Senin, 18 Maret 2013

BAIK DAN HALAL ADALAH SYARAT DITERIMANYA DOA


عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ
يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا
أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ، فَقَالَ تَعَالَى : (( يَا أَيُّهَا
الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا )) وَقَالَ
تَعَالَى : ((يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا
رَزَقْنَاكُمْ )) ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ: أَشْعَثَ
أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ، يَا رَبِّ،
وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ،
وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ؟

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam besabda: "Sesungguhnya Allah itu baik
dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala
memerintahkan kepada kaum mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada
para rasul. Maka, Allah Ta’ala berfirman, ’Wahai para rasul! Makanlah
dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan’
–al-Mu'minûn/23 ayat 51- dan Allah Ta’ala berfirman,’Wahai orang-orang
yang beriman, makanlah dari rizki yang baik yang Kami berikan kepada
kamu’ –al-Baqarah/2 ayat 172- kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam menyebutkan orang yang lama bepergian; rambutnya kusut,
berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, ‘Wahai Rabb-ku,
wahai Rabb-ku,’ sedangkan makanannya haram, minumannya haram,
pakaiannya haram, dan diberi kecukupan dengan yang haram, bagaimana
doanya akan dikabulkan?”

TAKHRÎJ HADITS
Hadits ini shahîh, diriwayatkan oleh:
1. Muslim, no. 1015.
2. Ahmad, II/328.
3. At-Tirmidzi, no. 2989.
4. Ad-Dârimi, II/300.
5. Al-Baihaqi, III/346.
6. Al-Bukhâri dalam kitab Raf’ul Yadaini fish-Shalâh, no. 158.

SYARAH HADITS

1. MENSUCIKAN ALLAH TA'ALA DARI SEGALA KEKURANGAN.

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mensucikan diri-Nya dari segala
kekurangan dan aib. Allah Ta’âla telah mensucikan dirinya dari
memiliki isteri dan anak, Allah Ta’âla berfirman:

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَٰنُ وَلَدًا ﴿٨٨﴾ لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا
إِدًّا ﴿٨٩﴾ تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ
الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا ﴿٩٠﴾ أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَٰنِ
وَلَدًا ﴿٩١﴾ وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَٰنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا ﴿٩٢

"Dan mereka berkata, "(Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak".
Sungguh, kamu telah membawa sesuatu yang sangat mungkar, hampir saja
langit pecah, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh (karena ucapan
itu), karena mereka menganggap (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai
anak. Dan tidak mungkin bagi (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai
anak". [Maryam/19:88-92]

Allah Ta’âla juga mensucikan diri-Nya sendiri dari sifat zhalim. Allah
Ta’âla berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ

"Sungguh, Allah tidak menzhalimi seseorang walaupun sebesar dzarrah… .
[an-Nisâ`/4:40]

Dan selainnya dari ayat-ayat Al-Qur`ân yang Allah Ta’ala mensucikan
diri-Nya dengannya dari segala hal yang tidak sesuai dengan keagungan
dan kemuliaan-Nya.

Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ
(sesungguhnya Allah itu baik), adalah bentuk pensucian beliau terhadap
Allah Ta’ala dari segala kekurangan dan aib. Sebab, makna thayyib
(baik) ialah suci dan bersih dari segala aib dan kekurangan.[1]

2. MAKNA “HAL-HAL YANG BAIK”.
Ada hadits tentang sedekah yang semakna dengan hadits ini, yaitu Sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Tidaklah seseorang
bersedekah dengan sedekah dari pendapatan yang baik, dan Allah tidak
menerima kecuali yang baik-baik ….” [2]

Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menerima sedekah kecuali
sedekah yang berasal dari pendapatan yang baik dan halal.

Ada yang mengatakan, maksud hadits yang sedang kita bahas, yaitu
hadits, “Allah tidak menerima kecuali yang baik.” Itu lebih luas,
maksudnya ialah bahwa Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali amal
perbuatan yang baik dan bersih dari semua hal yang merusaknya seperti
riya’ dan ujub. Allah juga tidak menerima harta kecuali harta yang
baik dan halal. Jadi, kata ‘baik atau suci’ itu disifatkan pada amal
perbuatan, perkataan, dan keyakinan. Ketiga hal tersebut (yakni
keyakinan, perbuatan, dan perkataan) terbagi dalam dua bagian: baik
dan buruk.

Ada yang mengatakan, sifat baik (dalam hadits ini) masuk dalam firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala :

قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ

"Katakanlah (Muhammad), "Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik,
meskipun banyaknya keburukan itu menarik hatimu…” [al-Mâidah/5:100]

Allah Ta’âla membagi perkataan menjadi dua jenis, baik dan buruk,
seperti firman-Nya:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً
كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ

"Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan
kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat, dan cabangnya
(menjulang) ke langit." [Ibrâhîm/14:24]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam disifati sebagai orang yang
menghalalkan hal-hal yang baik dan mengharamkan hal-hal yang buruk.
Allah Ta’ala berfirman:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

"… Yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan
segala yang buruk bagi mereka…"[al-A’râf/7:157]

Allah Subhanahu wa Ta'ala menyifati kaum mukminin sebagai orang-orang
yang baik. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ طَيِّبِينَ

"(Yaitu) orang yang ketika diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan
baik… "[an-Nahl/16:32].

Jadi, hati, lidah, dan tubuh orang mukmin itu baik karena iman yang
bersemayam di hatinya. Dzikir pun terlihat di lidahnya dan amal-amal
shalih -yang merupakan buah iman dan masuk dalam namanya- juga
terlihat pada tubuhnya. Semua hal-hal yang baik tersebut diterima
Allah Azza wa Jalla.[3]

3. MEMAKAN YANG HALAL.
Di antara hal teragung yang menghasilkan amal yang baik bagi seorang
mukmin ialah makanan yang baik dan berasal dari sumber yang halal.
Dengan makanan yang baik amalnya jadi berkembang.

Dalam hadits di atas terdapat isyarat bahwa amal tidak diterima dan
tidak berkembang kecuali dengan memakan makanan yang halal, dan bahwa
makanan haram itu merusak amal dan membuatnya tidak diterima. Setelah
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda “sesungguhnya Allah tidak
menerima kecuali yang baik”, beliau bersabda bahwa Allah Subhanahu wa
Ta'ala memerintahkan kaum mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada
para rasul. Allah Ta’âla berfirman:

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا

"Wahai para rasul, makanlah dari (makanan) yang baik-baik dan
kerjakanlah kebajikan…" [al-Mu`minûn/23: 51]

Maksudnya, bahwa para rasul dan umat mereka masing-masing
diperintahkan memakan makanan yang baik yang merupakan makanan yang
halal. Mereka juga diperintahkan beramal. Jika makanannya halal, maka
amalnya shalih dan diterima. Sebaliknya, jika makanannya tidak halal,
bagaimana amal bisa diterima?

Setelah itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan tentang
doa. Bagaimana doa tersebut diterima dengan sesuatu yang haram? Itu
sebuah perumpamaan tentang tidak diterimanya amal jika makanan
pelakunya adalah haram.

4. TIDAK DITERIMA MEMPUNYAI DUA MAKNA.
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ
طَيِّبًا (tidak menerima kecuali yang baik). Terdapat banyak hadits
yang serupa dengan hadits ini, yang di dalamnya terdapat pernyataan
tidak diterimanya sebagian dari amal perbuatan dan perkataan. Hal itu
karena pelakunya terjatuh dalam larangan atau menyepelekan syarat atau
rukun dari amalan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Rabb-nya Azza
wa Jalla . Maka, harus dipahami makna tidak diterimanya suatu amalan
seperti yang dipahami oleh para ulama.

Tidak diterimanya suatu amalan memiliki dua makna:
1. Tidak diterima dalam artian tidak mendapat pahala dan ganjaran,
namun amalan yang wajib telah gugur darinya, contohnya sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ
أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً.

"Barang siapa yang mendatangi tukang ramal (dukun), kemudian bertanya
kepadanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama empat
puluh malam". [4]

2. Tidak diterima dalam artian tidak sah dan batal, seperti sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ.

"Allah tidak menerima shalat seorang dari kalian jika dia berhadats
sampai dia berwudhu" [5]

Makna tidak diterima dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا (tidak menerima kecuali yang
baik), ialah tidak diperolehnya pahala dan ganjaran, keridhaan,
pujian, dan sanjungan dari Allah di sisi para malaikat. Adapun dari
segi diterimanya shadaqah dari harta yang haram maka itu tidak bisa
diterima, hal itu berdasarkan sabda Rasulullah:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ.

"Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan shadaqah dari ghulûl
(mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan)."[6]

Maksud yang sesungguhnya, wallahu a’lam, ialah tidak diterima dengan
makna pertama atau kedua. Itulah, wallahu a’lam, yang dimaksud firman
Allah Ta’ala:

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

"… Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa". [al-Mâ`idah/5:27).

Oleh karena itu, ayat itu di atas sangat ditakuti generasi Salaf.
Mereka khawatir tidak termasuk orang-orang yang bertakwa dan takut
jika amal mereka tidak diterima.

Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang makna al-muttaqîn
(orang-orang yang bertakwa) pada ayat di atas kemudian ia menjawab:
“Yaitu orang yang menjaga dirinya dari hal-hal (yang syubhat) kemudian
tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak halal baginya”. [7]

Abu Abdullah as-Saji rahimahullah berkata, “Ada lima hal, yang
dengannya amal menjadi sempurna: (1) beriman dengan mengenal Allah
Azza wa Jalla , (2) mengenal kebenaran, (3) mengikhlaskan amal karena
Allah, (4) beramal sesuai dengan Sunnah, dan (5) memakan yang halal.
Jika salah satu dari kelima hal tersebut ada yang hilang, amal menjadi
tidak naik. Jika engkau mengenal Allah Azza wa Jalla, namun tidak
mengenal kebenaran, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau mengenal
Allah dengan mengenal kebenaran, namun tidak mengikhlaskan amal,
engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau mengenal Allah, mengenal
kebenaran, dan mengikhlaskan amal, namun tidak sesuai dengan Sunnah,
engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau memenuhi keempat syarat
tersebut, namun makananmu tidak halal, engkau menjadi tidak
berguna”.[8]

Adapun sedekah dengan uang haram, maka tidak diterima seperti
disebutkan dalam Shahîh Muslim dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu,
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ.

"Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan sedekah dari ghulûl
(mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan)." [9]

Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim disebutkan hadits dari Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sedekah dari
pendapatan yang baik (halal) –dan Allah tidak menerima kecuali yang
baik- melainkan sedekah tersebut diambil oleh (Allah) Yang Maha
Pengasih dengan tangan kanan-Nya …”. [10]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:

مَنْ جَمَعَ مَالاً حَرَامًا، ثُمَّ يَتَصَدَّقَ بِهِ، لَمْ يَكُنْ
فِيْهِ أَجْرٌ، وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ.

"Barang siapa mengumpulkan harta yang haram, kemudian bersedekah
dengannya, ia tidak mendapatkan pahala di dalamnya dan dosa menjadi
miliknya. " [11]

Disebutkan dalam hadits-hadits mursal al-Qâsim bin Mukhaimirah bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa
memperoleh harta dari perbuatan dosa, lalu menyambung kekerabatan
dengannya, atau bersedekah dengannya, atau menginfakkannya di jalan
Alah, maka Allah mengumpulkan semua itu lalu melemparnya ke neraka
Jahannam dengannya”.[12]

Diriwayatkan dari Abu Darda` dan Yazîd bin Maisarah bahwa keduanya
mengumpamakan orang yang mendapatkan harta tidak halal kemudian
bersedekah dengannya seperti orang yang mengambil harta anak yatim
kemudian membeli pakaian dan memakaikannya kepada janda-janda.[13]

Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu 'anhu ditanya tentang orang yang beramal.
Namun, sebelumnya ia berbuat zhalim dan mendapatkan harta haram lalu
bertaubat. Ia melaksanakan ibadah haji, memerdekakan budak, dan
bersedekah dengan harta tersebut? Ibnu 'Abbâs menjawab: “Sesungguhnya
keburukan tidak bisa dihapus dengan keburukan”.[14]

Ibnu Mas’ûd juga berkata: “Sesungguhnya keburukan tidak bisa dihapus
dengan keburukan dan hanya kebaikan yang bisa menghapus keburukan”.
[15]

Ketahuilah bahwa bersedekah dengan uang haram itu terjadi dalam dua bentuk:

Pertama : Pencuri, Pengkhianat, Perampas, Perampok, Koruptor, dan
selainnya bersedekah dengan harta yang haram atas namanya sendiri.
Inilah yang dimaksudkan hadits di atas bahwa sedekah tidak diterima
darinya dalam arti ia tidak diberi pahala karenanya, justru ia berdosa
karena ia menggunakan harta orang lain tanpa seizinnya. Pemilik harta
(orang yang hartanya dicuri) tersebut juga tidak mendapatkan pahala,
karena sedekah tersebut tidak karena maksud dan niatnya. Itulah
pendapat sejumlah ulama, di antaranya Ibnu 'Aqîl – dari Hanabilah-.

Dari Zaid bin al-Akhnas al-Khuzâ’i rahimahullah bahwa ia bertanya
kepada Sa’îd bin al-Musayyib rahimahullah : “Aku menemukan barang
tercecer, apakah aku boleh bersedekah dengannya?” Sa’îd bin
al-Musayyib menjawab: “Engkau dan pemiliknya tidak diberi pahala”.
Bisa jadi, yang dimaksud Sa’îd bin al-Musayyib ialah orang tersebut
bersedekah dengan barang tersebut sebelum mengumumkannya.

Jika penguasa atau salah seorang pejabatnya mengambil uang dari
Baitul-Mâl yang bukan haknya kemudian bersedekah, atau memerdekakan
budak dengannya, atau membangun masjid atau lain-lain yang manfaatnya
dirasakan manusia, maka yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu
'anhuma ialah bahwa ia seperti perampas jika ia bersedekah dengan uang
hasil rampasannya. Itu pula yang dikatakan Ibnu ‘Umar kepada ‘Abdullah
bin ‘Amir, Gubernur Basrah. Menjelang kematiannya, orang-orang
berkumpul di tempat ‘Abdullah bin ‘Amir dan menyanjungnya atas
kebaikannya. Di sisi lain, Ibnu ‘Umar diam. ‘Abdullah bin ‘Amir
meminta Ibnu ‘Umar bicara, kemudian Ibnu ‘Umar meriwayatkan hadits
untuk ‘Abdullah bin ‘Amir: “Allah tidak menerima harta sedekah dari
ghulûl (pencurian harta rampasan perang sebelum dibagikan)”. Setelah
itu, Ibnu ‘Umar berkata kepada ‘Abdullah bin ‘Amir: “Dan engkau adalah
Gubernur Basrah”. [17]

Sejumlah orang yang sangat wara’, seperti Thâwus rahimaullah dan Wahib
bin al-Ward rahimahullah, tidak mau memanfaatkan apa saja yang dibuat
oleh para raja. Sedang Imam Ahmad, ia memberi rukhshah (dispensasi)
terhadap fasilitas-fasilitas umum yang dibuat para raja. Misalnya,
masjid, jembatan, dan pabrik, karena hal-hal tersebut dibangun dari
harta fa’i, terkecuali jika seseorang yakin betul bahwa mereka
membangunnya dengan uang haram, misalnya uang dari pajak, bea cukai,
harta rampasan, dan lain sebagainya, maka ia tidak boleh memanfaatkan
sesuatu yang dibangun dengan harta haram. Ibnu ‘Umar Radhiyallahu
anhuma mengecam para gubernur yang mengambil uang dari Baitul-Mâl
untuk kepentingan pribadi dan klaim mereka bahwa apa yang mereka
kerjakan setelah itu dengan uang tersebut adalah sedekah dari mereka.
Itu mirip dengan harta rampasan. Kecaman sejumlah ulama terhadap
pembangunan masjid-masjid oleh para raja tidak lain karena sebab ini.

Jika uang tersebut haram atau hasil rampasan, maka semua penggunaan
uang tersebut haram. Uang tersebut seterusnya dikembalikan kepada
pemiliknya atau ahli warisnya. Jika pemilik uang tersebut atau ahli
warisnya tidak diketahui, uang tersebut dikembalikan ke Baitul-Mâl dan
digunakan untuk kemashlahatan umum atau sedekah.

Kedua : Penggunaan Perampas Terhadap Harta Yang Dirampasnya.
Jika ia menyedekahkannya atas nama pemiliknya karena ia tidak bisa
mengembalikannya kepada pemiliknya atau ahli warisnya, itu
diperbolehkan menurut sebagian besar ulama, di antaranya Imam Maalik,
Abu Hanîfah, Ahmad dan selain mereka.

Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata bahwa Imam az-Zuhri, Mâlik,
ats-Tsauri, al-Auzâ’i, dan al-Laits berpendapat bahwa jika para
tentara telah berangkat, sedang pencuri rampasan perang tidak bisa
menyusul mereka, ia harus menyerahkan seperlima hasil curiannya dari
rampasan perang dan bersedekah dengan sisanya.[18]

Pendapat yang sama diriwayatkan dari ‘Ubâdah bin ash-Shâmit,
Mu’âwiyah, dan al-Hasan al-Bashri. Pendapat tersebut mirip dengan
pendapat Ibnu Mas’ûd dan Ibnu ‘Abbâs. Mereka berdua berpendapat bahwa
seseorang harus bersedekah dengan uang yang tidak ia ketahui siapa
pemiliknya. Para ulama juga sepakat tentang dibolehkan sedekah dengan
luqathah (barang temuan) setelah diumumkan kepada khalayak dan
pemiliknya tidak bisa diketahui. Jika pemilik luqathah datang, para
ulama memberinya hak pilih antara pahala atau pengganti. Harta
rampasan juga begitu.

Diriwayatkan dari Mâlik bin Dinâr rahimahullah, dia berkata bahwa aku
pernah bertanya kepada ‘Atha` bin Abi Rabâh rahimahullah tentang orang
yang memegang harta haram, tidak mengetahui siapa pemiliknya, dan
ingin terbebas darinya. ‘Atha' bin Abi Rabâh berkata: “Ia
menyedekahkannya namun aku tidak berkata itu sah baginya”.

Imam Mâlik rahimahullah berkata: “Perkataan ‘Atha' bin Abi Rabâh
tersebut lebih aku sukai daripada emas seberat perkataan tersebut”.

Sufyan rahimahullah juga berkata seperti itu tentang orang yang
mendapat warisan dari ayahnya dan dulu ayahnya menjual barang kepada
orang yang bermuamalah dengannya dimakruhkan. Sufyan rahimahullah
berkata: “Ia bersedekah sebesar keuntungan dan mengambil sisanya.”
Pendapat yang sama juga diriwayatkan dari sejumlah sahabat, di
antaranya ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu 'anhu dan ‘Abdullah bin
Yaziid al-Anshâri.

Pendapat yang masyhur dari Imam asy-Syâfi’i rahimahullah tentang harta
haram ialah harta tersebut dijaga dan tidak disedekahkan hingga
pemiliknya diketahui.

Tentang orang yang memegang harta haram dan tidak mengetahui
pemiliknya, al-Fudhail bin Iyâdh rahimahullah berpendapat bahwa ia
harus merusaknya, membuangnya ke laut, dan tidak bersedekah dengannya.
Al-Fudhail bin Iyâdh berkata: “Orang tersebut tidak bertaqarrub kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala kecuali dengan harta yang halal”.

Pendapat yang benar ialah harta tersebut disedekahkan. Karena, merusak
dan manghambur-hamburkan harta dilarang agama, menyimpannya
selama-lamanya juga membuatnya rusak, dan menimbulkan kegelapan pada
orang yang bersangkutan. Sedekah dengan harta tersebut bukan atas nama
orang yang mendapatkannya. Sebab, jika itu terjadi berarti ia
bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan harta haram, namun
sedekah tersebut atas nama pemiliknya agar manfaatnya di akhirat bisa
ia rasakan karena ia tidak merasakannya di dunia.[19]

5. SEBAB-SEBAB DIKABULKANNYA DO'A
Ucapan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu “kemudian Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan orang yang lama bepergian,
rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit,
'Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,' padahal makanannya haram, minumannya
haram, pakaiannya haram, dan diberi makan dengan yang haram, bagaimana
doanya dikabulkan?”

Dengan hadits di atas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin
menunjukkan etika berdoa, sebab-sebab yang menjadikan doa dikabulkan,
dan sebab-sebab yang menjadikan doa seseorang itu tidak dikabulkan.
Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan
empat hal yang membuat doa dikabulkan, yaitu:

a. Lama bepergian.
Bepergian itu sendiri menyebabkan doa dikabulkan seperti terlihat pada
hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ : دَعْوَةُ
الْمَظْلُوْمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ
لِوَلَدِهِ.

"Tiga doa yang dikabulkan dan tidak ada keraguan di dalamnya: (1) doa
orang yang terzhalimi, (2) doa musafir (orang yang sedang bepergian
jauh), dan (3) doa seorang ayah untuk anaknya." [20]

Dalam riwayat lain disebutkan, “doa keburukan seorang ayah untuk anaknya”.

Jika seseorang telah lama bepergian, doanya sangat mungkin dikabulkan
karena dugaan kuat orang tersebut sedih karena lama terasing dari
negerinya dan mendapatkan kesulitan. Sedih adalah sebab terbesar yang
membuat doa dikabulkan.

b. Terjadinya keusangan pada pakaian dan penampilan dalam bentuk
rambut kusut dan berdebu.
Hal ini juga membuat doa terkabul seperti terlihat pada hadits yang
masyhur, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda:

رُبَّ أَشْعَثَ ذِيْ طِمْرَيْنِ، مَدْفُوْعٌ بِاْلأَبْوَابِ، لَوْ
أَقْسَمَ عَلَى اللهِ َلأَبَرَّهُ.

"Bisa jadi orang yang rambutnya kusut, berdebu, mempunyai dua pakaian
lusuh, dan pintu-pintu tertutup baginya, namun jika ia berdoa kepada
Allah, Dia pasti mengabulkannya" [21]

Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar rumah untuk
mengerjakan shalat Istisqa’, beliau keluar dengan pakaian lusuh,
tawadhu`, dan merendahkan diri.[22]

Keponakan Mutharrif bin ‘Abdullah dipenjara, kemudian Mutharrif bin
‘Abdullah rahimahullah mengenakan pakaian usang miliknya dan mengambil
tongkat dengan tangannya. Dikatakan kepadanya, “Kenapa engkau berbuat
seperti itu?” Mutharrif bin ‘Abdullah menjawab, “Aku merendahkan diri
kepada Rabb-ku, mudah-mudahan Dia memberi syafa’at kepadaku untuk
keponakanku”.[23]

c. Menengadahkan kedua tangan ke langit.
Ini termasuk adab berdoa, dan dengan cara seperti itu, diharapkan doa
tersebut dikabulkan. Disebutkan dalam sebuah hadits dari Salmân
Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ اللهَ حَيِيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ
إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ.

"Sesungguhnya Allah Maha Pemalu dan Maha Mulia. Dia malu bila
seseorang menengadahkan kedua tangan kepada-Nya, namun Dia
mengembalikan keduanya dalam keadaan kosong tidak mendapatkan
apa-apa." [24]

Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari hadits Anas bin Mâlik[25],
Jâbir[26], dan selain keduanya.

Cara Menengadahkan Tangan Dalam Berdoa.
• Mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua pundak dengan
menghadapkan kedua telapak tangan ke langit dan menghadapkan bagian
luarnya ke tanah. Menengadahkan kedua tangan seperti itu diperintahkan
dalam banyak hadits ketika seseorang berdoa kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Disebutkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah dan Ibnu Sirîn bahwa
itulah doa dan permintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

• Menengadahkan kedua tangan sejajar dengan pundak dan menghadapkan
bagian luar tangan ke arah kiblat ketika menghadap ke sana dan
menghadapkan bagian dalam tangan ke wajah [27]. Salah seorang generasi
salaf berkata,“Menengadahkan kedua tangan seperti itu adalah sikap
merendahkan diri.”

• Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menengadahkan kedua tangan beliau
dengan tinggi ketika shalat Istisqa` hingga ketiak beliau yang putih
bersih terlihat. Yaitu, dengan menghadapkan bagian luar telapak tangan
ke langit dan bagian dalamnya menghadap ke tanah.[28]

• Menengadahkan kedua tangan dengan posisi tangan bagian dalam
menghadap ke langit dan bagian luarnya menghadap ke tanah. Salah
seorang dari generasi Salaf berkata, “Menengadahkan kedua tangan
seperti itu adalah meminta perlindungan kepada Allah Azza wa Jalla dan
berlindung diri kepada-Nya.” Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bahwa jika beliau berlindung diri kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala, beliau menengadahkan kedua tangan seperti
itu.[29]

• Beristighfar dengan berisyarat satu jari. Diriwayatkan dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau berbuat seperti itu ketika
beliau berada di atas mimbar.[30]

• Adapun ibtihâl (yaitu istighatsah) dengan mengangkat tangan
tinggi-tinggi.[31] Beliau menengadahkan kedua tangan beliau pada
Perang Badar guna meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
atas kaum musyrikin hingga pakaian beliau jatuh dari kedua pundak
beliau.[32]

d. Terus-menerus berdoa kepada Allah Ta’ala dengan mengulang-ulang
kerububiyyahan-Nya.
Cara seperti ini termasuk aspek penting yang membuat doa terkabul.

Ath-Thabrâni dan lain-lain meriwayatkan hadits dari Sa’ad bin Khârijah
Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, “Salah satu kaum mengeluhkan
ketiadaan hujan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian
beliau bersabda, ‘Kumpulkan rombongan kepadaku dan katakan, ‘Rabbi…
Rabbi...’. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat jari
telunjuk ke langit kemudian mereka diberi hujan hingga mereka ingin
air hujan tersebut diberhentikan dari mereka”. [33]

Yazid ar-Raqqâsyi rahimahullah berkata, dari Anas bin Mâlik, “Tidaklah
seorang hamba berkata ‘Rabbî (wahai Rabb-ku), Rabbî (wahai Rabb-ku),’
melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepadanya, ‘Aku penuhi
panggilanmu, Aku penuhi panggilanmu’.”

Diriwayatkan dari Abu ad-Darda` dan Ibnu ‘Abbas bahwa keduanya
berkata: “Nama Allah terbesar ialah Rabbî (wahai Rabb-ku), Rabbî
(wahai Rabb-ku)”.

Disebutkan dari ‘Athaa` rahimahullah, ia berkata: “Tidaklah seorang
hamba berkata ‘Rabbî, Rabbî’ hingga tiga kali melainkan Allah
melihatnya”.[34].

Perkataan tersebut disebutkan kepada al-Hasan rahimahullah kemudian
al-Hasan berkata: “Tidakkah kalian membaca Al-Qur`ân?” Setelah itu
al-Hasan membaca firman Allah Ta’ala Surat Ali ‘Imrân ayat 191-195.

Barang siapa mencermati doa-doa yang disebutkan dalam Al-Qur`ân, ia
menemukan pada umumnya doa-doa tersebut dimulai dengan kata "Rabb",
misalnya firman Allah Ta’ala:

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً
وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat,
dan lindungilah kami dari siksa Neraka”. [Al-Baqarah/2:201].

Atau firman Allah Ta’ala:

رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ
لَنَا بِهِ

“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami
melakukan kesalahan. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebani kami dengan
beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang
sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa
yang tak sanggup kami memikulnya.” [Al-Baqarah/2:286]

Juga firman-Nya:

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا
مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

“Ya Rabb kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan
setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada
kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi”. [Ali
‘Imrân/3:8]

Dan ayat-ayat lainnya yang banyak sekali di dalam Al-Qur`ân.

Sedang penyebab doa tidak dikabulkan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam mengisyaratkan di antaranya ialah karena mengkonsumsi barang
haram, baik dalam makanan, minuman, pakaian, dan memberi makanan
kepada orang lain. Tentang hal ini, telah disebutkan hadits Ibnu
'Abbaas, dan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada
Sa’ad bin Abi Waqqaash: “Wahai Sa’ad, (Kondisikan agar makananmu baik,
Athib Math'amak, ashim) hendaklah makananmu baik, niscaya engkau
menjadi orang yang doanya dikabulkan”. Dari sisi ini, bisa disimpulkan
bahwa makan sesuatu yang halal, meminumnya, mengenakannya, dan
memberikannya kepada orang lain merupakan penyebab doa seseorang
dikabulkan.

'Ikrimah bin ‘Ammaar rahimahullah meriwayatkan bahwa al-Ashfar berkata
kepadaku bahwa dikatakan kepada Sa’ad bin Abi Waqqâsh: “Engkau orang
yang doanya dikabulkan di antara sahabat-sahabat Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam”.

Sa’ad bin Abi Waqqaash berkata: “Aku tidak mengangkat sesuap makanan
ke mulutku, melainkan aku tahu asal usulnya dan ke mana makanan
tersebut hendak keluar”.

Diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih rahimahullah, ia berkata: “Barang
siapa ingin doanya dikabulkan Allah, hendaklah ia makan makanan yang
baik (halal)”.

Diriwayatkan dari Sahl bin ‘Abdillah rahimahullah, dia berkata:
“Barangsiapa makan makanan halal selama empat puluh pagi (hari),
doanya dikabulkan”.
Diriwayatkan dari Yusuf bin Asbath rahimahullah, dia berkata:
“Diberitahukan kepada kami bahwa doa seorang hamba ditahan dari
langit, karena makanannya haram”.[35]

6. SEBAB-SEBAB DOA TIDAK DIKABULKAN


Sabda Nabi فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ (bagaimana doanya
dikabulkan?), maksudnya, bagaimana doa orang tersebut bisa dikabulkan.
Sabda tersebut merupakan pertanyaan dengan konotasi keheranan dan
kecil kemungkinannya, dan bukan penegasan tentang kemustahilan
terkabulnya doa secara umum.

Dari sini, bisa disimpulkan bahwa mengkonsumsi sesuatu yang haram dan
memberikannya kepada orang lain termasuk sebab-sebab tidak terkabulnya
doa. Bisa jadi, ada sebab-sebab lain yang membuat doa tidak terkabul,
misalnya mengerjakan hal-hal yang haram dilakukan. Begitu juga tidak
mengerjakan perintah-perintah seperti dijelaskan dalam hadits bahwa
tidak melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar menyebabkan doa tidak
terkabul, serta mengerjakan perintah-perintah membuat doa
terkabul.[36]

Oleh karena itu, orang-orang yang masuk ke dalam gua kemudian gua
tersebut tertutup oleh batu, mereka bertawassul dengan amal shalih
yang mereka niatkan karena Allah, dan mereka berdoa kepada Allah
dengannya kemudian doa mereka dikabulkan.[37]

Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata: “Perumpamaan orang yang berdoa
tanpa amal ialah seperti orang yang memanah tanpa anak panah”.[38]

Juga diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih rahimahullah, dia berkata:
“Amal shalih membuat doa sampai (kepada Allah)”, kemudian Wahb bin
Munabbih membaca firman Allah Ta’ala: “… Kepada-Nyalah akan naik
perkataan-perkataan yang baik dan amal kebajikan Dia akan
mengangkatnya...” [Fâthir/35:10].[39]

‘Umar bin al-Khaththaab Radhiyallahu 'anhu berkata: “Dengan sikap
wara` (meninggalkan apa saja yang diharamkan Allah), Allah Subhanahu
wa Ta'ala menerima doa dan tasbih”.[40]

FAWÂID HADITS
1. Ath-Thayyib (baik) termasuk dari nama-nama Allah, berdasarkan sabda
beliau: “Sesungguhnya Allah itu baik”, dan ini mencakup baik dalam
Dzat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan
hukum-hukum-Nya.
2. Kesempurnaan Allah Ta’ala dalam Dzat, sifat-sifat-Nya,
perbuatan-perbuatan-Nya, dan hukum-hukum-Nya.
3. Sesungguhnya Allah Mahakaya terhadap hamba-Nya, dan tidak menerima
kecuali yang baik. Maka, amal yang terdapat perbuatan syirik di
dalamnya tidak akan diterima Allah karena amal itu tidak baik.
Demikian pula bersedekah dengan harta curian tidak akan diterima Allah
karena sedekah itu tidak baik, begitu pula bersedekah dengan harta
yang haram pada dzatnya tidak akan diterima Allah karena harta itu
tidak baik.
4. Amal terbagi menjadi dua, yaitu yang diterima dan yang tidak diterima.
5. Sesungguhnya para nabi dan rasul diberikan perintah dan larangan
oleh Allah Ta’ala. Demikian pula kaum mukminin, mereka diberikan
perintah dan larangan.
6. Perintah bagi para rasul dan kaum mukminin untuk memakan makanan
yang halal dan baik.
7. Wajib mensyukuri nikmat Allah Ta’ala dengan cara melakukan ketaatan
kepada-Nya.
8. Diharamkannya berbagai hal yang najis (buruk) yang dianggap buruk
oleh syari’at.
9. Orang yang memakan harta yang haram doanya sangat kecil
kemungkinannya untuk dikabulkan meskipun dia melakukan sebab-sebab
yang membuat doa dikabulkan. Artinya, makan yang halal termasuk sebab
dikabulkannya doa.
10. Safar (bepergian jauh) merupakan sebab dikabulkannya doa.
11. Rambut yang kusut berdebu termasuk sebab terkabulnya doa.
12. Mengangkat tangan ketika berdoa termasuk sebab dikabulkannya doa.
13. Termasuk sebab dikabulkannya doa, yaitu bertawassul dengan sifat
Rububiyyah Allah Ta’ala.
14. Peringatan keras dari memakan makanan yang haram karena itu
sebagai sebab tertolaknya doa meskipun syarat terkabulnya doa telah
terpenuhi.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Qawâ’id wa Fawâ`id minal-Arba’în an-Nawâwiyyah, karya
Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan, hlm. 113.
[2]. Shahîh. HR al-Bukhâri, no. 1410. Muslim, no. 1014. Ahmad, II/418.
At-Tirmidzi, no. 662. An-Nasâ`i, V/57. Ibnu Mâjah, no. 1842, dan Ibnu
Hibbân, no. 270 dalam at-Ta’lîqâtul-Hisân.
[3]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/259).
[4]. Shahîh. HR Muslim, no. 2230. Ahmad, IV/68, V/380. Lafazh ini
milik Muslim, dari Shafiyyah Radhiyallahu 'anha.
[5]. Shahîh. HR al-Bukhâri, no. 135 dan Muslim, no. 225, dari Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[6]. Shahîh. HR Muslim, no. 224. Ahmad, II/20 dan at-Tirmidzi, no. 1.
[7]. Jâmi’ul Ulûm wal-Hikam, I/262.
[8]. Diriwayatkan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 9/323, no. 14016. Nama
Abu ‘Abdillah as-Saji ialah Sa’îd bin Yazîd.
[9]. Shahîh. HR Muslim, no. 224. Ahmad, II/20, dan at-Tirmidzi, no. 1.
[10]. Shahîh. HR Ahmad, II/418. Al-Bukhâri, no. 1410. Muslim, no.
1014. At-Tirmidzi, no. 662. An-Nasâ`i, V/57. Ibnu Mâjah, no. 1842, dan
Ibnu Hibbaan, no. 270 dalam at-Ta’lîqâtul Hisân.
[11]. Hasan. HR Ibnu Hibbaan, no. 3356. Lihat at-Ta’lîqâtul Hisân.
[12]. Lihat Tahdzîbul-Kamal (XXIII/446), karya al-Mizzi dan Siyar
A’lâmin Nubalâ` (V/203) dari al-Qasim bin Mukhaimirah dan tidak
meneruskannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[13]. Lihat az-Zuhd oleh Imam Ahmad, hlm. 137. Dinukil dari Jâmi’ul
‘Ulûm wal-Hikam, I/264.
[14]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/2640.
[15]. Ibid.
[16]. Mushannaf ‘Abdur-Razzâq, no. 18622.
[17]. Shahîh. HR Ahmad, II/20, 51, 73, dan Muslim, no. 224.
[18]. Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Ibnul Mundzir berkata,'Para
ulama sepakat bahwa pencuri harta rampasan perang harus mengembalikan
apa yang ia ambil sebelum rampasan perang dibagikan'. Sedangkan
setelah pembagian, ats-Tsauri, al-Auzâ’i, dan Imam Mâlik berkata,‘Ia
harus mengembalikan seperlimanya kepada imam (penguasa kaum muslimin)
dan bersedekah dengan sisanya’.” Lihat Fat-hul Bâri, VI/186.
[19]. Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/264-268.
[20]. Hasan. HR Abu Dawud, no. 1536. At-Tirmidzi, no. 1905, 3448. Ibnu
Maajah, no. 3862. Ahmad, II/258, dan al-Bukhâri dalam
al-Adabul-Mufrad, no. 32, 481. Dishahîhkan Ibnu Hibbân, no. 2688 dalam
at-Ta’lîqâtul Hisân. Hadits ini mempunyai hadits penguat, dari hadits
‘Uqbah bin ‘Amir dalam riwayat Ahmad, IV/154.
[21]. Shahîh. HR Muslim, no. 2622, 2854, dan Ibnu Hibbân, no. 6449
dalam at-Ta’lîqâtul-Hisân. Lafazh ini milik Ibnu Hibbân.
[22]. Hasan. HR Ahmad, I/230. Abu Dawud, no. 1165. At-Tirmidzi, no.
558. An-Nasâ`i, III/163, dan Ibnu Mâjah, no. 1266. Diriwayatkan dari
Ibnu 'Abbâs, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
keluar dengan pakaian lusuh, menampakkan kemiskinan, merendahkan diri,
dan tawadhu`.” Dishahîhkan Ibnu Hibbân, no. 2851 dalam
at-Ta’lîqâtul-Hisân, dan redaksi tersebut miliknya..
[23]. Diriwayatkan Ibnu Asakir dalam kitab Târîkh-nya, XVI/290, dan
adz-Dzahabi dalam Siyar A’lâmin Nubalâ`, IV/195. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm
wal-Hikam, I/270.
[24]. Shahîh. HR Ahmad, V/438. Abu Dâwud, no. 1488. At-Tirmidzi, no.
3556, dan Ibnu Mâjah, no. 3865, dan Ibnu Hibbân, no. 873, 877.
Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah, no. 1385, dan al-Hakim (I/497) beliau
menshahîhkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[25]. HR ‘Abdur-Razzaq, no. 19648. Ath-Thabraani dalam ad-Du’a, no.
204, 205. Al-Hakim, I/497-498, dan al-Baghawi (no. 1386) dengan
sanad-sanad lemah.
[26].HR Abu Ya’la, no. 1862. Al-Haitsami dalam Majma’uz-Zawâ`id,
X/149, dan ia juga menisbatkan hadits tersebut kepada ath-Thabraani
dalam al-Ausath. Ia berkata, “Di sanadnya terdapat Yûsuf bin Muhammad
bin al-Munkadir ia menganggapnya tsiqah (terpercaya), padahal ia
perawi dha’if, namun para perawi lainnya adalah para perawi
ash-Shahîh”.
[27]. Lihat hadits Anas bin Maalik dalam Shahîh al-Bukhâri, no. 1031,
dan Shahîh Muslim, no. 895. Juga hadits ‘Umair, mantan budak Abu Lahm,
yang diriwayatkan Abu Daawud (no. 1168), Ahmad (V/223), dan al-Hakim
(I/327) beliau menshahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat
juga atsar Ibnu ‘Umar dalam Fat-hul Bâri, XI/143.
[28]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 1031), Muslim (no. 895), Ahmad
(III/241), Abu Dâwud (no. 1171), dan Ibnu Hibbân (no. 2852), dari Anas
bin Mâlik.
[29]. HR Ahmad (IV/56) dari Khalad bin as-Sâ`ib secara mursal. Di
sanadnya terdapat Ibnu Lahî’ah yang merupakan perawi dhaif. Hadits
tersebut juga disebutkan al-Haitsami dalam Majma’uz Zawâ`id (X/168)
dan berkata bahwa sanad hadits tersebut hasan.
[30]. Shahîh. HR Ahmad (IV/135), Muslim (no. 874), an-Nasâ`i
(III/108), Abu Dâwud (no. 1104), dan Ibnu Hibbân (879-at-Ta’lîqâtul
Hisân), dari ‘Imârah bin Ruwaibah. Dishahîhkan.
[31]. Shahîh. HR Abu Dâwud, no. 1490, dan dishahîhkan oleh Syaikh
al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Dâwud, I/279, no. 1322.
[32]. Shahîh. HR Muslim (no. 1763) dan Ibnu Hibbân (no. 4773) dari
‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu 'anhu.
[33]. Hadits tersebut tidak shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bazzâr (no.
665) dan al-Bukhâri dalam at-Târîkh, VI/457. Di sanadnya terdapat Amir
bin Kharijah. Al-Bukhâri berkata, “Di sanadnya terdapat catatan. Abu
Hatim berkata seperti dinukil darinya oleh anaknya (III/188), ‘sanad
hadits tersebut munkar’.”
[34]. HR Ibnu Abi Syaibah, X/272. Atsar tersebut dishahîhkan al-Hâkim,
I/505. Atsar tersebut juga disebutkan as-Suyûthi di ad-Durrul Mantsûr
(II/410) dan menambahkan bahwa atsar tersebut juga diriwayatkan Ibnu
Abi Hâtim.
[35]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/275.
[36]. Hasan. HR Ahmad (VI/159) dan al-Bazzâr (no. 3304) dari 'Aisyah d
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Wahai
manusia, sesungguhnya Allah berfirman kepada kalian, ‘Perintahkan yang
baik dan laranglah yang munkar sebelum kalian berdoa kepada-Ku
kemudian doa kalian tidak Aku kabulkan, kalian meminta kepada-Ku
kemudian tidak Aku berikan, dan kalian meminta pertolongan kepada-Ku
kemudian Aku tidak menolong kalian’.”
[37]. Lihat Shahîh al-Bukhâri, no. 2215, Shahîh Muslim, no. 2743,
Shahîh Ibni Hibbân, no. 894.
[38]. Diriwayatkan Ibnul Mubâarak di az-Zuhdu, no. 307, dan Abu Nu’aim
di al-Hilyah, IV/56, no. 4730.
[39]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, I/276.
[40]. Ibid.


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
http://almanhaj.or.id/content/3550/slash/0/baik-dan-halal-adalah-syarat-diterimanya-doa/