Allah Subhanahu wa Ta’ala befirman:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-Ku bertanya kepada-Mu (wahai Muhammad) tentang Aku, maka (sampaikanlah) sesungguhnya Aku dekat, Aku menjawab permohonan doa yang dipanjatkan kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi perintah-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu mendapatkan petunjuk” [al-Baqarah/2:186]

SEBAB TURUNNYA AYAT
Para Ulama berbeda pendapat tentang kronologis sebab diturunkannya ayat ini.

A. Sebagian menyatakan bahwa ayat ini turun tatkala Sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah Rabb kita dekat, sehingga kita melirihkan suara saat berdoa, ataukah Dia Subhanahu wa Ta’ala jauh sehingga kita mengangkat suara dalam berdoa?”, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat ini.[1]

B. Adapun sebagian lain seperti ‘Atha’ bin Abi Rabâh menyatakan bahwa ayat ini diturunkan sebagai jawaban bagi suatu kaum yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang waktu-waktu dianjurkannya berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yakni ketika turun ayat (Ghâfir/40:60) “Dan Rabb kalian berfirman “Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkannya untuk kalian”. Mereka bertanya: “Waktu apa (kami melakukannya)?[2] maka kemudian turunlah ayat di atas.[3]

PENJELASAN AYAT
A. Allah Subhanahu Wa Ta’ala Maha dekat dengan para hamba-Nya.
Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan kepada seluruh umatnya bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha dekat. Kedekatan yang sesuai kemuliaan dan keperkasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan Dzat-Nya Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُم فَإِنَّكُم لاَتَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّهُ مَعَكُم إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ

Wahai sekalian manusia, kasihanilah diri kalian, kalian tidak berdoa kepada Dzat yang tuli atau tidak ada, sesungguhnya kalian berdoa kepada Dzat yang Maha mendengar, lagi Maha dekat”.[4]

Wajib atas setiap Muslim untuk beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha dekat lagi Maha mengabulkan doa. Allah Subhanahu wa Ta’ala dekat kepada hamba yang berdoa, mendengarnya dan mengabulkannya kapanpun Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki. Kedekatan itu adalah kedekatan ilmu dan pengawasan-Nya, sesuai dengan kesempurnaan sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya.[5]

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata “Sifat “kedekatan” Allah Subhanahu wa Ta’ala ada dua macam; kedekatan dengan ilmu-Nya (mengetahui) seluruh makhluk-Nya, dan kedekatan kepada hamba yang beribadah serta berdoa sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doa dan memberikan pertolongan maupun taufik-Nya. Barangsiapa berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hati yang konsentrasi dan doa yang disyariatkan, serta tidak terhalangi dengan penghalang apapun bagi terkabulnya doa tersebut; seperti memakan yang haram atau selainnya, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji untuk mengabulkannya. Terlebih jika ia mengupayakan segala sebab dikabulkannya doa (tersebut) yaitu dengan menjawab panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui ketaatan terhadap segala perintah-Nya dan patuh menjauhi segala larangan-Nya baik dalam perkataan maupun perbuatan disertai keimanan (tentunya) akan menyebabkan terkabulnya doa”.[6]

B. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doa hamba-Nya.
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai keagungan, kemurahan dan kedekatan-Nya kepada para hamba-Nya. Sebagaimana juga dalam ayat lain “dan Rabb kalian berkata: “Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku mengabulkannya untuk kalian…”.[7] Mujâhid dan Ibnul Mubârak menjelaskan [8] makna “فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي ” yakni “hendaklah mereka melaksanakan ketaatan kepada-Ku (Allah Subhanahu wa Ta’ala)”. Adapun “وَلْيُؤْمِنُوا بِي ” maknanya “dan (hendaklah) mereka beriman kepada-Ku” yakni hendaknya mereka beriman jika mereka menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala, sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melimpahkan pahala dan kemuliaan kepada mereka disebabkan ketaatan itu. Sebagian lain mengatakan:

“فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي ” maknanya adalah “berdoalah kepada-Ku”
“وَلْيُؤْمِنُوا بِي ” maknanya “dan hendaknya mereka percaya bahwa Aku mengabulkan doa mereka”.[9]

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan “Dengan kedua sebab ini, doa akan dikabulkan, yakni dengan kesempurnaan nilai ketaatan terhadap uluhiyah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan dengan kekuatan iman terhadap rububiyah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa menaati Allah Subhanahahu wa ta’ala dalam semua perintah dan larangan-Nya, maka tercapailah maksudnya dalam berdoa dan dikabulkan doanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman [10] “Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih serta menambah bagi mereka dari karunia-Nya”.[11]

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengakhiri ayat ini dengan firman-Nya: “لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ ” yakni “Semoga mereka mendapatkan petunjuk yang lurus”. Jika mereka mentaatiku dan beriman kepada-Ku mereka akan mendapatkan kebaikan di kehidupan dunia dan akhirat mereka”.[12] serta petunjuk untuk senantiasa beriman dan beramal shalih sehingga keburukan akan lenyap dari mereka .”[13]

C. Mengapa doa tidak dikabulkan?
Jika seseorang berkata : “Tidak jarang kita mendapatkan seseorang yang berdoa namun tidak dikabulkan. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjanjikan dalam firman-Nya “Aku akan mengabulkan seseorang yang “menyeru” (berdoa) kepada-Ku.”” Sesungguhnya ungkapan tersebut dapat diarahkan dengan dua penjelasan; yang pertama: “menyeru” di sini berarti mengamalkan semua perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan anjurananjuran-Nya Subhanahu wa Ta’ala, sehingga maknanya adalah “Sesungguhnya Aku dekat dengan hamba yang senantiasa menjalankan perintah dan anjuran-Ku, Aku akan membalasnya dengan pahala”. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “sesungguhnya doa adalah ibadah.” kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca:

وَقَالَ رَبُكُم اذعُوبِي أَسْتَجِبْ لَكُم إِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Sesungguhnya Rabb kalian memerintahkan: “Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan doamu, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri untuk beribadah kepada-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina.” [14]

Dan yang kedua: maknanya adalah “Aku mengabulkan seseorang yang berdoa kepada-Ku jika Aku menghendaki”.[15]

Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa‘di rahimahullah berkata “menyeru (berdoa) terbagi menjadi dua macam; doa ibadah dan doa permohonan”.[16] Para Ulama menjelaskan bahwa doa permohonan mencakup makna doa ibadah, dan doa ibadah memuat konsekuensi doa permohonan. Yakni barangsiapa memohon sesuatu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia sedang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun maksud doa ibadah memuat konsekuensi doa permohonan, misalnya barangsiapa shalat, maka itu mengandung permohonan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar shalatnya diterima dan diberikan pahala. Sehingga dengan demikian doa permohonan mencakup (makna) doa ibadah dan doa ibadah memuat konsekuensi doa permohonan.[17]

D. Beberapa etika dalam berdoa.
Mengingat pentingnya hal ini, para Ulama menjelaskan tentang syarat serta etika dalam berdoa agar dikabulkan, sebagaimana tuntunan dalam al-Qur‘ân dan Hadits.

Al-Baghawi rahimahullah berkata: “Ada etika dan syaratsyarat dalam berdoa yang merupakan sebab dikabulkannya doa. Barangsiapa memenuhinya, maka dia akan mendapatkan apa yang diminta dan barangsiapa melalaikannya, dialah orang yang melampaui batas dalam berdoa; sehingga doanya tidak berhak dikabulkan”.[18] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata “Kedua ayat berikut mencakup adab-adab berdoa dengan kedua jenisnya (doa ibadah dan doa permohonan); yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. [al-A‘raf/7:55-56][19]

Dan Ibnu Katsîr rahimahullah membawakan sejumlah hadits-hadits yang berkaitan dengan adab-adab tersebut dalam menafsirkan ayat di awal pembahasan ini. Di antara yang beliau isyaratkan yaitu: [20]

1. Mengangkat kedua tangan sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Salmân al-Fârisi Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ إِنَّ اللّهَ حَيِيٌ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha pemalu lagi Maha pemurah terhadap seorang hamba yang mengangkat kedua tangannya (berdoa), kemudian kedua tangannya kembali dengan kosong dan kehampaan (tidak dikabulkan).[21]

2. Mengawali doa dengan pujian terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian Salawat dan salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya bertawasul kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tawasul yang disyariatkan, seperti dengan bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan asma dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan amal shalih dan selainnya.[22] Semua itu hendaknya dilakukan dengan suara lirih dan tidak berlebihan sebagaimana hadits Abu Musa al-Asy‘ari Radhiyallahu ‘anhu di muka.

3. Berprasangka baik terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Diriwayatkan dalam sebuah hadits qudsi dari Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَقُولُ اللَّه عَزَّوَجَلَّ : يَقُولُ أَنَّا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِيْ وَأَنَا مَعَهُ إِذَا دَعَانِيْ

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Aku (akan) sebagaimana hamba-Ku menyangka tentang-Ku, dan Aku akan bersamanya jika ia berdoa kepada-Ku”[23]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Yakni Aku (Allah Subhanahu wa Ta’ala) Maha mampu melakukan apa yang disangkakan oleh hamba-Ku bahwa Aku mampu melakukannya.” Beliau juga membawakan perkataan al-Qurthûbi rahimahullah bahwa maknanya adalah “Menyangka dikabulkannya doa, diterimanya taubat, diberikan ampun melalui istighfâr, serta menyangka dibalas dengan pahala atas ibadah yang dilakukan sesuai syarat-syaratnya sebagai keyakinan akan kebenaran janji Allah Subhanahu wa Ta’ala.24

4. Menjauhi sikap tergesa-gesa mengharapkan terkabulnya doa; karena ketergesa-gesaan itu akan berakhir dengan sikap putus asa sehingga ia tidak lagi berdoa. Na‘ûdzubillâh.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُسْتَجَابُ لأَِحَدِكُم مَالَم يَعْجَلْ يَقُولُ دَعَوْتُ فَلَم يُتَجَبْ لِي

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah bersabda “Akan dikabulkan (doa) seseorang di antara kalian selama ia tidak tergesa-gesa, yakni ia berkata ‘aku telah berdoa namun belum dikabulkan bagiku’ “.[25]

Dalam lafadz lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ لاَيَزَالُ يُستَجَابُ لِلعَبْدِ مَالَمْيَدْع ُبِإِثْم أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ مَالَمْ يَسْتَعْجِل قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الاِستِعْجَالُ قَالَ يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ وَقَدْ دَعَوْتُ فَلَم أَرَ يَسْتَجِيبُ لِي فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ

Senantiasa akan dikabulkan (doa) seorang hamba selama tidak meminta dosa atau memutuskan tali kekeluargaan, selama ia tidak tergesa-gesa. Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah , apa yang dimaksud tergesa-gesa?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Dia berkata ‘aku telah berdoa, aku telah berdoa namun aku tidak pernah mendapatkan doaku dikabulkan’, kemudian ia berputus asa dan meninggalkan berdoa.[26]

5. Membersihkan jiwa raga dari berbagai kenistaan dan dosa merupakan satu hal yang mungkin terlalaikan. Hati yang kotor dengan berbagai maksiat atau raga yang tidak bersih dari keharaman akan menghalangi terkabulnya doa

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيًّهَاالنَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَِ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّيسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَاأَيُّهَاالذِنيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَا كُمْ ثُمَّ دَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَارَبِّ يَارَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمََِشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامٌ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala baik dan tidak menerima melainkan yang baik, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kaum Mukminin dengan apa yang telah diperintahkannya kepada para rasul. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Wahai para rasul makanlah kalian dari yang baik dan beramal shalihlah, sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.” Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman makanlah rizki yang baik dari apa yang diberikan kepada kalian…”, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seorang musafir yang berjalan jauh sehingga kumal rambutnya, lusuh dan berdebu, dia mengangkat kedua tangannya ke arah langit seraya berdoa menyeru: “Wahai Rabbku, wahai Rabbku…”, namun makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi dari yang haram, bagaimana mungkin akan dikabulkan doanya?”.[27]

6. Yakin bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha mengabulkan doa selama tidak ada sesuatu pun yang menghalanginya. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ادْعُوا اللَّهَ وَاَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِاْللإِجَاَبَةِ وَاعْلَمُواأَنَّ اللَّهَ لاَيَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

Berdoalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kalian yakin (akan) dikabulkan, sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa (seorang hamba) yang hatinya alpa serta lalai”. [28]

Dalam hadits lain dari Abu Sa‘id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: [29]

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيْهَا إثْمٌ وَلاَقَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّأَعْطَاهُاللَّهُ بِهَاإِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّ خِرَهَا لَهُ فِي الآخِرَةِ وَإِمَّا اَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنْ السُّوءِ مِثْلَهَا قَالُوا إِذًا نُكثِرُ قَالَ اللَّهُ أَكْثَرُ

Tidaklah seorang Muslim berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebuah doa yang tidak ada dosa atau pemutusan ikatan kekeluargaan di dalamnya, melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya satu di antara tiga perkara; 1) boleh jadi Allah Subhanahu wa Ta’ala segera mengabulkan doa tersebut, 2) atau menyimpan sebagai tabungan baginya di akhirat, 3) atau menyelamatkannya dari kejelekan yang setara dengan doa yang dipanjatkannya.” Para sahabat berkata : “Jika demikian, kami akan memperbanyak (doa).” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih banyak.[30]”

Ibnu Katsîr rahimahullah berkata : “Yang dimaksud adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan doa seseorang, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak disibukkan dengan sesuatu apapun. Dia Subhanahu wa Ta’ala Maha mendengar doa. Dalam hal ini terdapat anjuran (memperbanyak) berdoa karena tidak satu pun yang luput dari-Nya Subhanahu wa Ta’ala .”[31] Terlebih lagi pada saat kita tengah mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui ibadah puasa di bulan Ramadhan. Hendaknya kita mengambil kesempatan yang istimewa ini dengan memperbanyak doa bagi kebaikan kita di dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَ ثٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَ تُهُمْ : الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ، وَاْلإِمَامُ الْعَادِلُ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ

Ada tiga orang yang tidak tertolak doanya; seorang yang berpuasa sehingga berbuka, seorang pemimpin yang adil, seorang yang terdzalimi.[32]

Sehingga setelah ayat-ayat tentang shiyâm (berpuasa) dan kemuliaan bulan Ramadhan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan ayat utama pembahasan ini (al-Baqarah/2:186) sebagai petunjuk bahwa seorang Mukmin hendaknya selalu mendekatkan dirinya kepada Allah Azza wa Jalla dengan segala bentuk ibadah termasuk dengan berdoa. Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “Disisipkannya ayat ini di tengah-tengah penjelasan hukum-hukum shiyâm merupakan petunjuk sekaligus motivator untuk (banyak) berdoa pada saat menyelesaikan bilangan puasa, bahkan pada setiap moment berbuka puasa sebagaimana hadits di atas. Marilah kita semua memperbanyak doa; sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala murka terhadap yang orang yang tidak berdoa kepada-Nya sebagaimana firman-Nya:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

dan Rabmu berkata: “Berdoalah kepada-Ku,sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari berdoa kepada-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.”[33]

Demikian pula dijelaskan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ مَنْ لَم يَدْعُ اللَّه يَغْضَبْ عَلَيْه” yang artinya: “Barangsiapa yang tidak berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka Allah Subhanahu wa Ta’ala marah terhadapnya”.[34] Ibnul Mubârak Radhiyallahu ‘anhu berkata :

الرّحْمَنُ إِذَا سُئِلُ أَعْطَى، وَالرَّحِيْمُإِذَا لَمْ يُسْأَلْ يغْضَبُ

Ar-Rahmân (Allah Subhanahu wa Ta’ala) jika Dia diminta akan memberi, dan Ar-Rahîm (Allah Subhanahu wa Ta’ala) jika Dia tidak diminta akan marah.[35]

Ya Allah Subhanahu wa Ta’ala, aku berlindung kepada Engkau dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu‘, dari jiwa yan tidak puas, serta dari doa yang tidak dikabulkan”.[36]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Jâmi‘ ul Bayân fî Ta‘wîlil-Qur‘ân 2/164-165
[2]. Dalam sebuah riwayat Qatâdah berkata: “ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan surah. Ghâfir : 60 beberapa orang berkata “Bagaimanakah
kami berdoa wahai Nabi Allah (Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam)?” Jâmi` ul-Bayân fî Ta`wîlil-Qur`ân 2/166
[3]. Jâmi‘ul-Bayân fî Ta‘wîlil-Qur‘ân 2/165, Tafsir Al-Qur‘ânil-‘azhîm 1/285
[4]. HR al-Bukhâri 2992/4202/6384/6610/7386, Abu Dâwud 1526 dari Abu Musa Al-Asy‘ari Radhiyallahu 'anhu
[5]. Syarah al-‘Aqîdah Al-Wâsithiyyah, karya Syaikh Muhammad Khalil Harras hlm: 230
[6]. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hal: 93
[7]. Qs Ghâfir : 60, terdapat pula ayat-ayat serupa seperti Qs al-Anfâl : 9, Yûsuf : 34, al-Anbiyâ‘ : 76, asy-Syûra : 26, Hûd : 61,
Saba‘ : 50, dll
[8]. Jâmi‘ul-Bayân fî Ta‘wîlil-Qur‘ân 2/166; dengan sedikit penyesuaian susunan konteks dalam bahasa Indonesia
[9]. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Raja‘ al-Khurasani. Lihat Jâmi‘ul-Bayân fî Ta‘wîlil-Qur‘ân 2/166
[10]. Qs Asy-Syûra/42:26
[11]. Iqtidhâush-Shirâthal-Mustaqîm 2/789; pasal hukum tawassul kepada Allah l dengan amal shalih
[12]. Tafsir al-Kabîr 3/93
[13]. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hal: 93
[14].Shahîh Sunan Tirmidzi 2590, Shahîh Sunan Ibnu Mâjah 3086 dari an-Nu‘mân bin Basyîr Radhiyallahu 'anhu
[15]. Jâmi‘ul-Bayân fî Ta‘wîlil-Qur‘ân 2/167
[16]. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hal: 93
[17]. At-Tamhîd Li Syarhi Kitab at-Tauhid bab istighâtsah dengan selain Allah Subhanahu wa Ta'ala hal : 180
[18]. Ma‘âlimut-Tanzîl 1/156
[19]. Badâi‘ul Fawâid 3/2
[20]. Untuk maklumat lebih luas tentang etika dalam berdoa lihat juga kitab “Tashhîhud-du`a” karya Syaikh Bakr Abu Zaid
[21] Shahîh Sunan at-Tirmidzi 2819, Shahîh Sunan Ibnu Mâjah 3117
[22]. Lihat klasifikasi tawasul dalam kitab “At-Tauhid” karya Syaikh Shâlih al-Fauzân, hal: 68-71
[23]. HR. al-Bukhâri 7405, Muslim 6805. Ahmad 13192 dengan sanad shahîh
[24]. Fathul Bari; bab firman Allah wayuhadzdzirukummullâhu nafsahu 13/397
[25]HR. al-Bukhâri 6340, Muslim 6934, Abu Dâwud 1484, Ibnu Mâjah 3853, Ahmad 10312
[26]. HR. Muslim 6936
[27]. HR. Muslim 2346, at-Tirmidzi 2989.
[28]. Shahîh Sunan Tirmidzi 2766, al-Mustadrak 1817 keduanya dari hadits Abu Hurairah z, lihat Silsilah Shahîhah no: 594
[29]. Bukhâri dalam Al-Adâbul-Mufrad no: 547, Shahîh Sunan at-Tirmidzi 2728, Ahmad: 11133, al-Hâkim dalam al-Mustadrak: 1816
[30]. Ath-Thibi berkata “yakni Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih banyak (lagi) mengabulkan...”. Lihat Tuhfatul Ahwadzi 10/25
[31]. Tafsir al-Qur‘ânul-‘Azhîm 1/286
[32]. HR. Ibnu Hibbân 5/298 no: 3419. Lihat Silsilah Shahîhah 4/406 no: 1797
[33]. Qs.Ghâfir/40:60
[34]. Shahîh Sunan Ibnu Mâjah 3085. Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah Shahîhah no: 2654
[35]. Taisirul-‘Azîz al-Hamîd hal: 15
[36]. HR. Muslim 6906
__._,_.___


__,_._,___