Senin, 06 Agustus 2012

Santri, Rihlah, dan Barat (Part 2)

Oleh Sumanto Al Qurtuby
mahasiswa PhD di Boston University, Boston, Massachusetts, Amerika Serikat 
 
Menyaksikan banyaknya kaum santri yang belajar di berbagai bidang ilmu 
pengetahuan di negara-negara Barat ini mengingatkan saya pada sejarah 
keislaman abad pertengahan di mana umat Islam berbondong-bondong 
menuntut ilmu di pusat-pusat peradaban: Baghdad, Damascus, Cordoba, 
Granada, Seville, dlsb. Kaum Muslim pada waktu itu tidak hanya ngaji 
di bidang fiqih, ushul, tasawuf, tafsir, akhlak, aqidah, hadith, dan 
semacamnya tapi juga ilmu-ilmu "warisan" Yunani sebut saja filsafat, 
matematika, ketatanegaraan, politik, biologi, kedokteran, geografi, 
astronomi, dan seterusnya. Pada waktu itu memang belum ada "segmentasi 
disiplin," misalnya pemisahan secara ketat antara ilmu-ilmu keislaman 
dengan ilmu-ilmu sekuler seperti terjadi dewasa ini. Sistem 
pembelajaran yang terbuka dalam kultur akademik yang kosmopolitan ini 
baik pada periode Abbasiyah maupun Andalusiyah, mampu melahirkan para 
sarjana Muslim polymath yang tidak hanya ahli dalam bidang fiqih, 
ushul fiqih, tafsir, dll tapi juga seni, sastra, zoology, dlsb. Pada 
periode yang disebut dengan "Islamic Golden Age" yang membentang dari 
abad ke-8 sampai abad ke-16 ini, para sarjana Muslim berkontribusi 
secara luas di berbagai bidang: filsafat, teologi, mistisisme, 
ekonomi, pertanian, industri, kesusasteraan, hukum, navigasi, 
anthropologi, biologi, sosiologi, dlsb. Para sarjana Muslim polymath 
yang menguasai berbagai bidang itu, al, al-Kindi, al-Razi, Ibn al-
Jazzar, al-Tamimi, Ibn Sina, al-Jahiz, Ali ibn Ridwan, Abd al-Lathif, 
al-Biruni, Ibn Rusyd, Ibn Nafis, Abu Sahal al-Jurjani, Ibn Zuhr, Ibn 
Khaldun, Ibn Bajjah, al-Khwarizmi, Ibn al-Haytham, al-Muqaddasi, al-
Mas'udi, dan masih banyak lagi.

Mengomentari tentang prestasi gemilang para sarjana Muslim abad 
pertengahan ini, Howard Turner dalam Science in Mediaval Islam 
menulis, "Muslim artists and scientists, princes and laborers, 
together made a unique culture that has directly and inderectly 
influenced societies on every continent" (Turner 1997: 270). Komentar 
Turner saya rasa tidak berlebihan mengingat proses transmisi 
pengetahuan berjalan dari Yunani ke Arab terus ke Andalusia. Melalui 
kota-kota pelajar di Andalusia inilah khazanah dan literatur keislaman 
di berbagai bidang itu kemudian "deserap" bangsa Eropa. Jamak 
diketahui jika para "santri" dari Eropa di abad pertengahan banyak 
yang menuntut ilmu ke Andalusia ini. Mereka inilah kelak yang berperan 
sebagai "agen intelektual, " "cultural broker" atau "transporter 
pengetahuan" yang menterjemahkan dan mendistribusikan khazanah 
pengetahuan keislaman yang warna-warni tadi dalam baju Eropa.

Sarjana Muslim dari Turki, Mehmet Bayrakdar, misalnya, pernah mengulas 
proses transmisi teori-teori evolusi biologi dari Arab/Andalusia ke 
Eropa. Menurut Bayrakdar, konsep-konsep evolusi Charles Darwin 
(1809-1882) dan juga beberapa biolog Eropa pre-Darwin seperti 
Linnaeus, Buffon, Lamarck, dll, berakar pada gagasan-gagasan yang 
dikembangkan oleh para biolog Muslim abad pertengahan seperti al-Jahiz 
(penulis Kitab al-Hayawan), al-Damiri (penulis "Hayat al-Hayawan") , 
Nuwairi (penulis Nihayah), Ibn Tufail (penulis Hay Ibn Yaqzan), 
Zakariya al-Qazwini (penulis buku kosmografi `Aja'ib al-Mahluqat) , dlsb.
Karya-karya ini sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa Eropa 
terutama Latin seperti Hayat al-Hayawan yang diterjemahkan oleh 
sarjana Yahudi, Abraham Echellensis dan diterbitkan di Paris tahun 
1674. Selain membaca terjemahan, para orientalis Eropa juga bisa 
langsung mengakses buku-buku tadi dalam bahasa Arab karena banyak di 
antara mereka yang mahir berbahasa Arab. Darwin sendiri, masih menurut 
Bayrakdar, mempelajari kebudayaan Islam di Cambridge di bawah otoritas 
orientalis Yahudi yang ahli Islam dan kebudayaan Arab, Samuel Lee. 
Tidak hanya dalam bidang biologi, di bidang keilmuan lain juga sama. 
Kharisma intelektual Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, atau Ibnu Arabi 
misalnya masih terasa sekali di dunia akademik Barat. (bersambung)