(Dodik Maryanto adalah pendiri Institut Ibu Profesional (IIP).
Kegiatannya meliputi kuliah: via web, wa, dan off-line (tatap muka)
dll.)
Saat ngopi bareng mas Dodik Mariyanto di teras belakang rumah, iseng-iseng saya buka obrolan dengan satu kalimat tanya
“Mengapa anak baik biasanya semakin baik, dan anak nakal biasanya semakin nakal ya mas?”
Mas Dodik Mariyanto mengambil kertas dan spidol, kemudian membuat beberapa lingkaran-lingkaran.
“Wah suka banget, bakalan jadi obrolan berbobot nih”, pikir saya ketika melihat kertas dan spidol di tangan mas Dodik.
Mas Dodik mulai menuliskan satu hadist:
رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua”
Artinya setiap anak yang baik, pasti membuat ridho orangtuanya, hal ini akan membuat Allah Ridho juga.
Tapi setiap anak nakal, pasti membuat orangtuanya murka, dan itu akan membuat Allah murka juga.
“Kamu pikirkan implikasi berikutnya dan cari literatur yang ada untuk membuat sebuah pola”, tantang mas Dodik ke saya.
Waaa pak Dosen mulai menantang muridnya, suka saya.
Setelah membolak balik berbagai literatur yang ada, akhirnya saya
menemukan satu tulisan menarik yang ditulis oleh kakak kelas mas Dodik,
yaitu dr. Mas Agus Purwanto DSc. disana beliau menuliskan bahwa anak
nakal dan anak baik itu bergantung pada ridho dan murka orangtuanya.
Akhirnya kami berdua mengolahnya kembali, membuatnya menjadi siklus anak
baik (lihat gambar siklus 1) dan siklus anak nakal ( lihat siklus 2)
Siklus Anak Baik ( siklus 1)
Anak Baik -> orangtua Ridho -> Allah Ridho -> keluarga berkah -> bahagia -> anak makin baik
Siklus Anak nakal ( siklus 2)
Anak Nakal -> orangtua murka -> Allah Murka -> keluarga tidak berkah -> tidak bahagia -> anak makin nakal
Kalau tidak ada yang memutus siklus tersebut, maka akan terjadi pola anak baik akan semakin baik, anak nakal akan semakin nakal.
Bagaimana cara memutus siklus Anak Nakal ? ternyata kuncinya bukan pada anak melainkan pada ORANGTUANYA.
Anak Nakal -> ORANGTUA RIDHO ->Allah Ridho -> keluarga berkah -> bahagia -> anak jadi baik.
Berat? iya, maka nilai kemuliaannya sangat tinggi. Bagaimana caranya kita sebagai orangtua bisa ridho ketika anak kita nakal?
ini kuncinya
َإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ“
Bila kalian memaafkannya…menemuinya dan melupakan kesalahannya…maka
ketahuilah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS 64:14).
Caranya orangtua ridho adalah menerima anak tersebut, memaafkan dan
mengajaknya dialog, rangkul dengan sepenuh hati, terakhir lupakan
kesalahannya.
Kemudian sebagai pengingat selanjutnya, kami menguncinya dengan pesan dari Umar bin Khattab :
Jika kalian melihat anakmu berbuat baik, maka puji dan catatlah, apabila
anakmu berbuat buruk, tegur dan jangan pernah engkau mencatatnya – Umar
Bin Khatab.
Sumber : broadcast wa
Jumat, 28 Juli 2017
Kamis, 27 Juli 2017
Septi Peni Wulandani, Menjadi Ibu Profesional
Ibu mulai memainkan peran sebagai manajer dan sekolah pertama bagi anak-anaknya. Baik dalam mendidik anak-anak pra-akil baligh agar siap menjelang akil balighnya. Demikian besar peran seorang ibu dalam mengemban tugasnya mengantarkan anak-anak menjadi insan kamil (manusia sempurna).
Demikianlah pemaparan seorang ibu muda, Septi Peni Wulandani, saat diwawancara Republika seputar urgensi dan peran ibu dalam keluarga. Menurutnya, setiap wanita harus bertekad menjadi ibu profesional.
"Ibu profesional adalah ibu yang bersungguh-sungguh menjalani tugas utama dan pertamanya sebagai pendidik anak-anaknya, pengelola keluarganya, menjalankan aktivitas produktif sesuai passion-nya, mandiri finansial tanpa harus meninggalkan anak dan keluarganya," kata Muslimah yang menyandang gelar Inspiring Women Award dan Kartini Award versi majalah Kartini tahun 2009 lalu.
Founder Ibu Profesional ini mengaku sangat terinspirasi dengan sebuah ungkapan, "Al-ummu madrasatul ula", yaitu ibu adalah madrasah pertama dan utama untuk anak-anaknya. Itulah alasannya mengapa para wanita yang nantinya akan menjadi ibu sangat penting membekali diri dengan ilmu yang mumpuni. "Untuk menjalankan peran itu, ibu-ibu perlu dibekali ilmu yang cukup karena apabila sesuatu hal dipegang oleh orang yang tidak memiliki ilmu, maka tunggulah titik kehancurannya," jelasnya.
Septi berpikir, mengapa para wanita tidak begitu serius untuk membekali diri sebagai seorang ibu profesional. "Orang mau menjadi dokter ada sekolahnya, mau menjadi seorang akuntan juga ada sekolahnya. Yang membuat saya heran waktu itu, mengapa tidak ada sekolah untuk para ibu yang akan menjalankan profesi utamanya di dunia sebagai pendidik anak dan pengelola keluarga?" katanya.
Ia melihat, seakan semua hal yang akan dilalui oleh wanita hanya dibiarkan berjalan taken for granted saja, bahwa semua perempuan pasti akan jadi istri dan jadi ibu dengan sendirinya. Wanita menganggap suatu fase menjadi ibu dalam kehidupannya hanya sebatas peristiwa alami yang tidak perlu dipersiapkan.
"Sehingga, yang terjadi itu banyak perempuan yang tidak siap mengelola keluarganya dengan baik saat menjadi istri, tidak mampu menjadi ibu yang baik saat memiliki anak," ujarnya.
Hal ini semakin diperparah dengan munculnya gerakan-gerakan yang ingin memisahkan peran utama ibu sebagai pendidik utama bagi anak dan keluarganya. "Ada sebuah gerakan yang mengampanyekan bahwa perempuan itu tempatnya bukan di rumah. Keluarlah, tinggalkan anak-anak bersama pembantu di rumah. Ini bahaya besar," katanya.
Menurut Septi, gerakan feminisme semacam ini telah meracuni pola pikir wanita zaman sekarang. Para ibu masa kini tidak bangga lagi menjadi ibu rumah tangga. Mereka lebih memilih keluar dari rumah dan berkarier bak kaum laki-laki. Sedangkan, pendidikan anak cukup didelegasikan kepada asisten rumah tangga yang secara pendidikan dan karakter pasti jauh di bawah standar apabila anak langsung dididik ibunya.
Berangkat dari fenomena tersebut, Septi bersama rekan-rekannya pun menggagas sebuah institusi pendidikan bernama Institut Ibu Profesional (IIP). "Ibu Profesional ini hadir sebagai wadah para ibu untuk selalu meningkatlan kualitas dirinya sebagai seorang perempuan, istri, dan ibu. Ibu Profesional merevitalisasi makna ibu sebagai sosok yang luar biasa dan ibu adalah profesi yang paling mulia," ungkapnya.
Kehadiran IIP sebagai jawaban bagi common enemy, yaitu kekuatan yang ingin memisahkan ibu dari tugas utamanya sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya. Menurutnya, semakin banyak ibu-ibu yang malu menyandang gelar sebagai ibu rumah tangga, maka semakin rusaklah pendidikan generasi bangsa.
"Ini secara pribadi saya rasakan di awal pernikahan. Ternyata kunci utamanya adalah for things to change, i must change first. Sayalah yang pertama kali harus berubah. Saya mulai menghargai profesi ini, dengan cara menetapkan jam kerja, dan menggantung ‘daster’ sebagai baju kebanggaan para ibu sehari-hari di rumah," katanya memaparkan.
Ia mempunyai program, yaitu menjadikan pakaian "daster" bagi ibu-ibu hanya dipakai dari Subuh sampai pukul tujuh pagi. Itu untuk mengerjakan pekerjaan rutin di rumah. Setelah pukul tujuh pagi hingga pukul tujuh malam, gerakan ibu profesional ini menggunakan pakaian yang layak, rapi, dan indah. Mereka siap mendidik anak dan bermain total bersama mereka. Setelah pukul tujuh malam, mereka ganti daster lagi. Mereka menjalankan aktivitas rutin.
"Program ini sekarang menjadi program andalan di Institut Ibu Profesional dengan nama ‘7 to 7’. Sepanjang hari kami meningkatkan peran, misal, dari seorang koki keluarga, belajar di IIP sehingga naik perannya menjadi manajer gizi keluarga. Yang tadinya kasir keluarga, belajar di IIP, naik menjadi manager keuangan keluarga," jelasnya.
Ia juga menciptakan kurikulum yang wajib diikuti oleh para calon ibu profesional tersebut. Mereka mengikuti kuliah dan materi yang disampaikan baik secara offline maupun online. Saat ini tercatat hampir 8.500 member online aktif dan lebih dari 8.000 member offline aktif di antaranya tersebar di 35 kota/kabupaten dan 4 negara yang memiliki diaspora Indonesia di dalamnya.
Menurut Septi, ada fitrah anak-anak yang sudah dibawanya semenjak lahir. Seperti fitrah iman. Sejatinya sejak ruh ditiupkan di tubuh anak-anak, mereka itu sudah bersaksi tentang Rab-Nya, dan akan selalu merindukan Sang Pencipta.
Selain itu, anak yang lahir juga punya fitrah belajar. Anak-anak sudah memiliki fitrah belajar ini sejak lahir, mereka punya prinsip don't teach me, i love to learn. Menurut Septi, anak-anak adalah pembelajar sejati. "Mata mereka akan berbinar-binar ketika mempelajari apa yang memenuhi rasa ingin tahunya. Jadi, aneh kan kalau sampai ada anak yang malas belajar, ada apa dengan kita, orang tuanya?" jelas Septi.
Ada juga fitrah bakat yang dibawa anak-anak ketika lahir. Setiap bayi yang lahir di dunia adalah unik, memiliki sifat bawaan, yang kelak akan menjadi panggilan hidup, dan panggilan spesifiknya di muka bumi ini. "Tapi, mengapa banyak anak yang tidak tahu akan dirinya sampai mereka memasuki masa akil baligh? Bahkan, masih tersesat di jalan hidup yang bukan passion-nya sampai ia membangun sebuah keluarga. Bagaimana kita memperlakukan mereka selama ini?" ujarnya menambahkan.
Terakhir, anak-anak juga membawa fitrah perkembangan. Setiap anak sejak lahir memiliki masa-masa tahapan perkembangan sesuai dengan fitrahnya. Menurut Septi, tidak ada yang perlu digegas lebih cepat atau dicap sebagai yang lambat. "Tugas kita adalah menstimulus tanpa perlu ikut menentukan ranah hasil yang seharusnya. Karena proses itu hak kita dan hasil itu hak Allah," jelasnya.
Septi menegaskan, keempat fitrah tersebut harus seimbang karena kalau tidak akan terjadi perpaduan yang tidak seimbang. Di sanalah peran ibu yang terus mengawal empat fitrah tersebut agar tetap seimbang pada diri anak-anaknya.
Septi berkisah bertemu dengan sang suami pada 1995. "Ada seorang ikhwan yang mengkhitbah saya dengan mengajukan satu syarat, ‘aku ingin anakku kelak dididik oleh ibunya, bukan orang lain meskipun itu kakek dan neneknya sendiri’. Saya terima dan sejak saat itulah saya melepaskan kesempatan saya menjadi calon pegawai negeri sipil yang tinggal saya jalankan dan kembali mengambil profesi sepenuh hati menjadi ibu rumah tangga sampai hari ini," ungkapnya. n ed: hafidz muftisany
NHW#9 Matrikulasi IIP Sesi 9 - Ibu Sebagai Agen Perubahan
Minat, hobi dan ketertarikan : perpustakaan atau taman bacaan
Skill, hard and soft : ilmu perpustakaan, empati, memahami, mengumpulkan informasi, menyampaikan.informasi, intuisi.
Isu sosial : kurangnya fasilitas bahan bacaan bergizi, fasilitas perpustakaan terbatas dan kurang terjangkau masyarakat di sekitar.
Masyarakat : Anak anak, usia balita dan sekolah dasar, lansia, pensiunan, remaja.
Ide sosial : Gerakan minat baca berbasis fun education.
Skill, hard and soft : ilmu perpustakaan, empati, memahami, mengumpulkan informasi, menyampaikan.informasi, intuisi.
Isu sosial : kurangnya fasilitas bahan bacaan bergizi, fasilitas perpustakaan terbatas dan kurang terjangkau masyarakat di sekitar.
Masyarakat : Anak anak, usia balita dan sekolah dasar, lansia, pensiunan, remaja.
Ide sosial : Gerakan minat baca berbasis fun education.
Senin, 17 Juli 2017
Literasi
http://www.academia.edu/7858500/Literasi_Informasi_Digital
https://tartojogja.files.wordpress.com/2012/02/teori-literasi-informasi.pdf
https://tartojogja.files.wordpress.com/2012/02/teori-literasi-informasi.pdf
Literasi Informasi
https://arrull.wordpress.com/2010/06/12/literasi-informasi/
Dewasa ini masyarakat disuguhi oleh
berbagai hidangan informasi yang beraneka ragam, informasi itu datang
silih berganti masuk kedalam memori manusia. Mulai dari informasi
sosial, politik, seni, kesehatan, gaya hidup dll. Informasi ini dengan
mudah diperoleh dari berbagai media, setiap hari media tersebut
menampilkan bermacam-macam informasi. Masyarakat menerima informasi
tersebut dan kemudian ikut menyebarkannya. Diseminasi informasipun
terjadi, dari satu sumber kemudian menyebar ke berbagai pihak,
masyarakat konsumen informasi terkadang sulit untuk menentukan validitas
informasi. Padahal banyak orang yang bertindak berdasar sebuah
informasi, jadi banyak pula orang yang salah bertindak gara-gara salah
menerima informasi. Disisi lain Orang yang mampu memanfaatkan informasi
akan mendapat banyak keuntungan, dengan mudah dia dapat mengetahui
sesuatu yang tidak diketahui orang lain.
Keuntungan memperoleh informasi dapat
menciptakan peluang, baik materiil maupun non meteriil. Tersedianya
media yang menyebarkan informasi memudahkan masyarakat untuk
memperolehnya, apalagi dengan adanya Internet yang tidak membatasi akses
informasi. Siapapun dan berapapun usianya dapat mengakses informasi.
Ledakan informasi seperti ini membentuk kelompok masyarakat baru yang
biasa disebut sebagai masyarakat informasi. World Summit on Information
Society (WSIS) di tahun 2003 membuat deklarasi yang dihadiri perwakilan
dari 175 negara, dalam deklarasinya dikatakan bahwa Masyarakat Informasi
di mana setiap orang dapat membuat, mengakses, memanfaatkan, dan
berbagi dan pengetahuan, yang memungkinkan individu-individu, komunitas
dan masyarakat untuk mencapai potensi penuh mereka dalam mempromosikan
pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan kualitas hidup mereka
Deklarasi WSIS mengidamkan masyarakat
yang mampu membuat, mengakses,memanfaatkan informasi untuk meningkatkan
kualitas hidup. Informasi menjadi semacam modal penting untuk mewujudkan
kesejahteraan. Saat ini pun telah memasuki babak masyarakat informasi,
yang mana informasi dapat tersebar dengan cepat dan luas tanpa terhalang
oleh dinding-dinding teritorial. Media dengan gencar menjejali ruang
keluarga dengan informasi yang beraneka ragam, baik yang bermanfaat
maupun yang tidak. Ledakan informasi yang terjadi berdampak pada
kehidupan masyarakat. Namun, apakah informasi dapat menjadi modal untuk
kesejahteraan ?atau justru adanya ledakan informasi ini menjadi
persoalan?
Ditengah kepungan informasi yang beraneka
ragam belum semua masyarakat Indonesia dapat menikmatinya. Hal ini
terlihat pada data BPS tahun 2006 yang menunjukan bahwa Data BPS (2006)
menunjukkan, orang Indonesia yang membaca untuk mendapatkan informasi
baru 23,5 persen dari total penduduk. Sementara itu yang menonton
televisi sebanyak 85,9 persen dan mendengarkan radio 40,3 persen.
Masyarakat lebih menyukai informasi audio-visual daripada informasi
tertulis. Padahal informasi yang tertulis mempunyai cakupan yang lebih
luas dibandingkan dengan informasi audio visual. Ketersediaan informasi
tertulis pun lebih banyak dibandingkan dengan informasi yang lain.
Informasi yang ada di televisi pun dengan mudah diserap oleh masyarakat,
informasi inilah yang banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat, baik
perilaku dan pikiran(Supriyono,2000:28). Masyarakat jadi kesulitan untuk
memilih mana informasi yang harus diperoleh, selain itu masyarakat juga
bingung bagaimana car memperoleh informasi tersebut? Oleh sebab itu
diperlukan ketrampilan yang disebut literasi informasi.
Konsep Literasi Informasi
Ada banyak definisi mengenai Literasi
Informasi, dalam kesempatan ini penulis menggunakan definisi dari CILIP.
Chartered Institute of Library and Information Professionals
(CILIP)mendefinisikan literasi informasi sebagai Information
literacy is knowing when and why you need information, where to find it,
and how to evalute, use and communicate it in an ethical manner
(CILIP,2010). Literasi informasi adalah mengetahui kapan dan mengapa
memerlukan informasi, di mana menemukannya, dan bagaimana untuk
mengevaluasi, menggunakan dan mengkomunikasikannya dengan cara yang
etis. Definisi ini menyiratkan beberapa keterampilan. Ketrampilan (atau
kompetensi) yang dibutuhkan untuk menjadi melek informasi membutuhkan
pemahaman tentang:
- Kebutuhan untuk informasi
- Sumber daya tersedia
- Bagaimana menemukan Informasi yang dibutuhkan untuk mengevaluasi hasil
- Bagaimana bekerja dengan atau mengeksploitasi hasil
- Etika dan tanggung jawab menggunakan
- Cara berkomunikasi atau berbagi temuan
- Bagaimana mengelola temuan
Literasi dibutuhkan untuk menemukan
informasi yang dibutuhkan dan menyaring informasi yang bermanfaat.
Tujuan literasi adalah untuk memanfaatkan informasi dengan tepat dan
bermanfaat, kemampuan ini sangat penting ditengah terpaan arus informasi
yang ada saat ini, dimana banyak sekali informasi dan seringkali kita
kesulitan untuk menemukan informasi yang diinginkan. Dengan literasi
informasi sesorang akan mudah dalam mencari informasi, melalui media
audio visual maupun yang lain. Oleh sebab ketrampilan ini perlu
diberikan kepada masyarakat, orang yang sudah mampu melakukan literasi
informasi disebut orang literat. Ada beberapa model untuk menguasai
literasi informasi, penulis akan menggunakan teori The Big 6. The Big6
adalah model literasi informasi yang dikembangkan oleh Michael B.
Eisenberg dan Robert E. Berkowitz pada tahun 1987 (Gunawan, 2008).
Menurut model ini literasi informasi terdiri dari enam keterampilan dan
dua belas langkah, dimana setiap keterampilan terdiri dari dua langkah.
6 ketrampilan | 12 langkah |
|
-Merumuskan Masalah -Mengidentifikasi yang diperlukan |
|
-Menentukan sumber -Memilih Sumber Terbaik |
|
-Mengalokasi sumber secara intelektual dan fisik -Menemukan informasi di dalam sumber-smber tersebut |
|
-Membaca, Mendengar dan Meraba -Mengambil Informasi yang relevan |
|
-Mengorganisasikan Informasi dari berbagai sumber -Mempresentasikan informasi tersebut |
|
-Mengevaluasi Hasil(efektivitas) -Mengevaluasi Proses(efisiensi) |
- Perumusan masalah
Tujuannya adalah mampu mengidentifikasi
dan merumuskan masalah(baik yang sederhana maupun kompleks)yang
berhubungan dengan tugas-tugas seperti membuat makalah.Untuk
merumuskan masalah ini bisa juga dengann cara brainstroming. Cara ini
digunakan untuk menggali, mempertajam, dan mengembangkan gagasan dan
penemuan masalah. Brainstorming dapat dilakukan melalui
visualisasi pemikiran kita dan mengajukan pertanyaan. Gunakan pertanyaan
5W1H (what, when, who, why, where, dan how) untuk memperjelas area
topik tugas dan memperjelas tugas.
- Strategi Pencarian Informasi
Pencarian informasi dilakukan melalui sumber informasi. Ada dua langkah penting yang perlu dilakukan yaitu menentukan sumber dan memilih sumber terbaik.
Untuk itu perlu dipahami bahwa tersedia beragam sumber informasi yang
dapat digunakan, baik lokasi maupun bentuk informasinya. Sumber
informasi disini dapat disajikan berupa gambar, citra, foto, teks,
diagram, audio, audio-video, hasil wawancara, laporan, email, spasial
dan sebagainya.
- Lokasi dan akses
Ada dua hal penting yang perlu
diperhatikan dalam hal ini yaitu mengalokasi sumber secara intelektual
dan fisik dan bagaimana menemukan informasi di dalam sumber-sumber
tersebut. Untuk melakukan hal ini perlu diketahui alat-alat pencarian
sumber informasi. Alat pencarian sumber informasi adalah alat yang
digunakan untuk mendapatkan sumber informasi. Contoh: alat lokasi
menggunakan OPAC (Online Public Access Catalog) dari Perpustakaan
tertentu.
- Pemanfaatan Informasi
Tahapan yang akan dilakukan dalam hal ini
adalah membaca atau mendengar informasi yang ditemukan dan
mengekstraksi informasi yang relevan tersebut. Hal ini berarti:
menentukan bagian informasi yang akan digunakan, memilah-milah data yang
akan dipakai untuk memahami konsep perpustakaan digital seperti yang
disebut dalam masalah, dan melakukan evaluasi sumber informasi yang
diperoleh.
- Sintesis
Ada dua tahapan kegiatan yang perlu
dilakukan dalam langkah sintesis ini yaitu mengorganisasikan informasi
dari pelbagai sumber dan mempresentasikan informasi tersebut. Langkah
sintesis adalah kegiatan membandingkan, mengelola, menyusun, dan
menggabungkan informasi yang diperoleh untuk dapat membangun suatu
produk informasi. Informasi-informasi yang diperoleh dari sumber
informasi berhak cipta seperti buku, periodikal, citra digital dan data
mentah harus diberi pengakuan dengan mematuhi ketentuan atau cara
mengutip suatu informasi. Informasi yang diperoleh dari hasil pencarian
dapat digunakan untuk menghasilkan suatu karya yang baru Pada proses
sintesis ini, informasi yang dikumpulkan dipadukan, dianalisis dan
kemudian dibentuk menjadi produk informasi yang baru. Presentasi adalah
menyajikan produk informasi baru kepada pembaca atau audiens yang
dituju. Berbagai cara untuk menyajikan produk informasi misalnya melalui
publikasi tercetak: buku, artikel jurnal, proceeding, laporan, brosur
dan sebagainya; melalui publikasi online/elektronik pada website atau
mailing list dan sebagainya.
- Evaluasi
Makna evaluasi dalam langkah ini adalah
mengevaluasi hasil penemuan dan pemanfaatan informasi dengan maksud
untuk mengetahui apakah informasi yang diperoleh berdaya guna atau tidak
(efektivitas). Evaluasi juga bermakna untuk menilai seluruh proses yang
dilakukan dalam rangka pemecahan masalah dan proses pencarian
informasi. Maksud dari evaluasi ini adalah untuk mengetahui apakah
seluruh proses telah berlangsung sesuai dengan yang diharapkan
(efisiensi) atau belum untuk selanjutnya dapat diperbaiki.
Penerapan Literasi Informasi di Indonesia
Literasi Informasi dimaknai dengan
berbagai macam kegiatan dan penekanan yang berbeda. Trini Haryanti
(2009) menekankan literasi kepada upaya untuk mengenalkan baca tulis
kepada masyarakat. Lebih lanjut Trini menerangkan bahwa Gerakan Literasi
Informasi adalah suatu upaya mengenalkan informasi kepada masyarakat
untuk memberantas buta huruf dengan berbagai kegiatan yang harus dikemas
secara menarik dan dilengkapi fasilitas yang dapat menunjang semua
kebutuhan akses informasi secara cepat, efisien dan akurat. Selama ini
literasi informasi di Indonesia mencakup dua hal, yaitu: memberantas
buta huruf dan memanfaatkan warnet dan hotspot. Hal ini dilakukan karena
kenyataan di Indonesia tingkat buta huruf masih cukup tinggi. Belum
semua masyarakat dapat menikmati akses internet, dan masih sedikit
kelompok yang dapat memanfaatkan informasi. Secara luas konsep
masyarakat informasi belum dipraktikan, disebaban kendala yang belum
terselesaikan. Maka tujuan besar literasi informasi di Indonesia adalah
Masyarakat melek informasi. Hanna Latuputty(2010) memberikan
keterangan bahwa Masyarakat melek informasi adalah masyarakat pembelajar
sepanjang masa; bukan insan yang hanya bisa membaca, menulis, dan
berhitung namun bagaimana manusia itu bisa bertahan hidup karena
mempunyai seperangkat keterampilan pemecah masalah dengan menggunakan
sumber informasi yang ada. Olehsebab itu ketrampilan literasi informasi
mutlak diperlukan, ketrampilan literasi informasi merupakan persyaratan
untuk berpartisipasi dalam masyarakat berinformasi, selain itu juga
merupakan hak asasi manusia untuk belajar sepanjang hayat.
Peran Pustakawan Dalam Literasi Informasi
Perpustakaan sebagai penjaja informasi mempunyai peran penting dalam membentuk masyarakat literet.
Tersedianya informasi dan fasilitas di
perpustakaan dalam jumlah kecil, sedang atau banyak selayaknya menjadi
suatu peluang untuk meningkatkan kemampuan literasi informasi pustakawan
dan kemudian pengguna yang dilayani. Beberapa hal yang dapat dilakukan
oleh pustakawan untuk melengkapi diri sendiri dengan kemampuan informasi
literasi adalah :
1. mengikuti seminar/workshop literasi informasi
2. membuat diskusi dan pelatihan bersama dengan pustakawan lain, baik dari lembaga yang sama atau dari lembaga lain
3. mengadakan sharing atau temu-bicara untuk saling berbagi tentang kebutuhan, layanan dan kemajuan yang dicapai di perpustakaan masing-masing
4. memberdayakan dirinya sendiri dengan fasilitas yang tersedia baik di perpustakaan atau di organisasi induk
Setelah melengkapi diri sendiri dengan kemampuan literasi informasi, maka langkah selanjutnya
adalah memberdayakan penggunanya atau rekan sekerjanya dengan literasi informasi :
1. mengadakan kelas literasi informasi atau bagian dari literasi informasi seperti literasi komputer,
literasi Internet, kelas penggunaan koleksi perpustakaan sesuai kebutuhan penggunanya
dengan fasilitas yang ada.
2. memperkenalkan dan mempromosikan literasi informasi sejak dini kepada pengguna, terutama
untuk perpustakaan sekolah dan pendidikan tinggi
3. membuat situs literasi informasi agar promosi tentang kemampuan ini lebih tersebar terutama dalam bahasa Indonesia.
Jadi sebenarnya tidak ada waktu bagi
pustakawan untuk diam atau mengeluh dengan kondisi perpustakaannya.
Kondisi yang ada seharusnya tidak menghalangi pustakawan untuk maju
memberdayakan dirinya sendiri. Usaha ini akan lebih baik hasilnya jika
perpustakaan-perpustakaan yang sejenis bersedia berbagi pengalaman dan
kemampuan.
Sumber Referensi
http://www.antara.com/mengupayakan-sinergi-menuju-masyarakat-melek-informasi.htm diakses pada tanggal 8 Juni 2010
http://www.averroespress.net/home/60-di-balik-buku/392-menyemai-budaya-literasi.pdf diakses pada tanggal 7 Juni 2010
http://adln.lib.unair.ac.id/files/disk1/208/gdlhub-gdl-proc-2009-triniharya-10355-membangu-y.pdf, diakses pada tanggal 8 Juni 2010
http://www.cilip.org.uk/get-involved/advocacy/learning/information-literacy/pages/definition.aspx diakses pada tanggal 8 Juni 2010
http://lecturer.ukdw.ac.id/othie/modulilukdw.pdf diakses pada tanggal 7 Juni 2010
lecturer.ukdw.ac.id/othie/Internet_ILSUPPORT.pdf diakses pada tanggal 8 Juni 2010
peter.petra.ac.id/~anugraha/seminar/…/Kepustakawanan_Indonesia.doc, diakses pada tanggal 8 Juni 2010
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/13518/1/10E00255.pdf diakses pada tanggal 7 Juni 2010
Literasi Informasi dan Literasi Digital
https://sulistyobasuki.wordpress.com/2013/03/25/literasi-informasi-dan-literasi-digital/
Literasi Informasi dan Literasi Digital
Pendahuluan
(a) Mengetahui bagaimana menentukan lokasi informasi serrta mengaksesnya
Bruce menggunakan pendekatan informasi terhadap literasi informasi. Ada tiga strategi yang diusulkannya yaitu :
(c) Ancangan relasional, dimulai dengan menggambarkan fenomena dalam bahasa dari yang telah dialami seseorang.
Adapun 7 wajah literasi informasi digambarkkan dalam tabel sebagai berikut :
Literasi ini merupakan keterampilan dasar yang diperlukan untuk mampu menangani infomasi dan pengetahuan. Literasi tradisional dan ktrampilan TU tetap diperukan.
Dalam literasi digital, yang menjadi kompetensi utama mencakup :
(1) Pemahaman format digital dan non digital;
(2) Penciptaann dan komunikasi informasi digital;
(3) Evaluasi informasi;
(4) penghimpunan atau perakitan pengetahuan;
(5) Literasi informasi dan
(6) Literasi media (Davis & Shaw, 2011).
Kesemuanya itu merupakan ketrampilan dan kompetensi, dibuat pada tonggak (nomor i) yang merupakan landasan literasi digital. Ketramnpilan dan kompetensi tersebut memiliki jangkauan luas dan mungkin berbeda antara satu negara dengan negara lain. Di sini dapat juga ditambahkan kompetensi dimensi etis dalam arti pemakai mengetahui bagaimana mnsitat buku, jurnal, laporan teknis dalam format kertas, melainkan juga tahu menyitat dokumen yang diterbitkan di Web.
Ada yang menambahkan pada kompetensi utama itu kompetensi penerbitan n artinya kompetensi menghasilakn swaterbitan di situs pribadi Web. Kompetensi ini menggunakan berbagai kompetensi yang telah ada sebelumnya seperti mengunduh dan mengunggah berbagai jenis berkas digital citra, audio, teks dsb) dengan harapan seseorang menerbitkan informasi bermutu dengan tetap menghormati hak cipta.
Ad 4. Sikap dan perspektif.
Ini merupakan hal yang, menciptakan tautan antara konsep baru literasi digital dengan gagasan lama tentang literasi. Perseorangan tidak cukup memiliki ketrampilan dan kompetensi melainkan hal itu harus berlandaskan kerangka kerja moral,yang diasosiasikan dengan seseorang yang terdirik. Dari semua komponen literasi digital, mungkin yang paling sulit diajarkan adalah kerangka kerja moral, namun hal itu paling kuat kedekatannya dengan istilah informasi dalam akar bahasa Latinnya informare artinya membentuk, memaparkan.
Pembelajaran mandiri dan literasi moral dan sosial merupakan kualitas yang ada pada seseorang dengan motivasi dan pikiran mendayagunakan informasi sebaik-baiknya. Ketiga hal tersebut merupakan dasar pemahaman pentingnya informasi sertaurusan yang baik dengan sumber daya informasi dan saluran komunikasi serta insentif untuk meningkatkan kemampuan seseorang ke tingkat yang lebih baik.
Literasi moral menyangkut pemahaman bahwa akses yang hampir tidak terbatas pada Web diikuti dengan pemahaman bahwa tidak semua materi yang diunduh itu bebas dari hak cipta.
Keempat komponen dianggap merupakan tunutan yang berat yang ditujukan pada pemakai informasi. Rasanya berat namun hal tersebut merupakan keharusan bila seseorang berkecimpung dan berhasil dalam lingkungan informasi dewasa ini. Dalam hal ini khususnya literasi digital merupakan alat yang ampuh untuk menghindari masalah dan paradoks dalam perilaku informasi seperti beban luwih informasi (information overload), kecemasan informasi, penghindaran informasi dan sejenisnya (Bawden & Robinson, 2009).
Dunia kini dipenuhi informasi yang diperoleh melalui berbagai cara seperti berikut :
(1) Manusia menemukan informasi melalui indera fisik, mental, dan emosi.
(2) Manusia mencari informasi dengan cara bertanya dan mencarinya.
(3) Manusia memperoleh informasi sebagai masukan dari manusia lain dan dari berbagai sistem informasi.
(4) Manusia menata informasi dalam benak dan catatannya dan juga membuat informasi.
Maka manusia akan mencatat atau mengeluh tentang terlalu banyak informasi di dunia ini. Hal itu bukan hal baru karena pada tahun 1755 Ensiklopedi Denis Dideot mengatakan bahwa peningkatan jumlah materi yang diterbitkan akan membuat manusia lebih mudah menemukan ulang fakta dengan cara mengamati alam dariapa menemukan informasi yang tersembunyi dalam banyak materi. Akhir Perang Dunia 2 juga sering ditandai dengan banyaknya informasi sehingga muncul istilah seperti ledakan informasi atau banjir informasi. Alvin Tofler dalam bukunya Future Shock (1970) menggambarkan perubahan tknologi dan structural pada masyarakat serta mempopulerkan istilah information load (beban lebih informasi).
Beban lebih informasi itu menyebabkan timbulnya kecemasan informasi (information anxiety) yang timbul akibat kesenjangan yang semakin lebar antara apa yang dipahami manusia dengan apa yang seyogyanya dipahami manusia. Seperti dikatakan Wurman (1989) dan business dictionary, kecemasan informasi adalah lubang hitam (black hole) antara data dengan pengetahuan, dan apa yang terjadi manakala infortmasi tidak memberitahukan apa yang diinginkan manusia atau yang perlu diketahui manusia.
Sikap kecemasan informasi menimbulkan penghindaran informasi (information avoidance) yang berarti setiap perilaku yang dirancang untuk menghindari atau menunda akuisisi informasi yang tersedia namun sebenarnya merupakan informasi yang tidak diinginkan (Frey, 1982; Kate Sweeny et al, 2010). Maka literasi digital merupakan alat bantu yang ampuh untuk mengatasi masalah dan paradox perilaku informasi seperti beban lebih informasi, kecemasan informasi, penghindaran informasi dan sejenisnya (Bawden&Robinson, 2009).
Literasi digital berdampak pada pustakawan karena dia harus menguasai literasi informasi serta literasi lainnya sehingga memungkinkan pustakawan mengembangkan kegiatan literasi informasi di lingkungannya.
Pengetahuan latar belakang juga menimbulkan masalah pada pendidikan pustakawan. Apakah pola pendidikan pustakawan yang didominasi program sarjana masih diteruskan atau diubah? Pengalaman menunjukkan bahwa pustakawan yang berbasis sarjana ilmu perpustakaan merasakan kurang bekal ilmu pengetahuan lain untuk kepentingan pekerjaannya. Maka banyak pustakawan yang bergelar sarjana ilmu perpustakaan, manakala sudah bekerja, melanjutkan pendidikan di tingkat pascasarjana bidang lain seperti komunikasi, pendidikan, sejarah dll.
Keadaan semacam itu mencetuskan gagasan mengapa beberapa lembaga penyelenggara pendidikan pustakawan lebih memusatkan pada pendidikan pascasarajana disertai dengan kegiatan riset sedangkan lembaga lain tetap berkonsentrasi pada program sarjana saja. Juga secara tidak langsung hal itu Nampak pada usulan Forum Kerjasama Perpustakaan Perguruan Tinggi yang mengusulkan agar kepala perpustakaan universitas adalah mereka yang bergelar magister ilmu perpustakaan atau yang lebih tinggi.
Literasi informasi yang digunakan di sini merupakan terjemahan kata information literacy. Sebelum ini istilah yang digunakan dalam Bahasa Indonesia adalah melek huruf, kemelekan huruf (Glosarium,
2007) namun istilah yang diterima di kalangan pustakawan adalah
literasi walaupun hal tersebut menimbulkan kesulitan manakala ingin
menerjemahkan kata literate. Kata literacy itu sendiri mengalami kesulitan manakala diterjemahkan ke bahasa lain sepertti bahasa Prancis, Jerman, Italia, Turki, dll.
Definisi
Walau istilah literasi informasi mulai di
AS sekitar dasawarsa 1970an, pengertian serta landasan dasarLI tidak
sepenuhnya memenuhi kesepakatan di kalangan ilmuwan informasi. Seperti
dikatakan Shapiro dan Hughes (1996) literasi informasi merupakan konsep
yang sering digunakan namun memiliki sifat ketaksaan (ambiguitas) yang
berbahaya. Hal tersebut juga dinyatakan oleh Snavely dan Cooper (1997)
yang mengatakan untuk dapat diterima oleh pemakai non pustakaswan dan
akademisi, pustaka iswan perlu menjelaskan definisi LI serta
membedakannya dari instruksi bibliografis serta perbedaannya dari
pendidikan dan pembelajaran pada umumnya. Sungguhpun demikian
Owusu-Ansah (2003,2005) mengatakan bahwa adanya banyak definisi dan
konsep LI tidak mencerminkan perbedaan atau ketidaksepakatan yang besar.
Istilah “information literacy”
pertama kali dikemukakan oleh Paul Zurkowski yang mengatakan orang yang
literat informasi adalah orang-orang yang terlatih dalam aplikasi
sumberdaya dalam pekerjaanna (Behrens,1994). Setelah ittu keluar
definisi LI oleh ANZIL (Australian and New Kesepakatan definisi LI baru
tercapai tahun 2005 tatkala IFLA, UNESCO dan National Forum for
Information Literacy (NFIL) menaja pertemuan tingkat tinggi di
Bibliotheca Alexandriana di Alexandria, Mesir. Sebagai hasil pertemuan
muncullah definisi LI sebagai berikut :
Information literacy encompasses knowledge of one’s information concerns and needs, and the ability to identify, locate, evaluate, organize, and effectively create, use and communicate information to address issues or problems at hand; it is a prerequisite for participating effectively in the Information Society,and is part of the basic human right of life – long learning.
Definisi tersebut yang akan digunakan dalam makalah ini sebagai landasan ke literasi informasi digital.
Model Literasi Informasi
Keberadaan model memungkinkan untuk
mengidentifikasi berbagai komponen serta menunjukkan hubungan
antarkomponen. Juga model dapat digunakan untuk menjelaskan apa yang di
maksud dengan literasi informasi. Dari situ kita dapat memusatkan pada
bagian tertentu ataupun keseluruhan model.
Model literasi informasi ada 4 yang
terkenal yaitu The Big 6, Seven Pillars, dan Empowering 8 serta satu
lagi The Seven Faces of Information Literacy sebagaimana diusulkan oleh
Bruce.
A. The Big 6
The Big 6 dikembangkan di AS oleh dua
pustakawan, Mike Eisdenberg dengan Bob Berkowitz. The Big 6 menggunakan
pendekatan pemecahan masalah untuk mengajar informasi dan ketrampilan
informasi serta teknologi. Model The Big 6 terdiri dari 6 tahap
pemecahan masalah, pada masing-masing tahap dikelompokkan dua sublangkah
atau komponen.
- Definisi tugas
- Definisikan masalah informasdi yang dihadapi
- Identifikasi informasi yang diperlukan
- Strategi mencari informasi
- Menentukan semua sumber yang mungkin
- Memilih sumber terbaik
- Lokasi dan akses
- Tentukan lokasi sumber secara intelektual maupun fisik
- Menemukan informasi dalam sumber
- Hadapi, misalnya membaca, mendengar, menyentuh, mengalamati
- Ekstrak informasi yang relevan
- Mengorganisasikan dari banyak sumber
- Sajikan informasi
- Nilai produk yang dihasilkan dari segi efektivitas
- Nilai proses, apakah efisien
Model The Big 6 memiliki kekurangan yaitu
mayoritas sumber dan contoh berdasarkan sekolah dan kegiatan kelas di
AS. Kedua The Big 6 merupakan produk komersial yang mensyaratkan hak
cipta dan perlindungan merek dagang sehingga tidak dapat digunakan
begitu saja. Sungguhpun demikian, pembuat The Big 6 masih mengizinkan
penggunaannya untyuk kepertluan pendidikan asal memberitahu mereka.
B. The Seven Pillars of Information Literacy
SCONUL (Standing Conference of National and University Libraries)
di Inggris mengembangkan model konsdeptual yang disebut Seven Pillars
of Information Literacy. Bila di gambar nampak sebagai berikut :
Model Tujuh Pilar hendaknya dilihat dari
segi peningkatan mulai dari ketrampilan kemelekan informasi dasar
melalui cara lebih canggih memahami serta menggunakan informasi,
katakanlah dari novis menuju pakar.
Model 7 Pilar terdiri dari 2 himpunan ketrampilan yaitu :(a) Mengetahui bagaimana menentukan lokasi informasi serrta mengaksesnya
(b) Mengetahui bagaimana memahami serta menggunakan informasi.
Ad a. Mengetahui bagaimana menentukan lokasi informasi serta mengaksesnya
Empat pilar pertama terdiri atas ketrampilan dasar yang disyaratkan untuk menentukan lokasi serta akses informasi terdiri :
(Pilar 1) Merekognisi kebutuhan
informasi, mengetahui apa yang telah diketahui, mengetahui apa yang
tidak diketahui dan mengidentifikasi kesenjangan antara yang diketahui
dengan yang tidak diketahui
(Pilar 2) Membedakan cara mengatasi
kesenjangan, mengetahui sumber informasi mana yang paling besar
peluangnya memuaskan kebutuhan
(Pilar 3) Membangun strategi untuk
menentukan lokasi informasi. Contoh bagaimana mengembangkan dan
memperbaiki strategi penelusuran yang efektif
(Pilar 4) Menentukan lokasi dan akses informasi, mengetahui bagaimana
mengakses sumbert infotmasi dan memeriksa alat untuk akses dan temu
balik informasi.
Ad b . Mengetahui bagaimana memahami serta menggunakan informasi.
Pilar ke lima sampai ke tujuh merupakan
ketrampilan tingkat lanjut yang diperlukan untuk memahami serta
menggunakan informasi secara efektif. Adapun ke tiga pilar tersebut
ialah
(Pilar 5) Membandingkan dan mengevaluasi, mengetahui bagaimana mengases relevansi dan kualitas informasi yang ditemukan
(Pilar 6) Mengorganisasi, menerapkan dan
mengkomunikasikan, mengetahui bagaimana merangkaikan informasi baru
dengan informasi lama, mengambil tindakan atau membuat keputusan dan
akhirnya bagaimana berbagi hasil temuan informasi tersebut dengan orang
lain
(Pilar 7) Sintesis dan menciptakan,
mengetahui bagaimana mengasimilasikan informasi dari berbagai jenis
sumber untuk keperluan menciptakan pengetahuan baru. Bila di gambar
hasilnya sebagai berikut
Ketrampilan dasar literasi informasi
(pilar 1 sampai 4) merupakan dasar bagi semua isu dan topik, dapat
diajarkan pada semua tingkat pendidikan. Ketrampilan tersebut juga
diperkuat dan diperkaya melalui penggunaan berkala serta pembelajaran
sepanjang hayat, umumnya melalui program dan sumber yang disediakan oleh
perpustakaan. Untuk mencapai pilar 5 sampai 7, tantangan yang dihadapi
lebih besar karena keanekaragaman orang.
C. Empowering Eight (E8)
International Workshop on Information
Skill for learning International Workshop on Information Skills fort
Learning di Colombo, Srilangka tahun 2004 ini dihadiri oleh 10 negara,
yaitu Bangladesh, India, Indonesia, Maldiva, Malaysia, Nepal, Pakistan,
Singapore, Sri Lanka, Muangthai, dan Vietnam, sedangkan workshop kedua
diselenggarakan di Patiala India) november 2005. Tujuannya oalah
mengembangkan model literasi informasi yang akan digunakan untuk
negara-negara Asia Tenggara dan Selatan. Model yang dikembangkan
disebut Empowering Eight atau E8 karena mencakup 8 komponen menemukan
dan menggunakan informasi. Empowering 8
Empowering 8 menggunakan pendekatan pemecahan masalah untuk resource-based learning. Menurut model ini, literasi informasi terdiri dari kemampuan untuk :
- Identifikasi topik/subyek, sasaran audiens, format yang relevan, jenis-jenis sumber
- Eksplorasi sumber dan informasi yang sesuai dengan topik
- Seleksi dan merekam informasi yang relevan, dan mengumpulkan kutipan-kutipan yang sesuai
- Organisasi, evaluasi dan menyusun informasi menurut susunan yang logis, membedakan antara fakta dan pendapat, dan menggunakan alat bantu visual untuk membandingkan dan mengkontraskan informasi
- Penciptaan informasi dengan menggunakan kata-kata sendiri, edit, dan pembuatan daftar pustaka
- Presentasi, penyebaran atau display informasi yang dihasilkan
- Penilaian output, berdasarkan masukan dari orang lain
- Penerapan masukan, penilaian, pengalaman yang diperoleh untuk kegiatan yang akan datang; dan penggunaan pengetahuan baru yang diperoleh untuk pelbagai situasi.
Kalau dijabarkan dalam langkah nampak sebagai berikut :
Langkah
|
Komponen |
Hasil pembelajaran yang didemonstrasikan
|
1
|
Mengidentifikasi
|
-Mendefinisikan topik/subjek-Menentukan dan memahami sasaran penyajian-Memilih format yang relevan untuk produk akhir
-Mengidentifikasi kata kunci -merencanakan strategi penelusuran -Mengidentifikasi berbagai jenis sumber informasi, di mana dapat ditemukan |
2
|
Eksplorasi
|
-Menentukan lokasi sumber yang sesuai dengan topik-Menemukan informasi yang sesuai dengan topik-Melakukan wawancara, kunjungan lapangan atau penelitian di luar lainnya |
4
|
Memilih
|
-Memilih informasi yang relevan-Menentukan sumber mana
saja yang terlalu mudah, terlalu sukar atau sesuai-Mencatat informasi
yang relevan dengan cara membuat catatan atau membuat pengorganisasian
visual seperti cart, grafik, bagan, ringkasan dll.
-Mengidentifikasi tahap-tahap dalam proses -Mengumpulkan sitiran yang sesuai |
4
|
Mengorganisasi
|
-Memilah informasi
-Membedakan antara fakta, pendapat dan khayalan -Mengecek ada tidaknya bias dalam sumber -Mengatur informasi yang diperoleh dalam urutan yang logis -Menggunakan pengorganisasi visual untuk membandingkan atau membuat kontras informasi yang diperoleh |
5
|
Menciptakan
|
-Menyusun informasi sesuai dengan pendapat dalam cara yang bermakna-Merevisi dan menyunting, sendiri atau bersama-sama pembimbing-Finalisasi format bibliografis |
6
|
Menyajikan
|
-Mempraktekkan aktivitas penyajian-Berbagi informasi dengan orang atau pihak yang sesuai-Memaparkan informasi dalam format yang tepat sesuai dengan hadirin -Menyusun dan menggunakan peralatan yang sesuai |
7
|
Mengakses
|
-Menerima masukan dari siswa lain
-Swa ases kinerja kita sebagai tanggapan atas asesmen karya dari pihak guru -Merefleksi seberapa jauh keberhasilan yang telah mereka lakukan -Menentukan apakah masih diperlukan ketrampilan baru -Pertimbangkan apa yang dapat dilakukan lebih baik pada kesempatan berikut |
8
|
Menerapkan
|
-Meninjau masukan serta asesmen yang masuk-Menggunakan
masukan serta asesmen untuk keperluan pembelajaran/aktivitas
berikutnya-Mendorong menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari
berbagai situasi
-Menentukan ketrampilan sekarang dapat diterapkan pada subjek -Tambahkan produk pada portofolio produksi |
Pertemuan di Colombo ini diikuti oleh
seorang pejabat tinggi Perpustakaan Nasional RI serta seorang pejabat
Departemen Pendidikan Nasional yang akan menjalani tahap pensiun., yang
dikirim ke pertemuan internasional sebagai balas jasanya karena belum
pernah keluar negeri. Maka sudah dapat diperkirakan tidak ada pemencaran
kegiatan literasi informasi sebagai oleh-oleh dari pertemuan
internasional dari Perpustakaan Nasional karena pejabat yang
menghadiri pertemuan tersebut sudah pensiun!
D. Bruce’s Seven faces of information literacyBruce menggunakan pendekatan informasi terhadap literasi informasi. Ada tiga strategi yang diusulkannya yaitu :
(a) Ancangan perilaku (behaviourist approach),
menyatakan untuk dapat digambarkan sebagai melek informasi, seseorang
harus menunjukkan karakteristik tertentu serta mendemonstrasikan
ketrampilan tertentu yang dapat diukur. Pendekatan semacam itu dianut
oleh ACRL dalam standarnya.
(b) Ancangan konstrukvis (constructivist approach), tekanan pada pembelajar dalam mengkonstruksi gambaran domainnya, misalnya melalui pembelajaran berbasis persoalan,(c) Ancangan relasional, dimulai dengan menggambarkan fenomena dalam bahasa dari yang telah dialami seseorang.
Adapun 7 wajah literasi informasi digambarkkan dalam tabel sebagai berikut :
Seven faces of information literacy
Kategori satu:Konsepsi teknologi informasi | Literasi informasi dilihat sebagai penggunaan teknologi informasi untuk keperluan temubalik informasi serta komunikasi |
Kategori dua:Konsepsi sumber ke informasi | Literasi informasi dilihat sebagai menemukan informasi yang berada di sumber informasi |
Kategori tiga:Konsepsi proses informasi | Literasi informasi dilihat sebagai melaksanakan sebuah proses |
Kategori empat:Konsepsi pengendalian informasi | Literasi informasi dilihat sebagai pengendalian informasi |
Kategori lima:Konsepsi konstruksi pengetahuan | Literasi informasi dilihat sebagai pembuatan basis pengetahuan pribadi pada bidang baru yang diminatinya |
Kategori enam:Konsepsi perluasan pengetahuan | Literasi informasi dilihat sebagai berkarya dengan pengetahuan dan perspektif pribadi yang dipakai sedemikian rupa sehingga mencapai wawasan baru |
Kategori tujuh:Konsepsi kearifan | Literasi informasi dilihat sebagai menggunakan informasi secara bijak bagi kemudaratan orang lain |
E. McKinsey Model
Mahasiswa pascasarjana bisnis (graduate business students)
memerlukan 10 ketrampilan untuk melakukan penelitian pada abad
informasi ini (Donaldson, 2004). Adapun kesepuluh ketrampilan itu ialah
:
(a) Fokus pada topik (persempit topik/perluas ruang lingkup)
(b) Bekerja dalam urutan kronologis terbalik, pertama kali menelusur informasi terbaru
(c) Memahami signifikansi terminologi dan tentukan tajuk subjek yang benar
(d) Menganekaragamkan sumber (gunakan buku, majalah, situs internet, dll)
(e) Gunakan strategi Boole (AND,OR,NOT) pada penelusuran komputer
(f) Gandakan sumber sampai tiga kali (identifikasi sebanyak tiga kali rujukan dari yang diperlukan)
(g) Evaluasi secara kritis materi yang ditemubalik; harus memiliki kecurigaan pada sumber yang berasal dari Web;
(h) Asimilasikan informasi; jangan plagiat, masukkan gagasan sendiri ke dalam topik penelitian
(i) Sitir semua sumber
Sebenarnya model McKinsey merupakan
pengembangan lebih lanjut dari model literasi informasi yang telah ada
sebelumnya. Dimulai dari kebtuhan bisnis, namun karena diadaptasikan
untuk literasi informasi, maka dimulai dengan kebutuhan informasi.
Kebutuhan ini muncul dari masalah bisnis atau masalah penelitian, studi
kasus ataupun tugas kuliah.
Setelah masalah diidentifikasi, langkah
selanjutnya ialah analisis masalah Oleh McKinsey disebut perangkaan
masalah atau mendefinisikan batas masalah kemudian memecahnya menjadi
unsur komponen untuk sampai ke hipotesis awal sebagai pemecahan. Langkah
berikutnya disain analisis, kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan
data, terutama dengan fact finding serta wawancara, Berikutnya
menafsirkan hasil, analisis serta evaluasi untuk menguji hipotesis.
Langkah paling akhir dalam model McKinesy ialah penyajian akhir.
Jenis literasi informasi
Literasi informasi terdiri dari berbagai literasi sebagai berikut :
A. Literasi visual
Yang pertama ialah literasi visual
artinya kemampuan untuk memahami dan menggunakan citra, termasuk
kemampuan untuk berpikir, belajar, dan mengungkapkan diri sendiri dalam
konteks citra. Literasi visual adalah kemampuan untuk memahami serta
menggunakan citra visual dalam pekerjaan dan kehidupan harian. Literasi
visual mencakup integrasi pengalaman visual dengan pengalaman yang
diperoleh dari indera lain seperti apa yang didengar, apa yang dibau,
apa yang dikecap, apa yang disentuh serta apa yang dirasakan. Kompetensi
literasi visual memungkinkan seseorang untuk memilah serta menafsirkan
berbagai tindakan visual, objek dan atau simbol. Dari situ, seseorang
dapat berkomunikasi dengan orang lain, membuat pamflet, tengara, membuat
halaman Web.
B. Literasi media
Literasi media ialah kemampuan seseorang
untuk menggunakan berbagai media guna mengakses, analisis serta
menghasilkan informasi untuk berbagai keperluan Dalam kehidupan
sehari-hari seseorang akan dipengaruhi oleh media yang ada di sekitar
kita berupa televisi, film, radio, musik terekam, surat kabar dan
majalah. Dari media itu masih ditambah dengan internet bahkan kini pun
melalui telepon seluler dapat diakses.
Definisi literasi media menggunakan
pendekatan trikotomi yang mencakup 3 bidang yaitu literasi media
bermakna memiliki akses ke media, memahami media dan
menciptakan/mengekspresikan diri sendiri dengan menggunakan media
(Buckingham 2005, Livingstone 2005). Akses meliputi menggunakan serta
kebiasaan media artinay kememapuan menggunakan fungsi dan kompetensi
navigasi(mengubah saluran televisi, menggunakan sambungan Internet):
kompetensi mengendalikan media (misalnya menggunakan sistem terpasang
interaktif, melakukantransaksi melalui Internet); pengetahuan tentang
legislasi dan peraturan lain dalam bidang tersebut (misalnya kebebasan
berbicara, mengungkapkan pendapat, perlindungan privasi, pengetahuan
mengenai materi yang mengganggu, perlindungan terhadap “sampah
internet).
Pemahaman artinya memiliki kemapuan untuk memahami/menafsirkan serta memperoleh perspektif isi media serta sikap kristis terhadapnya.
Menciptakan mencakup berinteraksi
dengan media (misalnya bebricara di radio, ikut serta dalam diskusi di
internet) juga menghasilkan isi media. Bagi seseorang yang memiliki
pengalamanengisi berbagai jenis media massa membuat seseorang memiliki
pemahaman yang lebih baik tentang dan pendekatan kritis terhadap isi
media.
Jadi literasi media adalah masalah
ketrampilan, pengetahuan dan kompetensi, juga tergantung pada institusi,
lembaga dan teknik untuk mediasi informasi dan komunikasi. Secara
analitis, konsep literasi media digunakan pada aras perorangan dan
masyarakat.
Istilah media mencakup semua media
komunikasi, kadang-kadang digunakan istilah media massa merujuk ke semua
media yang dimaksudkan untuk mencapai audisi sangat besar seperti
televisi siaran dan bayar, radio, film, surat kabar dan majalah. Sering
pula istilah “dalam semua media dan format” mengacu pada komunikasi dan
diseminasi informasi dalam berbagai media berlainan serta berbagai
format (teks, grafik, foto, tabel statistik dll).
Marshall McLuhan dianggap sebagai pencipta istilah “medium is the message”,
artinya isi seringkali tidak dapat dilepaskan dari media khusus yang
digunakan untuk memancarkan berita. Karena itu karena alasan
keterbatasan waktu dan anggaran, berita yang dipancarkan melalui media
televisi harus diformat dan ditata cara paling optimal guna “berita
diteruskan”. Singkatnya, berita dalam media televisi, tidak boleh
terlalu panjang, dalam bahasa sederhana dll.
Media interaktif memungkinkan
pemakai berinetraksi langsung dengan gawai komunikasi atau
telekomunikasi seperti model “layar sentuh”, kini mulai banyak digunakan
di restoran, hotel, pusat informasi wisata dll.
Literasi media mencakup semuanya dari
memiliki pengetahuan yang dipelrukan untuk menggunakan teknologi media
lama dan baru sampai dengan memiliki hubungan kritis ke konten medua.
Tulisan seperti Buckingham (2005), Livingstone (2005) menyatakan bahwa
trikotomi untuk mendefinisikan literasi media adalah memeliki akses ke
media, memahami media dan menciptakan, mengekspresikan
diri sendiri menggunakan media. Liiterasi media mengakui pengaruh harian
pada manusia yang berasal dari televisi, film, radio, musik, surat
kabar, dan majalah.
C. Literasi teknologi komputer dan komunikasi lazim disebut literasi komputer (IFLA ALP 2006)
Literasi komputer artinya kemampuan tahu
bagaimana mengguinakan dan mengoperasikan komputer secara efisien
sebagai mesinpemroses informasi (Horton Jr, 2007). Bagian ini merupakan
separuh bagian dari literasi teknologi informasi dan computer, separo
lainnya adalah Literasi media.
Bagian ini terdiri dari: literasi
perangkat keras dan perangkat lunak. Literasi perangkat keras mengacu
kepada operator dasar yang iperlukan untuk menggunakan komputer seperti
Personal Computer, Laptop, Notebook, Tablet Computer serta gawai genggam
semacam Blackberry. Ada pun literasi perangkat lunak mengacu pada
himpunan prosedur dan instruksu tujuan umum yang disyaratkan oleh
perangakt keras computer atau telekomunikasi untuk melaksanakan
fungsinya. Dalam LI computer paling utama adalah perangkat lunak
pengoperasian dasar seperti Windows, lembar batang (spreadsheet)
untuk data numeric seperti Excell peramgkat lunak penyajian preesenatsi
seperti PowerPoint dan perangkat lunak penyedia jasa infotmasi untuk
menggunakan Internet termasuk penelusuran WWW. Bagian ketiga adalah
luetrasi aplikasi mengacu pada pengetahuan dan ketrampilan yang
diperlukan untuk menggunakan berbagai paket perangkat lunak tujuan
khusus.
D. Literasi jaringan
Merupakan literasi dalam menggunakan
jaringa digital secara efektif, yang banyak berkembang berkat keberadaan
Internet. Bagi pustakawan literasi informasi mensyaratkan perubahan
pikir, dari “kepemilikan” ke “akses” artinya informasi milik
perpustakaan namun dapat diakses oleh publik sehingga menimbulkan
pertanyaan seberapa jauh konsep kepemilikan itu. Dalam konteks ekonomi
informasi, hal itu menunjukkan ciri khas informasi dilihat dari segi
ekonomi, misalnya informasi yang telah dijual akan tetap menjadi milik
penjual. Hal itu berbeda dengan penjualan benda misalnya makanan, sekali
dijual maka makanan itu pindah ke tangan pembeli (Kingma, 2001).
Literasi ini berarti seseorang memahami
bagaimana informasi dihasilkan, dikelola, tersedia, dapat menelusur
infromasi dari jaringan dengan menggunakan berbagai alat telusur,
memanipulasi informasi berjaring dengan kombinasi berbagai sumber,
menambahnya atau meningkatkan nilai informasi dari situasi tertentu.
Bagi manajer informasi termasuk
pustakawan perlu ada perubahan cara berpikir, dari pendekatan
kepemilikan ke pendekatan akses dan ini menuntut kompetensi dalam temu
balik informasi dan akses ke sumber daya elektronik jarak jauh.
E. Literasi kultural
Literasi kultural artinya pengetahuan
mengenai, serta pemahaman tentang, bagaimana tradisi, kepercayaan,
simbol dan ikon, perayaan dan sarana komunikasi sebuah negara, agama,
kelompok etnik atau suku berdampak terhadap penciptaan, penyimpanan,
penanganan, komunikasi, preservasi serta pengarsipan data, informasi dan
pengetahuan dengan menggunakan teknologi. Pemahaman literasi informasi
dalam kaitannya dengan literasi kultural adalah baaimana faktor budaya
berdampak terhadap penggunaan teknologi komunikasi dan informasi secara
efisien. Dampak itu dapat positif maupun negatif. Penyebaran televisi
misalnya berdampak hilangnya permainan anak-anak yang secara tradisional
dilakukan waktu terang bulan. Di segi lain, penyebaran telepon
seluler, televisi dan komunikasi nirkabel terjadi sebagai hasil kemauan
penduduk lokal untuk mengakui, menerima dan mengadaptasi teknologi
tersebut dalam budaya masing-masing.
E. Literasi digital
Literasi informasi berbeda dengan
literasi digital. Literasi informasi fokus pada pemahaman kebutuhan
informasi seseorang, dilakukan dengan kemampuan untuk menemukan dan
menilai informasi yang televan serta menggunakannya secara tepat.
Literasi informasi mulai banyak digunakan sejak tahun 1980an.
Istilah literasi digital mulai popular
sekitar tahun 2005 (Davis & Shaw, 2011) Literasi digital bermakna
kemampuan untul berhubungan dengan informasi hipertekstual dalam arti
bacaan takberurut berbantuan komputer. Istilah literasi digital pernah
digunakan tahun 1980an, (Davis & Shaw, 2011), secara umum bermakna
kemampuan untuk berhubungan dengan informasi hipertekstual dalam arti
membaca non-sekuensial atau nonurutan berbantuan komputer (Bawden,
2001). Gilster (2007) kemudian memperluas konsep literasi digital
sebagai kemampuan memahami dan menggunakan informasi dari berbagai
sumber digital.; dengan kata lain kemampuan untuk membaca, menulis dan
berhubungan dengan informasi dengan menggunakan teknologi dan format
yang ada pada masanya.
Penulis lain menggunakan istilah literasi
digital untuk menunjukkan konsep yang luas yang menautkan bersama-sama
berbagai literasi yang relevan serta literasi berbasis kompetensi dan
ketrampilan teknologi komunikasi, namun menekankan pada kemampuan
evaluasi informasi yang lebih “lunak” dan perangkaian pengetahuan
bersama-sama pemahaman dan sikap (Bawden, 2008; Martin, 2006, 2008) .
IFLA ALP Workshop (2006) menyebutkan
bagian dari literasi informasi adalah literasi digital, didefinisikan
sebagai kemampuan memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai
format dari sejumlah besar sumber daya tatkala sumber daya tersebut
disajikan melalui komputer. Sesusia perkembangan Internet, maka pemakai
tidak tahu atau tidak mempedulikan dari mana asalnya informasi, yang
penting ialah dapat mengaksesnya.
Literasi digital mencakup pemahaman
tentang Web dan mesin pencari. Pemakai memahami bahwa tidak semua
informasi yang tersedia di Web memiliki kualitas yang sama; dengan
demikian pemakai lambat laun dapat mengenal9i situs Web mana yang andal
dan sahih serta situas mana yang tidak dapat dipercayai. Dalam literasi
digital ini pemakai dapat memilih mesin pemakai yang baik untuk
kebutuhan informasinya, mampu menggunakan mesin pencara secara efektif
(misalnya dengan “advanced search”).
Singkatnya literasi digital adalah
himpunan sikap, pemahaman, keteramnpilan menangani dan mengkomunikasikan
informasi dan pengetahuan secara efektif dalam berbagai media dan
format. Ada definisi yang menyertakan istilah hubung, berhubungan (coomunicating); mereka yang perspektisi manajemen rekod atau manajemen arsip dinamis menyebutkan istilah penghapusan (deleting) dan pelestarian (preserving). Kadang-kadang istilah penemuan (finding) dipecah-pecah lagi menjadi pemilihan sumber, penemuan kembali dan pengakaksesan (accessing)
(Davis & Shaw, 2011). Walau pun literasi digital merupakan hal
penting dalam abad tempat informasi berwujud bentuk digital, tidak boleh
dilupakan bagian penting lainnya dari literasi digital ialah mengetahui
bila menggunakan sumber non digital.
Menurut Bawden (2008), komponen literasi digital terdiri dari empat bagian sebagai berikut :
(1) Tonggak pendukung berupa :
- literasi itu sendiri dan
- literasi komputer, informasi , dan teknologi komunik
- dunia informasi dan
- sifat sumber daya informasi
- pemahaman format digital dan non digital
- penciptaan dan komunikasi informasi digital
- Evaluasi informasi
- Perakitan engetahuan
- Literasi informasi
- Literasi media
(4) Sikap dan perspektif.
Ad 1. Landasan ini mencerminkan ketrampilan tradisional, di
dalamnya termasuk literasi computer yang memungkinkan sesdeorang mampu
berfungsu dalam masyarakat. Menyangkut literasi komouter, ada pendapat
yang mengatakan bahwa literasi computer merupakan bagian dari literasi
digital, namun ada pula yang berpendapat bahwa literasi computer sudah
merupakan bagian literasi informasi. Literasi computer kini dianggap
sebagai literasi saja dalam latar pendidikan atau di bawah tajuk semacam
smart working, basic skills di tempat kerja (Robinson, 2005).Literasi ini merupakan keterampilan dasar yang diperlukan untuk mampu menangani infomasi dan pengetahuan. Literasi tradisional dan ktrampilan TU tetap diperukan.
Ad 2. Pengetahuan latar belakang ini
dapat dibagi lebih lanjujut menjadi dunia informasi dan sifat sumber
daya informasi. Jenis pendidikan ini dianggap dimiliki oleh orang
berpendidikan semasa informasi masih dalam bentuk buku, surat kabar,
majalah, majalah akademis, laporan profesional; umumnya diakses melalui
bentuk cetak di perpustakaan. Ketika Internet berkembang yang
memunculkan dokumen elektronik maka pola komunikasi kepanditan (scholarly communication) atau komunikasi ilmiah (scientific communication) berubah. Bila dulu dikenal model tradisional Garbey/Griffith yang dimulai dari penelitian sampai ke
penerbitan yang dilakukan secara tradisional, maka kini mucul model
Garvey/Griffith yang sudah dimodernisir karena munculnya dokumen
elektronik (Crawford, Hurd, & Weller, 1996) sehingga terjadi modus
perubahan transfer informasi (Norton, 2000).
Ad 3. Kompetensi utamaDalam literasi digital, yang menjadi kompetensi utama mencakup :
(1) Pemahaman format digital dan non digital;
(2) Penciptaann dan komunikasi informasi digital;
(3) Evaluasi informasi;
(4) penghimpunan atau perakitan pengetahuan;
(5) Literasi informasi dan
(6) Literasi media (Davis & Shaw, 2011).
Kesemuanya itu merupakan ketrampilan dan kompetensi, dibuat pada tonggak (nomor i) yang merupakan landasan literasi digital. Ketramnpilan dan kompetensi tersebut memiliki jangkauan luas dan mungkin berbeda antara satu negara dengan negara lain. Di sini dapat juga ditambahkan kompetensi dimensi etis dalam arti pemakai mengetahui bagaimana mnsitat buku, jurnal, laporan teknis dalam format kertas, melainkan juga tahu menyitat dokumen yang diterbitkan di Web.
Ada yang menambahkan pada kompetensi utama itu kompetensi penerbitan n artinya kompetensi menghasilakn swaterbitan di situs pribadi Web. Kompetensi ini menggunakan berbagai kompetensi yang telah ada sebelumnya seperti mengunduh dan mengunggah berbagai jenis berkas digital citra, audio, teks dsb) dengan harapan seseorang menerbitkan informasi bermutu dengan tetap menghormati hak cipta.
Ad 4. Sikap dan perspektif.
Ini merupakan hal yang, menciptakan tautan antara konsep baru literasi digital dengan gagasan lama tentang literasi. Perseorangan tidak cukup memiliki ketrampilan dan kompetensi melainkan hal itu harus berlandaskan kerangka kerja moral,yang diasosiasikan dengan seseorang yang terdirik. Dari semua komponen literasi digital, mungkin yang paling sulit diajarkan adalah kerangka kerja moral, namun hal itu paling kuat kedekatannya dengan istilah informasi dalam akar bahasa Latinnya informare artinya membentuk, memaparkan.
Pembelajaran mandiri dan literasi moral dan sosial merupakan kualitas yang ada pada seseorang dengan motivasi dan pikiran mendayagunakan informasi sebaik-baiknya. Ketiga hal tersebut merupakan dasar pemahaman pentingnya informasi sertaurusan yang baik dengan sumber daya informasi dan saluran komunikasi serta insentif untuk meningkatkan kemampuan seseorang ke tingkat yang lebih baik.
Literasi moral menyangkut pemahaman bahwa akses yang hampir tidak terbatas pada Web diikuti dengan pemahaman bahwa tidak semua materi yang diunduh itu bebas dari hak cipta.
Keempat komponen dianggap merupakan tunutan yang berat yang ditujukan pada pemakai informasi. Rasanya berat namun hal tersebut merupakan keharusan bila seseorang berkecimpung dan berhasil dalam lingkungan informasi dewasa ini. Dalam hal ini khususnya literasi digital merupakan alat yang ampuh untuk menghindari masalah dan paradoks dalam perilaku informasi seperti beban luwih informasi (information overload), kecemasan informasi, penghindaran informasi dan sejenisnya (Bawden & Robinson, 2009).
Dunia kini dipenuhi informasi yang diperoleh melalui berbagai cara seperti berikut :
(1) Manusia menemukan informasi melalui indera fisik, mental, dan emosi.
(2) Manusia mencari informasi dengan cara bertanya dan mencarinya.
(3) Manusia memperoleh informasi sebagai masukan dari manusia lain dan dari berbagai sistem informasi.
(4) Manusia menata informasi dalam benak dan catatannya dan juga membuat informasi.
Maka manusia akan mencatat atau mengeluh tentang terlalu banyak informasi di dunia ini. Hal itu bukan hal baru karena pada tahun 1755 Ensiklopedi Denis Dideot mengatakan bahwa peningkatan jumlah materi yang diterbitkan akan membuat manusia lebih mudah menemukan ulang fakta dengan cara mengamati alam dariapa menemukan informasi yang tersembunyi dalam banyak materi. Akhir Perang Dunia 2 juga sering ditandai dengan banyaknya informasi sehingga muncul istilah seperti ledakan informasi atau banjir informasi. Alvin Tofler dalam bukunya Future Shock (1970) menggambarkan perubahan tknologi dan structural pada masyarakat serta mempopulerkan istilah information load (beban lebih informasi).
Beban lebih informasi itu menyebabkan timbulnya kecemasan informasi (information anxiety) yang timbul akibat kesenjangan yang semakin lebar antara apa yang dipahami manusia dengan apa yang seyogyanya dipahami manusia. Seperti dikatakan Wurman (1989) dan business dictionary, kecemasan informasi adalah lubang hitam (black hole) antara data dengan pengetahuan, dan apa yang terjadi manakala infortmasi tidak memberitahukan apa yang diinginkan manusia atau yang perlu diketahui manusia.
Sikap kecemasan informasi menimbulkan penghindaran informasi (information avoidance) yang berarti setiap perilaku yang dirancang untuk menghindari atau menunda akuisisi informasi yang tersedia namun sebenarnya merupakan informasi yang tidak diinginkan (Frey, 1982; Kate Sweeny et al, 2010). Maka literasi digital merupakan alat bantu yang ampuh untuk mengatasi masalah dan paradox perilaku informasi seperti beban lebih informasi, kecemasan informasi, penghindaran informasi dan sejenisnya (Bawden&Robinson, 2009).
Literasi digital berdampak pada pustakawan karena dia harus menguasai literasi informasi serta literasi lainnya sehingga memungkinkan pustakawan mengembangkan kegiatan literasi informasi di lingkungannya.
Pengetahuan latar belakang juga menimbulkan masalah pada pendidikan pustakawan. Apakah pola pendidikan pustakawan yang didominasi program sarjana masih diteruskan atau diubah? Pengalaman menunjukkan bahwa pustakawan yang berbasis sarjana ilmu perpustakaan merasakan kurang bekal ilmu pengetahuan lain untuk kepentingan pekerjaannya. Maka banyak pustakawan yang bergelar sarjana ilmu perpustakaan, manakala sudah bekerja, melanjutkan pendidikan di tingkat pascasarjana bidang lain seperti komunikasi, pendidikan, sejarah dll.
Keadaan semacam itu mencetuskan gagasan mengapa beberapa lembaga penyelenggara pendidikan pustakawan lebih memusatkan pada pendidikan pascasarajana disertai dengan kegiatan riset sedangkan lembaga lain tetap berkonsentrasi pada program sarjana saja. Juga secara tidak langsung hal itu Nampak pada usulan Forum Kerjasama Perpustakaan Perguruan Tinggi yang mengusulkan agar kepala perpustakaan universitas adalah mereka yang bergelar magister ilmu perpustakaan atau yang lebih tinggi.
Penutup
Literasi informasi
mencakup pengetahuan dan kebutuhan informasiseseorang dan kemampuan
untuk mengenali, mengetahui lokasi, mengevaluasi, mengorganisasi dan
menciptakan, menciptakan dan mengkomunikasikan informasi secara efektif
untuk mengatasi isu atau masalah yang dihadapi seseorang. Literasi
informasi terbagi atas literasi visual, ~media,~komputer,~jaringan dan
IFLA menyertakan pula literasi digital walau pun hal ini tidak selau
disebuit-sebut dalam buku lainnya. Istilah literasi informasi mulai
popular sekitar athun 1980 an, terbadiri dari berbagai jenis literasi.
Informasi digital merupakan himpunan sikap, pemahaman, dan
keterampilan untuk menangani dan mengkomunikasikan informasi dan
pengetahuan secara efektif dalam berbagai media dan format. Istilah
literasi digital mulai popular sekitar tahun 2005. Literasi digital
terbagi atas empat komponen yaitu tonggak literasi, pengetahuan latar
belakang, kompetensi utama dan sikap serta perspektif, masih ditambah
dengan kerangka moral.
Bawden, D. (2008). Origins and concepts of digital literacy. Dalam C. Lankshear&M. Knobel (eds). Digital literacies : concepts, policies, and paradoxes. Pp:15-32. New Yok: Peter Lang
Bawden, D. & Robinson, L (2009). The dark side of information: overload, anxiety and other paradoxes and pathologies. Journal of Information Science, 35(2),180-1911
Behrens, S. (1994).A conceptual analysis and historical review of information literacy. College and Research Libraries, 55,309-322
Bruce, C. (1997). The seven faces of information literacy. Adelaide: Auslib Press
Bundy, A. (2004).Australian and New Zealand Information Literacy Framnework. Dalam
Principles, standards and practice. 2nd ed. Adelaide:ANZIL,2004. ANZIL (Australian and New Zealand Institute for Information Literacy). http://www.anzil.org
Businnesdictionary.com. What is information literacy?definition and menaing. http:www.business dictionary.com/definition/information-anxiety.html. Diunduh 30 Agustus 2012.
Crawford,Susan Y.; Hurd,Julie M. and Weller, Ann C. (1996). From p[rint to electronic: the
transformation of scientific communication. Medford,NJ:Information Today.
Davis, Charles H.; Shaw,Debora (eds). (2011). Introduction to information science and technology. Medford,NJ: Information Today
Frey, Dieter. (1982). Different levels of cognitive dissonance, information seeking, and information avoidance. Journal of Personality and Social Psychology, 43(6),1175-1183
Gilster, P. (1997). Digital literacy. New York;Wiley
Glosarium istilah asing – Indonesia.(2007). Jakarta: Pusat Bahasa
Grassian,E.(2004). Building on bibliographic instruction. American Libraries,35(9),51-53
High-Level Colloquium on Information Literacy and Life-long Learning. Bibliotheca
Alexandrina, Alexandria, Mesir, November 6-9, 2005. Report of a meeting sponsored by the United Nations Education, Scientific, and CXultural organization (UNESCO), National FDorum on Information Literacy (NFIL) and the International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA). http://www.infolit.org/International_Colloquium/alexfinalreport.doc. Diunduh 8 Maret 2012
Horton,Jr, Forest Woody.(2007). Understanding information literacy: a prime. Paris”UNESCO
IFLA ALP Woorkshop on Information Literacy and IT, Auckland,New Zealand. (2006). The basic information literacy skills.
Martin, A. (2006). Literacies for tge digital age. Dalam A.Martin&D.Madigan(eds). Digital literacies forlearning. London:Facet.
Martin,A. (2008). Digital literacy and the”digital society:. Dalam C. Lanskhear & M.Konel(eds). Digital literacies: concepts, policies, and paradoxes. New York:Peter Lang.
Norton,Melanie J. (2011). Introductory concepts in information science. 2nd ed. Medford,NJ: Information Today.
Owusu-Ansah,E.K. (2003). Information literacy and the academic library: a critical look at a concept and the controversies surrounding it. Joournal of the Academic Libraries, 29(4),219-230.
Owusu-Ansah,E.K. (2005)).Debating definitions of information literacy: enough is enough, Library Review, 54(6),366-374
Shapiro,J.J. and Hughes,S.K. (1996). Information literacy as a liberal art. Educom Review, 31(2),31-35
Snavely,L. and Cooper, N. (1997). The information literacy debate. Journal of the Academic Librarianship,23(1),9-14
Sudarsono, Blasius et al. (2007; 2009), Literasi informasi (information literacy): pengantar untuk perpustakaan sekolah. Jakarta: Perpustakaan Nasional.
Sweeney, Kate et al. (2010). Information avoidance: who, what,when, and why. Review of General psychology, 14(4) Dec,340-353
Toffler, Alvin. (1970). The future shock. New York:Random House.
Bibliografi.
Bawden, D. (2001). Information and digital literacy: a review of concepts. Journal of Documentation, 57(2),218-259Bawden, D. (2008). Origins and concepts of digital literacy. Dalam C. Lankshear&M. Knobel (eds). Digital literacies : concepts, policies, and paradoxes. Pp:15-32. New Yok: Peter Lang
Bawden, D. & Robinson, L (2009). The dark side of information: overload, anxiety and other paradoxes and pathologies. Journal of Information Science, 35(2),180-1911
Behrens, S. (1994).A conceptual analysis and historical review of information literacy. College and Research Libraries, 55,309-322
Bruce, C. (1997). The seven faces of information literacy. Adelaide: Auslib Press
Bundy, A. (2004).Australian and New Zealand Information Literacy Framnework. Dalam
Principles, standards and practice. 2nd ed. Adelaide:ANZIL,2004. ANZIL (Australian and New Zealand Institute for Information Literacy). http://www.anzil.org
Businnesdictionary.com. What is information literacy?definition and menaing. http:www.business dictionary.com/definition/information-anxiety.html. Diunduh 30 Agustus 2012.
Crawford,Susan Y.; Hurd,Julie M. and Weller, Ann C. (1996). From p[rint to electronic: the
transformation of scientific communication. Medford,NJ:Information Today.
Davis, Charles H.; Shaw,Debora (eds). (2011). Introduction to information science and technology. Medford,NJ: Information Today
Frey, Dieter. (1982). Different levels of cognitive dissonance, information seeking, and information avoidance. Journal of Personality and Social Psychology, 43(6),1175-1183
Gilster, P. (1997). Digital literacy. New York;Wiley
Glosarium istilah asing – Indonesia.(2007). Jakarta: Pusat Bahasa
Grassian,E.(2004). Building on bibliographic instruction. American Libraries,35(9),51-53
High-Level Colloquium on Information Literacy and Life-long Learning. Bibliotheca
Alexandrina, Alexandria, Mesir, November 6-9, 2005. Report of a meeting sponsored by the United Nations Education, Scientific, and CXultural organization (UNESCO), National FDorum on Information Literacy (NFIL) and the International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA). http://www.infolit.org/International_Colloquium/alexfinalreport.doc. Diunduh 8 Maret 2012
Horton,Jr, Forest Woody.(2007). Understanding information literacy: a prime. Paris”UNESCO
IFLA ALP Woorkshop on Information Literacy and IT, Auckland,New Zealand. (2006). The basic information literacy skills.
Martin, A. (2006). Literacies for tge digital age. Dalam A.Martin&D.Madigan(eds). Digital literacies forlearning. London:Facet.
Martin,A. (2008). Digital literacy and the”digital society:. Dalam C. Lanskhear & M.Konel(eds). Digital literacies: concepts, policies, and paradoxes. New York:Peter Lang.
Norton,Melanie J. (2011). Introductory concepts in information science. 2nd ed. Medford,NJ: Information Today.
Owusu-Ansah,E.K. (2003). Information literacy and the academic library: a critical look at a concept and the controversies surrounding it. Joournal of the Academic Libraries, 29(4),219-230.
Owusu-Ansah,E.K. (2005)).Debating definitions of information literacy: enough is enough, Library Review, 54(6),366-374
Shapiro,J.J. and Hughes,S.K. (1996). Information literacy as a liberal art. Educom Review, 31(2),31-35
Snavely,L. and Cooper, N. (1997). The information literacy debate. Journal of the Academic Librarianship,23(1),9-14
Sudarsono, Blasius et al. (2007; 2009), Literasi informasi (information literacy): pengantar untuk perpustakaan sekolah. Jakarta: Perpustakaan Nasional.
Sweeney, Kate et al. (2010). Information avoidance: who, what,when, and why. Review of General psychology, 14(4) Dec,340-353
Toffler, Alvin. (1970). The future shock. New York:Random House.
Transformasi Makna Literasi
Kata literasi tentu sudah tidak asing bagi telinga kita.
Kata tersebut bahkan menjadi kata yang sering terucap. Dahulu kita hanya
mengetahui bahwa pengertian literasi itu hanya sekedar kemampuan membaca dan
menulis (7th Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary,
2005:898). Walaupun definisi (lama) literasi adalah kemampuan membaca dan
menulis, namun istilah literasi jarang dipakai dalam konteks pembelajaran
persekolahan di Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari tidak adanya lema
literasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Persekolahan di Indonesia
nampaknya lebih senang menggunakan istilah pengajaran bahasa atau pelajaran
bahasa daripada menggunakan istilah literasi. Pada masa itu, membaca dan
menulis mungkin dianggap cukup sebagai pendidikan dasar bagi manusia guna
menghadapi tantangan zaman dan kerasnya kehidupan.
Makna literasi semakin berkembang dari waktu ke waktu.
Perkembangan makna tersebut mengikuti perkembangan zaman yang bergerak cepat.
Perkembangan zaman yang pesat jugalah yang membukakan tirai penutup literasi.
Sekarang kita tahu bahwa literasi tak melulu baca-tulis. Literasi adalah
praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik. Oleh
karenanya para pakar pendidikan dunia berpaling kepada definisi baru tentang
literasi. Selain itu, dewasa ini kata literasi banyak disandingkan dengan
kata-kata lain, misalnya literasi komputer, literasi virtual, literasi
matematika dan sebagainya. Hal tersebut merupakan transformasi makna literasi
karena perkembangan zaman. Oleh sebab itu, Freebody dan Luke menawarkan model
literasi sebagai berikut:
- Memahami konteks dalam teks: mengenali dan menggunakan fitur seperti alfabet, suara, ejaan, konvensi dan pola teks.
- Terlibat dalam memaknai teks: memahami dan menyusun teks tertulis dan teks virtual dan lisan yang berati dari budaya tertentu, lembaga, keluarga, masyarakat, negara-negara dan lain-lain. Menggambarkan skema yang ada.
- Menggunakan teks secara fungsional.
- Melakukan analisis dan mentransformasikan teks secara kritis: memahami dan bertindak atas pengetahuan bahwa teks-teks tidak netral. Teks mewakili pandangan tertentu, diam, mempengaruhi ide-ide orang. Desain teks dan wacana dapat dikritik dan didesain ulang dengan cara baru dan hibrida.
Keempat peran literasi ini
dapat diringkas kedalam lima verba: memahami, melibati, menggunakan,
menganalisis dan mentransformasikan teks (Rekayasa Literasi : 160).
Pesatnya perkembangan zaman membuat definisi literasi
berevolusi. Makna literasi yang pada awalnya hanya baca-tulis berkembang
menjadi lebih luas dan lebih kompleks. Makna literasi tak melulu soal
baca-tulis, namun walaupun demikian, literasi masih memiliki kaitan dengan
kebahasaan. Berpikir kritis, dapat menghitung, memecahkan masalah, cara untuk mencapai
tujuan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan potensi seseorang merupakan definisi
baru mengenai literasi. Perubahan yang sangat signifikan memang. Dari definisi
yang hanya sekedar baca-tulis bertransformasi menjadi definisi yang kompleks.
Berikut meruapakan kajian disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang berkaitan:
- Dimensi Geografis (lokal, nasional, regional, dan internasional): Bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring sosial dan vokasionalnya (kecakapan kejuruan).
- Dimensi Bidang (pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dsb): Literasi suatu bangsa tampak dalam dimensi ini. Pendidikan yang berkualitas tinggi menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula. Hal ini karena bidang pendidikan merupakan ujung tombak kebangkitan suatu bangsa.
- Dimensi Keterampilan (membaca, menulis, menghitung, berbicara): Literasi seseorang tampak atau tercermin dari dimensi ini. Semua sarjana mampu membaca, akan tetapi tidak semua sarjana mampu menulis. Oleh sebab itu, keterampilan sangat diperlukan. Selain itu, tidak cukup dengan mengandalkan literasi saja (dalam hal ini membaca dan menulis) namun harus juga memiliki kemampuan numerasi (keterampilan menghitung)
- Dimensi Fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi diri): Orang yang literat karena pendidikannya mampu memecahkan masalah dan mengatasi semua tentang kehidupan yang menghampirinya.
- Dimensi Media (teks, cetak, visual, digital): Menjadi seorang literat zaman sekarang orang harus mengandalkan kemampuan membaca dan menulis teks cetak, visual dan digital. Perkembangan IT sangat penting dan berpengaruh banyak terhadap gaya berliterasi.
- Dimensi Jumlah (satu, dua, beberapa): Jumlah dapat merujuk pada banayak hal, misalnya bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu dan media. Literasi seperti halnya kemampuan berkomunikasi, bersifat relatif.
- Dimensi Bahasa (etnis, lokal, nasional, regional, internasional): Ada literasi yang singular dan ada yang plural.
Selain tujuh dimensi literasi
di atas, ada 10 gagasan kunci tentang literasi yang menunjukkan perubahan
paradigma literasi karena perubahan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan,
yaitu:
- Ketertiban lembaga-lembaga sosial: Lembaga-lembaga menjalankan perannya dengan fasilitas bahasa sehingga muncul bahasa birokrat atau politik.
- Tingkat kefasihan relatif: Setiap literasi memerlukan kefasihan berbahasa dan literasi yang berbeda, tergantung situasinya.
- Pengembangan potensi diri dan pengetahuan: Pada tahap tinggi literasi membekali mahasiswa kemampuan memproduksi dan memproduksi ilmu pengetahuan.
- Standar dunia
- Warga masyarakat demokratis: Media adalah salah satu pilar demokratis. Pendidikan literasi harus mendukung terciptanya demokratisasi bangsa.
- Keragaman lokal
- Hubungan global: Literasi tingkat ini bergantung pada dua hal, yaitu penguasaaan teknologi informasi dan penguasaan konsep atau pengetahuan yang tinggi.
- Kewarganegaraan yang efektif: Yaitu warga negara yang mampu mengubah diri, menggali potensi diri, serta berkontribusi bagi keluarga, lingkungan dan negaranya. Warga negara yang efektif mengetahui hak dan kewajibannya (citizenship literacy).
- Berbahasa Inggris ragam dunia
- Kemampuan berpikir kritis: Literasi bukan sekedar mampu membaca dan menulis, melainkan juga menggunakan bahasa secara fasih, efektif dan kritis.
- Masyarakat semiotik: Budaya adalah sistem tanda, oleh karenanya memaknai tanda terlebih dahulu harus menguasai literasi semiotik.
Tanpa
arah semua menjadi kacau balau dan tak menentu. Di kehidupan ini kita harus
punya petunjuk arah guna menjauhkan kita dari tersesat dalam peliknya
kehidupan. Petunjuk arah dalam kehidupan adalah prinsip. Sebagai petunjuk arah
kita dapat berpegang pada prinsip tersebut. Sama seperti kehiduapan, pendidikan
bahasa berbasis literasi pun mempunyai prinsip. Berikut adalah tujuh prinspi
yang harus diterapkan dalam pendidikan bahasa berbasis literasi:
- Literasi adalah kemsmpusn hidup (life skill).
- Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana.
- Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah.
- Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
- Literasi adalah kegiatan refleksi (diri).
- Literasi adalah kolaborasi.
- Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi.
Makna
literasi yang semakin berevolusi ternyata berbanding terbalik dengan kemajuan
Indonesia dalam budaya literasi. Indonesia memang negara yang tertinggal cukup
jauh dari beberapa negara. Hal ini disebabkan karena budaya literasi
mayarakatnya masih sangat rendah. Sejak 15 tahun silam, Indonesia telah ikut dalam
proyek penelitan dunia untuk mengukur literasi membaca, matematika dan ilmu
pengetahuan alam. Dari proyek penelitian dunia tersebut, terbukti memang
indonesia merupakan negara yang kurang daya bacanya dalam literacy purpose.
Kebanyakan orang Indonesia membaca atas dasar information purpose. Dalam
informational purpose indonesia menempati peringkat yang tinggi.
Tingkat pendidikan penduduk indonesia juga merupakan
faktor yang mempengaruhi keterbelakangan bangsa indonesia dalam budaya
literasi. Bagaimana bisa menyusul ketertinggalan dalam literasi jika
penduduknya saja masih mengecam pendidikan yang rendah. Pendidikan memang
menjadi kunci dalam keberhasilan budaya literasi. Dengan kata lain, pendidikan
adalah ujung tombak budaya literasi.
Tingkat literasi siswa indonesia masih jauh tertinggal
dari siswa negara lainnya. Dengan kata lain, dalam skala internasional, siswa
Indonesai belum kompetitif. Siswa merupakan penduduk suatu negara. Oleh sebab
itu, tingkat literasi penduduk berpengaruh pada perkembangan bangsa.
Hasil proyek penelitian dunia tersebut sangat
menggelisahkan, terlebih lagi bagi kita warga negara Indonesia. Oleh karenanya,
diperlukan usaha khusus demi mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia dari
negara-negara lain. Salah satunya adalah dengan melakukan rekayasa.
Rekayasa menjadi jalan satu-satunya demi mengejar
ketertinggalan bangsa Indonesia dari bangsa lain. Rekayasa dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia memiliki arti penerapan kaidah-kaidah ilmu dalam pelaksanaan
(seperti perencanaan, pembuatan konstruksi serta pengopreasian kerangka,
peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efesien. Rekayasa yang harus dilakukan
adalah rekayasa literasi guna meningkatkan mutu Indonesia. Rekayasa literasi
adalah upaya disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan
berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Penguasaan bahasa adalah
portal menuju pendidikan dan pembudayaan. Perbaikan rekayasa literasi
senantiasa menyangkut empat dimensi, yaitu:
- Linguistik atau fokus teks.
- Kognitif atau fokus minda.
- Sosiokultural atau fokus kelompok.
- Perkembangan atau fokus pertumbuhan.
Oleh karenanya, rekayasa
literasi berati merekayasa (menerapkan kaidah ilmu pengajaran membaca dan
menulis dalam empat dimensi di atas. Pengajaran bahasa (language arts) yang
baik menghasilkan orang literat yang mampu menggunakan keempat dimensi di atas
secara serempak, aktif, dan terintegritas. Menggunakan bahasa efektif dan
efesien.
Pengajaran literasi tergantung pada pemahaman awal
tentang literasi. Misalnya saja Indonesia berasumsi bahwa literasi hanya
sekedar membca dan menulis. Maka pembelajaran bahasa terfokus pada empat aspek
keterampilan berbahasa, yakni: menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Jarang
sekali pembelajaran bahasa disandingkan dengan pembelajaran sastra dan hanya
ada beberapa yang menyandingkannya dengan budaya. Padahal, literasi tidak
sesederhana sekedar menguasai alfabet atau sekedar mengerti hubungan antara
bunyi dengan simbol tulisannya, tetapi simbol itu difungsikan secara bernalar
dalam konteks sosial. Oleh karenanya, pembelajaran bahasa harus disertai dengan
sastra dan budaya pula. Karya sastra biasanya memuat konteks sosial masyarakat.
Sementara itu, pengenalan pada berbagai jenis teks juga
perlu dilakukan dalam pembelajaran bahasa. Hal ini bertujuan agar kita menjadi
tahu warna-warni literasi. Jenis-jenis teks yang dapat dikenalkan misalnya
iklan, resep dokter, menu, puisi dan lain-lain. Mengajarkan literasi pada
intinya menjadikan manusia yang secara fungsional mampu berbaca-tulis,
terdidik, cerdas dan menunjukkan apresiasi terhadap sastra.
Meluruskan rekayasa literasi seharusnya diawali dengan
pemaham tentang bagaimana paradigma pengajaran literasi. Ada tiga paradigma
pembelajaran literasi (Kucer: 2000), yakni:
Decoding: siswa membangun
literasi dengan diajari terlebih dahulu tentang literasi, yakni bagaimana
memaknai kode bahasa (decoding). Siswa belajar secara deduktif. Dalam paradigma
ini berlaku rumus:
Perkembangan literasi = belajar tentang literasi → belajar literasi → belajar melalui literasi
Skill (keterampilan): siswa membangun literasi dengan diajari terlebih dahulu dalam pengetahuan tentang literasi, yakni cara memaknai bentuk-bentuk bahasa seperti morfem dan kosa kata. Siswa belajar secara deduktif. Berlaku rumus:
Perkembangan literasi = belajar tentang literasi → belajar literasi → belajar melalui literasi
Whole Language (bahasa secara utuh): siswa pengumpulkan data, membuat hipotesis, menguji hipotesis dan mengubah hipotesis terus menerus. Dengan sendirinya keterampilan berbahasa ditemukan. Siswa belajar secara induktif. Berlaku rumus:
Perkembangan literasi adalah belajar melalui literasi → belajar literasi → belajar tentang literasi
Perkembangan literasi = belajar tentang literasi → belajar literasi → belajar melalui literasi
Skill (keterampilan): siswa membangun literasi dengan diajari terlebih dahulu dalam pengetahuan tentang literasi, yakni cara memaknai bentuk-bentuk bahasa seperti morfem dan kosa kata. Siswa belajar secara deduktif. Berlaku rumus:
Perkembangan literasi = belajar tentang literasi → belajar literasi → belajar melalui literasi
Whole Language (bahasa secara utuh): siswa pengumpulkan data, membuat hipotesis, menguji hipotesis dan mengubah hipotesis terus menerus. Dengan sendirinya keterampilan berbahasa ditemukan. Siswa belajar secara induktif. Berlaku rumus:
Perkembangan literasi adalah belajar melalui literasi → belajar literasi → belajar tentang literasi
Perjalanan
yang panjang mengulas tentang literasi yang berevolusi dan bertrasnformasi
maknanya. Sekarang ini, makna literasi menjadi lebih kompleks dan luas. Selain
itu, literasi juga ternyata sangat berpengaruh pada perkembangan suatu bangsa.
Tingginya literasi berbanding lurus dengan kemajuan negaranya. Tingkat
kemampuan literasi kita dapat diukur dengan tujuh dimensi dalam literasi.
Sehingga, kita dapat melihat apakah kita telah bagus disemua bidangnya. Daya
literasi individu berkontribusi pada daya literasi suatu negara. Maka, setelah
kita mengetahui sejauh mana kemampuan literasi kita, kita dapat berbedah diri
demi kemajuan bangsa ini. Sudah menjadi berita biasa bila Indonesia menempati
strats bawah dalam literasi dunia. Oleh sebab itu, rekayasa literasi perlu
dilakukan di Indonesia. Merekayasa pengajaran literasi menajdi pilihan yang
bijak karena hanya dalam dunia pendidikanlah pengejaran literasi dapat
ditanamkan pada siswa. Pendidikan merupakan ujung tombak kemajuan literasi.
http://prianganaulia.blogspot.co.id/2014/02/transformasi-makna-literasi.html
Langganan:
Postingan (Atom)