"Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung" ( QS. Al-jum'ah : 10)
Ayat diatas adalah salah satu hal yang
membuat saya ingin mencari ilmu di luar
Indonesia. Ditambah terinspirasi oleh doa salah
seorang Ust, yang kemudian saya modifikasi
menjadi doa versi saya : "Ya Allah, Sesungguhn
ya bumi Mu amat luas. Maka izinkanlah hamba
untuk memakmurkannya. Jangan biarkan
hamba, hanya mengenal condet, cililitan, halim,
depok dan sekitarnya". ( untuk yang belum tahu
condet dll, itu adalah nama daerah di jakarta
timur, saya tinggal di sana, berangkat ke
kampus di depok, kadang "balik" ke SMA di
daerah cililitan, praktis itulah daerah "jajahan"
saya sampai usia saya sekarang).
Singkat cerita, disinilah saya sekarang. Suatu
daerah di Korea Selatan,bukan Seoul yang ramai
dengan gemerlapnya, tapi di Gumi. Alha
mdulillah, dapat beasiswa untuk melanjutkan
master program. Hidup di sebuah kota kecil
yang tidak ramai, tapi indah. Serasa tafakur
alam jika berangkat atau pulang kampus, jejeran
gunung dan bukit, deretan pepohonan, dan
hamparan sawah bisa saya lihat disini. Sesuatu
yang hampir mustahil saya temukan di Jakarta.
Awal kedatangan saya di korea bertepatan
dengan musim gugur, suhu memang belum
sampai minus layaknya winter. Tapi berhubung
saya berasal dari jakarta yang terbiasa panas,
jadi hawa dingin cukup terasa, terlebih ketika
hujan di malam hari. Dan bukan hanya dingin
yang terasa sampai ke tulang, tetapi juga rasa
rindu. Lahir sebagai anak perempuan bungsu,
dari dua bersaudara membuat saya sangat
terbiasa dengan kehadiran ibu-ayah disamping
saya. Jika rasa rindu sedang menyeruak,
ditambah suasana hujan yang mendukung, jadi
ingat penggalan lagu.
"Hujan, kau ingatkan aku tentang satu rindu. Di
masa yang lalu, saat mimpi masih indah
bersamamu. Terbayang satu wajah, penuh
cinta, penuh kasih. Terbayang satu wajah penuh
dengan kehangatan. Allah, izinkanlah aku,
bahagiakan dia. Meski dia jauh, biarkanlah aku
berarti untuk dirinya, ibu".
Teringat sholat jamaah terakhir dengan ibu
sebelum berangkat ke bandara. Itu baru ibu,
belum lagi ayah. Masih teringat jelas wajah
ayah, saat ia berusaha menyembunyikan tetes
air mata ketika mengantar di bandara. Ah, bukan
hanya itu. Teringat saudara/i yang Allah
persaudarakan karena keislaman dan
keimanan. Waktu keberangkatan saya ke korea
memang cukup mepet dengan lebaran, alhasil
saya tak punya cukup banyak waktu untuk bisa
bersilaturahmi dengan mereka. Dan masha
Allah nya adalah, justru mereka yang datang ke
rumah saya. Mereka datang meski matahari
sudah tenggelam. Mereka datang dengan
segala doa yang yang dihaturkan. Mulai dari
keberkahan, keistiqomahan, kelancaran dan lain
sebagainya. Itu baru doa-doa yang terucap,
belum bingkisan yang diberikan. Mulai dari buku
seri motivasi islam, belajar bahasa korea,
catatan doa di tiap sujudku, sampai mukenah,
dan coat merah untuk saya kenakan. Jika kalian
tahu yang saya rasakan, mungkin ketika
pesawat baru akan tinggal landas pun. Akan
kembali bertanya dalam hati, apa iya saya
hendak berangkat, dan meninggalkan segala
kasih yang saya punya di Indonesia.
Itu pun yang saya rasakan, di hari pertama
kuliah. Dalam perjalanan pulang ke apartemen
dari kampus, saya kembali bertanya : "What am i
doing here?” Belum lagi masa-masa awal
beradaptasi dengan kehidupan di korea,
susahnya cari makanan halal, “ketakjub-an”
orang korea dengan jilbab yang saya kenakan,
sampai foto di alien card yang minta untuk
menunjukkan telinga. Saya adalah salah satu
dari 4 mahasiswi internasional yang berjilbab di
kampus saya, rasanya sebelum kami, belum
pernah ada muslimah yang berjilbab. Dan itu
membuat kami menjadi pusat perhatian
dibagian kampus mana pun, sebenarnya sih
orang-orang korea ini pada baik-baik. Hanya
sifat “ketakjub-an” mereka dengan jilbab, cukup
membuat saya risih di masa-masa awal
kedatangan saya. Mereka memandang saya dan
temen-teman berjilbab dengan pandangan
yang, hmmm, antara penarasan, aneh, dan gitu
deh, bahkan ada yang sampai mengambil foto
kami diam-diam, atau seakan ragu ketika harus
naik satu lift dengan kami. Masa-masa awal
adaptasi dengan kehidupan di korea itu lah,
yang sering membuat saya kembali bertanya,
untuk kali kesekian “What am I doing here?”
“Why do I choose this way”? Bahkan saya
sampai punya ungkapan tersendiri : “If
homesick is kind of diseases, it means that I am
infected every second”.
Alhamdulillah saya tersadar, dan teringat bahwa
keberadaan saya disini adalah bagian dari cita-cita dan doa saya bukan?
Lantas ketika ternyata, perjalanan yang saya alami tidak
seindah bayangan saya, kenapa justru lebih
pandai mengeluh dibandingkan bersyukur? Dan
seiring berjalannya waktu, alhamdulillah semua
terasa indah dan menyenangkan, professor
saya yang baik dan toleran, serta teman-teman
korea yang ramah ( meski sering language
barrier karena kemampuan bahasa korea saya
yang masih mengenaskan, dan kemampuan
bahasa inggris mereka yang tidak bisa dibilang
baik). Begitu pula dengan para penjaga kedai
atau toko yang saya temui, tidak jarang ada
diantara mereka yang memberikan service
barang free, atau bertanya dengan ramah dan
lucu sambil menunjuk jilbab yang saya kenakan.
Satu hal yang kemudian jadi bagian penting
kesyukuran saya adalah, di korea saya bisa
berdakwah hanya dengan apa yang memang
seharusnya dilakukan seorang muslim.
Bukankah berhijabnya kita menjadi nilai
dakwah, mengenalkan pada orang-orang korea
yang sebelumnya tidak pernah tahu apa itu
hijab terlebih lagi islam, mengenalkan pada
mereka makanan halal, sholat dan lain
sebagainya. Pernah suatu hari, saya memesan
beberapa buah mushaf ke IMUSKA untuk mba-mba pekerja di Gumi.
Mushaf itu pun dikirim ke alamat lab saya, dan ternyata tumpukan mushaf
dalam kotak itu menarik perhatian professor
saya hingga ia bertanya itu apa. Dan saya
menjelaskan bahwa itu adalah Al-Quran, dan
ternyata dia sangat tertarik, hingga berkata :
“wow, Is that Quran? This is the first time in my
life since I was born, I see Quran. I thought it is
big and large book. Can I see that? Is it
colorful?” (Mushaf yang saya pesan adalah
mushaf bertajwid terbitan syamil, jadinya ada
berwarna-warni tulisannya ^^). Sederhana
bukan? Saya hanya tidak sengaja meletakkan
mushaf, dan ternyata itu berarti mengenalkan
seorang manusia akan firman Allah yang sama
sekali belum pernah dilihatnya seumur hidup.
Hal yang hampir tidak mungkin terjadi jika saya
di indonesia.
Layaknya seorang yang senantiasa belajar,
pertanyaan “what am I doing here?” boleh jadi
kembali hadir. Tetapi itu bukan lagi bernada
keluhan, melainkan evaluasi dan penguatan
azzam. Keberadaan saya disini adalah bagian
dari istikharah yang saya lakukan sebelum
memutuskan. “What am I doing here?” adalah
pengingatan akan segala mimpi dan cita-cita
saya, mimpi untuk bisa lebih bermanfaat untuk
umat, mimpi untuk pergi umrah sekeluarga
bersama, untuk menggenapkan yang masih
ganjil, dan memakmurkan bumi Nya. Dan
Alhamdulillah, Allah karuniakan saya saudara/i
yang tak kalah baik disini.
Untuk setiap doa yang terucap, semoga Allah
mengijabah, malaikat mengaminkan doa seraya
mendoakan kebaikan yang sama untuk kalian.
Untuk setiap kebaikan yang diberikan, semoga
Allah membalas dengan berlipat kebaikan. Maaf
atas hak-hak yang belum bisa saya tunaikan
dengan baik. Semoga bisa jadi keluarga di
dunia, dan di syurga Nya kelak. Bagaimana kita
titipkan jiwa kita, dan orang-orang yang kita
cintai, jika bukan melalui doa kepada Nya?
Nb: Catatan khusus bagi siapapun yang sedang
isthikarah untuk menentukan pilihan hidupnya.
Salah satu yang saya ingat adalah " tidak ada
penyesalan setelah istikharah, karena kita yang
meminta ditunjukkan jalan menurut Nya". Dan
jika keyakinan belum juga bulat, jangan berhenti
meminta pada Nya. " Agar tidak ada keraguan
setelah keyakinan"
:)
Selasa, 11 september 2012/21 syawal 1433 H
"Milist"