Berangkat
di kala rembulan masih bertahta dan pulang di saat rembulan kembali ke
singgasana. Kalimat tadi bukanlah sekadar retorika atau terlebih suatu
hiperbolisasi belaka. Sejatinya, itulah deskripsi keseharian yang saya
jalani di sebuah negeri yang jaraknya lima ribu dua ratus tujuh puluh
enam kilometer ke arah timur laut dari ranah asal saya, Indonesia.
Dengan malaikat yang menjadi persaksian atas segala tindak, tanpa ada
maksud untuk tidak mengindahkan segala fitrah seorang perempuan terutama
yang berjejuluk ibu, berbagai peran mesti saya jalani saat ini. Sebagai
seorang ibu, istri, pelajar, dan juga seorang profesional. Meski bukan satu-satunya perempuan di jagad
ini yang mengambil peran seperti itu, tetap saja ini merupakan hal baru
dalam fase kehidupan saya.
Bicara
mengenai seorang ibu, pada hakikatnya memiliki banyak sekali peran yang
harus dilakukan, mulai dari membesarkan dan mendidik anak-anak,
mengurus suami, hingga memelihara kesetimbangan rumah tangga. Peran
tersebut ada karena memang Allah telah menganugerahkan perempuan dengan
kemampuan multitasking yang tidak dimiliki oleh kaum Adam, layaknya yang pernah ditulis oleh John Gray dalam bukunya ‘Men are From Mars, Women are From Venus’.
Namun, terkadang ada juga sebagian ibu yang membutuhkan jasa asisten
rumah tangga untuk dapat mendukung segala kegiatan kerumahtanggaan.
Berbeda halnya dengan para ibu yang berada di perantauan, tiada pilihan
lain melainkan harus benar-benar mengoptimalkan peran sebagai seorang
ibu, pengecualian bagi mereka yang bisa mendapatkan kesempatan
untuk menggunakan asisten rumah tangga.
Saya
pribadi termasuk perempuan yang berada di kategori pertama; yang harus
mengoptimalkan peran sebagai seorang ibu. Waktu yang dalam satu hari
hanya punya dua puluh empat jam, harus benar-benar saya optimalkan agar
semua tanggung jawab bisa terselesaikan. Tanggung jawab saya sebagai
hamba Allah, sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu, sebagai seorang
anak, dan juga sebagai seorang pelajar. Di pagi hari setelah
menyelesaikan tugas rumah dan menyusui bayi saya yang baru berusia lima
bulan, Filzah Hafidzah Shamsuddin, saya harus bergegas untuk berangkat
ke kampus utama yang jaraknya satu jam perjalanan dengan menggunakan
bis. Usai kelas, saya mesti menempuh satu jam perjalanan lagi untuk
pergi ke rumah sakit, tempat saya belajar. Di sela-sela waktu yang ada,
saya manfaatkan untuk memompa ASI, karena saya bertekad untuk memberikan
ASI eksklusif pada Filzah hingga usia enam bulan. Selesai di
sekolah pada sore hari saya lantas bergerak menuju sekolah Filzah yang
tak jauh lokasinya dari rumah sakit untuk menjemputnya. Setibanya di
rumah, tak ayal berbagai pekerjaan rumah seperti, mencuci, memasak, dan
membersihkan rumah telah menanti saya.
Kesemua
hal itu, terkadang membuat lintasan dalam benak saya untuk memiliki
seorang asisten yang dapat membantu saya. Bayangan akan rapihnya rumah
ketika saya pulang, makanan yang sudah terhidang kala saya lapar, kadang
menghinggapi angan. Namun, saat menyadari bahwa kesemua angan tersebut
hanyalah suatu kemustahilan belaka, yang menjadi pengingat saya adalah
sosok Fatimah Azzahra, putri Rasulullah.
Syahdan,
Rasulullah sedang berkunjung ke rumah Fatimah dan mendapatinya sedang
menggiling syari [sejenis padi] dengan penggilingan dari batu seraya
menangis. Rasulullah pun lantas bertanya, apa yang menjadi musabab
sehingga Fatimah begitu bersedih, seperti diketahui bahwa Fatimah
merupakan putri kesayangan beliau. Fatimah pun menjawab bahwa menggiling
syari dan pekerjaan rumah tanggalah yang menyebabkannya menangis.
Kemudian, Fatimah pun memohon kepada ayahnya untuk meminta Ali bin
Thalib, suaminya, mencarikan seorang khadimat [asisten] agar dapat
meringankan pekerjaannya seputar rumah tangga.
Rasulullah
pun lantas merespon permohonan putrinya tersebut dengan sebuah
penolakan. Hal itu bukanlah tanpa sebab karena sekiranya Allah mampu
jika berkehendak, penggilingan syari tersebut berputar sendiri untuk
mengerjakan pekerjaannya, ataupun memberikan kemudahan pada pekerjaan
rumah tangganya. Namun, Allah menghendaki semua kebaikan ditorehkan oleh
tangan Fatimah sendiri. Untuknya, semua keburukan diharapkan dapat
dihapus melalui rutinitas pekerjaan tangga. Jikalau semua amalannya
terus dilakukan dengan ikhlas, maka Allah akan mengampuninya dari
sesuatu yang telah lalu dan dari sesuatu yang akan datang. Rasulullah
pun tak lupa untuk mengggambarkan kemudahan sakaratul maut pula
keindahan taman-taman surgawi jika seorang istri melayani suami dengan
sepenuh hati.
Subhanallah Walhamdulillah Wa Laa Ilahailallahu Allahu Akbar.
Mengingatnya,
selalu saja membuat jiwa ini luluh tak berdaya. Namun, bukan luluh
untuk kemudian layu, melainkan luluh untuk kemudian bangkit. Kelelahan,
pasti akan dirasa raga, dan kelelahan adalah bagian dari kelemahan, maka
iringilah kelemahan dengan tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil
sebagaimana Baginda Rasul pernah bersabda : “Siapa yang merasa lemahnya tetap dalam sunnahKu, maka dia beruntung…”. Semoga.
Deasy Rosalina, DDS
*ditujukan untuk seluruh ibu yang sedang berjuang dalam perantauan di negeri orang, selamat berjihad!*