Selasa, 04 September 2012

Abu Abdillah Arief B. bin Usman : UNTAIAN NASIHAT LUQMAN UNTUK BUAH HATINYA

UNTAIAN NASIHAT LUQMAN UNTUK BUAH HATINYA

Oleh
Ustadz Abu Abdillah Arief B. bin Usman Rozali


وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا
تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezhaliman yang besar". [Luqmân/31:3].

SIAPAKAH LUQMÂN?
Terdapat perselisihan ulama dalam masalah penamaan ayah dan nasabnya,
kenabian dan profesi serta sifat-sifat fisiknya.[1]

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah menjelaskan, ia adalah Luqmân bin
'Anqâ bin Sadûn.[2] Sebagian besar ulama Salaf menyatakan, Luqmân
rahimahullah bukanlah nabi dan tidak pula mendapatkan wahyu, melainkan
ia seorang wali Allah Subhanahu wa Ta’ala yang taat, shâlih, dan
bijaksana, yang telah dikaruniakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
berbagai keutamaan, berupa kecerdasan akal, kedalaman pemahaman
terhadap Islam, sifat pendiam dan tenang, serta hikmah dalam
berkata-kata.[3]

Adapun mengenai profesi Luqman rahimahullah, di antara para ulama
terjadi perpedaan pendapat. Ada yang mengatakan, ia seorang budak
hitam yang berprofesi sebagai tukang kayu. Ada pula yang mengatakan
sebagai penjahit. Ada pula yang mengatakan sebagai penggembala. Dan
ada pula yang mengatakan sebagai Qadhi (hakim) di masyarakat Bani
Israil.[4] Sedangkan mengenai sifat-sifat fisik beliau, banyak para
ulama yang menjelaskan, ia adalah seorang budak Habasyah yang hitam,
berbibir tebal, dan berkaki pecah-pecah.[5]

SYIRIK MERUPAKAN KEZHALIMAN YANG AMAT BESAR
Pada ayat di atas, Luqmân rahimahullah menasihati anaknya, Tsarân[6]
agar tidak berbuat syirik. Sebagai seorang ayah yang telah dikaruniai
Allah Subhanahu wa Ta’ala sifat bijaksana dan kemampuan berkata-kata
dengan kedalaman makna dan penuh hikmah,[7] Luqmân memberi sebuah
nasihat sangat berharga untuk buah hatinya yang sangat ia sayangi.

Dia menasihati anaknya agar tidak menyekutukan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan sesuatu apapun, karena syirik merupakan kezhaliman yang
amat besar. Karena dalam perbuatan syirik ini tidak ada suatu pun
perbuatan dosa yang paling besar dan buruk daripada dosa menyekutukan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya, dosa menyamakan derajat
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Sempurna dan Yang Maha berhak
untuk disembah karena kesempurnaan sifat-sifat-Nya; dengan makhluk-Nya
yang sarat kekurangan dan kelemahan.[8]

Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengampuni dosa
seseorang yang berbuat syirik, jika ia sampai mati dalam keadaan belum
bertaubat dari perbuatan syiriknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ
ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ
إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya, dan barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (Qs. an-Nisâ`/4:48).

Syirik merupakan kezhaliman yang sangat besar; dan keimanan seorang
muslim tidak mungkin lurus dan benar jika masih tercampur dengan
kezhaliman ini, karena tidak mungkin sebuah keimanan dan tauhid
bercampur dengan kesyirikan dan kekufuran.

Ayat di atas juga memberikan isyarat yang jelas kepada para ayah atau
orang tua, para guru, pengajar dan pembimbing secara umum, agar mereka
menasihati anak-anaknya sejak dini. Yaitu dengan menanamkan dan
memahamkan serta mengajarkan prinsip-prinsip dasar ke-Islaman dan
keimanan, berupa aqidah atau tauhid. Hal ini pun telah dicontohkan
oleh seorang ayah, pembimbing, dan guru yang terbaik, yaitu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tatkala beliau menasihati sepupunya,
'Abdullah bin 'Abbâs c yang saat itu umurnya masih sangat belia.[9]

'Abdullah bin 'Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata, yang artinya: Pada
suatu hari, aku pernah dibonceng oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , dan beliau bersabda: "Wahai anak, sesungguhnya aku ingin
mengajarkan kepadamu beberapa kalimat; 'Jagalah Allah, niscaya Allah
akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan mendapati-Nya di
depanmu. Jika kamu ingin meminta, maka mintalah kepada Allah. Dan jika
kamu ingin memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada
Allah. Ketahuilah, sesungguhnya jika seluruh umat bergabung untuk
memberikan sebuah manfaat kepadamu, mereka semua tidak akan bisa
memberikan manfaat itu kecuali jika Allah telah menetapkannya untukmu.
Dan jika mereka semua bergabung untuk memberikan sebuah
madharrat/bahaya kepadamu, mereka semua tidak akan bisa memberikan
madharrat/bahaya itu kecuali jika Allah telah menetapkannya (pula)
untukmu. Pena telah diangkat, dan buku catatan (amal) telah
kering'."[10]

WAJIB BERBAKTI DAN TAAT KEPADA ORANG TUA SELAMA PERINTAHNYA TIDAK
MENYALAHI SYARIAT

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا
عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي
وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ
تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ
أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا
كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan
Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah
kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan
baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan. [Luqmân/31:14-15].

Pada ayat ke-14 dan ke-15 surat Luqmân ini, setelah Allah Subhanahu wa
Ta’ala memerintahkan kita untuk memenuhi hak-Nya dengan beribadah
hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun,
kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk memenuhi
hak orang tua, dengan berbakti dan taat kepadanya selama perintah
mereka tidak menyelisihi syariat. Kita diperintah untuk berbuat baik
dan berbakti kepada kedua orang tua, karena merekalah yang menyebabkan
kita ada di dunia ini dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala ; dan
terlebih lagi berbakti kepada ibu, karena, ibu telah mengandung kita,
merasakan payahnya ketika kita masih berada di dalam perutnya. Hingga
akhirnya melahirkan kita dengan menahan rasa sakit yang luar biasa.
Ibu mempertaruhkan nyawa demi keselamatan kita. Tidak hanya sampai di
situ, ibu juga menyusui kita, mengurus dengan sabar, hingga menyapih
kita dalam jangka waktu dua tahun. Sampai akhirnya kita tumbuh
berkembang, kuat dan dewasa.[11] Demikian pula dengan ayah, ia telah
membanting tulang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan kita dan
ibu.

Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika taat dan berbakti kepada orang
tua merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan setiap anak. Tentunya,
kewajiban tersebut berlaku selama bakti dan ketaatan terhadap perintah
mereka berdua tidak menyelisihi atau menyalahi syariat. Hal ini banyak
diterangkan dalam Al-Qur`ân maupun hadits-hadits shahîh, di antaranya
seperti firman-Nya berikut:

Juga firman-Nya:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۖ وَإِنْ جَاهَدَاكَ
لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۚ إِلَيَّ
مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu
bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. [al-'Ankabût/29:8].

Konkretnya, seperti yang telah diperankan oleh Sa'ad bin Abi Waqqâsh
Radhiyallahu anhu, ketika sang ibu memaksanya murtad dari Islam. Para
ulama berpendapat, ayat ke-8 surat al-'Ankabût, dan ayat ke-14 dan
ke-15 surat Luqmân ini di atas turun dengan sebab kisah Sa'ad bin Abi
Waqqâsh Radhiyallahu anhu.[12]

Dalam Shahîh Muslim, dari Sa'ad bin Abi Waqqâsha, beliau berkata yang artinya :
Ibu Sa'ad (bin Abi Waqqâsh)[13] bersumpah untuk tidak berbicara
dengannya selama-lamanya sampai Sa'ad kufur (keluar) dari agamanya
(yaitu, Islam). Dia pun bersumpah untuk tidak mau makan dan minum. Dia
berkata: "Kamu telah katakan bahwa Allah memerintahkanmu untuk
taat/berbakti kepada kedua orang tuamu, sedangkan aku adalah ibumu,
dan aku memerintahkanmu untuk kufur (dari Islam)". Ibu Sa'ad pun
bertahan (tidak makan dan minum) selama tiga hari, hingga ia pingsan
karena kepayahan. Maka salah satu anaknya yang bernama 'Umarah
memberinya minum. Ibu Sa'ad pun mendoakan keburukan untuk Sa'ad, maka
Allah Ajja wa Jallamenurunkan dalam Al-Qur`ân ayat ini: "Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu
bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah
kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan
Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah
kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan
baik…"[14].

Oleh karena itu, bagaimanapun keadaan orang tua, kita diwajibkan oleh
Allah untuk taat dan berbakti kepada mereka,[15] selama bukan
merupakan perkara maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sehingga, jika
orang tua memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah dan
Rasul-Nya, maka tidak ada kewajiban untuk mentaati perintah mereka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

«...إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ».

… Sesungguhnya ketaatan hanya dalam hal yang baik.[16]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

«...لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ».

… Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Pencipta
(Allah Subhanahu wa Ta’ala ).[17]

LUQMÂN RAHIMAHULLAH MENANAMKAN AQIDAH KEPADA PUTRANYA TENTANG
KEKUASAAN ALLAH YANG MUTLAK DAN ADANYA HARI PEMBALASAN

يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ
فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ
بِهَا اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ

(Luqmân berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu
perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit
atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya).
Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. [Luqmân/31:16].

Pada ayat ke-16, Luqmân kembali menasihati putranya, bahwa sekecil
apapun perbuatan seseorang, baik berupa ketaatan maupun kemaksiatan,
pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalasnya. Perbuatan baik, maka
balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala pun baik. Jika perbuatan
tersebut buruk, maka balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala pun
demikian.[18]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ
نَفْسٌ شَيْئًا ۖ وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ
أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَاسِبِينَ

Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka
tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun, dan jika (amalan itu)
hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya, dan
cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan. [al-Anbiyâ`/21:47].

Maka, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari pandangan Allah Azza
wa Jalla. Oleh karena itu, di akhir ayat 16 surat Luqmân ini, Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ

Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.

LUQMÂN RAHIMAHULLAH MEMERINTAHKAN PUTRANYA UNTUK MENEGAKKAN SHALAT,
MENEGAKKAN AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR DAN BERSABAR TERHADAP MUSIBAH

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ
الْأُمُورِ

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah
terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). [Luqmân/31:17].

Luqmân memerintahkan si anak untuk sholat, karena merupakan ibadah
fisik paling penting. Selanjutnya, memerintahkan amar ma'ruf nahi
mungkar. Aktifitas ini menuntut pengenalan akan perkara-perkara yang
ma'ruf dan kemungkaran, serta sifat pendukungnya, yaitu kelembutan dan
kesabaran. Lantaran pasti akan menghadapi cobaan saat menjalankan amar
ma'ruf dan nahi munkar, Luqmân memerintahkan supaya bersabar.
Perkara-perkara ini termasuk 'azmil-umûr (perkara besar lagi menyedot
perhatian lebih), hingga tidak ada yang memperoleh taufik untuk
menjalankannya kecuali orang-orang yang bertekad baja[19]

Secara khusus, mengenai pembinaan anak-anak untuk mengerjakan sholat
sejak dini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ،
وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ، وَفَرِّقُوا
بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ .

Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan shalat ketika mereka
berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika tidak mau melakukan
shalat) ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkan mereka dalam
tempat tidur.[20]

LUQMAN RAHIMAHULLAH MENGAJARKAN KEPADA PUTRANYA AGAR TIDAK SOMBONG,
ANGKUH DAN TIDAK MEMBANGGAKAN DIRI

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
[Luqmân/31:18]

Dalam ayat lain, Allah Ajja wa Jalla telah berfirman:

وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ
وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا

Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena
sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan
sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. [al-Isrâ`/17:37].

Dan sungguh, nasihat Luqmân ini pun telah diajarkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kita, seperti ditunjukkan beberapa
hadits berikut.

Hadits 'Abdullah bin Mas'ûd a, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ
كِبْرٍ»، قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ ثَوْبُهُ
حَسَناً، وَنَعْلُهُ حَسَنَةً، قَالَ: «إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يَحِبُّ
الْجَمَالَ، الكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

"Tidak (akan) masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sekecil
dzarrah dari kesombongan". (Kemudian) ada seorang yang berkata:
"Sesungguhnya seseorang senang jika bajunya bagus dan sendalnya
bagus," (maka) Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya Allah itu indah, dan
menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan
orang lain".[21]

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ يَمْشِي فِي بُرْدَيْهِ قَدْ أَعْجَبَتْهُ
نَفْسُهُ، فَخَسَفَ اللهُ بِهِ الأَرْضَ، فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيْهَا
إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ .

Tatkala seorang berjalan dengan angkuh/sombong dengan mengenakan dua
lapis pakaiannya, maka Allah benamkan dia ke dalam bumi. Dia pun terus
demikian naik turun di dalam bumi sampai hari kiamat.[22]

1. Hadits Haaritsah bin Wahb al-Khuzaa'i Radhiyallahu anhu , ia
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

...أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ؟»، قَالُوْا: بَلَى، قَالَ:
«كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ .

"… Maukah aku beritahu kalian; siapakah penghuni neraka?" Mereka
menjawab: "Tentu". Rasulullah bersabda: "Setiap orang yang kasar,
tamak/serakah dan sombong".[23]

LUQMÂN RAHIMAHULLAH MENGAJARKAN KEPADA PUTRANYA AGAR TAWAADHU',
BERLAKU TENANG DAN TIDAK MENINGGIKAN SUARA

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ ۚ إِنَّ أَنْكَرَ
الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. [Luqmân/31:19].

Pada ayat ke-19, Luqmân juga menasihati putranya untuk tawâdhu'
(rendah hati), tenang, tidak tergesa-gesa dan tidak terlalu lambat
dalam berjalan. Dia juga menasihati anaknya untuk tidak
berlebih-lebihan dalam berbicara, dan tidak meninggikan suara untuk
sesuatu yang tidak ada manfaatnya pada pembicaraan tersebut.
Sampai-sampai Luqman mengumpamakannya dengan suara keledai yang buruk.

Al-Hafizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: "Seburuk-buruk perumpamaan
orang yang meninggikan suaranya adalah bagaikan keledai dalam
ringkikannya. Selain itu, suara ini pun dibenci oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala ".[24]

PESAN DAN NASIHAT IMAM IBNUL QAYYIM RAHIMAHULLAH UNTUK PARA AYAH,
ORANG TUA DAN PARA PENDIDIK SECARA UMUM
Sebelum merenungkan nasihat Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, marilah
kita renungi dan pahami terlebih dahulu sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berikut:

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ... .

Tidak ada seorang (bayi pun) yang dilahirkan, melainkan ia dilahirkan
dalam keadaan fithrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nashrani, dan Majusi…..[25]

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata:[26]
Sebagian Ahlul 'Ilmi (para ulama) berkata: Sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala akan bertanya kepada ayah -pada hari Kiamat nanti-
(tentang) apa yang telah dilakukannya terhadap anaknya, sebelum Allah
bertanya kepada anak, (tentang) apa yang telah dilakukannya terhadap
ayahnya.

Karena, sebagaimana ayah memiliki hak yang wajib dipenuhi oleh
anaknya, maka anak pun memiliki hak yang harus di penuhi oleh ayahnya.
Dan sebagaimana Allah berfirman.

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا

Dan kami wajibkan manusia (berbuat) baik kepada dua orang ibu-bapaknya
.... -al-'Ankabut/29 ayat 8- maka Allah pun berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu....
-at-Tahrim/66 ayat 6-, dan 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu
berkata: "Yaitu, ajarilah dan didiklah anak-anak kalian!".[27]

Sehingga, perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada ayah untuk
memperhatikan dan memenuhi hak-hak anaknya, lebih Allah Subhanahu wa
Ta’ala dahulukan daripada perintah-Nya kepada anak untuk memperhatikan
dan memenuhi hak-hak ayahnya. (Sebagaimana) firman Allah:

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan...
-al-Isrâ`/17 ayat 31- sehingga barang siapa melalaikan pendidikan
anaknya agar mengetahui hal-hal yang bermanfaat untuknya, dan
menyia-nyiakannya; maka sungguh ia telah berbuat keburukan terhadap
anaknya dengan seburuk-buruknya. Dan mayoritas anak, tidaklah mereka
menjadi rusak melainkan karena ayahnya. Ayahnyalah yang lalai mendidik
anaknya, dan lalai menanamkan serta memahamkan prinsip-prinsip dasar
agama dan sunnah-sunnahnya. Akhirnya, (ayah seperti inilah yang) telah
menyia-nyiakan anaknya (sendiri) sejak kecil, dan tidak memberinya
manfaat. Sehingga ketika ia telah dewasa, ia pun tidak (bisa)
memberikan manfaat apapun kepada ayahnya. Seperti yang pernah terjadi
pada sebagian anak yang mencela ayahnya (karena kelalaiannya), ia
berkata: "Wahai ayahku, sebagaimana engkau tidak mendidikku saat masa
kecilku, maka kini saat aku telah dewasa mendurhakaimu! Wahai ayahku,
sebagaimana engkau telah menyia-nyiakan diriku (dahulu) ketika aku
bayi, maka kini aku pun menyia-nyiakanmu ketika engkau menjadi seorang
kakek tua".

BEBERAPA PELAJARAN DAN FAIDAH AYAT-AYAT[28]
1. Penetapan (wajibnya) tauhid dan ancaman (bahaya) syirik.
2. Penjelasan hikmah, yaitu bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dengan taat dan selalu ingat kepada-Nya. Karena tidaklah bersyukur
melainkan orang yang berakal dan pandai.
3. Disyariatkan nasihat dan bimbingan, baik untuk orang tua, anak
kecil, orang asing maupun kerabat.
4. Dahsyatnya (keburukan) syirik, dan penjelasan bahwa syirik
merupakan kezhaliman yang sangat besar.
5. Penjelasan jangka waktu menyusui, yaitu selama dua tahun, tidak lebih.
6. Wajibnya berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua.
7. Penetapan kaidah "tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam
kemaksiatan kepada Pencipta (Allah Subhanahu wa Ta’ala)". Yaitu dengan
tidak mentaati (perintah) orang tua dalam hal-hal yang tidak baik
(menurut syariat).
8. Wajib mengikuti jalan orang-orang yang beriman dari kalangan
Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah, dan haram mengikuti jalan para pelaku bid'ah
dan kesesatan.
9. Wajib merasakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa
mengawasi dan mengetahui gerak-gerik (setiap manusia), dan tidak boleh
menganggap remeh terhadap kebaikan atau keburukan yang dilakukan,
betapa pun kecilnya.
10. Wajib menegakkan shalat, amar ma'ruf dan nahi munkar, dan sabar
terhadap apa-apa yang akan menimpa si pelaku amar ma'ruf dan nahi
munkar tersebut.
11. Haram berlaku angkuh dan sombong dalam berjalan, serta wajibnya
sederhana, tenang dalam berjalan dan berbicara. Yakni tidak terlalu
cepat dalam berjalan, dan tidak terlalu mengeraskan suara dalam
berbicara, kecuali jika dibutuhkan.

Demikianlah, mudah-mudahan kita dapat mengambil faidah dan manfaat
dari penjelasan ayat-ayat Allah yang mulia ini. Sehingga dapat membuat
ilmu, iman dan amal shâlih kita senantiasa bertambah dan meningkat.
Amin.
Wallahu A'lamu bish-Shawâb.

Maraji’ & Mashadir:
1. Al-Isti’âb fi Bayân al-Asbâb, Salim bin ‘Id al-Hilâli dan Muhammad
bin Musa Alu Nashr, Dâr Ibn al-Jauzi, KSA, Cetakan I, Tahun 1425 H.
2. Aisarut-Tafâsîr li Kalâmil-'Aliyyil-Kabîr, Abu Bakar Jabir
al-Jazâiri, Maktabah al-Ulûm wal Hikam, al-Madinah al-Munawwarah, KSA,
Cetakan VI, Tahun 1423 H/ 2003 M.
3. Tafsir al-Qurthubi (al-Jâmi' li Ahkâmil-Qur`ân), Abu 'Abdillah
Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Tahqîq 'Abdur Razzâq al-Mahdi, Dâr al
Kitab al-‘Arabi, Cetakan II, Tahun 1421 H/1999 M.
4. Tafsir ath-Thabari (Jâmi'ul-Bayân 'an Ta'wîli Âyil-Qur`ân), Abu
Ja’far Muhammad bin Jarîr ath-Thabari (224-310 H), tahqîq Mahmûd
Syâkir, Dâr Ihya at-Turâts, Beirut, Cetakan I, Tahun 1421 H/ 2001 M.
5. Tafsir Ibnu Katsir (Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm), Abu al-Fida’ Ismâ'il
bin 'Umar bin Katsîr (700-774 H), Tahqîq Sâmi bin Muhammad as-Salâmah,
Dâr ath-Thaibah, Riyadh, Cetakan I, Tahun 1422 H/2002 M.
6. Taisîrul-Karîmir-Rahmân fî Tafsîri Kalâmil-Mannân, 'Abdurrahmân bin
Nâshir as-Sa’di, tahqîq 'Abdurrahmân bin Mu’alla al-Luwaihiq, Dâr
as-Salam, Riyadh, KSA, Cetakan I, Tahun 1422 H/2001 M.
7. Tuhfatul-Maudûd bi Ahkâmil-Maulûd, Abu 'Abdillah Muhammad bin Abu
Bakr bin Ayyûb az-Zar'i, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H), tahqîq
Abu Usâmah Salim bin ‘Id al Hilâli, Dâr Ibn al-Qayyim & Dâr Ibn
'Affân, Kairo, Mesir, Cetakan II, Tahun 1428 H/2007 M
8. Zâdul-Masîr, Abu al-Faraj Jamâluddin 'Abdurrahmân bin 'Ali bin
Muhammad al-Jauzi al-Baghdadi (508-597 H), al-Maktab al-Islâmi,
Beirut, Cetakan. III, Tahun 1404 H/ 1984 M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XII/Jumadil Tsani
1429/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197
Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Jâmi'ul-Bayân 'an Ta'wîli Âyil-Qur`ân (21/78-80), al-Jâmi'
li Ahkâmil-Qur`ân (14/56-57), Zâdul-Masîr (6/317-318),
Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm (6/333-335).
[2]. Lihat Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm (6/336). Terdapat pendapat lain
soal nasab beliau, seperti termaktub dalam dikemukakan oleh al-Jâmi'
li Ahkâmil-Qur`ân (14/56). Di antaranya, Luqmân bin Ba'urâ bin Nahûr
bin Târah. Dan Târah adalah Azar, ayah Nabi Ibrahim.
[3]. Lihat al-Jâmi' li Ahkâmil-Qur`ân (14/56), Zâdul-Masîr (6/318),
Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm (6/334-335). Jâmi'ul-Bayân 'an Ta'wîli
Âyil-Qur`ân (21/80.
[4]. Keterangan-keterangan tentang ini dapat dilihat di Jâmi'ul-Bayân
'an Ta'wîli Âyil-Qur`ân (21/79), Zâdul-Masîr (6/317-318).
[5]. Lihat Jâmi'ul-Bayân 'an Ta'wîli Âyil-Qur`ân (21/79), al-Jâmi' li
Ahkâmil-Qur`ân (14/56), Zâdul-Masîr (6/318), Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm
(6/334).
[6]. Disebutkan oleh Imam al-Qurthubi v dan Al-Hafizh Ibnu Katsir v,
bahwa namanya adalah Tsaraan. Lihat al-Jaami' li Ahkâmil Qur'aan
(14/58) dan Tafsiirul Qur'ânil 'Azhîm (6/336).
[7]. Luqmân ayat 12.
[8]. Lihat Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm (6/336) dan Taisîrul-Karîmir-Rahmân (2/424).
[9]. Umur beliau saat itu kurang dari 15 tahun. Syarhul-Arba'în
an-Nawawiyyah Syaikh Muhammd bin Shâlih al-'Utsaimîn, hlm. 201.
[10]. HR at-Tirmidzi (4/667 no. 2516), dan lain-lain. Hadits ini
shahîh. Shahîh Sunan at-Tirmidzi (2/610).
[11]. Lihat Taisîrul-Karîmir-Rahmân(2/424-426).
[12]. Jâmi'ul-Bayân 'an Ta'wîli Âyil-Qur`ân (21/82), al-Jâmi' li
Ahkâmil-Qur`ân (14/60), Zâdul-Masîr (6/319), Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm
(6/337).
[13]. Namanya Hamnah binti Abi Sufyân bin Umayyah al-Jâmi' li
Ahkâmil-Qur`ân (14/61)
[14]. HR Muslim, Kitab Fadha`ilish-Shahâbah, Bab: Fî Fadhli Sa'ad bin
Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhu (4/1877 no. 1748), dan lain-lain.
[15]. Imam al-Qurthubi rahimahullah - dalam tafsirnya al-Jâmi' li
Ahkâmil-Qur`ân (14/61)- berkata: "Pada ayat di atas (ayat ke 15 dalam
surat Luqmân) terdapat dalil atas wajibnya berbakti kepada kedua orang
tua walaupun mereka kafir. Berbakti dengan membantu memberikan harta
(kita) jika mereka fakir dan miskin, dan berkata-kata lemah lembut
serta mendoakan mereka agar mendapatkan hidayah Islam".
[16]. HR al-Bukhâri (4/1577 no. 4085), (6/2612, 2649 no. 6726, 6830),
Muslim (3/1469 no. 1840), dan lain-lain, dari hadits Ali bin Abi
Thalib.
[17]. Lihat Silsilatul-Ahâdits ash-Shahîhah (1/348, 350 dan 351 no.
179, 180, 181).
[18]. Lihat Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm (6/337-338) dan
Taisîrul-Karîmir-Rahmân (2/426).
[19]. Ringkasan dari Taisîrul-Karîmir-Rahmân 648
[20]. HR Abu Dawud (1/187 no. 495), dan lain-lain.
Hadits ini dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani v dalam Irwâ`ul Ghalîl
(1/266 no. 247), Shahîh al-Jami' (5868), Shahîh Sunan Abi Dawud
(1/144-145 no. 495) dan kitab-kitab beliau lainnya.
[21]. HR Muslim (1/93 no. 91), dan lain-lain.
[22]. HR al-Bukhâri (5/2182 no. 5452), Muslim (3/1653 no. 2088), dan
lain-lain. Dan ini lafazh dalam Shahîh Muslim.
[23]. HR al-Bukhâri (4/1870 no. 4634, 5/2255 no. 5723), Muslim (4/2190
no. 2853), dan lain-lain. Dan ini lafazh dalam Shahîh Muslim.
[24]. Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm (6/339).
[25]. HR al-Bukhâri (1/456 no. 1292-1293, 4/1792 no. 4497, 6/2434 no.
6226), Muslim (4/2047 no. 2658), dan lain-lain, dari hadits Abu
Hurairah a. Dan ini lafazh dalam Shahîh Muslim.
[26]. Lihat Tuhfatul-Maudûd bi Ahkâmil-Maulûd, halaman 386-387, dengan
sedikit peringkasan.
[27]. Atsar ini dishahîhkan oleh Syaikh Salim bin 'Id al-Hilâli dalam
tahqîq beliau terhadap kitab Tuhfatul-Maudûd bi Ahkâmil-Maulûd,
halaman 375.
[28]. Disadur dari Aisarut-Tafâsîr li Kalâmil-'Aliyyil-Kabîr (2/993-994).

http://almanhaj.or.id/content/3349/slash/0/untaian-nasihat-luqmn-untuk-buah-hatinya/