Rabu, 12 September 2012

MENJADI FATIMAH ( Cerita Bagus untuk Bunda yang tinggal di perantauan)

           Berangkat di kala rembulan masih bertahta dan pulang di saat rembulan kembali ke singgasana. Kalimat tadi bukanlah sekadar retorika atau terlebih suatu hiperbolisasi belaka. Sejatinya, itulah deskripsi keseharian yang saya jalani di sebuah negeri yang jaraknya lima ribu dua ratus tujuh puluh enam kilometer ke arah timur laut dari ranah asal saya, Indonesia. Dengan malaikat yang menjadi persaksian atas segala tindak, tanpa ada maksud untuk tidak mengindahkan segala fitrah seorang perempuan terutama yang berjejuluk ibu, berbagai peran mesti saya jalani saat ini. Sebagai seorang ibu, istri, pelajar, dan juga seorang profesional. Meski bukan satu-satunya perempuan di jagad ini yang mengambil peran seperti itu, tetap saja ini merupakan hal baru dalam fase kehidupan saya.

Bicara mengenai seorang ibu, pada hakikatnya memiliki banyak sekali peran yang harus dilakukan, mulai dari membesarkan dan mendidik anak-anak, mengurus suami, hingga memelihara kesetimbangan rumah tangga. Peran tersebut ada karena memang Allah telah menganugerahkan perempuan dengan kemampuan multitasking yang tidak dimiliki oleh kaum Adam, layaknya yang pernah ditulis oleh John Gray dalam bukunya Men are From Mars, Women are From Venus. Namun, terkadang ada juga sebagian ibu yang membutuhkan jasa asisten rumah tangga untuk dapat mendukung segala kegiatan kerumahtanggaan. Berbeda halnya dengan para ibu yang berada di perantauan, tiada pilihan lain melainkan harus benar-benar mengoptimalkan peran sebagai seorang ibu, pengecualian bagi mereka yang bisa mendapatkan kesempatan untuk menggunakan asisten rumah tangga.

Saya pribadi termasuk perempuan yang berada di kategori pertama; yang harus mengoptimalkan peran sebagai seorang ibu. Waktu yang dalam satu hari hanya punya dua puluh empat jam, harus benar-benar saya optimalkan agar semua tanggung jawab bisa terselesaikan. Tanggung jawab saya sebagai hamba Allah, sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu, sebagai seorang anak, dan juga sebagai seorang pelajar. Di pagi hari setelah menyelesaikan tugas rumah dan menyusui bayi saya yang baru berusia lima bulan, Filzah Hafidzah Shamsuddin, saya harus bergegas untuk berangkat ke kampus utama yang jaraknya satu jam perjalanan dengan menggunakan bis. Usai kelas, saya mesti menempuh satu jam perjalanan lagi untuk pergi ke rumah sakit, tempat saya belajar. Di sela-sela waktu yang ada, saya manfaatkan untuk memompa ASI, karena saya bertekad untuk memberikan ASI eksklusif pada Filzah hingga usia enam bulan. Selesai di sekolah pada sore hari saya lantas bergerak menuju sekolah Filzah yang tak jauh lokasinya dari rumah sakit untuk menjemputnya. Setibanya di rumah, tak ayal berbagai pekerjaan rumah seperti, mencuci, memasak, dan membersihkan rumah telah menanti saya.

             Kesemua hal itu, terkadang membuat lintasan dalam benak saya untuk memiliki seorang asisten yang dapat membantu saya. Bayangan akan rapihnya rumah ketika saya pulang, makanan yang sudah terhidang kala saya lapar, kadang menghinggapi angan. Namun, saat menyadari bahwa kesemua angan tersebut hanyalah suatu kemustahilan belaka, yang menjadi pengingat saya adalah sosok Fatimah Azzahra, putri Rasulullah.

             Syahdan, Rasulullah sedang berkunjung ke rumah Fatimah dan mendapatinya sedang menggiling syari [sejenis padi] dengan penggilingan dari batu seraya menangis. Rasulullah pun lantas bertanya, apa yang menjadi musabab sehingga Fatimah begitu bersedih, seperti diketahui bahwa Fatimah merupakan putri kesayangan beliau. Fatimah pun menjawab bahwa menggiling syari dan pekerjaan rumah tanggalah yang menyebabkannya menangis. Kemudian, Fatimah pun memohon kepada ayahnya untuk meminta Ali bin Thalib, suaminya, mencarikan seorang khadimat [asisten] agar dapat meringankan pekerjaannya seputar rumah tangga.

             Rasulullah pun lantas merespon permohonan putrinya tersebut dengan sebuah penolakan. Hal itu bukanlah tanpa sebab karena sekiranya Allah mampu jika berkehendak, penggilingan syari tersebut berputar sendiri untuk mengerjakan pekerjaannya, ataupun memberikan kemudahan pada pekerjaan rumah tangganya. Namun, Allah menghendaki semua kebaikan ditorehkan oleh tangan Fatimah sendiri. Untuknya, semua keburukan diharapkan dapat dihapus melalui rutinitas pekerjaan tangga. Jikalau semua amalannya terus dilakukan dengan ikhlas, maka Allah akan mengampuninya dari sesuatu yang telah lalu dan dari sesuatu yang akan datang. Rasulullah pun tak lupa untuk mengggambarkan kemudahan sakaratul maut pula keindahan taman-taman surgawi jika seorang istri melayani suami dengan sepenuh hati.
Subhanallah Walhamdulillah Wa Laa Ilahailallahu Allahu Akbar.

             Mengingatnya, selalu saja membuat jiwa ini luluh tak berdaya. Namun, bukan luluh untuk kemudian layu, melainkan luluh untuk kemudian bangkit. Kelelahan, pasti akan dirasa raga, dan kelelahan adalah bagian dari kelemahan, maka iringilah kelemahan dengan tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil sebagaimana Baginda Rasul pernah bersabda : Siapa yang merasa lemahnya tetap dalam sunnahKu, maka dia beruntung…”. Semoga.
 
Deasy Rosalina, DDS
*ditujukan untuk seluruh ibu yang sedang berjuang dalam perantauan di negeri orang, selamat berjihad!*