Minggu, 30 September 2012

Labbaik Allahumma Labbaik…!

Musim haji telah tiba kembali. Dan pelaksanaan ibadah agung yang merupakan rukun Islam kelima itu akan segera berlangsung. Para jamaah pun secara bergelombang sudah pada berangkat untuk menyambut dan memenuhi seruan Allah. Tentu saja kita bergembira dan bersyukur atas besarnya semangat dan luar biasanya antusiasme masyarakat muslim dalam menunaikan perintah agama. Sekaligus tak lupa kita berdoa dan berharap semoga seluruh jamaah dikaruniai keikhlasan, diberi kemudahan dan kelancaran, serta dibimbing untuk memperoleh haji mabrur, yang berbalas surga, dan yang tentu akan memberikan efek perubahan positif, baik bagi diri pribadi dan keluarga masing-masing jamaah secara khusus maupun bagi kehidupan masyarakat serta bangsa dan ummat secara umum. Aamiin!

Tulisan ini tidak untuk membahas tentang hukum-hukum ibadah haji dan umrah. Karena kurang relevan untuk coretan singkat seperti ini. Namun tulisan ini ingin mengajak para pembaca untuk menggali hikmah, ibrah dan pelajaran yang sangat besar dan banyak sekali di balik ibadah suci, sacral dan istimewa ini. Dimana dengan mengambil hikmah, ibrah dan pelajaran itu, kita yang tidak atau belum berkesempatan berhaji-pun tetap bisa mendapatkan barakah dan fadhilah yang sangat besar dari ibadah haji dan umrah. Sedangkan bagi para jamaah haji sendiri, pengambilan hikmah, ibrah dan pelajaran dari manasik haji dan umrah yang insyaallah segera mereka jalankan, akan memberikan nilai lebih dan sekaligus bisa menjadi pembuktian serta penyempurna bagi ke-mabrur-an haji mereka.

Tentu saja banyak sekali hikmah, ibrah dan pelajaran yang bisa kita petik dari haji dan umrah ini. Namun tulisan ini hanya akan menyebutkan tiga saja, yang sangat fundamental dan urgen sekali bagi upaya peningkatan kualitas keislaman dan keistiqamahan kita.

Pertama, ruhut talbiyah (semangat menyambut seruan Allah dan memenuhi panggilan-Nya).
Jamaah haji dan juga umrah, sejak pertama kali berniat ihram, disunnahkan memperbanyak pengucapan talbiyah, yang berupa ucapan: Labbaik allahumma labbaik. Labbaika laa syariika laka labbaik…dan seterusnya, yang berarti: Aku sambut seruan-Mu ya Allah, aku sambut seruan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tiada ilah (tuhan yang berhak diibadahi dengan benar) selain Engkau, aku penuhi panggilan-Mu…

Maka esensi dari bacaan talbiyah di dalam haji dan umrah adalah semangat dan kesiapan menyambut seruan Allah, yang juga biasa dibahasakan dengan kata sami’na wa atha’na, yang bermakna: kami dengar dan kami siap taat.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Sesungguhnya jawaban/sikap orang-orang mukmin, bila diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menegakkan hukum di antara mereka, ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh (taat) dan mereka itulah orang-orang yang beruntung/berbahagia” (QS. An-Nuur [24]: 51).

Nah, betapa indah dan luar biasa seandainya semangat kita dan seluruh kaum muslimin dalam menyambut setiap seruan dan perintah Allah adalah seperti yang kita miliki dalam menyambut seruan untuk berhaji dan berumrah! Bahkan seandainya semangat kaum muslimin dalam menyambut dan memenuhi setiap seruan dan perintah Allah, setara dengan seperempat saja misalnya dari semangat dan antusiasme mereka dalam berhaji dan berumrah, niscaya tuntaslah seluruh masalah ummat dan bangsa ini! Namun sayang sekali, kita sering tidak sadar bahwa, faktanya selama ini kita masih diskriminatif dalam menyikapi seruan-seruan dan perintah-perintah Allah Ta’ala! Maka mari menyambut setiap seruan dan perintah Allah dengan ruh labbaik allahumma labbaik dan semangat sami’na wa atha’na!

Kedua, ruhul ‘ibadah lil ibadah (semangat ibadah untuk ibadah, atau baca: totalitas ibadah).
Jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah asasi yang lainnya, maka akan didapati bahwa, haji dan umrah dengan seluruh rangkaian manasiknya adalah merupakan praktik ibadah ritual yang paling jauh dari penalaran logika dan akal. Namun toh setiap jamaah tetap saja bersemangat dalam menjalankannya. Ini hikmah dan pelajaran yang sangat penting yang mengingatkan kita semua bahwa, yang harus menjadi dasar dan motivasi utama dalam menjalankan setiap ibadah, khususnya yang bersifat ritual, adalah iman dan bukan rasio atau logika.

Di samping ini juga menyadarkan dan menegaskan tentang kesalahan dan bahkan penyimpangan orientasi sebagian kalangan yang biasa atau cenderung melogika-logikan (baca: mengedepankan dan mendominankan logika) ibadah-ibadah ritual Islam! Sehingga ketika kita ditanya misalnya, untuk apa melakukan semua amalan yang tidak logis itu? Maka jawaban terbaiknya adalah: kita melakukan itu semua atas dasar iman dan untuk tujuan ibadah kepada Allah. Karena kita adalah hamba-hamba Allah yang harus membuktikan penghambaan diri kita kepada-Nya. Dan karena Allah menciptakan kita hanya untuk beribadah kepada-Nya saja.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan hanya supaya mereka beribadah/mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 56).
Jadi itulah syi’ar kita: Al ‘Ibadah lil ‘ibadah! Beribadah untuk tujuan ibadah itu sendiri!

Ketiga, ruhut tadhiyah (semangat atau jiwa pengorbanan).
Haji dan umrah juga merupakan ibadah yang menuntut beragam pengorbanan yang tidak kecil, seperti pengorbanan harta, tenaga, waktu, mental dan masih banyak lagi yang lainnya, bahkan terkadang harus siap berkorban nyawa segala. Dimana tanpa adanya kesiapan berkorban dengan semua pengorbanan itu, seseorang tidak akan bisa sampai ke Tanah Suci untuk memenuhi panggilan ilahi. Mungkin karena itu, Rasululah shallalahu ‘alaihi wasallam menyebut haji dan umrah sebagai jihad tanpa pertempuran , khususnya bagi kaum perempuan, bahkan Beliau shallalahu ‘alaihi wasallam sampai menyebutnya sebagai bentuk jihad yang paling utama (lihat HR. Ahmad dan Ibnu Majah, juga HR. Al-Bukhari, keduanya dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha).

Dan ibrah penting yang harus kita ambil disini adalah bahwa, setiap penunaian perintah dan syariat Allah menuntut pengorbanan. Sehingga tanpa adanya semangat dan kesiapan berkorban, jangan harap dienul-Islam bisa tegak dan eksis di muka bumi ini. Maka siapkah kita selalu berkorban?
Itulah tiga hikmah dan ibrah penting yang diharapkan bisa menjadi bagian dari “oleh-oleh” paling berharga dari haji dan umrah, tidak hanya bagi jamaah haji saja, tapi juga bagi kita semua. Semoga!


Senin, 24 September 2012

Suasana di Mekah & Madinah


Hambamu datang menyahut panggilanmu, 
Tidak ada sekutu bagimu, 
Hambamu datang menyahut panggilanmu

Sesungguhnya segala pujian
Dan nikmat
Dan pemerintahan adalah kepunyaanmu
Tidak ada sekutu bagimu


Ya Allah aku merindu BaitullahMu, 
Jemputlah aku untuk ke sana lagi.
Beberapa tahun yang lalu saya amat tersentuh dengan panggilan itu.
Mengharapkan Kad jemputan untuk ke situ. Dari Dia yang Esa.
Yang Maha Kaya. Yang mencipta alam semesta.

Setiap kali ia berkumandang, 

hati tertanya-tanya,"Adakah aku juga bakal menjadi tetamu-Nya?
Apakah sempat untuk aku bertaubat?
Apakah dapat tangisanku tumpah di bawah lembayung kaabah?"

"Ya Allah, jemputlah daku ke rumah-Mu.

Jemputlah aku datang bertandang untuk menjadi tetamu-Mu yang paling istemewa.
Gajiku kecil, amalanku kurang, ilmuku cetek...namun,
aku ingin jua ke sana. Datangku dari ceruk pelusuk bumi-Mu.
Kerdil. Membawa dosa beribu, tidak tertanggung oleh bahuku.."

"Wahai Tuhan, jemputlah daku..jemputlah daku."
Yang Maha Esa telah mendengar rintahan hati nuraniku 
dan telah menjemput aku Baitullah untuk mengerjakan ibadat di Tanah Suci. 
Dengan izin Allah setiap tahun aku kesana untuk mengerjakan ibadat umrah
tapi pada tahun ini aku tidak dapat ke sana kerana sebab2 tertentu.
InsyaAllah pada tahun depan aku akan ke sana lagi andai umurku panjang
dan Allah menjemput aku jadi tetamunya.
Doakan supaya aku dapat ke baitullah lagi, amin.
Sayunya hati ini setiap kali mendengar kalimah "Labbaik Allahuma Labbaik", 
hati ini amat merindui baitullahMu Ya Allah. 
Jemputlah hambamu, para muslimin
dan muslimat seluruh dunia ke Tanah Suci yang di situ adanya BaitullahMU
untuk melihat kebesaranMu Ya Allah, amin.
Nukilan Hati
Naim
 
Kalau selipar hilang di masjid nabawi….
 
DSCN9433.JPG
 
Beli survenior nak bawak balik di….
 
everthing2riyal.bmp
 
Lontar tak masuk jugak…tak taulah… punyalah besar….
 
h06_17284941.jpg
 
Mina….. Mana tak sesat…..
 
h08_17294125.jpg
 
Wheelchairs melambak kat masjidil haram… kat dinding Istana
 
1062243-Wheel_Chairs-Mecca.jpg
 
Ration tabung haji (muasasah)….. sila jemput makan…
 
16.bmp
 
Jangan berebut2 nak masuk raudah..   Malay is a second language in Tanah Haram
 
21032009(010).jpg
 
Solat jumaat di Masjidil haram…. Every inch of space counts…..
 
3073327853_ef4702b6f3_b.jpg
 
Menuju jamrah….. dikedinginan pagi….
 
3095592524_35d9c69447_b.jpg
 
Kurma hidup…..
 
3242817-medina_dates-Medina.jpg
 
Qarnulmanazil… . Miqat orang Malaysia …..
 
3336889623_977a769c3a.jpg

 
Rgds,
ZAIHANA BINTI KHAMIS Customer Care Officer - MTVP Unit
Singapore Telecommunication Ltd

Do'akan saudaramu di saat dia tidak mengetahuinya


 
Do’akanlah Saudaramu di Saat Dia Tidak Mengetahuinya

 doa-mustajab
Inilah mungkin yang banyak dilupakan oleh banyak orang atau mungkin belum diketahui. Padahal di antara do’a yang mustajab (terijabahi/ terkabul) adalah do’a seorang muslim kepada saudaranya.
Hadits pertama
Dari Abu Bakar Ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
"إن دعوة الأخ في الله تستجاب"
Sesungguhnya do’a seseorang kepada saudaranya karena Allah adalah do’a yang mustajab (terkabulkan) .
(Shohih secara sanad)
Hadits kedua
Dari Shofwan bin ‘Abdillah bin Shofwan –istrinya adalah Ad Darda’ binti Abid Darda’-, beliau mengatakan,
قدمت عليهم الشام، فوجدت أم الدرداء في البيت، ولم أجد أبا الدرداء. قالت: أتريد الحج العام ؟ قلت : نعم. قالت: فادع الله لنا بخير؛ فإن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول
“Aku tiba di negeri Syam. Kemudian saya bertemu dengan Ummud Darda’ (ibu mertua Shofwan, pen) di rumah. Namun, saya tidak bertemu dengan Abud Darda’ (bapak mertua Shofwan, pen). Ummu Darda’ berkata, “Apakah engkau ingin berhaji tahun ini?” Aku (Shofwan) berkata, “Iya.”

Ummu Darda’ pun mengatakan, “Kalau begitu do’akanlah kebaikan padaku karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,”
: "إن دعوة المرء المسلم مستجابة لأخيه بظهر الغيب، عند رأسه ملك موكل، كلما دعا لأخيه بخير، قال: آمين، ولك بمثل". قال: فلقيت أبا الدرداء في السوق، فقال مثل ذلك، يأثر عن النبي صلى الله عليه وسلم.
“Sesungguhnya do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah doa’a yang mustajab (terkabulkan) . Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.”
 
Shofwan pun mengatakan, “Aku pun bertemu Abu Darda’ di pasar, lalu Abu Darda’ mengatakan sebagaimana istrinya tadi. Abu Darda’ mengatakan bahwa dia menukilnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Shohih) Lihat Ash Shohihah (1399): [Muslim: 48-Kitab Adz Dzikr wad Du’aa’, hal. 88]

Hadits ketiga
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, beliau berkata bahwa seseorang mengatakan,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى وَلِمُحَمَّدٍ وَحْدَنَا
“Ya Allah ampunilah aku dan Muhammad saja!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
لَقَدْ حَجَبْتَهَا عَنْ نَاسٍ كَثِيرٍ
“Sungguh engkau telah menyempitkan do’amu tadi dari do’a kepada orang banyak.”
(Shohih) Lihat Al Irwa’ (171): [Bukhari: 78-Kitab Al Adab, 27-Bab kasih sayang terhadap sesama manusia dan terhadap hewan ternak, dari Abu Hurairah]

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits-hadits di atas

Pertama: Islam sangat mendorong umatnya agar dapat mengikat hubungan antara saudaranya sesama muslim dalam berbagai keadaan dan di setiap saat.
Kedua: Do’a seorang muslim kepada saudaranya karena Allah di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang sangat utama dan do’a yang akan segera terijabahi (mustajab). Orang yang mendo’akan saudaranya tersebut akan mendapatkan semisal yang didapatkan oleh saudaranya.

 

Ketiga: Ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’a seorang muslim kepada suadaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya.

Keempat: Malaikat tidaklah mengaminkan do’a selain do’a dalam kebaikan.

Kelima: Sebagaimana terdapat dalam hadits ketiga di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari Arab Badui di mana dia membatasi rahmat Allah yang luas meliputi segala makhluk-Nya, lalu dibatasi hanya pada dirinya dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.

Inilah beberapa pelajaran berharga dari hadits di atas. Janganlah lupakan saudaramu di setiap engkau bermunajat dan memanjatkan do’a kepada Allah, apalagi orang-orang yang telah memberikan kebaikan padamu terutama dalam masalah agama dan akhiratmu.

Semoga Allah selalu menambahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat.
Rabu, 02 September 2009 14:50 Muhammad Abduh Tuasikal Belajar Islam - Amalan
 

Ust. Yusuf Mansur /penyejuk hati/
Ya Allah, ampunilah kami, orang tua kami, anak-anak kami, guru-guru kami, saudara-saudara seagama, sahabat-sahabat kami, orang-orang yang mencintai kami karena Engkau, orang-orang yang berbuat baik kepada kami dan bagi kaum muslimin muslimat, mukminin dan mukminat, wahai Tuhan penguasa alam semesta. Sesungguhnya Engkau Maha mendengar doa. Amin
Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memelihara wajah kami dari sujud kecuali kepada-Mu, Ya Allah peliharalah wajah kami dengan kemudahan rezeki dan jangan Engkau merendahkan kami dengan kesempitan rezeki-Mu. Maka peliharalah diri kami dari meminta-minta hajat kami kecuali kepada-Mu dengan kemurahan dan kaunia-Mu. Wahai dzat yang paling penyayang. Amin
Wahai Dzat Yang Maha Hidup, Wahai Dzat yang terus menerus mengurus makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu kami mohon pertolongan, terimalah doa kami, Wahai Tuhan Sekalian Alam. Amin
Ya Allah, peliharalah kami dari musibah yang Engkau turunkan, berikanlah kami nikmat-nikmat-Mu dan jadikanlah kami hamba-hamba yang mendapatkan kebaikan, bukan hamba-hamba yang mendapat ujian, dengan rahmat-Mu, Wahai yang paling penyayang diantara yang penyayang. Anugerahkan kepada kami kesehatan lahir dan bathin. Amin
Wahai Yang Maha Lembut, Tuhanku, ampunilah aku dan terimalah tobatku. Sesungguhnya Engkau Maha Menerima tobat lahi Maha Penyayang.Amin
Ya Allah, yang melepaskan kesulitan, yang menghilangkan kesedihan, yang memenuhi permohonan orang-orang yang dalam keadaan terpaksa, Yang Maha Pengasih dan Penyayang di dunia dan akhirat.
Kepada yang sakit semoga Allah angkat penyakitnya, semoga Allah angkat dosa-dosanya, dan syurga sebagai balasan atas kesabarannya...Amiin

__._,_.___
.

__,_._,___

Motivation

Subhanallah dan alampun memotivasi kita....
INTERESTING…This is Cute...


When someone tells you that you can't do something...
Look around...

Consider all options....
                             Then GO for it!

Use all the things God gave you!

Be creative!


In the end, you will succeed and
prove them wrong!

Always remember

'Nothing is impossible
         if your heart is willing!


Minggu, 23 September 2012

Indahnya hujan

** Indahnya hujan **

Antara rahmat  yang Allah curahkan


Firman Allah s.w.t Yang Bermaksud:

"Dialah yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu,sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya yang lain menyuburkan tumbuh-rumbuhan yang pada (tempat tumbuhnya) kamu mengembala ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan tersebut tanam-tanaman zaitun,kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda ( kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikir." (An-Nahl:10- 11)

Betapa cantik titisan air hujan yang jatuh ke bumi kemudiannya bersatu kembali dan mengalir menuju sungai dan lautan tanpa menggangu penghidupan manusia. Inilah satu cara terindah yang dilakukan oleh Allah bagi memenuhi keperluan hamba-hambaNya. Oleh itu hendaklah kita sedar terhadap rahmat Allah. Zat yang Maha lembut kepada hamba-hambaNya dan sentiasa mengatur kerajaanNya dengan penuh kebijaksanaan.

Kita juga hendaklah menyedari bahawa rahmat yang agung ini ada-lah kurnia Allah yang sangat besar yang dapat kita rasakan dan kita renungi keluasan nikmat serta keagungan ciptaanNya.


Dari: Shania Opal
Topik: ((Tmn2Syurga)) Indahnya Hujan!!

Bashirah : Prof. Dr. Achmad Mubarok MA

Bashirah

By: Prof. Dr. Achmad Mubarok MA

Bahasa mengenal istilah hati nurani atau kata hati atau hati kecil untuk menyebut kejujuran seseorang atas diri sendiri. Kata nurani berasal dari bahasa Arab yang artinya cahaya, dan  (nurani) artinya sejenis cahaya atau yang bersifat cahaya, sehingga hati nurani dapat  disebut sebagai cahaya hati atau lubuk hati yang terdalam. Dalam bahasa Arab, hati nurani dalam konteks tersebut disebut bashirah.
  
Dalam bahasa Arab, berarti jendela hati, jika artinya pandangan dan lintasan hati sedangkan kata, jika dikaitkan dengan nama Tuhan maka artinya Allah mampu melihat sesuatu secara total, yang tampak maupun yang tidak tampak tanpa memerlukan alat.  Jika dihubungkan dengan manusia, maka mempunyai empat arti, yaitu (a) ketajaman hati,  (b) kecerdasan, (c) kemantapan dalam agama, dan (d) keyakinan hati dalam hal agama dan realita. Meskipun juga mengandung arti melihat, tetapi jarang sekali kalimat tersebut digunakan dalam literatur Arab untuk indra penglihatan tanpa disertai pandangan hati.  Dengan demikian, maka hati nurani dapat dipahami sebagai pandangan mata hati sebagai lawan dari pandangan mata kepala.

Bashirah dalam arti nurani diisyaratkan dalam surat al-Qiyamah 14-15:
  
Bahkan manusia itu mampu melihat diri sendiri, meskipun dia masih mengemukakan alasan-alasannya (Q., s. al-Qiyamah / 75:14-15).

Sebagian mufasir, antara lain al-Farra', Ibn 'Abbas, Muqatil dan Sa'id ibn Jabir menafsirkan bashirah pada ayat ini sebagai mata batin,  seperti yang dikutip oleh al-Maraghi, dan Fakhr al-Razi menafsirkan dengan akal sehat.  Menurut Ibn Qayyim al-Jawzi, bashirah adalah cahaya yang ditiupkan Allah ke dalam Qalb, oleh karena itu ia mampu memandang hakikat kebenaran seperti pandangan mata.
  
Jika dikaitkan dengan sistem nafs manusia, maka arti bashirah yang tepat adalah seperti yang dipaparkan al-Farra’ dan Fakhr al-Razi, yaitu mata batin atau akal sehat. Akal yang sehat jika digunakan secara optimal memungkinkannya mencapai kebenaran, karena ia memiliki kekuatan yang sama dengan pandangan mata batin, dan itu akan muncul secara optimal pada orang yang memiliki.
  
Jika dibandingkan dengan qalb, maka hati nurani memiliki pandangan yang lebih tajam dan konsisten. Pada surat al-Qiyamah / 75:14-15 di atas disebutkan bahwa bashirah itu tetap bekerja melihat meskipun manusia masih mengemukakan alasan-alasannya. Ayat ini sebenarnya juga mengisyaratkan karakter qalb yang tidak konsisten, yang meskipun mengerti kebenaran tetapi masih berusaha mengelak dengan mengemukakan alasan-alasan. Jadi hati nurani tetap jujur dan konsisten meskipun hati manusia masih berusaha untuk menutup-nutupi kesalahannya atau berdalih dengan berbagai alasan. Kekuatan konsistensi bashirah adalah sangat wajar, karena seperti dikatakan oleh Ibn al-Qayyim al-Jawzi bahwa bashirah itu adalah nur Allah yang ditiupkan ke dalam qalb.
  
Bashirah atau hati nurani bukan hanya diperlukan untuk introspeksi diri, tetapi juga untuk secara jujur memahami dan mengakui kebenaran agama. Dalam surat Yusuf / 12:108 disebutkan:

Katakanlah, inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku, mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata (bashirah) (Q., s. Yusuf / 12:108).     

Ibn katsir menafsirkan bashirah dalam ayat ini dengan mengatakan bahwa kebenaran agama Allah ini merupakan keyakinan yang bisa diuji dengan bashirah, baik dengan pendekatan syar'i  maupun 'aqli.
  
Dari keterangan al-Qur'an menyangkut nafs maka struktur bashirah dalam sistem nafs dapat digambarkan sebagai berikut; Manusia memiliki dimensi rohani yang terdiri dari nafs,'aql, qalb, ruh dan bashirah. Nafs diibaratkan sebagai ruangan yang sangat luas dalam alam rohani manusia. Dari dalam nafs itulah manusia digerakkan untuk menangkap fenomena yang dijumpai, menganalisisnya dan mengambil keputusan. Kerja nafs dilakukan melalui jaringan qalb, ‘aql, dan bashirah, tetapi semua itu baru berfungsi ketika roh berada dalam jasad dan fungsi kejiwaan telah sempurna.
  
Qalb merupakan bagian dalam nafs yang bekerja memahami, mengolah, menampung realitas sekelilingnya memutuskan sesuatu. Sesuai dengan potensinya maka qalb merupakan kekuatan yang sangat dinamis, tetapi ia temperamental, fluktuatif, emosional dan pasang surut. Untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadap, qalb bekerja dengan jaringan akal, tetapi kondisi qalb dan akal seringkali tidak optimal sehingga masih dimungkinkan terkontaminasi oleh pengaruh syahwat, atau dorongan kepada hal-hal yang bersifat negatif, dan dalam keadaan demikian, 'aql dan qalb dapat melakukan belahan metal, yakni memandang sesuatu yang salah, dengan alasan-alasan yang dibuatnya, seakan-akan yang salah satu itu wajar. Bashirah bekerja mengkoreksi penyimpangan yang dilakukan oleh qalb dan 'aql. Dapat juga disebutkan bahwa kondisi qalb dan ‘aql yang tingkat kesehatannya optimum itulah yang disebut hati nurani atau bashirah.

Sumber, http://mubarok- intitute. blogspot. com

Wassalam,
agussyafii






Kisah yang bagus


 

 
 
 
 
 
 
 
Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap
harinya
selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya,
Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu
pembohong,
dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan
dipengaruhinya.

Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan
makanan,
dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang
dibawanya
kepada pengemis itu sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang
menyuapinya
itu adalah Rasulullah SAW. Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari
sampai beliau wafat.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, tidak ada lagi orang yang membawakan
makanan setiap
pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari sahabat terdekat
Rasulullah SAW yakni
Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang tidak lain tidak
bukan merupakan
isteri Rasulullah SAW dan beliau bertanya kepada anaknya itu,Anakku,
adakah kebiasaan
kekasihku yang belum aku kerjakan?

Aisyah RA menjawab,Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan
hampir tidak ada
satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu saja.
Apakah Itu?, tanya Abubakar RA.
Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan
membawakan
makanan untuk
seorang pengemis Yahudi buta yang ada disana, kata Aisyah RA.

Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk
diberikan kepada
pengemis itu. Abubakar RA mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan
itu kepadanya.
Ketika Abubakar RA mulai menyuapinya, sipengemis marah sambil menghardik,
Siapakah kamu?
Abubakar RA menjawab,Aku orang yang biasa (mendatangi engkau).
Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku, bantah si
pengemis
buta itu.

Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak
susah mulut ini mengunyah.
Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku,
tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut,
setelah itu ia berikan padaku, pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata
kepada pengemis itu,
Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah
seorang
dari sahabatnya,
orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW.

Seketika itu juga pengemis itu pun menangis mendengar penjelasan Abubakar
RA, dan kemudian berkata,
Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya,
ia tidak pernah memarahiku sedikitpun,
ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia....


Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA
saat itu juga
dan sejak hari itu menjadi muslim.

Nah, wahai saudaraku, bisakah k ita meneladani kemuliaan akhlaq Rasulullah
SAW?
Atau adakah setidaknya niatan untuk meneladani beliau?
Beliau adalah ahsanul akhlaq, semulia-mulia akhlaq.

Kalaupun tidak bisa k ita meneladani beliau seratus persen, alangkah
baiknya k ita berusaha
meneladani sedikit demi sedikit, k ita mulai dari apa yang k ita sanggup
melakukannya.

Sebarkanlah riwayat ini ke sebanyak orang apabila kamu mencintai
Rasulullahmu...

Sadaqah Jariah salah satu dari nya mudah dilakukan, pahalanya?
MasyaAllah....macam meter taxi...jalan terus.


Sadaqah Jariah - Kebajikan yang tak berakhir.

1. Berikan al-Quran pada seseorang, dan setiap dibaca, Anda mendapatkan
hasanah.

2. Sumbangkan kursi roda ke RS dan setiap orang sakit menggunakannya, Anda
dapat hasanah.

4. Bantu pendidikan seorang anak.

5. Ajarkan seseorang sebuah do'a. Pada setiap bacaan do'a itu, Anda dapat
hasanah.

6. Bagi CD Quran atau Do'a.

7. Terlibat dalam pembangunan sebuah mesjid.

8. Tempatkan pendingin air di tempat umum.

9. Tanam sebuah pohon. Setiap seseorang atau binatang berlindung
dibawahnya, Anda dapat hasanah.

10. Bagikan pesan ini dengan orang lain. Jika seseorang menjalankan salah
satu dari hal diatas,
Anda dapat hasanah sampai hari Qiamat.

Aminnnnnn...
 
 

 
 
 



Bercerita Tentang Bahagia









Bila berkata tentang bahagia, sudah pasti setiap insan menyukai dan mengimpikannya. Kebahagiaan adalah merupakan sebuah perasaan yang sangat sukar diungkapkan. Dan ia bersifat sangat subjektif.

Berdasarkan definisi di dalam Kamus Dewan, edisi ketiga, bahagia membawa maksud: “suasana senang dan aman, aman damai, serta gembira”.

Bahagia sebenarnya lebih bersifat subjektif, sebuah perasaan yang lahir dari dalam lubuk hati, membawa sebuah pengertian yang sangat bermakna. Bahagia dicapai apabila seseorang itu merasa sebuah kepuasan, gembira, kecukupan, serta penuh kesyukuran dan keredhaan.

Kebahagian adalah milik semua. Bahagia tidak hanya dimiliki oleh mereka yang kaya raya dan berharta. Kerana boleh sahaja, orang yang kaya raya tidak bahagia kerana runsing dengan keselamatan hartanya yang bertimbun.

Tidak kurang juga dengan keadaan manusia yang sehari-harinya penuh dengan keletihan disebabkan sibuk mengejar harta dan kerjaya. Tiada lagi masa untuk duduk bersama keluarga, isteri mahu pun suami. Sehinggakan hubungan cinta menjadi hambar.

Bahagia juga belum tentu dapat dicapai dengan memiliki sebuah kediaman yang mewah dan indah. Kerana boleh sahaja, rumah besar itu hanya mejadi penjara baginya yang penuh dengan kesunyian tanpa hiburan. Ibarat seekor burung yang terkurung di dalam sangkar emas.

Bahagia juga belum tentu dimiliki dengan memiliki pasangan (suami/isteri) yang tampan atau cantik rupawan. Kerana ketampanan dan kecantikan itu akan menghilang ditelan waktu.

Di antara faktor-faktor lain yang mungkin menyumbang kepada kenikmatan hidup sekaligus faktor menuju bahagia adalah faktor kesihatan, kecukupan makanan, kasih sayang, serta suasana persekitaran. Namun, cukupkah hanya dengan ini sahaja?

Maka dengan itu, sebuah kebahagian belum tentu dapat dicapai hanya dengan beberbekalkan harta yang melimpah ruah, kerja yang lumayan hasilnya, kediaman yang mewah, serta rupa fizikal yang menawan semata-mata. Jadi, bagaimanakah hakikat bahagia yang menjadi idaman dan kejaran seluruh manusia yang hidup itu?

Jika kita kembali kepada agama, sebenarnya kebahagiaan itu hanya dapat diraih dan dinikmati oleh mereka yang sentiasa berpegang teguh dengan prinsip-prinsip agama bagi setiap urusan yang mereka lakukan untuk perjalanan hidup mereka. Apabila mereka meletakkan prinsip-prinsip agama sebagai keutamaan, di sini mereka telah meletakkan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai keutamaan mereka. Mereka sentiasa bersyukur dengan nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada mereka dan dengannya mereka bersikap qana’ah atau sentiasa merasa cukup serta berpuas hati (redha).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (maksudnya):

“(Iaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Surah ar-Ra’d, 13: 28)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda (maksudnya):

“Sesiapa di antara kamu yang merasa aman dirinya, sihat tubuhnya dan cukup persediaan makanan rutinnya pada hari tersebut, seakan-akan dia telah diberi semua kenikmatan dunia.” (Hadis Riwayat at-Tirmidzi. Hadis ini hasan menurut penilaian al-Albani di dalam Silsilah Hadis ash-Shahihah)

Rasulullah juga turut menjelaskan bahawa kekayaan itu bukanlah dicapai dengan banyaknya harta yang menimbun, tetapi ia dicapai dengan kayanya hati.

“Kaya itu bukanlah diukur dengan banyaknya harta benda, akan tetapi kaya yang sebenarnya adalah kaya hati.” (Hadis Riwayat al-Bukhari)

Orang yang kaya hatinya, dia sentiasa memiliki sifat qana’ah dengan menerima apa yang Allah berikan. Dia sentiasa redha dan merasa puas di atas usahanya. Tidak memiliki rasa tamak untuk mengejar sesuatu dengan berlebih-lebihan tanpa keperluan. Dan dia juga tidak rakus mengejar dunia serta tidak pula meminta-minta. Seolah-olah dia sentiasa memiliki kecukupan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda (maksudnya):

“Benar-benar beruntung orang yang telah memeluk Islam, mereka diberi kecukupan rezeki dan qana’ah di dalam menerima apa jua pemberian Allah terhadapnya.” (Hadis Riwayat Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berpesan kepada kita supaya sentiasa melihat siapa yang berada di bawah kita dan dari mereka yang kurang bernasib baik berbanding apa yang telah kita miliki. Dan bukannya dengan melihat kekayaan yang dimiliki oleh orang yang mewah berbanding diri kita.

“Lihatlah orang yang berada di bawahmu, dan jangan melihat kekayaan orang yang di atasmu, perkara itu lebih baik sehingga engkau tidak meremehkan nikmat Allah.” (Hadis Riwayat Muslim)

Pesanan Rasulullah ini sebenarnya bertujuan mengajak kita untuk sentiasa merasa bersyukur dengan segala kemampuan dan hasil yang kita usahakan serta perolehi. Sekaligus menjauhkan kita dari merasa kurang bernasib baik dan bersikap tamak.

Selain itu, tidak dapat dinafikan bahawa kehidupan yang baik adalah sangat merujuk kepada kehidupan berkeluarga iaitu dengan memiliki isteri yang baik, anak-anak dan keperluan berkaitan dengannya.

Kerana Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman (maksudnya):

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia itu kecintaan kepada apa-apa yang diingini, iaitu: wanita-wanita (isteri), anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (syurga).” (Surah Ali Imran, 3: 14)

Dengan itu, bagi sesebuah keluarga, suami dan isteri hendaklah sentiasa berkasih sayang, tolong-menolong dan saling memahami di dalam setiap hal-ehwal urusan kehidupan mereka. Mereka saling mengerti tugas dan hak masing-masing berdasarkan apa yang telah digaris-pandukan oleh agama. Setiap pihak sentiasa berusaha memberikan kebahagiaan, keceriaan, ketenteraman, dan kehangatan cinta sesama mereka.

Rumahtangga yang bahagia yang dibina di atas landasan agama ia akan membawa pasangan suami isteri tersebut kebahagiaan yang berkekalan sehingga ke syurga yang penuh kenikmatan. Ini dapat diraih apabila mereka menjadikan rumah tangga mereka sebagai medan meraih keredhaan dan mengejar cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dalam persoalan ini, si suami selaku ketua keluarga bertangungjawab mengemudi keluarga yang dibinanya bagi tujuan menuju kebahagiaan tersebut. Ini dapat dicapai apabila suami sentiasa bergaul, tahu mengambil hati, melahirkan rasa kemesraan, memupuk rasa mencintai dan memenuhi keperluan mereka dengan baik, dan dia sentiasa berusaha memibimbing isteri-isteri dan anak-anaknya kepada perkara yang dicintai oleh Allah.

Dengan kefahaman agama yang teguh dan satu di antara ahli keluarga, kebahagian akan dapat diraih dengan baik disebabkan mereka memiliki satu kefahaman yang teguh secara bersama. Mereka menuju fokus yang satu, iaitu keredhaan Allah semata. Sekaligus, ia bakal melahirkan generasi yang cemerlang di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang jauh dari perasaan dengki, hasad, tamak, dan benci. Sebaliknya, hidup mereka dipenuhi dengan tauhid, kasih sayang, saling mencintai, kesyukuran dan kemesraan yang berpanjangan.

Di antara faktor-faktor lain yang mendorong kebahagiaan bagi sesebuah kehidupan adalah sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melalui hadisnya:

“Empat (4) perkara yang mendatangkan kebahagiaan adalah, 1 – Isteri yang solehah, 2 – Rumah yang luas, 3 – Jiran tetangga yang soleh (baik), dan 4 – Kenderaan yang selesa.

Dan empat (4) perkara yang mendatangkan kesengsaraan adalah:

1 - Isteri yang buruk akhlaknya, 2 – Jiran tetangga yang jahat, 3 - Kenderaan yang buruk, dan 4 – rumah yang sempit (tidak selesa).”
(Hadis Riwayat Ibnu Hibban. Hadis daripada Sa‘ad bin Abi Waqas radiyallahu ‘anhu, dinilai sahih oleh Syu‘aib al-Arna’uth di dalam Sahih Ibn Hibban. Juga dinilai sahih oleh al-Albani di dalam Silsilah Hadits ash-Shahihah)

Dari hadis ini, yang dimaksudkan dengan isteri yang solehah, sudah tentu isteri yang memahami persoalan agama dengan baik, mengamalkan ilmunya (taat) dan sangat komited dengan kedudukannya sebagai seorang isteri.

Rumah yang luas adalah rumah yang sentiasa terisi dengan sifat qana’ah, terisi dengan aktiviti yang dicintai Allah, suasana yang tenteram dan ceria, dan kemudahan yang baik.

Kenderaan yang selesa adalah sebuah sarana yang sangat penting bagi tujuan kelancaran pengangkutan dan hal-ehwal urusan serta tugas seharian.

Jiran tetangga yang baik adalah merujuk kepada soal pergaulan yang baik dan kehidupan bermasyarakat di atas etika syari’at yang betul.

Dengan itu, apa yang sebaliknya adalah merujuk kepada unsur-unsur yang mampu mendatangkan keburukkan sekaligus jauh dari nilai-nilai sebuah kebahagiaan.

Dan sebagai mengakhiri tulisan ini, penulis meletakkan fokus bahawa sebenar-benar kebahagiaan itu adalah kebahagiaan yang dibina di atas keredhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sekaligus menjamin kehidupan bahagia yang berkekalan sehingga ke akhirat.

Kerana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (maksudnya):

“Orang-orang yang beriman dan beramal soleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.” (Surah ar-Ra’d, 13: 29

Dalam sepotong ayat dan hadis ada menerangkan:

"Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan itu hanyalah orang-orang yang tidak beriman dengan ayat-ayat Allah dan merekalah pembohong-pembohong." (An-Nahl ayat 105)

"Barangsiapa mengatakan dariku apa yang aku tidak katakan, maka hendaklah Ia bersedia mengambil tempatnya dari Neraka."(HR: Az-Zahabi dlm Al-Kabair.)

Topik: ((Tmn2Syurga)) Bercerita Tentang Bahagia
Nawawi B. Subandi,
Rawang Putra.
http://an-nawawi. blogspot. com

.

MAHALNYA PERKAHWINAN BILA ADA KETENANGAN

dihantar oleh: sharmerlyana

“Mahalnya sebuah perkahwinan adalah pada qurratu a’yun iaitu hadirnya
pasangan dan anak-anak yang menyejukkan pandangan mata hingga lahirnya
ketenangan. Ketenangan ini yang paling mahal. Sebab itu dikatakan "rumahku
syurgaku", kata perunding motivasi Dr. Shafie Md Amin al-Hafiz.

Ketenangan memang dicari-cari oleh manusia. Bagi seorang lelaki misalnya,
apabila hendak mendirikan rumah tangga, fitrah hatinya inginkan seorang
wanita yang solehah sebagai teman hidup kerana, menurut Dr. Shafie, “wanita
solehahlah yang dapat melahirkan ketenangan dalam rumah tangga. ”

Isteri yang solehah, ujarnya, akan menjana aktiviti amal soleh di dalam
rumah tangga yang menjadi saluran Allah datangkan ketenangan atau kehidupan
yang baik.
Firman Allah: “Siapa yang mengerjakan amal soleh, baik lelaki atau
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik…”
(An-Nahl: 97)

Isteri yang solehah juga menyejukkan pandangan mata, sekaligus menenangkan
jiwa.
“Dalam berumah tangga, kita hendakkan kehidupan yang lapang dan tenang.
Tapi kenapa rumah tangga jadi sempit?” soal Dr. Shafie, pengasas Kaedah
Al-Huffaz, teknik mudah menghafaz al-Quran.

Beliau berkata, sempitnya rumah tangga disebabkan kita tidak ikut formula
yang Allah beri dalam mengatur kehidupan. “Dalam memberi ketenangan, Allah
tidak beri begitu saja. Ada formula, ada peraturannya,” ungkapnya dalam
pertemuan di pejabatnya di Taman Nirwana, Ampang, Selangor.

Jelas Dr. Shafie, secara umumnya hati akan tenang bila ingat Allah.
“Ketahuilah, dengan mengingati Allah hati menjadi tenang,” demikian maksud
firman-Nya (Ar-Ra’d: 28). Di dalam solat, kita memohon melalui bacaan
al-Fatihah, “Tunjukilah kami jalan yang lurus (iaitu) jalan orang-orang
yang telah Engkau anugerahkan nikmat …”.

Nikmat adalah sesuatu yang setiap orang suka dan ia boleh menenangkan hati
atau memberi kebahagiaan. “Tetapi dalam realiti,” terang Dr. Shafie, “orang
hanya melihat nikmat itu ada pada harta, isteri, anak-anak.”

“Ada yang banyak harta, banyak anak tapi tak bahagia. Kalau semua yang kita
miliki itu dapat mendorong kita melakukan amal soleh, barulah ia menjadi
sumber kebaikan (dan ketenangan),” jelasnya, merujuk pada amal kebaikan
yang dilakukan dalam keadaan beriman iaitu yakin kepada Allah dan ganjaran
di akhirat.

Allah menjelaskan, “Dan siapa yang berpaling dari peringatan-Ku,
sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit.” (Thaha: 124)

Oleh itu, kehidupan yang sempit selepas kahwin adalah natijah dari tidak
mengikut aturan Allah dalam mengatur rumah tangga, termasuklah seawal
memilih jodoh lagi. “Kadang-kadang sudah bagus dalam memilih pasangan tapi
di hari perkahwinan banyak unsur-unsur negatif yang boleh memberi efek
kepada perkahwinan,” katanya, memberi contoh amalan bersanding, unsur muzik
dalam majlis walimah, mahar yang menyusahkan dan sebagainya.

Dr. Shafie berkata, “Mesti balik kepada formula yang digariskan oleh agama.
Kalau tidak, kita akan membinasakan diri kita.” Katanya, rumah tangga yang
baik tidak akan lahir jika agama hanya diletakkan sebagai satu segmen kecil
dalam kehidupan. Sedangkan, menurutnya, agama Islam itu ad-deen – formula
kehidupan.

“Melalui agama, semua formula kehidupan Allah sudah ajar kepada kita,”
katanya. “Dalam kehidupan ini setiap sesuatu ada formulanya,” tambahnya,
dengan memberi contoh perlunya kita ikut resipi jika hendak buat kuih.

Katanya, Allah telah memberi formula melalui sabda Nabi-Nya, kalau
berkehendakkan kehidupan yang baik, rumah tangga yang balik, pilihlah calon
pasangan yang beragama. “Manusia memang sukakan kecantikan, tapi asas
pemilihan nombor satu mesti agamanya. Agama itu mencetuskan ketenangan,”
katanya.

Dr. Shafie berkata, jika formula dari Allah ini dituruti dalam mendirikan
rumah tangga bermula dari pemilihan jodoh lagi, dari situlah tercetusnya
ketenangan yang akan menjadikan mahalnya sebuah perkahwinan.

"Aku menyintaimu kerana agama yang ada padamu, jika kau hilangkan agama
dalam dirimu, hilanglah cintaku padamu" (Imam Nawawi)

(koleksi ANIS (Magazine)/ temubual: Zakaria Sungib)
editor: azzahra_solehah







Supaya Diurus Allah

Bila Allah menjadikan lahir kita patuh kepada perintah-Nya, dan bila Allah menjadikan hati kita bulat hanya kepada Allah semata, sesungguhnya itu karunia Allah yang paling besar. Karena nikmat yang paling lezat adalah tersingkapnya hijab (penghalang) di hati untuk yakin kepada Allah, dan lahir kita sempurna berikhtiar.

Tubuh dan akal hendaknya dibimbing ikhtiar dengan sempurna, seperti yang dicontohkan sunnah Rasulullah saw. Hati yakin jika tubuh tidak sempurna berikhtiar, tidak akan terasa nikmat. Sebaliknya jika hati tidak yakin, meski tubuh ikhtiar, juga tidak nikmat. Maka, yang harus diyakini hati pertama kali adalah meyakini benar, bahwa Allah memilih kita hidup untuk patuh kepada-Nya. Selanjutnya, juga meyakini Allah akan mengurus diri ini. Bila hal tersebut dipenuhi, pasti segala keperluan kita akan diurus Allah.

Sebaiknya kita mendekati saja Allah yang dapat mengurus kita. Mau rapat (meeting) misalnya, tidak akan menghasilkan apa-apa bila tidak dibimbing Allah. Urusan apa pun bila tidak sungguh-sungguh meminta pertolongan Allah akan terasa sulit, termasuk rezeki. Ingatlah, hanya Allah yang memiliki dan hanya Allah pula yang tahu di mana letak rezeki tersebut. Bila tidak dibimbing Allah, ikhtiar kita akan acak dan cemas memikirkan di mana rezeki berada. Belum lagi bila tidak bertemu, yang tentu saja bukan karena tidak ada jatahnya. Sekali lagi, bila bersungguh-sungguh, Insya Allah kita akan bertemu dengan apa yang dijatahkan Allah. Alhasil, kita merasa tenang dan nyaman. Karena sudah janji Allah, sebagaimana firman-Nya, ”Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS Muhammad [47]: 7).

Lalu, apakah takdir rezeki bisa diubah? Jawabannya bisa, bila ada hubungannya dengan takdir yang lain. Yang bisa mengubah takdir itu adalah doa. Kekuatannya terletak pada taubat dan syukur. Mungkin saja awalnya kita tidak mempunyai takdir haji karena tidak memiliki uang. Tapi karena rajin berdoa dan shalat, rezeki haji bisa dari mana saja.

Maka, merasa khawatir akan rezeki, boleh jadi termasuk syirik khafi (halus). Atau merasa cemas hingga bergantung kepada orang lain. Hal ini bisa menutup pintu rezeki kita. Lebih baik bila hidup dituntun Allah. Kita harus belajar dari Rasulullah, bagaimana beliau menjadi pribadi yang sempurna tawakalnya dan sempurna pula tubuhnya melakukan ikhtiar. Wallahu a`lam bisshawab.

J
adikanlah Sabar dan Shalat Sebagai Penolongmu. Dan Sesungguhnya Yang Demikian itu Sungguh Berat, Kecuali Bagi Orang-Orang yang Khusyu [ Al Baqarah : 45 ]

__,_._,



Emha Ainun Najib

Beragama tapi Korupsi

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun. "Cak Nun", kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?". Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan". "Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" , kejar si penanya. "Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu", jawab Cak Nun. "Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak" , katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi".

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di masjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu.
Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.
Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca Al-Qur'an, membangun masjid, tapi korupsi uang negara. Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal Al-Qur'an, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga , orang yang tidak shalat, tidak membaca Al-Qur'an, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"

Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca Al-Qur'an, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang r akyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca Al-Qur'an.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama.
Bila kita cuma puasa, shalat, baca Al-Qur'an, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.

Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.

Ekstrinsik Vs Intrinsik

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya. Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, "Ia di neraka". Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial. Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.

Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain. Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W. Allport. Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik.
Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan.
Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya. Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya.

Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh ke dalam jiwa penganutnya. Adanya internalisasi nilai spiritual keagamaan. Ibadah ritual bukan hanya praktik tanpa makna. Semua ibadah itu memiliki pengaruh dalam sikapnya sehari-hari. Baginya, agama adalah penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang intrinsiklah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang.

Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus, melahirkan egoisme. Egoisme bertanggungjawab atas kegagalan manusia mencari kebahagiaan, kata Leo Tolstoy.Kebahagiaan tidak terletak pada kesenangan diri sendiri. Kebahagiaan terletak pada kebersamaan. Sebaliknya, cara beragama yang intrinsik menciptakan kebersamaan. Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri penganutnya dan lingkungan sosialnya. Ada penghayatan terhadap pelaksanaan ritual-ritual agama.

Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai alat politis dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang memunculkan sikap hipokrit; kemunafikan. Syaikh Al Ghazali dan Sayid Quthb pernah berkata, ...kita ribut tentang bid'ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan tenang melakukan bid'ah dalam urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi dengan tenang melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan penindasan .

Indonesia , sebuah negeri yang katanya agamis, merupakan negara penuh pertikaian. Majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001 mencatat, Indonesia dengan 17.000 pulau ini menyimpan 1.000 titik api yang sewaktu-waktu siap menyala. Bila tidak dikelola, dengan mudah beralih menjadi bentuk kekerasan yang memakan korban. Peringatan Newsweek lima tahun lalu itu, rupanya mulai memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku, Papua Barat, Aceh menjadi contohnya. Ironis.

Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa banyak umat Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah (ritual), tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang kaya Islam yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit dan kekurangan gizi.

Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-sudut negeri ini tidak dapat melanjutkan sekolah. Jutaan uang dihamburkan untuk membangun rumah ibadah yang megah, di saat ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari sesuap nasi. Jutaan uang dipakai untuk naik haji berulang kali, di saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara ekstrinsik mereka beragama, tetapi secara intrinsik tidak beragama.

Kutipan pitutur Emha Ainun Najib