisi lingkungan tempat anak
dibesarkan. Suara apa yang pertama didengarnya ketika
pertama kali ia bisa mendengar. Pemandangan seperti
apa yang dilihatnya ketika ia pertama kali melihat.
Kata-kata apa yang diucapkannya ketika ia pertama kali
berbicara. Dan lingkungan pertama yang masuk ke dalam
'rekaman kaset kosong' seorang anak adalah rumahnya.
Apa-apa yang ada di dalam rumahnya itulah yang pertama
direkamnya, terutama yang paling dekat kepadanya
adalah ibu. Oleh karena itu ibulah madrasah pertama
bagi anak-anaknya.
Anehnya, saat ini banyak orang tua yang harus
mengikuti kehendak anaknya. Bukan anak yang mengikuti
kehendak orang tuanya. Ini sudah merupakan suatu
problema yang sering muncul di kalangan orang tua saat
ini. Bahkan problema ini sudah tersebar luas di
mana-mana. Anak mempunyai keinginan - yang lebih besar
dipengaruhi lingkungannya - yang berbeda dengan
keinginan orang tuanya. Bahkan di aberani menentang
orang tuanya demi mewujudkan keinginannya. Hal
iniberarti orang tua telah gagal mengisi kaset
kosongnya dan memberi warna dasar pada kertas
putihnya, yang mampu menjadi landasan perkembangan
kepribadian anak serta tolok ukur untuk menyaring
informasi dan perilaku serta memilih warna-warna yang
ada di luar rumahnya, mana yang akan diambil dan mana
yang ditolak.
Wahai para muslimah…optimalkanlah peran untuk mengisi
kaset-kaset kosongmu serta memberi warna dasar pada
kertas-kertas putihmu yang bersih. Terlaksananya
peranmu ini sangat menentukan warna generasi di masa
datang.
Potensi Wanita Muslimah dalam Pendidikan Generasi
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa peran wanita sangat
besar artinya dalam pembentukan generasi di masa
datang, mengingat besarnya peluang dan kesempatan
wanita (seorang ibu) berperan mengawali proses
pendidikan anak-anaknya sejak dini. Potensi dan
kemampuan para wanita muslimah sangat berpengaruh
besar membentuk warna dan corak generasi umat Islam di
masa datang.
Wanita yang lemah, bodoh dan berperilaku buruk akan
menghasilkan generasi yang warnanya tidak jauh berbeda
dengan dirinya. Sebab di masa awal, anak mendapatkan
teladan yang buruk untuk membentuk eksistensi dan
kepribadian dirinya. Anak akan menyerap informasi dan
perilaku apapun yang ada didekatnya tanpa bisa
memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk.
Sebaliknya kalau wanitanya pintar (menguasai tsaqofah
Islam), cerdas, kreatif, berperilaku baik serta
berkepribadian Islam yang tinggi, maka warna dasar di
masa datang akan baik. Bahkan kalau perannya berjalan
optimal, wanita seperti ini akan mampu membentuk
generasi yang tangguh, yang tidak terombang-ambing
oleh ombak kehidupan. Mereka akan tetap mampu bertahan
dan berdiri dengan tegar serta kokoh prinsip hidupnya,
apapun kondisi yang menghadangnya.
Seorang ibu harus mampu mendidik anak-anaknya dengan
landasan rasa cinta dan kasih sayang yang benar,
sehingga anak-anaknya pun akan mempunyai rasa cinta
dan kasih sayang yang benar pula terhadap orang tua
dan keluarganya. Rasa cinta dan kasih sayang yang
benar adalah yang mendahulukan rasa cinta kepada Allah
dan Rasul-Nya di atas segalanya. Dengan demikian rasa
cinta pada anak tidak akan menghalangi seorang ibu
untuk mendidik anaknya menjadi mujahid yang rela
mengorbankan jiwanya untuk Islam. Demikian pula
seorang anak tidak terhalangi mengorbankan miliknya
yang paling berharga untuk memperjuangkan tegaknya
Islam, sekalipun harus berpisah dengan orang tua dan
keluarganya.
Banyak sudah contoh para ibu yang berhasil mengarahkan
dan mendidik anaknya menjadi anak-anak yang patuh dan
berbakti kepada orang tuanya, dan memiliki semangat
ruhiyah yang tinggi untuk mengamalkan dan
memperjuangkan Islam. Diantaranya adalah Asma' binti
Abu Bakar dan Al Khansa.
Asma' binti Abu Bakar Ash-Shidiq adalah salah seorang
ibu yang patut diteladani. Beliau telah berhasil
mendidik anaknya Abdullah bin Zubair sebagai pahlawan
Islam yang tangguh imannya dan selalu menginginkan
ridlo Allah dan ridlo ibu bapaknya. Dapat kita simak
dari petikan percakapan Asma' dengan putranya Abdullah
di saat-saat akhir hayatnya, ketika ia memimpin
perlawanan dalam perselisihan dan peperangannya dengan
tentara-tentara Mu'awiyah dan puteranya Yazid. Menurut
Abdullah, Yazid bin Mu'awiyah bin Abu Sufyan adalah
laki-laki yang terakhir kali dapat menjadi khalifah
muslimin, seandainya memang dapat…., karena ketidak
becusannya dalam soal apapun.
Ditemuinya ibundanya Asma' dan dipaparkannya
dihadapannya suasana ketika itu secara terperinci,
begitu pun mengenai akhir kesudahan yang sudah nyata
tak dapat dielakkan lagi….
Kata Asma' kepada putranya:
"Anakku, engkau tentu lebih tahu tentang dirimu!
Apabila menurut keyakinanmu, engkau berada di jalan
yang benar dan berseru untuk mencapai kebenaran itu,
sabar dan tawakallah dalam melaksanakan tugas itu
sampai titik darah penghabisan. Tiada kata menyerah
dalam kamus perjuangan melawan kebuasan budak-budak
Bani Umaiyah…! Tetapi kalau menurut pikiranmu, engkau
hanya mengharapkan dunia, maka engkau adalah
seburuk-buruk hamba, engkau celakakan dirimu sendiri
serta orang-orang yang tewas bersamamu!"
Ujar Abdullah:
"Demi Allah, wahai bunda! Tidaklah ananda mengharapkan
dunia atau ingin hendak mendapatkannya…! Dan
sekali-kali tidaklah ananda berlaku aniaya dalam hukum
Allah, berbuat curang atau melanggar batas…!"
Kata Asma' pula:
"Aku memohon kepada Allah semoga ketabahan hatiku
menjadi kebaikan bagi dirimu, baik engkau mendahuluiku
menghadap Allah maupun aku. Ya Allah, semoga ibadahnya
sepanjang malam, shaum sepanjang siang dan bakti
kepada kedua orang tuanya. Engkau terima disertai
cucuran Rahmat-Mu. Ya Allah, aku serahkan segala
sesuatu tentang dirinya kepada kekuasaan-Mu dan aku
rela menerima keputusan-Mu. Ya Allah berilah aku
pahala atas segala perbuatan Abdullah bin Zubair ini,
pahalanya orang-orang yang sabar dan bersyukur…!"
Kemudian mereka pun berpelukan menyatakan perpisahan
dan selamat tinggal. Beberapa hari kemudian, Abdullah
bin Zubair terlibat dalam pertempuran sengit yang tak
seimbang, sehingga Syahid agung itu akhirnya menerima
pukulan maut yang menewaskannya. Tubuhnya diangkat
oleh Hajaj bin Yusuf, antek Bani Umaiyah, kemudian
disalib untuk menghina ibunya, keluarganya dan
penduduk Mekkah. Hal itu diketahui Asma'. Ia
mengetahui bagaimana keberanian anaknya dan tentang
kegugurannya. Ia bersyukur kepada Allah karena sang
anak gugur dalam mempertahankan prinsip dan
keyakinannya. Ia berdo'a kepada Allah agar tidak mati
sebelum dapat mengurus jenazah anaknya yang suci itu.
Do'anya dikabulkan Allah.
Sikapnya terhadap anaknya, ketika sang anak meminta
nasehat kepadanya, betul-betul suatu sikap yang
membuat algojo yang paling bengis tidak berkutik.
Demikian pula Al Khansa, beliau seorang ibu yang
terkenal mampu memberikan dorongan yang kuat kepada
putranya untuk berjihad. Beliau seorang ibu yang sabar
dan tabah menerima berita bahwa semua anaknya telah
syahid satu demi satu dalam satu peristiwa, yaitu di
peperangan Qodisyiah. Beliau merupakan contoh wanita
yang mempunyai kebesaran jiwa melebihi wanita-wanita
lain. Keberanian putra-putranya, keluhuran akhlaq
mereka, kefasihan lidah dan keahlian mereka dalam
bersyair menjadikan Al Khansa tersohor sebagai wanita
yang berhasil sebagai ibu dan pantas menjadi teladan.
Al Khansa memiliki iman, kesabaran dan ketaqwaan yang
mantap. Dia selalu ikut andil dalam setiap perjuangan
demi tegaknya Islam. Pada tahun 14 H, saat terjadi
perang Qodisyiah dia datang bersama keempat anaknya
untuk ikut bergabung bersama kaum muslimin lainnya.
Mereka diberi bekal berupa dorongan dan semangat
dengan kata-kata yang menyala-nyala:
"Wahai putra-putraku! Kalian masuk Islam dengan penuh
kesadaran. Kalian berhijrah dengan penuh kerelaan.
Demi Allah, tiada Tuhan selain Dia. Kalian adalah
empat bersaudara dari satu ayah dan satu ibu. Aku
tidak akan mencampuri kehormatan kalian, tetapi kalian
telah mengetahui, apa yang dijanjikan bagi kaum
muslimin yang memerangi kaum kafir. Sadarilah…!
Kehidupan akhirat lebih kekal dan lebih baik dari
kehidupan dunia yang sementara ini. Bulatkan tekad dan
kesabaran kalian. Bertaqwalah kalian selalu agar apa
yang kau inginkan berhasil.
"Wahai putra-putraku ! Jika kalian lihat api
peperangan telah berkecamuk dan menjadi dahsyat,
masuklah kalian dengan semangat yang menyala-nyala.
Disanalah kalian akan menemukan keuntungan dan
kehormatan di alam abadi dan kekal".
Berbekal semangat yang dipompakan ibunya itu, keempat
anak Al Khansa pun berangkat ke medan perang dengan
penuh iman dan keberanian. Tujuan mereka satu yaitu
mencari syahadah, dan itu pun diperolehnya. Mereka
gugur dalam pertempuran itu. Sementara ummat Islam
memperoleh kemenangan, Al Khansa menerima kabar
keadaan putranya dengan penuh sabar.
Bahkan kebanggan tumbuh dihatinya, melihat
putra-putranya menjadi syuhada dalam pertempuran besar
itu. Dia berkata:
"Alhamdulillah…! Allah telah mengutamakan dan
memberikan karunia padaku dengan kematian anak-anakku
sebagai syuhada. Aku mengharap semoga Allah
mengumpulkan aku dengan mereka di dalam rahmat-Nya
kelak".
Ini adalah dua diantara sekian ibu teladan yang mampu
menghantarkan putra-putranya menjadi para mujahid yang
tangguh, rela mengorbankan miliknya yang paling
berharga untuk kejayaan/ketinggian Islam. Masih ada
contoh lain para ibu yang mampu menghantarkan putranya
menjadi ilmuwan bahkan mujtahid. Diantaranya: Ibunda
Imam Abu Hanifah, Ibunda Imam Syafi'I, Ibunda Imam
Ahmad bin Hambal dan Ibunda Imam Bukhari. Keempat imam
ini ditinggal ayahnya sejak kecil (yatim), ibunyalah
yang memelihara dan mendampingi mereka hingga besar.
Mereka memiliki daya hafal yang tinggi sejak kecil. DI
usia mudanya mereka sudah menguasai bahasa Arab dan
seluk beluknya, hafal ayat-ayat Al Qur'an dan
hadits-hadits Nabi, serta sangat gemar menuntut ilmu.
Memang untuk menguasai banyak ilmu mereka belajar dari
banyak guru. Belajar bahasa Arab ke beberapa orang
guru, fiqih ke beberapa orang guru, dan hadits Nabi ke
beberapa orang guru. Tapi setidaknya ibunda para imam
tersebut telah mampu mendidik mereka menjadi anak-anak
yang gemar menuntut ilmu dan tidak kenal lelah. Satu
hal yang lebih penting lagi adalah mereka punya rasa
kemandirian yang tinggi sejak usia muda, sebab para
imam tersebut rata-rata berada dalam kehidupan yang
miskin. Mereka berusaha sendiri mencari biaya untuk
kebutuhan hidupnya dan biaya perjalanan, sebab mereka
belajar ke berbagai kota. Imam Ibnu Hambal misalnya,
beliau pernah bekerja di tukang-tukang jahit, memungut
sisa-sisa panen yang tertinggal setelah meminta ijin
pada pemiliknya, mencari upah dari menenun kain dan
menulis, bahkan pernah mencari upah dengan mengangkut
barang-barang di perjalanan seperti kuli angkut. Semua
ini beliau lakukan untuk keperluan hidupnya dan biaya
perjalanannya agar bisa menuntut ilmu.
Dari contoh-contoh ini kita dapati betapa besar peran
ibu mendampingi dan mengarahkan anak-anaknya.
Kemiskinanpun tidak menghalangi seorang ibu untuk
menghantarkan anak-anaknya menjadi orang yang berilmu
sebab seorang ibu bisa menanamkan rasa kemandirian
yang tinggi kepada anaknya agar sanggup berkorban
apapun demi meraih kemuliaan hidupnya di hari akhir
nanti (di hadapan Allah SWT).
Dengan demikian agar peran wanita muslimah dalam
pendidikan generasi di masa datang bisa optimal untuk
menghasilkan generasi para mujahid tangguh, politikus
ulung dan para mujtahid, maka proses pembinaan para
wanita muslimah tidak boleh dicukupkan ala kadarnya
apalagi diabaikan. Para wanita muslimah harus dibina
dengan tsaqofah Islam secara mapan atau mendalam,
sehingga dia mampu mengarahkan dan bahkan mendidik
anak-anaknya menjadi generasi-generasi yang diharapkan
mampu berperan meraih kejayaan Islam kembali.
Bagaimana mungkin seorang ibu mampu mendidik
anak-anaknya menjadi mujahid kalau dia tidak memahami
betapa mulianya kedudukan seorang mujahid. Mana
mungkin seorang ibu mampu menghantarkan seorang anak
menjadi ulama sementara dia buta terhadap tsaqofah
Islam. Apalagi kalau dorongan ruhiyahnya tidak ada.
Dorongan ruhiyah sebagai kekuatan pokok yang
menggerakkan seorang ibu untuk berperan optimal.
Bagaimana mungkin seorang ibu mampu mendidik anaknya
menjadi pejuang-pejuang Islam kalau dirinya sendiri
masih enggan berkorban untuk Islam. Dia masih lebih
mengutamakan kemapanan materi daripada berbuat sesuatu
yang lebih mulia di hadapan Allah. Ia masih lebih
mencintai urusan dunianya daripada melakukan
kewajibannya kepada Allah. Mustahil ibu seperti ini
akan mampu mencetak generasi harapan umat untuk meraih
kebangkitan dan kejayaan Islam kembali.
Wahai para muslimah…dengan berfikir secara jernih dan
mendalam, mari kita berbenah diri, membekali diri kita
dengan memperkaya tsaqofah Islam dan membentuk ruhiyah
yang tinggi agar kita menjadi ibu-ibu yang mampu
mengubah corak generasi kita, sebagai peletak dasar
warna dan corak generasi manusia di masa datang.
Khatimah
Demikianlah gambaran tentang besarnya peran dan
tanggung jawab wanita dalam proses pendidikan
generasi. Namun ini baru peran minimal yang terbatas
pada lingkup keluarga serta wadah yang tidak formal.
Masih ada peran lain yang harus diterjuninya sebagai
wujud pelaksanaan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar,
yakni mendidik/membina masyarakat agar senantiasa
terikat syariat Islam. Sebab wanita juga terkena
kewajiban amar ma'ruf nahi munkar.
PUSTAKA
1. Abdul Badi' Shaqr. Wanita-wanita Pilihan.
Pustaka Manthiq. 1990.
2. Ahmad Asy Syurbasy. Sejarah dan Biografi
Empat Imam Mazhab.
3. Jabir Asysyaal. Al Qur'an bercerita Soal
Wanita. GIP. 1989.
4. Khalid Muh. Khalid. Karakteristik Perihidup
Enam Puluh Sahabat Rasulullah. CV Diponegoro. Bandung.
1981.
5. Nashir bin Sulaiman Al-'Umr. Kedudukan Ilmu
dan Ilmuwan dalam Islam. Pustaka Al Kautsar. 1994.
6. Shahih Muslim.
7. Taqiyuddin An Nabhany. Al Mafahimu. 1953. Al
Quds.
8. Taqiyuddin An Nabhany. An Nizhomul Ijtima'iy
fil Islam. Darul Ummah. Beirut.