Oleh Sumanto Al Qurtuby
mahasiswa PhD di Boston University, Boston, Massachusetts, Amerika Serikat
Tulisan singkat ini ingin membahas tigal hal: santri, tradisi rihlah
atau travelling untuk menuntut
ilmu, dan Barat. Kata "Barat" ini
mengacu pada kawasan Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada), Eropa
Barat, dan Australia. Fenomena para santri yang notabene atau
diidentikkan dengan kultur tradisional, kampungan, udik, kolot, anti-
modernitas, tidak ilmiah, dan berbagai label pejoratif lain, tiba-tiba
belajar di negara-negara Barat yang didominasi Kristen dan bukan Timur
Tengah yang sudah lama menjadi "sacred geography" bagi para santri
dari "Jawi"—sebuah istilah yang tidak hanya mengacu pada kawasan Jawa
saja tapi juga Indonesia dan Melayu secara umum—tentu saja menjadi isu
yang menarik untuk dikaji dari sudut keilmuan. Apa
sebetulnya motivasi
(motives) dan kepentingan (interests) kaum santri yang rela
meninggalkan kampung halaman, berpisah dengan kerabat tercinta, untuk
melakukan perjalanan ribuan mil guna sekolah di kampus-kampus
"sekuler" Barat ini? Apakah dengan belajar di Barat mereka tetap
memelihara indentitas ke-santri-an atau sebaliknya: menanggalkannya
untuk kemudian larut dalam tradisi dan kebudayaan baru di tempat
dimana mereka nyantri.
Sebagai sekretaris jenderal Komunitas NU di Amerika Utara, saya
sedikit mengetahui tentang "kaum sarungan" dan "jilbaban" khususnya
dari Nahdhatul Ulama (NU) yang sedang thalabul ilmi atau bahkan sudah
menyelesaikan studi di kampus-kampus berkualitas di Boston, Harvard,
Temple, Chicago, Hawaii, Ohio, Emory, Berkeley, McGill, Leiden,
Michigan, dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebut satu per satu.
Tidak hanya nyantri, beberapa bahkan menjadi professor, research
fellows, atau visiting scholars di berbagai institusi di Barat.
Sebagian besar dari mereka menjadi keluarga besar Komunitas NU Amerika
Utara yang jama'ah milis-nya tidak hanya terbatas di Amerika Serikat
dan Kanada saja tapi juga Eropa, Australia, Salandia Baru, Mesir, dll.
Hal menarik lain dari kaum "santri baru" ini adalah tidak hanya
belajar masalah-masalah keislaman (Islamic studies) saja tetapi juga
di berbagai bidang keilmuan lain seperti antropologi, sosiologi,
politik, ekonomi, pemerintahan, biologi, lingkungan, social works,
hukum, filsafat, hubungan
internasional, manajemen, kimia, gender
studies, fisika, dlsb.
***
Dalam agama Islam, tradisi "travelling" ini sebetulnya seklasik Islam
itu sendiri. Agama ini memuat berbagai ajaran yang mengandung unsur
travelling ini, sebut saja hajj (pilgrimage) , hijrah (emigrasi),
ziarah (mengunjungi makam-makam keramat atau wisata rohani ke tempat- tempat bersejarah), atau rihlah (perjalanan untuk belajar, thalabul ilmi, seeking knowledge and wisdom, dan eksplorasi untuk menggali kebudayaan lain). Ini hanyalah sedikit contoh tentang "perjalanan yang
diinspirasi atau didorong agama" (religiously inspired travel). Semua
ajaran atau doktrin tentang travel ini tidak semata-mata "turisme
lahiriyah" untuk sekedar menikmati indahnya kebudayaan negara atau
daerah lain, tetapi juga "a journey of the mind" atau "an act of
imagination," untuk meminjam istilah antropolog Dale Eickelman yang
banyak menulis tentang tradisi Islam dan kultur masyarakat Arab dan
Timur Tengah dalam buku
menarik yang ia edit bersama James Piscatori:
Muslim Travellers: Pilgrimage, Migration, and the Religious
Imagination. Doktrin hijrah misalnya bukan melulu berarti migrasi
untuk mencari suaka aman dan menghindar dari keributan politik, atau
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi juga bermakna, meminjam
istilah Muhammad Khalid Masud, "a movement of the soul from a state of
corruption to one of purity." Doktrin hijrah ini seperti kisah
"Keluaran" (Exodus) dalam Bible yang oleh sebagian sarjana dipandang
sebagai metafor perubahan dari perbudakan dan belenggu (bondage) ke
kebebasan (freedom).
Kelompok tarekat Rahmaniyyah di Afrika Utara, seperti ditunjukkan
dalam studi Julia Clancy-Smith, juga mempercayai ziarah ke makam-makam
para pendiri tarekat mampu mengtransformasi keganduhan menjadi
kebahagiaan batin dan pikiran, serta mengubah kutukan (damnation)
menjadi keselamatan akhirat (salvation). Tradisi ziarah ke makam-makam
para wali dan punden wong keramat untuk "ngalap berkah" juga sudah
menjadi budaya atau "Islamicate, " meminjam istilah Marshall Hodgson,
kaum santri dan kaum Muslim Nusantara. Sementara itu bagi sebagian
perempuan Turki, seperti ditulis Nancy Tapper, partisipasi dalam
ibadah haji dan ziarah (atau ziyaret dalam Turki) ke makam-makam wali
dan kaum sufi serta mengunjungi festival agama dipandang sebagai "aksi
penegasan" sekaligus simbol kesetaraan gender.
Sebagaimana "doktrin-doktrin travelling" di atas, rihlah atau
perjalanan untuk mecari pengetahuan (karena itu Sam Gellens menyebut
rihlah sama dengan "thalabul ilmi") juga memiliki beragam motif dan
interest. Untuk bisa mengetahui motif dan interes dari sebuah "aksi
sosial" bernama "rihlah" ini, maka penting untuk memahami konsep
"center" sebagai "sacred space" yang begitu kental bagi Muslim. Ide
pusat sebagai "sacred space" ini mengasumsikan pentingnya legitimasi
agama bahkan politik buat umat Islam. Lembaga-lembaga "poros keilmuan
keislaman" di Mekah, Madinah, Kairo, Fez, Qum, atau Jombang memiliki
makna tersendiri buat kaum Muslim yang berfungsi untuk memelihara apa
yang disebut "central authority." Tetapi kini konsep "sacred
biography" atau "sacred space" itu tidak lagi tunggal. Masing-masing
individu santri dan kelompok keislaman memandang konsep ini secara
beragam. Dalam hal ini Mekah, Kairo, Beirut, atau Qum yang selama ini
menikmati sebagai "sacred space" bagi kaum Muslim mendapat
"kompetitor" baru seperti Cambridge, Boston, Harvard, Temple,
Berkeley, Oxford, Canberra, dlsb yang juga menawarkan program-program
kajian keilmuan dan keislaman menarik. (bersambung)