Ibu mulai memainkan peran sebagai manajer dan sekolah pertama bagi anak-anaknya. Baik dalam mendidik anak-anak pra-akil baligh agar siap menjelang akil balighnya. Demikian besar peran seorang ibu dalam mengemban tugasnya mengantarkan anak-anak menjadi insan kamil (manusia sempurna).
Demikianlah pemaparan seorang ibu muda, Septi Peni Wulandani, saat diwawancara Republika seputar urgensi dan peran ibu dalam keluarga. Menurutnya, setiap wanita harus bertekad menjadi ibu profesional.
"Ibu profesional adalah ibu yang bersungguh-sungguh menjalani tugas utama dan pertamanya sebagai pendidik anak-anaknya, pengelola keluarganya, menjalankan aktivitas produktif sesuai passion-nya, mandiri finansial tanpa harus meninggalkan anak dan keluarganya," kata Muslimah yang menyandang gelar Inspiring Women Award dan Kartini Award versi majalah Kartini tahun 2009 lalu.
Founder Ibu Profesional ini mengaku sangat terinspirasi dengan sebuah ungkapan, "Al-ummu madrasatul ula", yaitu ibu adalah madrasah pertama dan utama untuk anak-anaknya. Itulah alasannya mengapa para wanita yang nantinya akan menjadi ibu sangat penting membekali diri dengan ilmu yang mumpuni. "Untuk menjalankan peran itu, ibu-ibu perlu dibekali ilmu yang cukup karena apabila sesuatu hal dipegang oleh orang yang tidak memiliki ilmu, maka tunggulah titik kehancurannya," jelasnya.
Septi berpikir, mengapa para wanita tidak begitu serius untuk membekali diri sebagai seorang ibu profesional. "Orang mau menjadi dokter ada sekolahnya, mau menjadi seorang akuntan juga ada sekolahnya. Yang membuat saya heran waktu itu, mengapa tidak ada sekolah untuk para ibu yang akan menjalankan profesi utamanya di dunia sebagai pendidik anak dan pengelola keluarga?" katanya.
Ia melihat, seakan semua hal yang akan dilalui oleh wanita hanya dibiarkan berjalan taken for granted saja, bahwa semua perempuan pasti akan jadi istri dan jadi ibu dengan sendirinya. Wanita menganggap suatu fase menjadi ibu dalam kehidupannya hanya sebatas peristiwa alami yang tidak perlu dipersiapkan.
"Sehingga, yang terjadi itu banyak perempuan yang tidak siap mengelola keluarganya dengan baik saat menjadi istri, tidak mampu menjadi ibu yang baik saat memiliki anak," ujarnya.
Hal ini semakin diperparah dengan munculnya gerakan-gerakan yang ingin memisahkan peran utama ibu sebagai pendidik utama bagi anak dan keluarganya. "Ada sebuah gerakan yang mengampanyekan bahwa perempuan itu tempatnya bukan di rumah. Keluarlah, tinggalkan anak-anak bersama pembantu di rumah. Ini bahaya besar," katanya.
Menurut Septi, gerakan feminisme semacam ini telah meracuni pola pikir wanita zaman sekarang. Para ibu masa kini tidak bangga lagi menjadi ibu rumah tangga. Mereka lebih memilih keluar dari rumah dan berkarier bak kaum laki-laki. Sedangkan, pendidikan anak cukup didelegasikan kepada asisten rumah tangga yang secara pendidikan dan karakter pasti jauh di bawah standar apabila anak langsung dididik ibunya.
Berangkat dari fenomena tersebut, Septi bersama rekan-rekannya pun menggagas sebuah institusi pendidikan bernama Institut Ibu Profesional (IIP). "Ibu Profesional ini hadir sebagai wadah para ibu untuk selalu meningkatlan kualitas dirinya sebagai seorang perempuan, istri, dan ibu. Ibu Profesional merevitalisasi makna ibu sebagai sosok yang luar biasa dan ibu adalah profesi yang paling mulia," ungkapnya.
Kehadiran IIP sebagai jawaban bagi common enemy, yaitu kekuatan yang ingin memisahkan ibu dari tugas utamanya sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya. Menurutnya, semakin banyak ibu-ibu yang malu menyandang gelar sebagai ibu rumah tangga, maka semakin rusaklah pendidikan generasi bangsa.
"Ini secara pribadi saya rasakan di awal pernikahan. Ternyata kunci utamanya adalah for things to change, i must change first. Sayalah yang pertama kali harus berubah. Saya mulai menghargai profesi ini, dengan cara menetapkan jam kerja, dan menggantung ‘daster’ sebagai baju kebanggaan para ibu sehari-hari di rumah," katanya memaparkan.
Ia mempunyai program, yaitu menjadikan pakaian "daster" bagi ibu-ibu hanya dipakai dari Subuh sampai pukul tujuh pagi. Itu untuk mengerjakan pekerjaan rutin di rumah. Setelah pukul tujuh pagi hingga pukul tujuh malam, gerakan ibu profesional ini menggunakan pakaian yang layak, rapi, dan indah. Mereka siap mendidik anak dan bermain total bersama mereka. Setelah pukul tujuh malam, mereka ganti daster lagi. Mereka menjalankan aktivitas rutin.
"Program ini sekarang menjadi program andalan di Institut Ibu Profesional dengan nama ‘7 to 7’. Sepanjang hari kami meningkatkan peran, misal, dari seorang koki keluarga, belajar di IIP sehingga naik perannya menjadi manajer gizi keluarga. Yang tadinya kasir keluarga, belajar di IIP, naik menjadi manager keuangan keluarga," jelasnya.
Ia juga menciptakan kurikulum yang wajib diikuti oleh para calon ibu profesional tersebut. Mereka mengikuti kuliah dan materi yang disampaikan baik secara offline maupun online. Saat ini tercatat hampir 8.500 member online aktif dan lebih dari 8.000 member offline aktif di antaranya tersebar di 35 kota/kabupaten dan 4 negara yang memiliki diaspora Indonesia di dalamnya.
Menurut Septi, ada fitrah anak-anak yang sudah dibawanya semenjak lahir. Seperti fitrah iman. Sejatinya sejak ruh ditiupkan di tubuh anak-anak, mereka itu sudah bersaksi tentang Rab-Nya, dan akan selalu merindukan Sang Pencipta.
Selain itu, anak yang lahir juga punya fitrah belajar. Anak-anak sudah memiliki fitrah belajar ini sejak lahir, mereka punya prinsip don't teach me, i love to learn. Menurut Septi, anak-anak adalah pembelajar sejati. "Mata mereka akan berbinar-binar ketika mempelajari apa yang memenuhi rasa ingin tahunya. Jadi, aneh kan kalau sampai ada anak yang malas belajar, ada apa dengan kita, orang tuanya?" jelas Septi.
Ada juga fitrah bakat yang dibawa anak-anak ketika lahir. Setiap bayi yang lahir di dunia adalah unik, memiliki sifat bawaan, yang kelak akan menjadi panggilan hidup, dan panggilan spesifiknya di muka bumi ini. "Tapi, mengapa banyak anak yang tidak tahu akan dirinya sampai mereka memasuki masa akil baligh? Bahkan, masih tersesat di jalan hidup yang bukan passion-nya sampai ia membangun sebuah keluarga. Bagaimana kita memperlakukan mereka selama ini?" ujarnya menambahkan.
Terakhir, anak-anak juga membawa fitrah perkembangan. Setiap anak sejak lahir memiliki masa-masa tahapan perkembangan sesuai dengan fitrahnya. Menurut Septi, tidak ada yang perlu digegas lebih cepat atau dicap sebagai yang lambat. "Tugas kita adalah menstimulus tanpa perlu ikut menentukan ranah hasil yang seharusnya. Karena proses itu hak kita dan hasil itu hak Allah," jelasnya.
Septi menegaskan, keempat fitrah tersebut harus seimbang karena kalau tidak akan terjadi perpaduan yang tidak seimbang. Di sanalah peran ibu yang terus mengawal empat fitrah tersebut agar tetap seimbang pada diri anak-anaknya.
Septi berkisah bertemu dengan sang suami pada 1995. "Ada seorang ikhwan yang mengkhitbah saya dengan mengajukan satu syarat, ‘aku ingin anakku kelak dididik oleh ibunya, bukan orang lain meskipun itu kakek dan neneknya sendiri’. Saya terima dan sejak saat itulah saya melepaskan kesempatan saya menjadi calon pegawai negeri sipil yang tinggal saya jalankan dan kembali mengambil profesi sepenuh hati menjadi ibu rumah tangga sampai hari ini," ungkapnya. n ed: hafidz muftisany