Senin, 06 Agustus 2012

Santri, Rihlah, dan Barat (Part 1)

Oleh Sumanto Al Qurtuby
mahasiswa PhD di Boston University, Boston, Massachusetts, Amerika Serikat


Tulisan singkat ini ingin membahas tigal hal: santri, tradisi rihlah 
atau travelling untuk menuntut ilmu, dan Barat. Kata "Barat" ini 
mengacu pada kawasan Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada), Eropa 
Barat, dan Australia. Fenomena para santri yang notabene atau 
diidentikkan dengan kultur tradisional, kampungan, udik, kolot, anti-
modernitas, tidak ilmiah, dan berbagai label pejoratif lain, tiba-tiba 
belajar di negara-negara Barat yang didominasi Kristen dan bukan Timur 
Tengah yang sudah lama menjadi "sacred geography" bagi para santri 
dari "Jawi"—sebuah istilah yang tidak hanya mengacu pada kawasan Jawa 
saja tapi juga Indonesia dan Melayu secara umum—tentu saja menjadi isu 
yang menarik untuk dikaji dari sudut keilmuan. Apa sebetulnya motivasi 
(motives) dan kepentingan (interests) kaum santri yang rela 
meninggalkan kampung halaman, berpisah dengan kerabat tercinta, untuk 
melakukan perjalanan ribuan mil guna sekolah di kampus-kampus 
"sekuler" Barat ini? Apakah dengan belajar di Barat mereka tetap 
memelihara indentitas ke-santri-an atau sebaliknya: menanggalkannya 
untuk kemudian larut dalam tradisi dan kebudayaan baru di tempat 
dimana mereka nyantri.

Sebagai sekretaris jenderal Komunitas NU di Amerika Utara, saya 
sedikit mengetahui tentang "kaum sarungan" dan "jilbaban" khususnya 
dari Nahdhatul Ulama (NU) yang sedang thalabul ilmi atau bahkan sudah 
menyelesaikan studi di kampus-kampus berkualitas di Boston, Harvard, 
Temple, Chicago, Hawaii, Ohio, Emory, Berkeley, McGill, Leiden, 
Michigan, dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebut satu per satu. 
Tidak hanya nyantri, beberapa bahkan menjadi professor, research 
fellows, atau visiting scholars di berbagai institusi di Barat. 
Sebagian besar dari mereka menjadi keluarga besar Komunitas NU Amerika 
Utara yang jama'ah milis-nya tidak hanya terbatas di Amerika Serikat 
dan Kanada saja tapi juga Eropa, Australia, Salandia Baru, Mesir, dll. 
Hal menarik lain dari kaum "santri baru" ini adalah tidak hanya 
belajar masalah-masalah keislaman (Islamic studies) saja tetapi juga 
di berbagai bidang keilmuan lain seperti antropologi, sosiologi, 
politik, ekonomi, pemerintahan, biologi, lingkungan, social works, 
hukum, filsafat, hubungan internasional, manajemen, kimia, gender 
studies, fisika, dlsb.

***

Dalam agama Islam, tradisi "travelling" ini sebetulnya seklasik Islam 
itu sendiri. Agama ini memuat berbagai ajaran yang mengandung unsur 
travelling ini, sebut saja hajj (pilgrimage) , hijrah (emigrasi), 
ziarah (mengunjungi makam-makam keramat atau wisata rohani ke tempat- tempat bersejarah), atau rihlah (perjalanan untuk belajar, thalabul  ilmi, seeking knowledge and wisdom, dan eksplorasi untuk menggali  kebudayaan lain). Ini hanyalah sedikit contoh tentang "perjalanan yang 
diinspirasi atau didorong agama" (religiously inspired travel). Semua 
ajaran atau doktrin tentang travel ini tidak semata-mata "turisme 
lahiriyah" untuk sekedar menikmati indahnya kebudayaan negara atau 
daerah lain, tetapi juga "a journey of the mind" atau "an act of 
imagination," untuk meminjam istilah antropolog Dale Eickelman yang 
banyak menulis tentang tradisi Islam dan kultur masyarakat Arab dan 
Timur Tengah dalam buku menarik yang ia edit bersama James Piscatori: 
Muslim Travellers: Pilgrimage, Migration, and the Religious 
Imagination. Doktrin hijrah misalnya bukan melulu berarti migrasi 
untuk mencari suaka aman dan menghindar dari keributan politik, atau 
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi juga bermakna, meminjam 
istilah Muhammad Khalid Masud, "a movement of the soul from a state of 
corruption to one of purity." Doktrin hijrah ini seperti kisah 
"Keluaran" (Exodus) dalam Bible yang oleh sebagian sarjana dipandang 
sebagai metafor perubahan dari perbudakan dan belenggu (bondage) ke 
kebebasan (freedom).

Kelompok tarekat Rahmaniyyah di Afrika Utara, seperti ditunjukkan 
dalam studi Julia Clancy-Smith, juga mempercayai ziarah ke makam-makam 
para pendiri tarekat mampu mengtransformasi keganduhan menjadi 
kebahagiaan batin dan pikiran, serta mengubah kutukan (damnation) 
menjadi keselamatan akhirat (salvation). Tradisi ziarah ke makam-makam 
para wali dan punden wong keramat untuk "ngalap berkah" juga sudah 
menjadi budaya atau "Islamicate, " meminjam istilah Marshall Hodgson, 
kaum santri dan kaum Muslim Nusantara. Sementara itu bagi sebagian 
perempuan Turki, seperti ditulis Nancy Tapper, partisipasi dalam 
ibadah haji dan ziarah (atau ziyaret dalam Turki) ke makam-makam wali 
dan kaum sufi serta mengunjungi festival agama dipandang sebagai "aksi 
penegasan" sekaligus simbol kesetaraan gender.

Sebagaimana "doktrin-doktrin travelling" di atas, rihlah atau 
perjalanan untuk mecari pengetahuan (karena itu Sam Gellens menyebut 
rihlah sama dengan "thalabul ilmi") juga memiliki beragam motif dan 
interest. Untuk bisa mengetahui motif dan interes dari sebuah "aksi 
sosial" bernama "rihlah" ini, maka penting untuk memahami konsep 
"center" sebagai "sacred space" yang begitu kental bagi Muslim. Ide 
pusat sebagai "sacred space" ini mengasumsikan pentingnya legitimasi 
agama bahkan politik buat umat Islam. Lembaga-lembaga "poros keilmuan 
keislaman" di Mekah, Madinah, Kairo, Fez, Qum, atau Jombang memiliki 
makna tersendiri buat kaum Muslim yang berfungsi untuk memelihara apa 
yang disebut "central authority." Tetapi kini konsep "sacred 
biography" atau "sacred space" itu tidak lagi tunggal. Masing-masing 
individu santri dan kelompok keislaman memandang konsep ini secara 
beragam. Dalam hal ini Mekah, Kairo, Beirut, atau Qum yang selama ini 
menikmati sebagai "sacred space" bagi kaum Muslim mendapat 
"kompetitor" baru seperti Cambridge, Boston, Harvard, Temple, 
Berkeley, Oxford, Canberra, dlsb yang juga menawarkan program-program 
kajian keilmuan dan keislaman menarik. (bersambung)