Literasi Informasi dan Literasi Digital
Pendahuluan
(a) Mengetahui bagaimana menentukan lokasi informasi serrta mengaksesnya
Bruce menggunakan pendekatan informasi terhadap literasi informasi. Ada tiga strategi yang diusulkannya yaitu :
(c) Ancangan relasional, dimulai dengan menggambarkan fenomena dalam bahasa dari yang telah dialami seseorang.
Adapun 7 wajah literasi informasi digambarkkan dalam tabel sebagai berikut :
Literasi ini merupakan keterampilan dasar yang diperlukan untuk mampu menangani infomasi dan pengetahuan. Literasi tradisional dan ktrampilan TU tetap diperukan.
Dalam literasi digital, yang menjadi kompetensi utama mencakup :
(1) Pemahaman format digital dan non digital;
(2) Penciptaann dan komunikasi informasi digital;
(3) Evaluasi informasi;
(4) penghimpunan atau perakitan pengetahuan;
(5) Literasi informasi dan
(6) Literasi media (Davis & Shaw, 2011).
Kesemuanya itu merupakan ketrampilan dan kompetensi, dibuat pada tonggak (nomor i) yang merupakan landasan literasi digital. Ketramnpilan dan kompetensi tersebut memiliki jangkauan luas dan mungkin berbeda antara satu negara dengan negara lain. Di sini dapat juga ditambahkan kompetensi dimensi etis dalam arti pemakai mengetahui bagaimana mnsitat buku, jurnal, laporan teknis dalam format kertas, melainkan juga tahu menyitat dokumen yang diterbitkan di Web.
Ada yang menambahkan pada kompetensi utama itu kompetensi penerbitan n artinya kompetensi menghasilakn swaterbitan di situs pribadi Web. Kompetensi ini menggunakan berbagai kompetensi yang telah ada sebelumnya seperti mengunduh dan mengunggah berbagai jenis berkas digital citra, audio, teks dsb) dengan harapan seseorang menerbitkan informasi bermutu dengan tetap menghormati hak cipta.
Ad 4. Sikap dan perspektif.
Ini merupakan hal yang, menciptakan tautan antara konsep baru literasi digital dengan gagasan lama tentang literasi. Perseorangan tidak cukup memiliki ketrampilan dan kompetensi melainkan hal itu harus berlandaskan kerangka kerja moral,yang diasosiasikan dengan seseorang yang terdirik. Dari semua komponen literasi digital, mungkin yang paling sulit diajarkan adalah kerangka kerja moral, namun hal itu paling kuat kedekatannya dengan istilah informasi dalam akar bahasa Latinnya informare artinya membentuk, memaparkan.
Pembelajaran mandiri dan literasi moral dan sosial merupakan kualitas yang ada pada seseorang dengan motivasi dan pikiran mendayagunakan informasi sebaik-baiknya. Ketiga hal tersebut merupakan dasar pemahaman pentingnya informasi sertaurusan yang baik dengan sumber daya informasi dan saluran komunikasi serta insentif untuk meningkatkan kemampuan seseorang ke tingkat yang lebih baik.
Literasi moral menyangkut pemahaman bahwa akses yang hampir tidak terbatas pada Web diikuti dengan pemahaman bahwa tidak semua materi yang diunduh itu bebas dari hak cipta.
Keempat komponen dianggap merupakan tunutan yang berat yang ditujukan pada pemakai informasi. Rasanya berat namun hal tersebut merupakan keharusan bila seseorang berkecimpung dan berhasil dalam lingkungan informasi dewasa ini. Dalam hal ini khususnya literasi digital merupakan alat yang ampuh untuk menghindari masalah dan paradoks dalam perilaku informasi seperti beban luwih informasi (information overload), kecemasan informasi, penghindaran informasi dan sejenisnya (Bawden & Robinson, 2009).
Dunia kini dipenuhi informasi yang diperoleh melalui berbagai cara seperti berikut :
(1) Manusia menemukan informasi melalui indera fisik, mental, dan emosi.
(2) Manusia mencari informasi dengan cara bertanya dan mencarinya.
(3) Manusia memperoleh informasi sebagai masukan dari manusia lain dan dari berbagai sistem informasi.
(4) Manusia menata informasi dalam benak dan catatannya dan juga membuat informasi.
Maka manusia akan mencatat atau mengeluh tentang terlalu banyak informasi di dunia ini. Hal itu bukan hal baru karena pada tahun 1755 Ensiklopedi Denis Dideot mengatakan bahwa peningkatan jumlah materi yang diterbitkan akan membuat manusia lebih mudah menemukan ulang fakta dengan cara mengamati alam dariapa menemukan informasi yang tersembunyi dalam banyak materi. Akhir Perang Dunia 2 juga sering ditandai dengan banyaknya informasi sehingga muncul istilah seperti ledakan informasi atau banjir informasi. Alvin Tofler dalam bukunya Future Shock (1970) menggambarkan perubahan tknologi dan structural pada masyarakat serta mempopulerkan istilah information load (beban lebih informasi).
Beban lebih informasi itu menyebabkan timbulnya kecemasan informasi (information anxiety) yang timbul akibat kesenjangan yang semakin lebar antara apa yang dipahami manusia dengan apa yang seyogyanya dipahami manusia. Seperti dikatakan Wurman (1989) dan business dictionary, kecemasan informasi adalah lubang hitam (black hole) antara data dengan pengetahuan, dan apa yang terjadi manakala infortmasi tidak memberitahukan apa yang diinginkan manusia atau yang perlu diketahui manusia.
Sikap kecemasan informasi menimbulkan penghindaran informasi (information avoidance) yang berarti setiap perilaku yang dirancang untuk menghindari atau menunda akuisisi informasi yang tersedia namun sebenarnya merupakan informasi yang tidak diinginkan (Frey, 1982; Kate Sweeny et al, 2010). Maka literasi digital merupakan alat bantu yang ampuh untuk mengatasi masalah dan paradox perilaku informasi seperti beban lebih informasi, kecemasan informasi, penghindaran informasi dan sejenisnya (Bawden&Robinson, 2009).
Literasi digital berdampak pada pustakawan karena dia harus menguasai literasi informasi serta literasi lainnya sehingga memungkinkan pustakawan mengembangkan kegiatan literasi informasi di lingkungannya.
Pengetahuan latar belakang juga menimbulkan masalah pada pendidikan pustakawan. Apakah pola pendidikan pustakawan yang didominasi program sarjana masih diteruskan atau diubah? Pengalaman menunjukkan bahwa pustakawan yang berbasis sarjana ilmu perpustakaan merasakan kurang bekal ilmu pengetahuan lain untuk kepentingan pekerjaannya. Maka banyak pustakawan yang bergelar sarjana ilmu perpustakaan, manakala sudah bekerja, melanjutkan pendidikan di tingkat pascasarjana bidang lain seperti komunikasi, pendidikan, sejarah dll.
Keadaan semacam itu mencetuskan gagasan mengapa beberapa lembaga penyelenggara pendidikan pustakawan lebih memusatkan pada pendidikan pascasarajana disertai dengan kegiatan riset sedangkan lembaga lain tetap berkonsentrasi pada program sarjana saja. Juga secara tidak langsung hal itu Nampak pada usulan Forum Kerjasama Perpustakaan Perguruan Tinggi yang mengusulkan agar kepala perpustakaan universitas adalah mereka yang bergelar magister ilmu perpustakaan atau yang lebih tinggi.
Literasi informasi yang digunakan di sini merupakan terjemahan kata information literacy. Sebelum ini istilah yang digunakan dalam Bahasa Indonesia adalah melek huruf, kemelekan huruf (Glosarium,
2007) namun istilah yang diterima di kalangan pustakawan adalah
literasi walaupun hal tersebut menimbulkan kesulitan manakala ingin
menerjemahkan kata literate. Kata literacy itu sendiri mengalami kesulitan manakala diterjemahkan ke bahasa lain sepertti bahasa Prancis, Jerman, Italia, Turki, dll.
Definisi
Walau istilah literasi informasi mulai di
AS sekitar dasawarsa 1970an, pengertian serta landasan dasarLI tidak
sepenuhnya memenuhi kesepakatan di kalangan ilmuwan informasi. Seperti
dikatakan Shapiro dan Hughes (1996) literasi informasi merupakan konsep
yang sering digunakan namun memiliki sifat ketaksaan (ambiguitas) yang
berbahaya. Hal tersebut juga dinyatakan oleh Snavely dan Cooper (1997)
yang mengatakan untuk dapat diterima oleh pemakai non pustakaswan dan
akademisi, pustaka iswan perlu menjelaskan definisi LI serta
membedakannya dari instruksi bibliografis serta perbedaannya dari
pendidikan dan pembelajaran pada umumnya. Sungguhpun demikian
Owusu-Ansah (2003,2005) mengatakan bahwa adanya banyak definisi dan
konsep LI tidak mencerminkan perbedaan atau ketidaksepakatan yang besar.
Istilah “information literacy”
pertama kali dikemukakan oleh Paul Zurkowski yang mengatakan orang yang
literat informasi adalah orang-orang yang terlatih dalam aplikasi
sumberdaya dalam pekerjaanna (Behrens,1994). Setelah ittu keluar
definisi LI oleh ANZIL (Australian and New Kesepakatan definisi LI baru
tercapai tahun 2005 tatkala IFLA, UNESCO dan National Forum for
Information Literacy (NFIL) menaja pertemuan tingkat tinggi di
Bibliotheca Alexandriana di Alexandria, Mesir. Sebagai hasil pertemuan
muncullah definisi LI sebagai berikut :
Information literacy encompasses knowledge of one’s information concerns and needs, and the ability to identify, locate, evaluate, organize, and effectively create, use and communicate information to address issues or problems at hand; it is a prerequisite for participating effectively in the Information Society,and is part of the basic human right of life – long learning.
Definisi tersebut yang akan digunakan dalam makalah ini sebagai landasan ke literasi informasi digital.
Model Literasi Informasi
Keberadaan model memungkinkan untuk
mengidentifikasi berbagai komponen serta menunjukkan hubungan
antarkomponen. Juga model dapat digunakan untuk menjelaskan apa yang di
maksud dengan literasi informasi. Dari situ kita dapat memusatkan pada
bagian tertentu ataupun keseluruhan model.
Model literasi informasi ada 4 yang
terkenal yaitu The Big 6, Seven Pillars, dan Empowering 8 serta satu
lagi The Seven Faces of Information Literacy sebagaimana diusulkan oleh
Bruce.
A. The Big 6
The Big 6 dikembangkan di AS oleh dua
pustakawan, Mike Eisdenberg dengan Bob Berkowitz. The Big 6 menggunakan
pendekatan pemecahan masalah untuk mengajar informasi dan ketrampilan
informasi serta teknologi. Model The Big 6 terdiri dari 6 tahap
pemecahan masalah, pada masing-masing tahap dikelompokkan dua sublangkah
atau komponen.
- Definisi tugas
- Definisikan masalah informasdi yang dihadapi
- Identifikasi informasi yang diperlukan
- Strategi mencari informasi
- Menentukan semua sumber yang mungkin
- Memilih sumber terbaik
- Lokasi dan akses
- Tentukan lokasi sumber secara intelektual maupun fisik
- Menemukan informasi dalam sumber
- Hadapi, misalnya membaca, mendengar, menyentuh, mengalamati
- Ekstrak informasi yang relevan
- Mengorganisasikan dari banyak sumber
- Sajikan informasi
- Nilai produk yang dihasilkan dari segi efektivitas
- Nilai proses, apakah efisien
Model The Big 6 memiliki kekurangan yaitu
mayoritas sumber dan contoh berdasarkan sekolah dan kegiatan kelas di
AS. Kedua The Big 6 merupakan produk komersial yang mensyaratkan hak
cipta dan perlindungan merek dagang sehingga tidak dapat digunakan
begitu saja. Sungguhpun demikian, pembuat The Big 6 masih mengizinkan
penggunaannya untyuk kepertluan pendidikan asal memberitahu mereka.
B. The Seven Pillars of Information Literacy
SCONUL (Standing Conference of National and University Libraries)
di Inggris mengembangkan model konsdeptual yang disebut Seven Pillars
of Information Literacy. Bila di gambar nampak sebagai berikut :
Model Tujuh Pilar hendaknya dilihat dari
segi peningkatan mulai dari ketrampilan kemelekan informasi dasar
melalui cara lebih canggih memahami serta menggunakan informasi,
katakanlah dari novis menuju pakar.
Model 7 Pilar terdiri dari 2 himpunan ketrampilan yaitu :(a) Mengetahui bagaimana menentukan lokasi informasi serrta mengaksesnya
(b) Mengetahui bagaimana memahami serta menggunakan informasi.
Ad a. Mengetahui bagaimana menentukan lokasi informasi serta mengaksesnya
Empat pilar pertama terdiri atas ketrampilan dasar yang disyaratkan untuk menentukan lokasi serta akses informasi terdiri :
(Pilar 1) Merekognisi kebutuhan
informasi, mengetahui apa yang telah diketahui, mengetahui apa yang
tidak diketahui dan mengidentifikasi kesenjangan antara yang diketahui
dengan yang tidak diketahui
(Pilar 2) Membedakan cara mengatasi
kesenjangan, mengetahui sumber informasi mana yang paling besar
peluangnya memuaskan kebutuhan
(Pilar 3) Membangun strategi untuk
menentukan lokasi informasi. Contoh bagaimana mengembangkan dan
memperbaiki strategi penelusuran yang efektif
(Pilar 4) Menentukan lokasi dan akses informasi, mengetahui bagaimana
mengakses sumbert infotmasi dan memeriksa alat untuk akses dan temu
balik informasi.
Ad b . Mengetahui bagaimana memahami serta menggunakan informasi.
Pilar ke lima sampai ke tujuh merupakan
ketrampilan tingkat lanjut yang diperlukan untuk memahami serta
menggunakan informasi secara efektif. Adapun ke tiga pilar tersebut
ialah
(Pilar 5) Membandingkan dan mengevaluasi, mengetahui bagaimana mengases relevansi dan kualitas informasi yang ditemukan
(Pilar 6) Mengorganisasi, menerapkan dan
mengkomunikasikan, mengetahui bagaimana merangkaikan informasi baru
dengan informasi lama, mengambil tindakan atau membuat keputusan dan
akhirnya bagaimana berbagi hasil temuan informasi tersebut dengan orang
lain
(Pilar 7) Sintesis dan menciptakan,
mengetahui bagaimana mengasimilasikan informasi dari berbagai jenis
sumber untuk keperluan menciptakan pengetahuan baru. Bila di gambar
hasilnya sebagai berikut
Ketrampilan dasar literasi informasi
(pilar 1 sampai 4) merupakan dasar bagi semua isu dan topik, dapat
diajarkan pada semua tingkat pendidikan. Ketrampilan tersebut juga
diperkuat dan diperkaya melalui penggunaan berkala serta pembelajaran
sepanjang hayat, umumnya melalui program dan sumber yang disediakan oleh
perpustakaan. Untuk mencapai pilar 5 sampai 7, tantangan yang dihadapi
lebih besar karena keanekaragaman orang.
C. Empowering Eight (E8)
International Workshop on Information
Skill for learning International Workshop on Information Skills fort
Learning di Colombo, Srilangka tahun 2004 ini dihadiri oleh 10 negara,
yaitu Bangladesh, India, Indonesia, Maldiva, Malaysia, Nepal, Pakistan,
Singapore, Sri Lanka, Muangthai, dan Vietnam, sedangkan workshop kedua
diselenggarakan di Patiala India) november 2005. Tujuannya oalah
mengembangkan model literasi informasi yang akan digunakan untuk
negara-negara Asia Tenggara dan Selatan. Model yang dikembangkan
disebut Empowering Eight atau E8 karena mencakup 8 komponen menemukan
dan menggunakan informasi. Empowering 8
Empowering 8 menggunakan pendekatan pemecahan masalah untuk resource-based learning. Menurut model ini, literasi informasi terdiri dari kemampuan untuk :
- Identifikasi topik/subyek, sasaran audiens, format yang relevan, jenis-jenis sumber
- Eksplorasi sumber dan informasi yang sesuai dengan topik
- Seleksi dan merekam informasi yang relevan, dan mengumpulkan kutipan-kutipan yang sesuai
- Organisasi, evaluasi dan menyusun informasi menurut susunan yang logis, membedakan antara fakta dan pendapat, dan menggunakan alat bantu visual untuk membandingkan dan mengkontraskan informasi
- Penciptaan informasi dengan menggunakan kata-kata sendiri, edit, dan pembuatan daftar pustaka
- Presentasi, penyebaran atau display informasi yang dihasilkan
- Penilaian output, berdasarkan masukan dari orang lain
- Penerapan masukan, penilaian, pengalaman yang diperoleh untuk kegiatan yang akan datang; dan penggunaan pengetahuan baru yang diperoleh untuk pelbagai situasi.
Kalau dijabarkan dalam langkah nampak sebagai berikut :
Langkah
|
Komponen |
Hasil pembelajaran yang didemonstrasikan
|
1
|
Mengidentifikasi
|
-Mendefinisikan topik/subjek-Menentukan dan memahami sasaran penyajian-Memilih format yang relevan untuk produk akhir
-Mengidentifikasi kata kunci -merencanakan strategi penelusuran -Mengidentifikasi berbagai jenis sumber informasi, di mana dapat ditemukan |
2
|
Eksplorasi
|
-Menentukan lokasi sumber yang sesuai dengan topik-Menemukan informasi yang sesuai dengan topik-Melakukan wawancara, kunjungan lapangan atau penelitian di luar lainnya |
4
|
Memilih
|
-Memilih informasi yang relevan-Menentukan sumber mana
saja yang terlalu mudah, terlalu sukar atau sesuai-Mencatat informasi
yang relevan dengan cara membuat catatan atau membuat pengorganisasian
visual seperti cart, grafik, bagan, ringkasan dll.
-Mengidentifikasi tahap-tahap dalam proses -Mengumpulkan sitiran yang sesuai |
4
|
Mengorganisasi
|
-Memilah informasi
-Membedakan antara fakta, pendapat dan khayalan -Mengecek ada tidaknya bias dalam sumber -Mengatur informasi yang diperoleh dalam urutan yang logis -Menggunakan pengorganisasi visual untuk membandingkan atau membuat kontras informasi yang diperoleh |
5
|
Menciptakan
|
-Menyusun informasi sesuai dengan pendapat dalam cara yang bermakna-Merevisi dan menyunting, sendiri atau bersama-sama pembimbing-Finalisasi format bibliografis |
6
|
Menyajikan
|
-Mempraktekkan aktivitas penyajian-Berbagi informasi dengan orang atau pihak yang sesuai-Memaparkan informasi dalam format yang tepat sesuai dengan hadirin -Menyusun dan menggunakan peralatan yang sesuai |
7
|
Mengakses
|
-Menerima masukan dari siswa lain
-Swa ases kinerja kita sebagai tanggapan atas asesmen karya dari pihak guru -Merefleksi seberapa jauh keberhasilan yang telah mereka lakukan -Menentukan apakah masih diperlukan ketrampilan baru -Pertimbangkan apa yang dapat dilakukan lebih baik pada kesempatan berikut |
8
|
Menerapkan
|
-Meninjau masukan serta asesmen yang masuk-Menggunakan
masukan serta asesmen untuk keperluan pembelajaran/aktivitas
berikutnya-Mendorong menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari
berbagai situasi
-Menentukan ketrampilan sekarang dapat diterapkan pada subjek -Tambahkan produk pada portofolio produksi |
Pertemuan di Colombo ini diikuti oleh
seorang pejabat tinggi Perpustakaan Nasional RI serta seorang pejabat
Departemen Pendidikan Nasional yang akan menjalani tahap pensiun., yang
dikirim ke pertemuan internasional sebagai balas jasanya karena belum
pernah keluar negeri. Maka sudah dapat diperkirakan tidak ada pemencaran
kegiatan literasi informasi sebagai oleh-oleh dari pertemuan
internasional dari Perpustakaan Nasional karena pejabat yang
menghadiri pertemuan tersebut sudah pensiun!
D. Bruce’s Seven faces of information literacyBruce menggunakan pendekatan informasi terhadap literasi informasi. Ada tiga strategi yang diusulkannya yaitu :
(a) Ancangan perilaku (behaviourist approach),
menyatakan untuk dapat digambarkan sebagai melek informasi, seseorang
harus menunjukkan karakteristik tertentu serta mendemonstrasikan
ketrampilan tertentu yang dapat diukur. Pendekatan semacam itu dianut
oleh ACRL dalam standarnya.
(b) Ancangan konstrukvis (constructivist approach), tekanan pada pembelajar dalam mengkonstruksi gambaran domainnya, misalnya melalui pembelajaran berbasis persoalan,(c) Ancangan relasional, dimulai dengan menggambarkan fenomena dalam bahasa dari yang telah dialami seseorang.
Adapun 7 wajah literasi informasi digambarkkan dalam tabel sebagai berikut :
Seven faces of information literacy
Kategori satu:Konsepsi teknologi informasi | Literasi informasi dilihat sebagai penggunaan teknologi informasi untuk keperluan temubalik informasi serta komunikasi |
Kategori dua:Konsepsi sumber ke informasi | Literasi informasi dilihat sebagai menemukan informasi yang berada di sumber informasi |
Kategori tiga:Konsepsi proses informasi | Literasi informasi dilihat sebagai melaksanakan sebuah proses |
Kategori empat:Konsepsi pengendalian informasi | Literasi informasi dilihat sebagai pengendalian informasi |
Kategori lima:Konsepsi konstruksi pengetahuan | Literasi informasi dilihat sebagai pembuatan basis pengetahuan pribadi pada bidang baru yang diminatinya |
Kategori enam:Konsepsi perluasan pengetahuan | Literasi informasi dilihat sebagai berkarya dengan pengetahuan dan perspektif pribadi yang dipakai sedemikian rupa sehingga mencapai wawasan baru |
Kategori tujuh:Konsepsi kearifan | Literasi informasi dilihat sebagai menggunakan informasi secara bijak bagi kemudaratan orang lain |
E. McKinsey Model
Mahasiswa pascasarjana bisnis (graduate business students)
memerlukan 10 ketrampilan untuk melakukan penelitian pada abad
informasi ini (Donaldson, 2004). Adapun kesepuluh ketrampilan itu ialah
:
(a) Fokus pada topik (persempit topik/perluas ruang lingkup)
(b) Bekerja dalam urutan kronologis terbalik, pertama kali menelusur informasi terbaru
(c) Memahami signifikansi terminologi dan tentukan tajuk subjek yang benar
(d) Menganekaragamkan sumber (gunakan buku, majalah, situs internet, dll)
(e) Gunakan strategi Boole (AND,OR,NOT) pada penelusuran komputer
(f) Gandakan sumber sampai tiga kali (identifikasi sebanyak tiga kali rujukan dari yang diperlukan)
(g) Evaluasi secara kritis materi yang ditemubalik; harus memiliki kecurigaan pada sumber yang berasal dari Web;
(h) Asimilasikan informasi; jangan plagiat, masukkan gagasan sendiri ke dalam topik penelitian
(i) Sitir semua sumber
Sebenarnya model McKinsey merupakan
pengembangan lebih lanjut dari model literasi informasi yang telah ada
sebelumnya. Dimulai dari kebtuhan bisnis, namun karena diadaptasikan
untuk literasi informasi, maka dimulai dengan kebutuhan informasi.
Kebutuhan ini muncul dari masalah bisnis atau masalah penelitian, studi
kasus ataupun tugas kuliah.
Setelah masalah diidentifikasi, langkah
selanjutnya ialah analisis masalah Oleh McKinsey disebut perangkaan
masalah atau mendefinisikan batas masalah kemudian memecahnya menjadi
unsur komponen untuk sampai ke hipotesis awal sebagai pemecahan. Langkah
berikutnya disain analisis, kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan
data, terutama dengan fact finding serta wawancara, Berikutnya
menafsirkan hasil, analisis serta evaluasi untuk menguji hipotesis.
Langkah paling akhir dalam model McKinesy ialah penyajian akhir.
Jenis literasi informasi
Literasi informasi terdiri dari berbagai literasi sebagai berikut :
A. Literasi visual
Yang pertama ialah literasi visual
artinya kemampuan untuk memahami dan menggunakan citra, termasuk
kemampuan untuk berpikir, belajar, dan mengungkapkan diri sendiri dalam
konteks citra. Literasi visual adalah kemampuan untuk memahami serta
menggunakan citra visual dalam pekerjaan dan kehidupan harian. Literasi
visual mencakup integrasi pengalaman visual dengan pengalaman yang
diperoleh dari indera lain seperti apa yang didengar, apa yang dibau,
apa yang dikecap, apa yang disentuh serta apa yang dirasakan. Kompetensi
literasi visual memungkinkan seseorang untuk memilah serta menafsirkan
berbagai tindakan visual, objek dan atau simbol. Dari situ, seseorang
dapat berkomunikasi dengan orang lain, membuat pamflet, tengara, membuat
halaman Web.
B. Literasi media
Literasi media ialah kemampuan seseorang
untuk menggunakan berbagai media guna mengakses, analisis serta
menghasilkan informasi untuk berbagai keperluan Dalam kehidupan
sehari-hari seseorang akan dipengaruhi oleh media yang ada di sekitar
kita berupa televisi, film, radio, musik terekam, surat kabar dan
majalah. Dari media itu masih ditambah dengan internet bahkan kini pun
melalui telepon seluler dapat diakses.
Definisi literasi media menggunakan
pendekatan trikotomi yang mencakup 3 bidang yaitu literasi media
bermakna memiliki akses ke media, memahami media dan
menciptakan/mengekspresikan diri sendiri dengan menggunakan media
(Buckingham 2005, Livingstone 2005). Akses meliputi menggunakan serta
kebiasaan media artinay kememapuan menggunakan fungsi dan kompetensi
navigasi(mengubah saluran televisi, menggunakan sambungan Internet):
kompetensi mengendalikan media (misalnya menggunakan sistem terpasang
interaktif, melakukantransaksi melalui Internet); pengetahuan tentang
legislasi dan peraturan lain dalam bidang tersebut (misalnya kebebasan
berbicara, mengungkapkan pendapat, perlindungan privasi, pengetahuan
mengenai materi yang mengganggu, perlindungan terhadap “sampah
internet).
Pemahaman artinya memiliki kemapuan untuk memahami/menafsirkan serta memperoleh perspektif isi media serta sikap kristis terhadapnya.
Menciptakan mencakup berinteraksi
dengan media (misalnya bebricara di radio, ikut serta dalam diskusi di
internet) juga menghasilkan isi media. Bagi seseorang yang memiliki
pengalamanengisi berbagai jenis media massa membuat seseorang memiliki
pemahaman yang lebih baik tentang dan pendekatan kritis terhadap isi
media.
Jadi literasi media adalah masalah
ketrampilan, pengetahuan dan kompetensi, juga tergantung pada institusi,
lembaga dan teknik untuk mediasi informasi dan komunikasi. Secara
analitis, konsep literasi media digunakan pada aras perorangan dan
masyarakat.
Istilah media mencakup semua media
komunikasi, kadang-kadang digunakan istilah media massa merujuk ke semua
media yang dimaksudkan untuk mencapai audisi sangat besar seperti
televisi siaran dan bayar, radio, film, surat kabar dan majalah. Sering
pula istilah “dalam semua media dan format” mengacu pada komunikasi dan
diseminasi informasi dalam berbagai media berlainan serta berbagai
format (teks, grafik, foto, tabel statistik dll).
Marshall McLuhan dianggap sebagai pencipta istilah “medium is the message”,
artinya isi seringkali tidak dapat dilepaskan dari media khusus yang
digunakan untuk memancarkan berita. Karena itu karena alasan
keterbatasan waktu dan anggaran, berita yang dipancarkan melalui media
televisi harus diformat dan ditata cara paling optimal guna “berita
diteruskan”. Singkatnya, berita dalam media televisi, tidak boleh
terlalu panjang, dalam bahasa sederhana dll.
Media interaktif memungkinkan
pemakai berinetraksi langsung dengan gawai komunikasi atau
telekomunikasi seperti model “layar sentuh”, kini mulai banyak digunakan
di restoran, hotel, pusat informasi wisata dll.
Literasi media mencakup semuanya dari
memiliki pengetahuan yang dipelrukan untuk menggunakan teknologi media
lama dan baru sampai dengan memiliki hubungan kritis ke konten medua.
Tulisan seperti Buckingham (2005), Livingstone (2005) menyatakan bahwa
trikotomi untuk mendefinisikan literasi media adalah memeliki akses ke
media, memahami media dan menciptakan, mengekspresikan
diri sendiri menggunakan media. Liiterasi media mengakui pengaruh harian
pada manusia yang berasal dari televisi, film, radio, musik, surat
kabar, dan majalah.
C. Literasi teknologi komputer dan komunikasi lazim disebut literasi komputer (IFLA ALP 2006)
Literasi komputer artinya kemampuan tahu
bagaimana mengguinakan dan mengoperasikan komputer secara efisien
sebagai mesinpemroses informasi (Horton Jr, 2007). Bagian ini merupakan
separuh bagian dari literasi teknologi informasi dan computer, separo
lainnya adalah Literasi media.
Bagian ini terdiri dari: literasi
perangkat keras dan perangkat lunak. Literasi perangkat keras mengacu
kepada operator dasar yang iperlukan untuk menggunakan komputer seperti
Personal Computer, Laptop, Notebook, Tablet Computer serta gawai genggam
semacam Blackberry. Ada pun literasi perangkat lunak mengacu pada
himpunan prosedur dan instruksu tujuan umum yang disyaratkan oleh
perangakt keras computer atau telekomunikasi untuk melaksanakan
fungsinya. Dalam LI computer paling utama adalah perangkat lunak
pengoperasian dasar seperti Windows, lembar batang (spreadsheet)
untuk data numeric seperti Excell peramgkat lunak penyajian preesenatsi
seperti PowerPoint dan perangkat lunak penyedia jasa infotmasi untuk
menggunakan Internet termasuk penelusuran WWW. Bagian ketiga adalah
luetrasi aplikasi mengacu pada pengetahuan dan ketrampilan yang
diperlukan untuk menggunakan berbagai paket perangkat lunak tujuan
khusus.
D. Literasi jaringan
Merupakan literasi dalam menggunakan
jaringa digital secara efektif, yang banyak berkembang berkat keberadaan
Internet. Bagi pustakawan literasi informasi mensyaratkan perubahan
pikir, dari “kepemilikan” ke “akses” artinya informasi milik
perpustakaan namun dapat diakses oleh publik sehingga menimbulkan
pertanyaan seberapa jauh konsep kepemilikan itu. Dalam konteks ekonomi
informasi, hal itu menunjukkan ciri khas informasi dilihat dari segi
ekonomi, misalnya informasi yang telah dijual akan tetap menjadi milik
penjual. Hal itu berbeda dengan penjualan benda misalnya makanan, sekali
dijual maka makanan itu pindah ke tangan pembeli (Kingma, 2001).
Literasi ini berarti seseorang memahami
bagaimana informasi dihasilkan, dikelola, tersedia, dapat menelusur
infromasi dari jaringan dengan menggunakan berbagai alat telusur,
memanipulasi informasi berjaring dengan kombinasi berbagai sumber,
menambahnya atau meningkatkan nilai informasi dari situasi tertentu.
Bagi manajer informasi termasuk
pustakawan perlu ada perubahan cara berpikir, dari pendekatan
kepemilikan ke pendekatan akses dan ini menuntut kompetensi dalam temu
balik informasi dan akses ke sumber daya elektronik jarak jauh.
E. Literasi kultural
Literasi kultural artinya pengetahuan
mengenai, serta pemahaman tentang, bagaimana tradisi, kepercayaan,
simbol dan ikon, perayaan dan sarana komunikasi sebuah negara, agama,
kelompok etnik atau suku berdampak terhadap penciptaan, penyimpanan,
penanganan, komunikasi, preservasi serta pengarsipan data, informasi dan
pengetahuan dengan menggunakan teknologi. Pemahaman literasi informasi
dalam kaitannya dengan literasi kultural adalah baaimana faktor budaya
berdampak terhadap penggunaan teknologi komunikasi dan informasi secara
efisien. Dampak itu dapat positif maupun negatif. Penyebaran televisi
misalnya berdampak hilangnya permainan anak-anak yang secara tradisional
dilakukan waktu terang bulan. Di segi lain, penyebaran telepon
seluler, televisi dan komunikasi nirkabel terjadi sebagai hasil kemauan
penduduk lokal untuk mengakui, menerima dan mengadaptasi teknologi
tersebut dalam budaya masing-masing.
E. Literasi digital
Literasi informasi berbeda dengan
literasi digital. Literasi informasi fokus pada pemahaman kebutuhan
informasi seseorang, dilakukan dengan kemampuan untuk menemukan dan
menilai informasi yang televan serta menggunakannya secara tepat.
Literasi informasi mulai banyak digunakan sejak tahun 1980an.
Istilah literasi digital mulai popular
sekitar tahun 2005 (Davis & Shaw, 2011) Literasi digital bermakna
kemampuan untul berhubungan dengan informasi hipertekstual dalam arti
bacaan takberurut berbantuan komputer. Istilah literasi digital pernah
digunakan tahun 1980an, (Davis & Shaw, 2011), secara umum bermakna
kemampuan untuk berhubungan dengan informasi hipertekstual dalam arti
membaca non-sekuensial atau nonurutan berbantuan komputer (Bawden,
2001). Gilster (2007) kemudian memperluas konsep literasi digital
sebagai kemampuan memahami dan menggunakan informasi dari berbagai
sumber digital.; dengan kata lain kemampuan untuk membaca, menulis dan
berhubungan dengan informasi dengan menggunakan teknologi dan format
yang ada pada masanya.
Penulis lain menggunakan istilah literasi
digital untuk menunjukkan konsep yang luas yang menautkan bersama-sama
berbagai literasi yang relevan serta literasi berbasis kompetensi dan
ketrampilan teknologi komunikasi, namun menekankan pada kemampuan
evaluasi informasi yang lebih “lunak” dan perangkaian pengetahuan
bersama-sama pemahaman dan sikap (Bawden, 2008; Martin, 2006, 2008) .
IFLA ALP Workshop (2006) menyebutkan
bagian dari literasi informasi adalah literasi digital, didefinisikan
sebagai kemampuan memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai
format dari sejumlah besar sumber daya tatkala sumber daya tersebut
disajikan melalui komputer. Sesusia perkembangan Internet, maka pemakai
tidak tahu atau tidak mempedulikan dari mana asalnya informasi, yang
penting ialah dapat mengaksesnya.
Literasi digital mencakup pemahaman
tentang Web dan mesin pencari. Pemakai memahami bahwa tidak semua
informasi yang tersedia di Web memiliki kualitas yang sama; dengan
demikian pemakai lambat laun dapat mengenal9i situs Web mana yang andal
dan sahih serta situas mana yang tidak dapat dipercayai. Dalam literasi
digital ini pemakai dapat memilih mesin pemakai yang baik untuk
kebutuhan informasinya, mampu menggunakan mesin pencara secara efektif
(misalnya dengan “advanced search”).
Singkatnya literasi digital adalah
himpunan sikap, pemahaman, keteramnpilan menangani dan mengkomunikasikan
informasi dan pengetahuan secara efektif dalam berbagai media dan
format. Ada definisi yang menyertakan istilah hubung, berhubungan (coomunicating); mereka yang perspektisi manajemen rekod atau manajemen arsip dinamis menyebutkan istilah penghapusan (deleting) dan pelestarian (preserving). Kadang-kadang istilah penemuan (finding) dipecah-pecah lagi menjadi pemilihan sumber, penemuan kembali dan pengakaksesan (accessing)
(Davis & Shaw, 2011). Walau pun literasi digital merupakan hal
penting dalam abad tempat informasi berwujud bentuk digital, tidak boleh
dilupakan bagian penting lainnya dari literasi digital ialah mengetahui
bila menggunakan sumber non digital.
Menurut Bawden (2008), komponen literasi digital terdiri dari empat bagian sebagai berikut :
(1) Tonggak pendukung berupa :
- literasi itu sendiri dan
- literasi komputer, informasi , dan teknologi komunik
- dunia informasi dan
- sifat sumber daya informasi
- pemahaman format digital dan non digital
- penciptaan dan komunikasi informasi digital
- Evaluasi informasi
- Perakitan engetahuan
- Literasi informasi
- Literasi media
(4) Sikap dan perspektif.
Ad 1. Landasan ini mencerminkan ketrampilan tradisional, di
dalamnya termasuk literasi computer yang memungkinkan sesdeorang mampu
berfungsu dalam masyarakat. Menyangkut literasi komouter, ada pendapat
yang mengatakan bahwa literasi computer merupakan bagian dari literasi
digital, namun ada pula yang berpendapat bahwa literasi computer sudah
merupakan bagian literasi informasi. Literasi computer kini dianggap
sebagai literasi saja dalam latar pendidikan atau di bawah tajuk semacam
smart working, basic skills di tempat kerja (Robinson, 2005).Literasi ini merupakan keterampilan dasar yang diperlukan untuk mampu menangani infomasi dan pengetahuan. Literasi tradisional dan ktrampilan TU tetap diperukan.
Ad 2. Pengetahuan latar belakang ini
dapat dibagi lebih lanjujut menjadi dunia informasi dan sifat sumber
daya informasi. Jenis pendidikan ini dianggap dimiliki oleh orang
berpendidikan semasa informasi masih dalam bentuk buku, surat kabar,
majalah, majalah akademis, laporan profesional; umumnya diakses melalui
bentuk cetak di perpustakaan. Ketika Internet berkembang yang
memunculkan dokumen elektronik maka pola komunikasi kepanditan (scholarly communication) atau komunikasi ilmiah (scientific communication) berubah. Bila dulu dikenal model tradisional Garbey/Griffith yang dimulai dari penelitian sampai ke
penerbitan yang dilakukan secara tradisional, maka kini mucul model
Garvey/Griffith yang sudah dimodernisir karena munculnya dokumen
elektronik (Crawford, Hurd, & Weller, 1996) sehingga terjadi modus
perubahan transfer informasi (Norton, 2000).
Ad 3. Kompetensi utamaDalam literasi digital, yang menjadi kompetensi utama mencakup :
(1) Pemahaman format digital dan non digital;
(2) Penciptaann dan komunikasi informasi digital;
(3) Evaluasi informasi;
(4) penghimpunan atau perakitan pengetahuan;
(5) Literasi informasi dan
(6) Literasi media (Davis & Shaw, 2011).
Kesemuanya itu merupakan ketrampilan dan kompetensi, dibuat pada tonggak (nomor i) yang merupakan landasan literasi digital. Ketramnpilan dan kompetensi tersebut memiliki jangkauan luas dan mungkin berbeda antara satu negara dengan negara lain. Di sini dapat juga ditambahkan kompetensi dimensi etis dalam arti pemakai mengetahui bagaimana mnsitat buku, jurnal, laporan teknis dalam format kertas, melainkan juga tahu menyitat dokumen yang diterbitkan di Web.
Ada yang menambahkan pada kompetensi utama itu kompetensi penerbitan n artinya kompetensi menghasilakn swaterbitan di situs pribadi Web. Kompetensi ini menggunakan berbagai kompetensi yang telah ada sebelumnya seperti mengunduh dan mengunggah berbagai jenis berkas digital citra, audio, teks dsb) dengan harapan seseorang menerbitkan informasi bermutu dengan tetap menghormati hak cipta.
Ad 4. Sikap dan perspektif.
Ini merupakan hal yang, menciptakan tautan antara konsep baru literasi digital dengan gagasan lama tentang literasi. Perseorangan tidak cukup memiliki ketrampilan dan kompetensi melainkan hal itu harus berlandaskan kerangka kerja moral,yang diasosiasikan dengan seseorang yang terdirik. Dari semua komponen literasi digital, mungkin yang paling sulit diajarkan adalah kerangka kerja moral, namun hal itu paling kuat kedekatannya dengan istilah informasi dalam akar bahasa Latinnya informare artinya membentuk, memaparkan.
Pembelajaran mandiri dan literasi moral dan sosial merupakan kualitas yang ada pada seseorang dengan motivasi dan pikiran mendayagunakan informasi sebaik-baiknya. Ketiga hal tersebut merupakan dasar pemahaman pentingnya informasi sertaurusan yang baik dengan sumber daya informasi dan saluran komunikasi serta insentif untuk meningkatkan kemampuan seseorang ke tingkat yang lebih baik.
Literasi moral menyangkut pemahaman bahwa akses yang hampir tidak terbatas pada Web diikuti dengan pemahaman bahwa tidak semua materi yang diunduh itu bebas dari hak cipta.
Keempat komponen dianggap merupakan tunutan yang berat yang ditujukan pada pemakai informasi. Rasanya berat namun hal tersebut merupakan keharusan bila seseorang berkecimpung dan berhasil dalam lingkungan informasi dewasa ini. Dalam hal ini khususnya literasi digital merupakan alat yang ampuh untuk menghindari masalah dan paradoks dalam perilaku informasi seperti beban luwih informasi (information overload), kecemasan informasi, penghindaran informasi dan sejenisnya (Bawden & Robinson, 2009).
Dunia kini dipenuhi informasi yang diperoleh melalui berbagai cara seperti berikut :
(1) Manusia menemukan informasi melalui indera fisik, mental, dan emosi.
(2) Manusia mencari informasi dengan cara bertanya dan mencarinya.
(3) Manusia memperoleh informasi sebagai masukan dari manusia lain dan dari berbagai sistem informasi.
(4) Manusia menata informasi dalam benak dan catatannya dan juga membuat informasi.
Maka manusia akan mencatat atau mengeluh tentang terlalu banyak informasi di dunia ini. Hal itu bukan hal baru karena pada tahun 1755 Ensiklopedi Denis Dideot mengatakan bahwa peningkatan jumlah materi yang diterbitkan akan membuat manusia lebih mudah menemukan ulang fakta dengan cara mengamati alam dariapa menemukan informasi yang tersembunyi dalam banyak materi. Akhir Perang Dunia 2 juga sering ditandai dengan banyaknya informasi sehingga muncul istilah seperti ledakan informasi atau banjir informasi. Alvin Tofler dalam bukunya Future Shock (1970) menggambarkan perubahan tknologi dan structural pada masyarakat serta mempopulerkan istilah information load (beban lebih informasi).
Beban lebih informasi itu menyebabkan timbulnya kecemasan informasi (information anxiety) yang timbul akibat kesenjangan yang semakin lebar antara apa yang dipahami manusia dengan apa yang seyogyanya dipahami manusia. Seperti dikatakan Wurman (1989) dan business dictionary, kecemasan informasi adalah lubang hitam (black hole) antara data dengan pengetahuan, dan apa yang terjadi manakala infortmasi tidak memberitahukan apa yang diinginkan manusia atau yang perlu diketahui manusia.
Sikap kecemasan informasi menimbulkan penghindaran informasi (information avoidance) yang berarti setiap perilaku yang dirancang untuk menghindari atau menunda akuisisi informasi yang tersedia namun sebenarnya merupakan informasi yang tidak diinginkan (Frey, 1982; Kate Sweeny et al, 2010). Maka literasi digital merupakan alat bantu yang ampuh untuk mengatasi masalah dan paradox perilaku informasi seperti beban lebih informasi, kecemasan informasi, penghindaran informasi dan sejenisnya (Bawden&Robinson, 2009).
Literasi digital berdampak pada pustakawan karena dia harus menguasai literasi informasi serta literasi lainnya sehingga memungkinkan pustakawan mengembangkan kegiatan literasi informasi di lingkungannya.
Pengetahuan latar belakang juga menimbulkan masalah pada pendidikan pustakawan. Apakah pola pendidikan pustakawan yang didominasi program sarjana masih diteruskan atau diubah? Pengalaman menunjukkan bahwa pustakawan yang berbasis sarjana ilmu perpustakaan merasakan kurang bekal ilmu pengetahuan lain untuk kepentingan pekerjaannya. Maka banyak pustakawan yang bergelar sarjana ilmu perpustakaan, manakala sudah bekerja, melanjutkan pendidikan di tingkat pascasarjana bidang lain seperti komunikasi, pendidikan, sejarah dll.
Keadaan semacam itu mencetuskan gagasan mengapa beberapa lembaga penyelenggara pendidikan pustakawan lebih memusatkan pada pendidikan pascasarajana disertai dengan kegiatan riset sedangkan lembaga lain tetap berkonsentrasi pada program sarjana saja. Juga secara tidak langsung hal itu Nampak pada usulan Forum Kerjasama Perpustakaan Perguruan Tinggi yang mengusulkan agar kepala perpustakaan universitas adalah mereka yang bergelar magister ilmu perpustakaan atau yang lebih tinggi.
Penutup
Literasi informasi
mencakup pengetahuan dan kebutuhan informasiseseorang dan kemampuan
untuk mengenali, mengetahui lokasi, mengevaluasi, mengorganisasi dan
menciptakan, menciptakan dan mengkomunikasikan informasi secara efektif
untuk mengatasi isu atau masalah yang dihadapi seseorang. Literasi
informasi terbagi atas literasi visual, ~media,~komputer,~jaringan dan
IFLA menyertakan pula literasi digital walau pun hal ini tidak selau
disebuit-sebut dalam buku lainnya. Istilah literasi informasi mulai
popular sekitar athun 1980 an, terbadiri dari berbagai jenis literasi.
Informasi digital merupakan himpunan sikap, pemahaman, dan
keterampilan untuk menangani dan mengkomunikasikan informasi dan
pengetahuan secara efektif dalam berbagai media dan format. Istilah
literasi digital mulai popular sekitar tahun 2005. Literasi digital
terbagi atas empat komponen yaitu tonggak literasi, pengetahuan latar
belakang, kompetensi utama dan sikap serta perspektif, masih ditambah
dengan kerangka moral.
Bawden, D. (2008). Origins and concepts of digital literacy. Dalam C. Lankshear&M. Knobel (eds). Digital literacies : concepts, policies, and paradoxes. Pp:15-32. New Yok: Peter Lang
Bawden, D. & Robinson, L (2009). The dark side of information: overload, anxiety and other paradoxes and pathologies. Journal of Information Science, 35(2),180-1911
Behrens, S. (1994).A conceptual analysis and historical review of information literacy. College and Research Libraries, 55,309-322
Bruce, C. (1997). The seven faces of information literacy. Adelaide: Auslib Press
Bundy, A. (2004).Australian and New Zealand Information Literacy Framnework. Dalam
Principles, standards and practice. 2nd ed. Adelaide:ANZIL,2004. ANZIL (Australian and New Zealand Institute for Information Literacy). http://www.anzil.org
Businnesdictionary.com. What is information literacy?definition and menaing. http:www.business dictionary.com/definition/information-anxiety.html. Diunduh 30 Agustus 2012.
Crawford,Susan Y.; Hurd,Julie M. and Weller, Ann C. (1996). From p[rint to electronic: the
transformation of scientific communication. Medford,NJ:Information Today.
Davis, Charles H.; Shaw,Debora (eds). (2011). Introduction to information science and technology. Medford,NJ: Information Today
Frey, Dieter. (1982). Different levels of cognitive dissonance, information seeking, and information avoidance. Journal of Personality and Social Psychology, 43(6),1175-1183
Gilster, P. (1997). Digital literacy. New York;Wiley
Glosarium istilah asing – Indonesia.(2007). Jakarta: Pusat Bahasa
Grassian,E.(2004). Building on bibliographic instruction. American Libraries,35(9),51-53
High-Level Colloquium on Information Literacy and Life-long Learning. Bibliotheca
Alexandrina, Alexandria, Mesir, November 6-9, 2005. Report of a meeting sponsored by the United Nations Education, Scientific, and CXultural organization (UNESCO), National FDorum on Information Literacy (NFIL) and the International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA). http://www.infolit.org/International_Colloquium/alexfinalreport.doc. Diunduh 8 Maret 2012
Horton,Jr, Forest Woody.(2007). Understanding information literacy: a prime. Paris”UNESCO
IFLA ALP Woorkshop on Information Literacy and IT, Auckland,New Zealand. (2006). The basic information literacy skills.
Martin, A. (2006). Literacies for tge digital age. Dalam A.Martin&D.Madigan(eds). Digital literacies forlearning. London:Facet.
Martin,A. (2008). Digital literacy and the”digital society:. Dalam C. Lanskhear & M.Konel(eds). Digital literacies: concepts, policies, and paradoxes. New York:Peter Lang.
Norton,Melanie J. (2011). Introductory concepts in information science. 2nd ed. Medford,NJ: Information Today.
Owusu-Ansah,E.K. (2003). Information literacy and the academic library: a critical look at a concept and the controversies surrounding it. Joournal of the Academic Libraries, 29(4),219-230.
Owusu-Ansah,E.K. (2005)).Debating definitions of information literacy: enough is enough, Library Review, 54(6),366-374
Shapiro,J.J. and Hughes,S.K. (1996). Information literacy as a liberal art. Educom Review, 31(2),31-35
Snavely,L. and Cooper, N. (1997). The information literacy debate. Journal of the Academic Librarianship,23(1),9-14
Sudarsono, Blasius et al. (2007; 2009), Literasi informasi (information literacy): pengantar untuk perpustakaan sekolah. Jakarta: Perpustakaan Nasional.
Sweeney, Kate et al. (2010). Information avoidance: who, what,when, and why. Review of General psychology, 14(4) Dec,340-353
Toffler, Alvin. (1970). The future shock. New York:Random House.
Bibliografi.
Bawden, D. (2001). Information and digital literacy: a review of concepts. Journal of Documentation, 57(2),218-259Bawden, D. (2008). Origins and concepts of digital literacy. Dalam C. Lankshear&M. Knobel (eds). Digital literacies : concepts, policies, and paradoxes. Pp:15-32. New Yok: Peter Lang
Bawden, D. & Robinson, L (2009). The dark side of information: overload, anxiety and other paradoxes and pathologies. Journal of Information Science, 35(2),180-1911
Behrens, S. (1994).A conceptual analysis and historical review of information literacy. College and Research Libraries, 55,309-322
Bruce, C. (1997). The seven faces of information literacy. Adelaide: Auslib Press
Bundy, A. (2004).Australian and New Zealand Information Literacy Framnework. Dalam
Principles, standards and practice. 2nd ed. Adelaide:ANZIL,2004. ANZIL (Australian and New Zealand Institute for Information Literacy). http://www.anzil.org
Businnesdictionary.com. What is information literacy?definition and menaing. http:www.business dictionary.com/definition/information-anxiety.html. Diunduh 30 Agustus 2012.
Crawford,Susan Y.; Hurd,Julie M. and Weller, Ann C. (1996). From p[rint to electronic: the
transformation of scientific communication. Medford,NJ:Information Today.
Davis, Charles H.; Shaw,Debora (eds). (2011). Introduction to information science and technology. Medford,NJ: Information Today
Frey, Dieter. (1982). Different levels of cognitive dissonance, information seeking, and information avoidance. Journal of Personality and Social Psychology, 43(6),1175-1183
Gilster, P. (1997). Digital literacy. New York;Wiley
Glosarium istilah asing – Indonesia.(2007). Jakarta: Pusat Bahasa
Grassian,E.(2004). Building on bibliographic instruction. American Libraries,35(9),51-53
High-Level Colloquium on Information Literacy and Life-long Learning. Bibliotheca
Alexandrina, Alexandria, Mesir, November 6-9, 2005. Report of a meeting sponsored by the United Nations Education, Scientific, and CXultural organization (UNESCO), National FDorum on Information Literacy (NFIL) and the International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA). http://www.infolit.org/International_Colloquium/alexfinalreport.doc. Diunduh 8 Maret 2012
Horton,Jr, Forest Woody.(2007). Understanding information literacy: a prime. Paris”UNESCO
IFLA ALP Woorkshop on Information Literacy and IT, Auckland,New Zealand. (2006). The basic information literacy skills.
Martin, A. (2006). Literacies for tge digital age. Dalam A.Martin&D.Madigan(eds). Digital literacies forlearning. London:Facet.
Martin,A. (2008). Digital literacy and the”digital society:. Dalam C. Lanskhear & M.Konel(eds). Digital literacies: concepts, policies, and paradoxes. New York:Peter Lang.
Norton,Melanie J. (2011). Introductory concepts in information science. 2nd ed. Medford,NJ: Information Today.
Owusu-Ansah,E.K. (2003). Information literacy and the academic library: a critical look at a concept and the controversies surrounding it. Joournal of the Academic Libraries, 29(4),219-230.
Owusu-Ansah,E.K. (2005)).Debating definitions of information literacy: enough is enough, Library Review, 54(6),366-374
Shapiro,J.J. and Hughes,S.K. (1996). Information literacy as a liberal art. Educom Review, 31(2),31-35
Snavely,L. and Cooper, N. (1997). The information literacy debate. Journal of the Academic Librarianship,23(1),9-14
Sudarsono, Blasius et al. (2007; 2009), Literasi informasi (information literacy): pengantar untuk perpustakaan sekolah. Jakarta: Perpustakaan Nasional.
Sweeney, Kate et al. (2010). Information avoidance: who, what,when, and why. Review of General psychology, 14(4) Dec,340-353
Toffler, Alvin. (1970). The future shock. New York:Random House.