Oleh Sumanto Al Qurtuby
mahasiswa PhD di Boston University, Boston, Massachusetts, Amerika Serikat
Meskipun dunia Islam pasca tumbangnya Dinasti Andalusia dan merapuhnya
otoritas Turki Usmani mulai menunjukkan keloyoannya seiiring meluasnya
kolonialisme Eropa (terutama Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol, dll)
di berbagai kawasan Islam, tradisi rihlah untuk mencari ilmu
pengetahuan dan menggali kebudayaan ini tidak sirna. Bahkan meskipun
Belanda dulu mempersulit kaum Muslim "Jawi" untuk berangkat ke Mekah
dan Madinah, semangat untuk menunaikan ibadah haji plus thalabul ilmi
tetap menyala. Spirit untuk pergi ke Haramain semakin membara ketika
pemerintah Hindia Hindia Belanda pada akhirnya melapangkan jalan bagi
kaum Muslim untuk beribadah haji sejak pertengahan abad ke-19. Motif
Pemerintah Belanda pada waktu itu adalah agar kaum Muslim menjadi
saleh dengan demikian mereka akan sibuk melakukan "aktivitas
keagamaan" dan melupakan "political activism" yang bisa membahayakan
stabilitas politik pemerintah Belanda, sebuah ramalan yang celakanya
keliru.
Dengan kebijakan yang mempermudah ibadah haji ditambah dengan
teknologi steamship yang mereka
sponsori dan dibukanya Terusan Suez
(tahun 1869), para kaum Muslim dari Melayu / Jawi yang berangkat ke
Mekah dan Madinah menjadi membludak sehingga pada awal-awal abad ke-20
jamaa'ah haji dari "Tanah Jawi" ini menjadi kontingen terbesar di
Mekah dan Madinah. Perlu diketahui bahwa kaum Muslim yang berhaji pada
waktu itu tidak semata-mata didorong untuk menunaikan rukun Islam yang
kelima saja, tetapi juga dalam rangka menuntut ilmu (baca, rihlah) di
pusat-pusat keislaman seperti Mekah, Madinah, Damaskus, dan juga
Cairo. Karena itu biasanya sehabis menunaikan ibadah haji, mereka
tidak langsung pulang melainkan menetap beberapa bulan bahkan
beberapa
tahun di marakiz al-ilm-nya kaum Muslim bongso "Jawi" ini. Kelak, para
jamaah haji inilah yang memegang peranan penting dalam proses
diseminasi keislaman di Nusantara. Sepulang dari Mekah, Madinah,
Kairo, dan tempat-tempat lain di Arab dan Timur Tengah, mereka
kemudian mendirikan masjid, madrasah, dan pesantren yang kemudian
menjadi conduit proses penyebaran Islam di negeri ini. Sampai
pertengahan abad ke-20, arus umat Islam yang menuntut ilmu di Timur
Tengah masih kencang.
Baru pada awal-awal pemerintah Order Baru, arus ke Timur Tengah
menurun seiring dengan kebijakan pemerintah waktu itu yang kurang
friendly dengan "Islam Arab/Timur Tengah" karena dianggap sebagai
sarang Islam garis keras. Revolusi Islam Iran tahun 1979 juga turut
menambah "kewaspadaan" di pihak Orde Baru akan potensi Islam politik
sehingga semakin menambah kerasnya kebijakan-kebijakan terhadap Islam.
Meski begitu bukan berarti arus kaum Muslim ke Timur Tengah berhenti.
Kaum Muslim hanya "istirahat" sejenak untuk mewacanakan "Islam
politik" meski tetap melakukan "Islam kultural." Baru pada akhir
1980an dan awal 1990an, Presiden Suharto sedikit mengubah kebijakan
atas Islam dan mengganti `style keberagamaan' dari "kejawen" ke arah
yang lebih welcome dan `merangkul' kaum Muslim. Ia sendiri, untuk
menunjukkan "Islamic piety" dan komitmen keislaman dan kaum Muslim,
berangkat ke Mekah untuk menunaikan haji, dan menjadi sponsor
pendirian ICMI. Inilah era yang oleh
Martin van Bruinessen disebut
"santrinisasi" karena penampilan para petinggi negara dari sipil
sampai militer yang "ke-hijau-hijau- an."
Tumbangnya Orde Baru membuat wajah Indonesia berubah: dari
otoritarianisme ke democracy, dari "belenggu" ke kebebasan. Proses
transisi politik ini juga membawa konsekuensi baru berupa kebebasan
untuk menentukan "kiblat" pembelajaran. Maka travelling untuk menuntut
ilmu ke manca negara, baik Timur maupun Barat, kembali menguat di
kalangan Muslim termasuk kaum santri. Program-program beasiswa
(scholarship) yang ditawarkan berbagai lembaga dan pemerintah Luar
Negeri menjadi faktor terpenting yang membuat ghirah para santri tak
terbendung untuk ikut berkompetisi dengan komunitas non-santri guna
mendapatkan tiket beasiswa. Program beasiswa ini memang sudah ada
sejak pemerintah Orde Baru tetapi hanya dapat diakses oleh "golongan
tertentu" yang mempunyai relasi
dengan pemerintah dan kroninya. Dalam
semangat kronisme dan iklim kompetisi yang tidak sehat, kaum santri
yang mayoritas terbelakang dan "lugu" jelas tidak mampu bersaing
dengan "mereka" yang mempunyai akses dan jaringan ke pemerintah. Hanya
kelompok-kelompok tertentu saja yang bisa menikmati beasiswa waktu itu.
Sekarang iklim sudah berubah. Kompetisi relatif sehat dan terbuka,
meskipun tentu saja masih ada semangat "koncoisme" yang tidak sehat.
Keterbukaan berkompetisi inilah yang membuat para santri berhasil
melaju ke pusat-pusat peradaban intelektual di negara-negara Barat.
Citra santri yang tidak kompetitif, tidak ilmiah, tidak berprestasi,
tidak intelek, dll pun sedikit demi sedikit lebur siiring dengan
semakin banyaknya alumni pesantren yang belajar di AS, Kanada,
Australia, Eropa, dlsb. Tetapi satu hal yang penting dan menarik untuk
dicatat, meskipun para santri ini mempelajari berbagai disiplin
keilmuan dan dididik oleh (sebagian besar) para orientalis non-Muslim
mereka tetap saja seorang santri yang lucu dan "lugu." Mereka—kaum
"santri baru" ini— meskipun tinggal di kota-kota modern dan
metropolitan Barat juga bukan lantas larut dalam arus kebudayaan baru
dimana mereka tinggal. Sebagai santri mereka mampu memilah dan memilih
mana tradisi dan kebudayaan yang dianggap baik dan sebaliknya. Lebih
lanjut, mereka juga tidak dengan serta merta mencampakkan tradisi
pesantren dan NU tempat mereka dibesarkan seperti dituduhkan banyak
orang, bahkan
sebaliknya mereka merindukan dan memelihara tradisi-
tradisi pesantren dan identitas santri: sarungan, kuplukan, kumpulan,
tahlilan, dzibaan, tadarusan, dst.
Saya berharap para "santri baru" ini kelak menjadi sarjana polymath
yang mumpuni di berbagai disiplin sebagaimana para ulama di abad
pertengahan Islam. (Selesai)