Oleh Sumanto Al Qurtuby
mahasiswa PhD di Boston University, Boston, Massachusetts, Amerika Serikat
Menyaksikan
banyaknya kaum santri yang belajar di berbagai bidang ilmu
pengetahuan di negara-negara Barat ini mengingatkan saya pada sejarah
keislaman abad pertengahan di mana umat Islam berbondong-bondong
menuntut ilmu di pusat-pusat peradaban: Baghdad, Damascus, Cordoba,
Granada, Seville, dlsb. Kaum Muslim pada waktu itu tidak hanya ngaji
di bidang fiqih, ushul, tasawuf, tafsir, akhlak, aqidah, hadith, dan
semacamnya tapi juga ilmu-ilmu "warisan" Yunani sebut saja filsafat,
matematika, ketatanegaraan, politik, biologi, kedokteran, geografi,
astronomi, dan seterusnya. Pada
waktu itu memang belum ada "segmentasi
disiplin," misalnya pemisahan secara ketat antara ilmu-ilmu keislaman
dengan ilmu-ilmu sekuler seperti terjadi dewasa ini. Sistem
pembelajaran yang terbuka dalam kultur akademik yang kosmopolitan ini
baik pada periode Abbasiyah maupun Andalusiyah, mampu melahirkan para
sarjana Muslim polymath yang tidak hanya ahli dalam bidang fiqih,
ushul fiqih, tafsir, dll tapi juga seni, sastra, zoology, dlsb. Pada
periode yang disebut dengan "Islamic Golden Age" yang membentang dari
abad ke-8 sampai abad ke-16 ini, para sarjana Muslim berkontribusi
secara luas di berbagai bidang: filsafat, teologi,
mistisisme,
ekonomi, pertanian, industri, kesusasteraan, hukum, navigasi,
anthropologi, biologi, sosiologi, dlsb. Para sarjana Muslim polymath
yang menguasai berbagai bidang itu, al, al-Kindi, al-Razi, Ibn al-
Jazzar, al-Tamimi, Ibn Sina, al-Jahiz, Ali ibn Ridwan, Abd al-Lathif,
al-Biruni, Ibn Rusyd, Ibn Nafis, Abu Sahal al-Jurjani, Ibn Zuhr, Ibn
Khaldun, Ibn Bajjah, al-Khwarizmi, Ibn al-Haytham, al-Muqaddasi, al-
Mas'udi, dan masih banyak lagi.
Mengomentari tentang prestasi gemilang para sarjana Muslim abad
pertengahan ini, Howard Turner dalam Science in Mediaval Islam
menulis, "Muslim artists and scientists, princes and laborers,
together made a unique culture that has directly and inderectly
influenced societies on every continent" (Turner 1997: 270). Komentar
Turner saya rasa tidak berlebihan mengingat proses transmisi
pengetahuan
berjalan dari Yunani ke Arab terus ke Andalusia. Melalui
kota-kota pelajar di Andalusia inilah khazanah dan literatur keislaman
di berbagai bidang itu kemudian "deserap" bangsa Eropa. Jamak
diketahui jika para "santri" dari Eropa di abad pertengahan banyak
yang menuntut ilmu ke Andalusia ini. Mereka inilah kelak yang berperan
sebagai "agen intelektual, " "cultural broker" atau "transporter
pengetahuan" yang menterjemahkan dan mendistribusikan khazanah
pengetahuan keislaman yang warna-warni tadi dalam baju Eropa.
Sarjana Muslim dari Turki, Mehmet Bayrakdar, misalnya, pernah mengulas
proses transmisi teori-teori evolusi biologi dari Arab/Andalusia ke
Eropa. Menurut Bayrakdar, konsep-konsep evolusi Charles Darwin
(1809-1882) dan juga beberapa biolog Eropa pre-Darwin seperti
Linnaeus, Buffon, Lamarck, dll, berakar pada gagasan-gagasan yang
dikembangkan oleh para biolog Muslim abad pertengahan seperti al-Jahiz
(penulis Kitab al-Hayawan), al-Damiri (penulis "Hayat al-Hayawan") ,
Nuwairi (penulis Nihayah), Ibn Tufail (penulis Hay Ibn Yaqzan),
Zakariya al-Qazwini (penulis buku kosmografi `Aja'ib al-Mahluqat) , dlsb.
Karya-karya ini sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa Eropa
terutama Latin seperti Hayat al-Hayawan yang
diterjemahkan oleh
sarjana Yahudi, Abraham Echellensis dan diterbitkan di Paris tahun
1674. Selain membaca terjemahan, para orientalis Eropa juga bisa
langsung mengakses buku-buku tadi dalam bahasa Arab karena banyak di
antara mereka yang mahir berbahasa Arab. Darwin sendiri, masih menurut
Bayrakdar, mempelajari kebudayaan Islam di Cambridge di bawah otoritas
orientalis Yahudi yang ahli Islam dan kebudayaan Arab, Samuel Lee.
Tidak hanya dalam bidang biologi, di bidang keilmuan lain juga sama.
Kharisma intelektual Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, atau Ibnu Arabi
misalnya masih terasa sekali di dunia akademik Barat. (bersambung)