Defenisi agama di Barat terus menjadi polemik. Di
Indonesia, para santri sudah mengatakan, "Semua Agama
Sama". Boleh jadi, besuk akan ada kiai yang
mengatakan, "Yesus Tuhan kita juga"

oleh Hamid Fahmy Zarkasyi *

Di pinggir jalan kota Manchester Inggris terdapat
papan iklan besar bertuliskan kata-kata singkat it’s
like Religion”. iklan itu tidak ada hungannya dengan
agama atau kepercayaan apapun. Di situ terpampang
gambar seorang pemain bola dengan latar belakang
ribuan supporter nya yang fanatic. Saya baru tahu
kalau itu iklan klub sepakbola setelah membaca tulisan
di bawahnya Manchester United

Sepak bola dengan supporter fanatik itu biasa, tapi
tulisan it’s like religion itu cukup mengusik pikiran
saya. Kalau iklan itu dipasang di jalan Thamrin
Jakarta ummat beragama pasti akan geger. Ini pelecehan
terhadap agama. Tapi di Barat agama bisa difahami
seperti itu. Agama adalah fanatisme, kata para
sosiolog. Bahkan ketika seorang selebritinya
mengatakan My religion is song, sex, sand and
champagne juga masih dianggap waras. Mungkin ini yang
disinyalir al-Qur’an ara’ayta man ittakhadna ilaahahu
hawaahu (QS.25:43).

Pada dataran diskursus akademik, makna religion di
Barat memang problematik. Bertahun-tahun mereka
mencoba mendefinisikan religion tapi gagal. Mereka
tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yang khusus.
Jikapun mampu mereka terpaksa menafikan agama lain.
Ketika agama didefinisikan sebagai kepercayaan, atau
kepercayaan kepada yang Maha Kuasa (Supreme Being),
kepercayaan primitif di Asia menjadi bukan agama.
Sebab agama primitif tidak punya kepercayaan formal,
apalagi doktrin.

F. Schleiermacher kemudian mendefinisan agama dengan
tidak terlalu doktriner, agama adalah “rasa
ketergantungan yang absolut” (feeling of absolute
dependence). Demikian pula Whitehead, agama adalah
“apa yang kita lakukan adalah kesendirian”. Di sini
faktor-faktor terpentingnya adalah emosi, pengalaman,
intuisi dan etika. Tapi definisi ini hanya sesuai
untuk agama primitif yang punya tradisi penuh dengan
ritus-ritus, dan tidak cocok untuk agama yng punya
stuktur keimanan, ide-ide dan doktrin-doktrin.

Tapi bagi sosiolog dan antropolog memang begitu. Bagi
mereka religion sama sekali bukan seperangkat ide-ide,
nilai atau pengalaman yang terpisah dari matrik
kultural. Bahkan, kata mereka, beberapa kepercayaan,
adat istiadat atau ritus-ritus keagamaan tidak
difahami kecuali dengan matrik kultural tersebut.
Emile Durkheim malah yakin bahwa masyarakat itu
sendiri sudah cukup sebagai faktor penting bagi rasa
berkebutuhan dalam jiwa. (Lihat The Elementary Forms
of the Religious Life, New York, 1926, 207). Tapi bagi
pakar psikologi agama justeru harus diartikan dari
faktor kekuatan kejiwaan manusia ketimbang faktor
sosial dan intelektual. Para psikolog Barat nampaknya
trauma dengan makna agama yang doktriner, sehingga
tidak peduli dengan aspek ekstra-sosial,
ekstra-sosiologis ataupun ekstra psikologis. Aspek
immanensi lebih dipentingkan daripada aspek
transendensi.

Sejatinya, akar kebingungan Barat mendefinisikan
religion karena konsep Tuhan yang bermasalah. Agama
Barat –Kristen– kata Amstrong dalam History of God
justeru banyak bicara Yesus Kristus ketimbang Tuhan.
Padahal, Yesus sendiri tidak pernah mengklaim dirinya
suci, apalagi Tuhan. Dalam hal ini kesimpulan Profesor
al-Attas sangat jitu ‘Islam, sebagai agama, telah
sempurna sejak diturunkan’. Konsep Tuhan, agama,
ibadah, manusia dan lain-lain telah jelas.
Konsep-konsep selanjutnya hanyalah penjelasan dari
konsep-konsep itu tanpa merubah konsep asalnya. Sedang
di Barat konsep Tuhan mereka sejak awal bermasalah
sehingga perlu direkayasa agar bisa diterima akal
manusia.

Kita mungkin akan tersenyum membaca judul buku yang
baru terbit di Barat, Tomorrow’s God (Tuhan Masa
Depan), karya Neale Donald Walsch. Tuhan agama-agama
yang ada tidak lagi cocok untuk masa kini. Tuhan
haruslah seperti apa yang digambarkan oleh akal
modern. Manusia makhluk berakal (rational animal)
terpaksa menggusur manusia makhluk Tuhan. Pada
puncaknya nanti manusialah yang menciptakan Tuhan
dengan akalnya.

Kata-kata Socrates: ”Wahai warga Athena! Aku percaya
pada Tuhan, tapi tidak akan berhenti berfilsafat”,
bisa berarti “Saya beriman tapi saya akan tetap
menggambarkan Tuhan dengan akal saya sendiri”. Wilfred
Cantwell Smith nampaknya setuju. Dalam makalahnya
berjudul Philosophia as One of the Religious Tradition
of Mankind, ia mengkategorikan tradisi intelektual
Yunani sebagai agama. Akhirnya, sama juga mengamini
Nietzche bahwa Tuhan hanyalah realitas subyektif dalam
fikiran manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada
dalam realitas obyektif. Konsep Tuhan inilah yang
justeru menjadi lahan subur bagi atheisme. Sebab Tuhan
bisa dibunuh.

Jika Imam Al-Ghazzali dikaruniai umur hingga abad ini
mungkin ia pasti sudah menulis berjilid-jilid Tahafut.
Sekurang-kurangnya ia akan menolak jika Islam
dimasukkan ke dalam devinisi religion versi Barat dan
Allah disamakan dengan Tuhan spekulatif. Jika konsep
Unmoved Mover Aristotle saja ditolak, kita bisa
bayangkan apa reaksi al-Ghazzali ketika mengetahui
tuhan di Barat kini is not longer Supreme Being (Tidak
lagi Maha Kuasa).

Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya
rekayasa akal manusia. Bukti Tuhan ‘harus’ mengikuti
peraturan akal manusia. Ia ‘tidak boleh’ menjadi
tiran, ‘tidak boleh’ ikut campur dalam kebebasan dan
kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam
semesta adalah absurd. Tuhan yang personal dan tiranik
itulah yang pada abad ke19 ‘dibunuh’ Nietzche dari
pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar
manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya
tanpa Tuhan atau bahkan Tuhan tanpa Tuhan. Disini kita
baru faham mengapa Manchester United dengan
penyokongnya itu like religion. Malu mengatakan it’s
really religion but without god.

Kini di Indonesia dan di negeri-negeri Muslim lainnya
cendikiawan Muslim mulai ikut-ikutan risih dengan
konsep Allah Maha Kuasa (Supreme Being). Tuhan tidak
lagi mengatur segala aspek kehidupan manusia. Bahkan
kekuasaan Tuhan harus dibatasi. Benteng pemisah antara
agama dan politik dibangun kokoh. Para kyai dan
cendekiawan Muslim seperti berteriak ”politik Islam
no” tapi lalu berbisik “berpolitik yes”…”money politik
la siyyana”

Tapi ketika benteng pemisah agama dan politik
dibangun, tiba-tiba tembok pemisah agama-agama
dihancurkan. “Ini proyek besar bung!” kata fulan
berbisik. “Ini zaman globalisasi” kata Profesor pakar
studi Islam. Santri-santri diajari berani bilang “ya
Akhi tuhan semua agama itu sama, yang beda hanya
namaNya”. ”Gus! maulud Nabi sama saja dengan maulud
Isa atau Natalan”. Mahasiswa Muslimpun diajari logika
realitas “jangan ada yang menganggap agamanya paling
benar”. Para ulama diperingati “jangan mengatasnamakan
Tuhan”. Kini semua orang “harus” menerima pluralitas
dan pluralisme sekaligus, pluralisme seperi juga
sekularisme dianggap hukum alam. Samar-samar seperti
ada suara besar mengingatkan “kalau Anda tidak
pluralis pasti anda teroris”.

Kini agar menjadi seorang pluralis kita tidak perlu
meyakini kebenaran agama kita. Kata-kata Hamka “yang
bilang semua agama sama berarti tidak beragama”
mungkin dianggap kuno. Kini yang laris manis adalah
konsep global theology—nya F. Schuon. Semua agama sama
pada level esoteris. Di negeri Muslim terbesar di
dunia ini, lagu-lagu lama Nietzche tentang relativisme
dan nihilisme dinyanyikan mahasiswa Muslim dengan
penuh emosi dan semangat. “Tidak ada yang absolut
selain Allah” artinya ‘tidak ada yang tahu kebenaran
selain Allah’. Syari’ah, fiqih, tafsir wahyu, ijtihad
para ulama adalah hasil pemahaman manusia, maka semua
relatif. Walhal, Tuhan tidak pernah meminta kita
memahami yang absolut apalagi menjadi absolut. Yang
relatif pun bisa mengandung yang absolut. Secara
kelakar seorang kawan me mbayangkan di Jakarta nanti
ada papan iklan besar bergambar seorang kyai dengan
latar belakang ribuan santri dengan tulisan singkat
“Yesus Tuhan kita juga”.*

*) Pemimpin Redaksi ISLAMIA, majalah pemikiran dan
peradaban Islam. Penulis kini menyelesaikan S3 nya di
ISTAC (International Islamic Thought and
Civilization), KL. Artikel ini diambil dari Jurnal
ISLAMIA edisi 3 September-Nopember 2004