In case ada yang kelewat baca, beberapa waktu yang lalu (tepatnya tanggal 3 October 2012) saya pernah menulis status begini:
Konsep 'luar negeri' hanya akan memikat para turis.
Selebihnya? Cuma sebuah tempat dimana seseorang mencari penghidupan.
Kalau
nggak salah karena saat itu untuk kesekian kalinya saya ditanya, "Enak
ya tinggal di luar negeri?" oleh seorang teman. Maka setelah kelar
meringis demi membaca pertanyaan tersebut, terciptalah status geje
diatas.
Mungkin perlu saya jelaskan bahwa sebelum bedhol
desa ke Seoul, Korea, saya dan suami sempat tinggal di Boston, Amerika.
Saya hanya tiga tahun tinggal disana, sementara suami saya sekitar
sembilan tahun. Sedangkan untuk Seoul, Maret tahun 2013 ini pas lima
tahun kami tinggal disini. Dan tidak saya pungkiri bahwa tinggal diluar
negeri itu memang enak.
Contohnya: selama
bertahun-tahun nyetir di luar negeri saya merasa tidak pernah perlu
membunyikan klakson karena sebagian besar pengendara berkelakuan sopan
di jalan raya. Contoh lain: uang pajak yang kita bayarkan benar-benar
diaplikasikan menjadi fasilitas umum yang sangat memadai. Transportasi
dan fasilitas umum sangat nyaman, murah serta layak pakai. Contoh lain
lagi: Bisa immune dari segala berita-bikin-muntah-ala-politicians karena
memang saya bisa memilih untuk mengikuti perkembangan politik atau
tidak. Bisa terhindar dari bergosip antar tetangga karena rata-rata
semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing (don't get this wrong.
Hubungan saya dengan tetangga sangat baik. Kami sering tuker-tukeran
makanan. Sering hangout di cafe jajan 'nokcha'. Bahkan anak bungsu saya
berteman baik dengan sulungnya tetangga. Tapi sekali lagi, kami tidak
rajin menggunjingkan orang).
=========
Intinya: tinggal di luar negeri itu memang enak. Karena semua serba teratur.
At
least, itu yang tampak dari luar. Karena sebenarnya di balik semua
keteraturan dan kenyamanan tersebut akan ada banyak tantangan yang harus
dihadapi. Atau dengan kata lain: tetep lah ada sisi nggak enaknya.
Itupun kalau mau dianggap nggak enak, ya. Karena bagi saya, enak atau
enggak itu sebenernya cuma masalah mindset aja. Selama kita bisa
meng-adjust comfort zone kita maka tidak ada yang bisa membuat kita
tidak betah. Itu semua cuma masalah bagaimana kita menata hati, kok.
FYI:
banyak teman-teman saya sesama expatriate yang memilih untuk pulang ke
negara asalnya dengan alasan: 'Tidak betah'. Ya, sesederhana itu.
Tidak betah. Ada yang tidak betah karena kesulitan mencari makanan
favoritnya selama di Korea, misalnya. Kebetulan dia sangat menikmati
menu greasy ala Amerika, negara asalnya, serta kurang suka sayur-buah
sehingga sangat merana tinggal di Korea yang notabene menunya sebagian
besar sangat 'sehat'.
Atau yang tidak betah karena harus
tinggal di apartment sempit di Seoul sementara rumahnya di Cambridge
sangat luas. Atau yang merasa harus pulang ke negaranya karena
menganggap pendidikan dasar -untuk anaknya- di Korea tidak sebagus di
India (padahal saya tahu itu lebih dikarenakan si orangtua tidak mau
belajar bahasa Korea sehingga mereka kesulitan memasukkan anaknya ke
sekolah lokal yang tentunya full memakai bahasa Korea. Sekadar info:
harga sekolah (swasta) berbahasa Inggris di Seoul rata-rata berkisar
$2000-3000/bulan atau setara 20-30 juta rupiah. Bahkan ada yang lebih.
Sementara biaya Sekolah Dasar s/d SMP (negeri) di Korea itu gratis.
Orang tua hanya diwajibkan membayar biaya makan siang&kegiatan after
school -extra kurikuler- si anak).
Ujung-ujungnya semua hal akan bisa dijadikan alasan untuk menjustify ketidakbetahan mereka.
Bahkan
seandainya mau, saya sendiri pun bisa menjadikan ketidakadaan
pembantu, misalnya, sebagai alasan kepulangan saya. "Nggak betah ah
kalau harus nyuci piring sendiri, harus masak sendiri, harus nglaundry
sendiri, harus bersih-bersih rumah sendiri. Mending pulang aja."
Sederhana. Tapi tentu saja saya memilih untuk tidak menjadi orang yang
berkarakter sekerdil itu.
Sehingga apapun tantangan yang
muncul di hadapan kami, dengan sebaik mungkin kami berusaha melewatinya
dengan ikhlas. Nggak ada pembantu, misalnya? Nggak masalah. Apalagi
bagi saya pribadi, jika saya merasa mampu menyelesaikan seluruh
pekerjaan rumah tangga sendirian, mengapa sampai harus menyewa jasa
domestic helper? Lagipula selama kita tidak menganggap bahwa melakukan
pekerjaan rumah tangga itu hina dina, saya rasa nggak masalah kalaupun
toh sepulang kantor kita masih harus mencuci piring dan atau menjemur
baju.
Jadi inget kejadian ketika kami masih tinggal di
Bandung sepulang dari Amerika. Beberapa bulan pertama -karena sudah
terbiasa hidup mandiri selama di Boston- maka saya memutuskan untuk
tidak memakai jasa pembantu. Tapi ternyata tetangga kanan kiri (dan
juga kerabat) saya berpendapat lain. Mereka merasa 'kasihan' melihat
saya tidak mempunyai pembantu. Berkali-kali mereka menawarkan bantuan,
"Mau saya carikan pembantu kah, Bu Vina?". Atau di lain kesempatan, "Bu
Vina meuni rajin pisan, euy! Apa-apa dikerjakeun sendiri. Kalau saya
mah mending serahkeun we ka pembantu. Beres. Nggak capek kitanya juga."
Atau yang dengan nada prihatin berkata, "Saya menggaji si Enin cuma
200rb sebulan loh, Bu Vina. Ibu mau saya carikan dari agen yang sama?".
Yeah, right. Seolah-olah saya memutuskan nggak mau memakai pembantu
karena saya nggak mampu bayar. hihi. Dan seterusnya.
Memang
pada akhirnya saya sempat memakai pembantu juga sih jaman di Bandung.
Bahkan sampai dua orang. Satu orang khusus untuk mengurus rumah. Satu
orang lainnya khusus untuk merawat Kayla. Sementara saya? Sibuk nerusin
kuliah. LOL.
=======
Anyway, kembali ke pokok masalah.
Itu
baru soal tidak adanya pembantu. Belum lagi masalah-masalah domestic
lainnya. Misalnya ketika (dua kali) saya harus melewati masa kehamilan
dan proses persalinan sendirian. Yang pertama, tahun 2002 ketika harus
melahirkan Kayla di Boston tanpa ada sanak saudara yang nemenin (kecuali
suami saya dan Anna Madden, salah satu sahabat saya, wanita cantik
dari Semarang yang menikah dengan pria berkebangsaan Amerika dan
kebetulan tinggal di kota yang nggak terlalu jauh dari tempat saya
tinggal). Orang tua saya gagal memperoleh visa gara-gara kasus WTC
(911). Indonesia dianggap sebagai negara muslim dan gudangnya teroris.
Sehingga Papa Mama yang melamar memakai paspor Indonesia (ya iya lah)
kala itu ditolak permohonan visanya ke Boston.
Lalu pada
tahun 2008 ketika saya melahirkan Keiva di Seoul. Mama kebetulan tidak
bisa meninggalkan praktek Notarisnya sementara Papa juga sedang
terlibat project di salah satu rumah sakit yang tidak bisa
ditinggalkan. Maka sekali lagi saya harus melewati masa pasca
persalinan sendirian. Meskipun sebulan setelah Keiva lahir, kami sempat
pulang sebentar (selama seminggu) ke Bandung untuk merayakan aqiqah
Keiva.
Saya sih bersyukur aja bahwa dua kali hamil, dua
kali pula saya cukup tangguh untuk melewati semuanya tanpa ada keluhan
berarti. Nggak ada morning sickness (sama sekali nggak pernah mual-mual
atau gimana), nggak pernah ngidam yang aneh-aneh (dan sejujurnya saya
menganggap bahwa ngidam itu cuma alasan buat manja aja), masih bisa
packing berpuluh-puluh dus untuk persiapan bedhol desa ke Seoul dalam
kondisi hamil Keiva 4 bulan, dst.
Ini bukan bermaksud
nggaya atau boasting.Tapi saya hanya berusaha memberikan gambaran bahwa
ada cost yang harus kita bayar jika pengen mandiri. Karena nggak akan
mungkin seseorang bisa bertahan hidup mandiri jika mindset-nya masih
mengandalkan orang lain (baik itu pembantu, orang tua, sanak saudara,
teman, dll) untuk menyelesaikan segala urusannya.
============
Belum
lagi jika saya dan suami kepengen ber-Me Time. Jika ada sanak saudara
atau orangtua yang bisa dimintai tolong (kapan pun) untuk menjaga
anak-anak kami sementara kami pergi menikmati candle light dinner atau
sekadar nonton bioskop berdua selama beberapa jam tentunya akan sangat
nikmat. Seperti kasus tetangga saya. Ketika dia sibuk mengurus
peresmian apotik barunya, maka sang ibu pun dipanggil untuk mengurus
anaknya yang masih balita. Tapi tidak demikian halnya dengan kami. Kami
harus selalu bisa mensiasati agar anak-anak tidak telantar (tanpa
pengawasan) sementara di sisi lain kami juga masih bisa menikmati waktu
untuk berdua-dua dengan nyaman. Dan sungguh, itu tidak mudah.
Terus
terang, saya baru bisa menikmati Me Time setelah anak-anak saya
berusia diatas 3 tahun. Sementara sebelumnya? Boleh dibilang waktu saya
24/7 habis untuk mereka. Bukan berarti saya mengeluh. Karena toh saya
sangat menikmati dalam menjalaninya. Sungguh, nggak ada yang lebih
membahagiakan bagi saya ketika bisa menyaksikan moment dimana gigi si
sulung tanggal dengan mata kepala saya sendiri dan bukan hanya
berdasarkan cerita dari mbak baby sitter. Atau ketika si bungsu mulai
belajar menulis dan yang ditulisnya pertama kali adalah nama 'VINA' dan
bukan nama mbak pengasuhnya. Bagi saya, hal-hal kecil seperti itu
tidak akan pernah bisa tergantikan dengan kemewahan ber-me time
sepanjang tahun sekalipun.
=============
Nggak capek kah kami melakukan semuanya sendirian?
Oh, tentu saja capek. Kami bukan Superman atau Superwoman, kok.
Tapi
sekali lagi, kami telah memilih jalan kami: hidup mandiri. Maka rasa
capek (dan berbagai komentar sinis lainnya ketika melihat kami melakukan
segala domestic chores) itu kami anggap sebagai salah satu harga yang
harus kami bayar untuk bisa menikmati segala kenyamanan dan kebebasan
tersebut. Sungguh, it's worth it.
Sehingga kembali ke pertanyaan awal, "Enak kah tinggal di luar negeri?"
Jawaban saya, "Enak bangeeeeeet ...", selama kita bersedia untuk bekerja keras 24/7.
Salam,
Vina Revi
Februari 2013
Muslimah Indonesia] [Ahad Share 03032013] Untuk yang pernah bertanya: "Enak kah tinggal di luar negeri?"
Minggu, 3 Maret, 2013 01:54