Tulisan ini tidak untuk membahas tentang
hukum-hukum ibadah haji dan umrah. Karena kurang relevan untuk coretan
singkat seperti ini. Namun tulisan ini ingin mengajak para pembaca untuk
menggali hikmah, ibrah dan pelajaran yang sangat besar dan banyak
sekali di balik ibadah suci, sacral dan istimewa ini. Dimana dengan
mengambil hikmah, ibrah dan pelajaran itu, kita yang tidak atau belum
berkesempatan berhaji-pun tetap bisa mendapatkan barakah dan fadhilah
yang sangat besar dari ibadah haji dan umrah. Sedangkan bagi para jamaah
haji sendiri, pengambilan hikmah, ibrah dan pelajaran dari manasik haji
dan umrah yang insyaallah segera mereka jalankan, akan memberikan nilai
lebih dan sekaligus bisa menjadi pembuktian serta penyempurna bagi
ke-mabrur-an haji mereka.
Tentu saja banyak sekali hikmah, ibrah
dan pelajaran yang bisa kita petik dari haji dan umrah ini. Namun
tulisan ini hanya akan menyebutkan tiga saja, yang sangat fundamental
dan urgen sekali bagi upaya peningkatan kualitas keislaman dan
keistiqamahan kita.
Pertama, ruhut talbiyah (semangat menyambut seruan Allah dan memenuhi panggilan-Nya).
Jamaah haji dan juga umrah, sejak pertama kali berniat ihram, disunnahkan memperbanyak pengucapan talbiyah, yang berupa ucapan: Labbaik allahumma labbaik. Labbaika laa syariika laka labbaik…dan seterusnya, yang berarti: Aku
sambut seruan-Mu ya Allah, aku sambut seruan-Mu. Aku penuhi
panggilan-Mu, tiada ilah (tuhan yang berhak diibadahi dengan benar)
selain Engkau, aku penuhi panggilan-Mu…
Maka esensi dari bacaan talbiyah di
dalam haji dan umrah adalah semangat dan kesiapan menyambut seruan
Allah, yang juga biasa dibahasakan dengan kata sami’na wa atha’na, yang bermakna: kami dengar dan kami siap taat.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):
”Sesungguhnya jawaban/sikap orang-orang mukmin, bila diajak kepada Allah
dan Rasul-Nya agar Rasul menegakkan hukum di antara mereka, ialah
ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh (taat) dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung/berbahagia” (QS. An-Nuur [24]: 51).
Nah, betapa indah dan luar biasa
seandainya semangat kita dan seluruh kaum muslimin dalam menyambut
setiap seruan dan perintah Allah adalah seperti yang kita miliki dalam
menyambut seruan untuk berhaji dan berumrah! Bahkan seandainya semangat
kaum muslimin dalam menyambut dan memenuhi setiap seruan dan perintah
Allah, setara dengan seperempat saja misalnya dari semangat dan
antusiasme mereka dalam berhaji dan berumrah, niscaya tuntaslah seluruh
masalah ummat dan bangsa ini! Namun sayang sekali, kita sering tidak
sadar bahwa, faktanya selama ini kita masih diskriminatif dalam
menyikapi seruan-seruan dan perintah-perintah Allah Ta’ala! Maka mari
menyambut setiap seruan dan perintah Allah dengan ruh labbaik allahumma labbaik dan semangat sami’na wa atha’na!
Kedua, ruhul ‘ibadah lil ibadah (semangat ibadah untuk ibadah, atau baca: totalitas ibadah).
Jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah
asasi yang lainnya, maka akan didapati bahwa, haji dan umrah dengan
seluruh rangkaian manasiknya adalah merupakan praktik ibadah ritual yang
paling jauh dari penalaran logika dan akal. Namun toh setiap jamaah
tetap saja bersemangat dalam menjalankannya. Ini hikmah dan pelajaran
yang sangat penting yang mengingatkan kita semua bahwa, yang harus
menjadi dasar dan motivasi utama dalam menjalankan setiap ibadah,
khususnya yang bersifat ritual, adalah iman dan bukan rasio atau logika.
Di samping ini juga menyadarkan dan
menegaskan tentang kesalahan dan bahkan penyimpangan orientasi sebagian
kalangan yang biasa atau cenderung melogika-logikan (baca: mengedepankan
dan mendominankan logika) ibadah-ibadah ritual Islam! Sehingga ketika
kita ditanya misalnya, untuk apa melakukan semua amalan yang tidak logis
itu? Maka jawaban terbaiknya adalah: kita melakukan itu semua atas
dasar iman dan untuk tujuan ibadah kepada Allah. Karena kita adalah
hamba-hamba Allah yang harus membuktikan penghambaan diri kita
kepada-Nya. Dan karena Allah menciptakan kita hanya untuk beribadah
kepada-Nya saja.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan hanya supaya
mereka beribadah/mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 56).
Jadi itulah syi’ar kita: Al ‘Ibadah lil ‘ibadah! Beribadah untuk tujuan ibadah itu sendiri!
Ketiga, ruhut tadhiyah (semangat atau jiwa pengorbanan).
Haji dan umrah juga merupakan ibadah
yang menuntut beragam pengorbanan yang tidak kecil, seperti pengorbanan
harta, tenaga, waktu, mental dan masih banyak lagi yang lainnya, bahkan
terkadang harus siap berkorban nyawa segala. Dimana tanpa adanya
kesiapan berkorban dengan semua pengorbanan itu, seseorang tidak akan
bisa sampai ke Tanah Suci untuk memenuhi panggilan ilahi. Mungkin karena
itu, Rasululah shallalahu ‘alaihi wasallam menyebut haji dan umrah
sebagai jihad tanpa pertempuran , khususnya bagi kaum perempuan, bahkan
Beliau shallalahu ‘alaihi wasallam sampai menyebutnya sebagai bentuk
jihad yang paling utama (lihat HR. Ahmad dan Ibnu Majah, juga HR.
Al-Bukhari, keduanya dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha).
Dan ibrah penting yang harus kita ambil
disini adalah bahwa, setiap penunaian perintah dan syariat Allah
menuntut pengorbanan. Sehingga tanpa adanya semangat dan kesiapan
berkorban, jangan harap dienul-Islam bisa tegak dan eksis di muka bumi
ini. Maka siapkah kita selalu berkorban?
Itulah tiga hikmah dan ibrah penting
yang diharapkan bisa menjadi bagian dari “oleh-oleh” paling berharga
dari haji dan umrah, tidak hanya bagi jamaah haji saja, tapi juga bagi
kita semua. Semoga!