Senin, 04 Maret 2013

"Enak kah tinggal di luar negeri?"

  • Oleh: Revina Octavianita [Seoul]


    In case ada yang kelewat baca, beberapa waktu yang lalu (tepatnya tanggal 3 October 2012) saya pernah menulis status begini:

    Konsep 'luar negeri' hanya akan memikat para turis.
    Selebihnya? Cuma sebuah tempat dimana seseorang mencari penghidupan.

    Kalau nggak salah karena saat itu untuk kesekian kalinya saya ditanya, "Enak ya tinggal di luar negeri?" oleh seorang teman. Maka setelah kelar meringis demi membaca pertanyaan tersebut, terciptalah status geje diatas.

    Mungkin perlu saya jelaskan bahwa sebelum bedhol desa ke Seoul, Korea, saya dan suami sempat tinggal di Boston, Amerika. Saya hanya tiga tahun tinggal disana, sementara suami saya sekitar sembilan tahun. Sedangkan untuk Seoul, Maret tahun 2013 ini pas lima tahun kami tinggal disini.  Dan tidak saya pungkiri bahwa tinggal diluar negeri itu memang enak.

    Contohnya: selama bertahun-tahun nyetir di luar negeri saya merasa tidak pernah perlu membunyikan klakson karena sebagian besar pengendara berkelakuan sopan di jalan raya. Contoh lain: uang pajak yang kita bayarkan benar-benar diaplikasikan menjadi fasilitas umum yang sangat memadai. Transportasi dan fasilitas umum sangat nyaman, murah serta layak pakai. Contoh lain lagi: Bisa immune dari segala berita-bikin-muntah-ala-politicians karena memang saya bisa memilih untuk mengikuti perkembangan politik atau tidak. Bisa terhindar dari bergosip antar tetangga karena rata-rata semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing (don't get this wrong. Hubungan saya dengan tetangga sangat baik. Kami sering tuker-tukeran makanan. Sering hangout di cafe jajan 'nokcha'. Bahkan anak bungsu saya berteman baik dengan sulungnya tetangga. Tapi sekali lagi, kami tidak rajin menggunjingkan orang).

    =========

    Intinya: tinggal di luar negeri itu memang enak. Karena semua serba teratur.
    At least, itu yang tampak dari luar. Karena sebenarnya di balik semua keteraturan dan kenyamanan tersebut akan ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Atau dengan kata lain: tetep lah ada sisi nggak enaknya. Itupun kalau mau dianggap nggak enak, ya. Karena bagi saya, enak atau enggak itu sebenernya cuma masalah mindset aja. Selama kita bisa meng-adjust comfort zone kita maka tidak ada yang bisa membuat kita tidak betah. Itu semua cuma masalah bagaimana kita menata hati, kok.

    FYI: banyak teman-teman saya sesama expatriate yang memilih untuk pulang ke negara asalnya dengan alasan: 'Tidak betah'. Ya, sesederhana itu. Tidak betah. Ada yang tidak betah karena kesulitan mencari makanan favoritnya selama di Korea, misalnya. Kebetulan dia sangat menikmati menu greasy ala Amerika, negara asalnya, serta kurang suka sayur-buah sehingga sangat merana tinggal di Korea yang notabene menunya sebagian besar sangat 'sehat'.

    Atau yang tidak betah karena harus tinggal di apartment sempit di Seoul sementara rumahnya di Cambridge sangat luas. Atau yang merasa harus pulang ke negaranya karena menganggap pendidikan dasar -untuk anaknya- di Korea tidak sebagus di India (padahal saya tahu itu lebih dikarenakan si orangtua tidak mau belajar bahasa Korea sehingga mereka kesulitan memasukkan anaknya ke sekolah lokal yang tentunya full memakai bahasa Korea. Sekadar info: harga sekolah (swasta) berbahasa Inggris di Seoul rata-rata berkisar $2000-3000/bulan atau setara 20-30 juta rupiah. Bahkan ada yang lebih. Sementara biaya Sekolah Dasar s/d SMP (negeri) di Korea itu gratis. Orang tua hanya diwajibkan membayar biaya makan siang&kegiatan after school -extra kurikuler- si anak).

    Ujung-ujungnya semua hal akan bisa dijadikan alasan untuk menjustify ketidakbetahan mereka.
    Bahkan seandainya mau, saya sendiri pun bisa menjadikan ketidakadaan pembantu, misalnya, sebagai alasan kepulangan saya. "Nggak betah ah kalau harus nyuci piring sendiri, harus masak sendiri, harus nglaundry sendiri, harus bersih-bersih rumah sendiri. Mending pulang aja." Sederhana. Tapi tentu saja saya memilih untuk tidak menjadi orang yang berkarakter sekerdil itu.

    Sehingga apapun tantangan yang muncul di hadapan kami, dengan sebaik mungkin kami berusaha melewatinya dengan ikhlas. Nggak ada pembantu, misalnya? Nggak masalah. Apalagi bagi saya pribadi, jika saya merasa mampu menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah tangga sendirian, mengapa sampai harus menyewa jasa domestic helper? Lagipula selama kita tidak menganggap bahwa melakukan pekerjaan rumah tangga itu hina dina, saya rasa nggak masalah kalaupun toh sepulang kantor kita masih harus mencuci piring dan atau menjemur baju.

    Jadi inget kejadian ketika kami masih tinggal di Bandung sepulang dari Amerika. Beberapa bulan pertama -karena sudah terbiasa hidup mandiri selama di Boston- maka saya memutuskan untuk tidak memakai jasa pembantu. Tapi ternyata tetangga kanan kiri (dan juga kerabat) saya berpendapat lain. Mereka merasa 'kasihan' melihat saya tidak mempunyai pembantu. Berkali-kali mereka menawarkan bantuan, "Mau saya carikan pembantu kah, Bu Vina?". Atau di lain kesempatan, "Bu Vina meuni rajin pisan, euy! Apa-apa dikerjakeun sendiri. Kalau saya mah mending serahkeun we ka pembantu. Beres. Nggak capek kitanya juga." Atau yang dengan nada prihatin berkata, "Saya menggaji si Enin cuma 200rb sebulan loh, Bu Vina. Ibu mau saya carikan dari agen yang sama?". Yeah, right. Seolah-olah saya memutuskan nggak mau memakai pembantu karena saya nggak mampu bayar. hihi. Dan seterusnya.

    Memang pada akhirnya saya sempat memakai pembantu juga sih jaman di Bandung. Bahkan sampai dua orang. Satu orang khusus untuk mengurus rumah. Satu orang lainnya khusus untuk merawat Kayla. Sementara saya? Sibuk nerusin kuliah. LOL.

    =======

    Anyway, kembali ke pokok masalah.
    Itu baru soal tidak adanya pembantu. Belum lagi masalah-masalah domestic lainnya. Misalnya ketika (dua kali) saya harus melewati masa kehamilan dan proses persalinan sendirian. Yang pertama, tahun 2002 ketika harus melahirkan Kayla di Boston tanpa ada sanak saudara yang nemenin (kecuali suami saya dan Anna Madden, salah satu sahabat saya, wanita cantik dari Semarang yang menikah dengan pria berkebangsaan Amerika dan kebetulan tinggal di kota yang nggak terlalu jauh dari tempat saya tinggal). Orang tua saya gagal memperoleh visa gara-gara kasus WTC (911). Indonesia dianggap sebagai negara muslim dan gudangnya teroris. Sehingga Papa Mama yang melamar memakai paspor Indonesia (ya iya lah) kala itu ditolak permohonan visanya ke Boston.

    Lalu pada tahun 2008 ketika saya melahirkan Keiva di Seoul. Mama kebetulan tidak bisa meninggalkan praktek Notarisnya sementara Papa juga sedang terlibat project di salah satu rumah sakit yang tidak bisa ditinggalkan. Maka sekali lagi saya harus melewati masa pasca persalinan sendirian. Meskipun sebulan setelah Keiva lahir, kami sempat pulang sebentar (selama seminggu) ke Bandung untuk merayakan aqiqah Keiva.

    Saya sih bersyukur aja bahwa dua kali hamil, dua kali pula saya cukup tangguh untuk melewati semuanya tanpa ada keluhan berarti. Nggak ada morning sickness (sama sekali nggak pernah mual-mual atau gimana), nggak pernah ngidam yang aneh-aneh (dan sejujurnya saya menganggap bahwa ngidam itu cuma alasan buat manja aja), masih bisa packing berpuluh-puluh dus untuk persiapan bedhol desa ke Seoul dalam kondisi hamil Keiva 4 bulan, dst.

    Ini bukan bermaksud nggaya atau boasting.Tapi saya hanya berusaha memberikan gambaran bahwa ada cost yang harus kita bayar jika pengen mandiri. Karena nggak akan mungkin seseorang bisa bertahan hidup mandiri jika mindset-nya masih mengandalkan orang lain (baik itu pembantu, orang tua, sanak saudara, teman, dll) untuk menyelesaikan segala urusannya.

    ============

    Belum lagi jika saya dan suami kepengen ber-Me Time. Jika ada sanak saudara atau orangtua yang bisa dimintai tolong (kapan pun) untuk menjaga anak-anak kami sementara kami pergi menikmati candle light dinner atau sekadar nonton bioskop berdua selama beberapa jam tentunya akan sangat nikmat. Seperti kasus tetangga saya. Ketika dia sibuk mengurus peresmian apotik barunya, maka sang ibu pun dipanggil untuk mengurus anaknya yang masih balita. Tapi tidak demikian halnya dengan kami. Kami harus selalu bisa mensiasati agar anak-anak tidak telantar (tanpa pengawasan) sementara di sisi lain kami juga masih bisa menikmati waktu untuk berdua-dua dengan nyaman. Dan sungguh, itu tidak mudah.

    Terus terang, saya baru bisa menikmati Me Time setelah anak-anak saya berusia diatas 3 tahun. Sementara sebelumnya? Boleh dibilang waktu saya 24/7 habis untuk mereka. Bukan berarti saya mengeluh. Karena toh saya sangat menikmati dalam menjalaninya. Sungguh, nggak ada yang lebih membahagiakan bagi saya ketika bisa menyaksikan moment dimana gigi si sulung tanggal dengan mata kepala saya sendiri dan bukan hanya berdasarkan cerita dari mbak baby sitter. Atau ketika si bungsu mulai belajar menulis dan yang ditulisnya pertama kali adalah nama 'VINA' dan bukan nama mbak pengasuhnya. Bagi saya, hal-hal kecil seperti itu tidak akan pernah bisa tergantikan dengan kemewahan ber-me time sepanjang tahun sekalipun.

    =============

    Nggak capek kah kami melakukan semuanya sendirian?
    Oh, tentu saja capek. Kami bukan Superman atau Superwoman, kok.
    Tapi sekali lagi, kami telah memilih jalan kami: hidup mandiri. Maka rasa capek (dan berbagai komentar sinis lainnya ketika melihat kami melakukan segala domestic chores) itu kami anggap sebagai salah satu harga yang harus kami bayar untuk bisa menikmati segala kenyamanan dan kebebasan tersebut. Sungguh, it's worth it.

    Sehingga kembali ke pertanyaan awal, "Enak kah tinggal di luar negeri?"
    Jawaban saya, "Enak bangeeeeeet ...", selama kita bersedia untuk bekerja keras 24/7.

    Salam,
    Vina Revi
    Februari 2013

    Muslimah Indonesia] [Ahad Share 03032013] Untuk yang pernah bertanya: "Enak kah tinggal di luar negeri?"

    Minggu, 3 Maret, 2013 01:54