Senin, 06 Agustus 2012

Santri, Rihlah, dan Barat (Part 3)

Oleh Sumanto Al Qurtuby
mahasiswa PhD di Boston University, Boston, Massachusetts, Amerika Serikat
 

Meskipun dunia Islam pasca tumbangnya Dinasti Andalusia dan merapuhnya 
otoritas Turki Usmani mulai menunjukkan keloyoannya seiiring meluasnya 
kolonialisme Eropa (terutama Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol, dll) 
di berbagai kawasan Islam, tradisi rihlah untuk mencari ilmu 
pengetahuan dan menggali kebudayaan ini tidak sirna. Bahkan meskipun 
Belanda dulu mempersulit kaum Muslim "Jawi" untuk berangkat ke Mekah 
dan Madinah, semangat untuk menunaikan ibadah haji plus thalabul ilmi 
tetap menyala. Spirit untuk pergi ke Haramain semakin membara ketika 
pemerintah Hindia Hindia Belanda pada akhirnya melapangkan jalan bagi 
kaum Muslim untuk beribadah haji sejak pertengahan abad ke-19. Motif 
Pemerintah Belanda pada waktu itu adalah agar kaum Muslim menjadi 
saleh dengan demikian mereka akan sibuk melakukan "aktivitas 
keagamaan" dan melupakan "political activism" yang bisa membahayakan 
stabilitas politik pemerintah Belanda, sebuah ramalan yang celakanya 
keliru.

Dengan kebijakan yang mempermudah ibadah haji ditambah dengan 
teknologi steamship yang mereka sponsori dan dibukanya Terusan Suez 
(tahun 1869), para kaum Muslim dari Melayu / Jawi yang berangkat ke 
Mekah dan Madinah menjadi membludak sehingga pada awal-awal abad ke-20 
jamaa'ah haji dari "Tanah Jawi" ini menjadi kontingen terbesar di 
Mekah dan Madinah. Perlu diketahui bahwa kaum Muslim yang berhaji pada 
waktu itu tidak semata-mata didorong untuk menunaikan rukun Islam yang 
kelima saja, tetapi juga dalam rangka menuntut ilmu (baca, rihlah) di 
pusat-pusat keislaman seperti Mekah, Madinah, Damaskus, dan juga 
Cairo. Karena itu biasanya sehabis menunaikan ibadah haji, mereka 
tidak langsung pulang melainkan menetap beberapa bulan bahkan beberapa 
tahun di marakiz al-ilm-nya kaum Muslim bongso "Jawi" ini. Kelak, para 
jamaah haji inilah yang memegang peranan penting dalam proses 
diseminasi keislaman di Nusantara. Sepulang dari Mekah, Madinah, 
Kairo, dan tempat-tempat lain di Arab dan Timur Tengah, mereka 
kemudian mendirikan masjid, madrasah, dan pesantren yang kemudian 
menjadi conduit proses penyebaran Islam di negeri ini. Sampai 
pertengahan abad ke-20, arus umat Islam yang menuntut ilmu di Timur 
Tengah masih kencang.

Baru pada awal-awal pemerintah Order Baru, arus ke Timur Tengah 
menurun seiring dengan kebijakan pemerintah waktu itu yang kurang 
friendly dengan "Islam Arab/Timur Tengah" karena dianggap sebagai 
sarang Islam garis keras. Revolusi Islam Iran tahun 1979 juga turut 
menambah "kewaspadaan" di pihak Orde Baru akan potensi Islam politik 
sehingga semakin menambah kerasnya kebijakan-kebijakan terhadap Islam. 
Meski begitu bukan berarti arus kaum Muslim ke Timur Tengah berhenti. 
Kaum Muslim hanya "istirahat" sejenak untuk mewacanakan "Islam 
politik" meski tetap melakukan "Islam kultural." Baru pada akhir 
1980an dan awal 1990an, Presiden Suharto sedikit mengubah kebijakan 
atas Islam dan mengganti `style keberagamaan' dari "kejawen" ke arah 
yang lebih welcome dan `merangkul' kaum Muslim. Ia sendiri, untuk 
menunjukkan "Islamic piety" dan komitmen keislaman dan kaum Muslim, 
berangkat ke Mekah untuk menunaikan haji, dan menjadi sponsor 
pendirian ICMI. Inilah era yang oleh Martin van Bruinessen disebut 
"santrinisasi" karena penampilan para petinggi negara dari sipil 
sampai militer yang "ke-hijau-hijau- an."
Tumbangnya Orde Baru membuat wajah Indonesia berubah: dari 
otoritarianisme ke democracy, dari "belenggu" ke kebebasan. Proses 
transisi politik ini juga membawa konsekuensi baru berupa kebebasan 
untuk menentukan "kiblat" pembelajaran. Maka travelling untuk menuntut 
ilmu ke manca negara, baik Timur maupun Barat, kembali menguat di 
kalangan Muslim termasuk kaum santri. Program-program beasiswa 
(scholarship) yang ditawarkan berbagai lembaga dan pemerintah Luar 
Negeri menjadi faktor terpenting yang membuat ghirah para santri tak 
terbendung untuk ikut berkompetisi dengan komunitas non-santri guna 
mendapatkan tiket beasiswa. Program beasiswa ini memang sudah ada 
sejak pemerintah Orde Baru tetapi hanya dapat diakses oleh "golongan 
tertentu" yang mempunyai relasi dengan pemerintah dan kroninya. Dalam 
semangat kronisme dan iklim kompetisi yang tidak sehat, kaum santri 
yang mayoritas terbelakang dan "lugu" jelas tidak mampu bersaing 
dengan "mereka" yang mempunyai akses dan jaringan ke pemerintah. Hanya 
kelompok-kelompok tertentu saja yang bisa menikmati beasiswa waktu itu.

Sekarang iklim sudah berubah. Kompetisi relatif sehat dan terbuka, 
meskipun tentu saja masih ada semangat "koncoisme" yang tidak sehat. 
Keterbukaan berkompetisi inilah yang membuat para santri berhasil 
melaju ke pusat-pusat peradaban intelektual di negara-negara Barat. 
Citra santri yang tidak kompetitif, tidak ilmiah, tidak berprestasi, 
tidak intelek, dll pun sedikit demi sedikit lebur siiring dengan 
semakin banyaknya alumni pesantren yang belajar di AS, Kanada, 
Australia, Eropa, dlsb. Tetapi satu hal yang penting dan menarik untuk 
dicatat, meskipun para santri ini mempelajari berbagai disiplin 
keilmuan dan dididik oleh (sebagian besar) para orientalis non-Muslim 
mereka tetap saja seorang santri yang lucu dan "lugu." Mereka—kaum 
"santri baru" ini— meskipun tinggal di kota-kota modern dan 
metropolitan Barat juga bukan lantas larut dalam arus kebudayaan baru 
dimana mereka tinggal. Sebagai santri mereka mampu memilah dan memilih 
mana tradisi dan kebudayaan yang dianggap baik dan sebaliknya. Lebih 
lanjut, mereka juga tidak dengan serta merta mencampakkan tradisi 
pesantren dan NU tempat mereka dibesarkan seperti dituduhkan banyak 
orang, bahkan sebaliknya mereka merindukan dan memelihara tradisi-
tradisi pesantren dan identitas santri: sarungan, kuplukan, kumpulan, 
tahlilan, dzibaan, tadarusan, dst.

Saya berharap para "santri baru" ini kelak menjadi sarjana polymath 
yang mumpuni di berbagai disiplin sebagaimana para ulama di abad 
pertengahan Islam. (Selesai)