Oleh
Muhammad bin Suud Al-Uraifi
Mayoritas ulama mengatakan bahwa hukum shalat malam adalah sunnah
mu'akkadah (yang sangat) ditekankan berdasarkan al-Qur-an, as-Sunnah
dan ijma' kaum muslimin. [1]
Dari 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu menuturkan, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepadanya dan kepada
putri beliau, Fathimah, di malam hari, lalu beliau berkata, "Mengapa
kalian tidak shalat?" Aku ('Ali) berkata, "Wahai Rasulullah, jiwa kami
ada di tangan Allah, jika Allah berkehendak membangunkan kami (untuk
shalat) tentu kami akan bangun." Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu pergi ketika kami mengatakan begitu dan beliau sama sekali tidak
membalas kami hingga kemudian aku mendengarnya mengatakan sambil
memukul pahanya.
وَكَانَ اْلإِنسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلاً
"Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah." [Al-Kahfi: 54].[2]
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma menuturkan, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat pada suatu malam di masjid lalu
orang-orang bermakmum dengannya. Kemudian beliau shalat lagi pada
malam berikutnya dan orang-orang yang shalat bersamanya bertambah
banyak. Kemudian pada malam ketiga atau keempat orang-orang telah
berkumpul, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar untuk
shalat bersama mereka. Ketika di pagi hari beliau berkata, "Aku telah
mengetahui apa yang kalian lakukan dan aku tidak keluar menemui kalian
melainkan karena aku takut shalat ini akan diwajibkan atas kalian."
Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan.[3]
Berdasarkan kedua hadits ini dan hadits-hadits lainnya al-Bukhari
membuat sebuah bab dengan judul “Tahriidhin Nabiy Shallallahu ‘alaihi
wa sallam 'ala Qayaamil Laili min Ghairi Iijaab" (Dorongan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan shalat malam tanpa
mewajibkannya.)
Ibnu Hajar berkata, "Ibnu al-Munir mengatakan, judul bab ini
mengandung dua hal; dorongan (untuk melakukan shalat malam) dan tidak
mewajibkannya."[4]
Komentar saya, Pada mulanya shalat malam diwajibkan lalu hukum itu
dihapuskan, (berikut penjelasannya):
Dari Sa'ad bin Hisyam Radhiyallahu anhu, ia bertanya kepada Ummul
Mukminin 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, "Wahai Ummul Mukminin,
ceritakanlah kepadaku tentang shalat malam yang dilakukan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam?" ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata,
"Bukankah kamu telah membaca ayat ini,
يَآأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ
'Wahai orang yang berselimut?'"
Aku menjawab, "Ya." ‘Aisyah berkata, "Sesungguhnya Allah telah
mewajibkan shalat malam di awal surat ini, lalu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya melakukannya selama setahun
hingga telapak kaki mereka pecah-pecah. Akhir surat ini Allah tahan di
atas langit selama dua belas bulan, lalu barulah Allah menurunkan
keringanan di akhir surat ini, maka jadilah shalat malam tersebut
shalat yang sunnah, untuk melengkapi shalat-shalat yang wajib."[5]
Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma menafsirkan firman Allah, (قُمِ
الَّيْلَ إِلاَّ قَلِيلاً ) "Bangunlah untuk shalat di malam hari
kecuali sedikit daripadanya" dengan mengatakan, "Allah memerintahkan
Nabi-Nya dan kaum mukmin untuk melakukan shalat di malam hari kecuali
sedikit daripadanya, lalu hal itu membuat berat mereka sehingga Allah
meringankannya dan mengasihani mereka dengan menurunkan ayat,
عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُمْ مَّرْضَى
"Allah tahu bahwa di antara kalian ada orang-orang yang sedang sakit."
Dengan turunnya ayat ini Allah telah membuat mereka merasa lapang dan
tidak sempit. Masa di antara turunnya dua ayat itu adalah setahun,
yakni antara ayat,
يَآأَيُّهَا الْمُـزَّمِّلُ قُـمِ الَّيْلَ
"Wahai orang yang berselimut, bangunlah untuk melakukan shalat di malam hari."
Dan ayat
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
"Bacalah apa yang mudah bagimu" [6] hingga akhir surat.
Dalil-Dalil Lain Yang Menunjukkan Bahwa Shalat Malam Adalah Sunnah.
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia menceritakan, bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun pada suatu malam lalu beliau
berkata:
سُبْحَانَ اللهِ مَاذَا أُنْزِلَ اللَّيْلَةَ مِنَ الْفِتْنَةِ، مَاذَا
أُنْزِلَ مِنَ الْخَـزَائِنِ، مَنْ يُوْقِظُ صَوَاحِبَ الْحُجُرَاتِ، يَا
رُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٍ فِي اْلآخِرَةِ.
"Subhanallah, ujian apa yang Allah turunkan malam ini dan simpanan apa
yang Dia turunkan bagi orang yang membangunkan wanita-wanita yang
tengah tidur di kamarnya. Wahai kaum, banyak wanita-wanita yang
berpakaian di dunia tetapi telanjang di akhirat."[7]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Tidak wajibnya melakukan shalat
malam, diambil dari sikap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
tidak mewajibkan para wanita tersebut melakukannya."[8]
Dari Abu Umamah Radhiyallahu anhu ia menuturkan, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِيْنَ
قَبْلَكُمْ، وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ، وَمُكَفِّرَةٌ
لِلسَّيِّئَاتِ، مَنْهَاةٌ عَنِ اْلإِثْمِ.
"Lakukanlah shalat malam oleh kalian, karena hal itu merupakan
kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian. Ia pun dapat mendekatkan
kalian kepada Rabb kalian, menghapus segala kesalahan dan mencegah
dari perbuatan dosa." [9]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia meriwayatkan sebuah hadits dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang di antara sabdanya adalah:
تَعَلَّمُوْا الْقُرْآنَ، وَاقْرَأُوْهُ، وَإِنْ لَمْ تَقُوْمُوْا بِهِ،
فَإِنَّ مَثَلَ الْقُرْآنِ لِمَنْ تَعَلَّمَهُ فَقَرَأَهُ وَقَامَ بِهِ
كَمَثَلِ جَرَابٍ مَحْشُوٍّ مِسْكًا، يَفُوْحُ رِيْحُهُ فِي كُلِّ
مَكَانٍ، وَمَثَلُ مَنْ تَعَلَّمَهُ وَرَقَدَ وَهُوَ فِي جَوْفِهِ،
كَمَثَلِ جَرَابٍ أُوْكِيَ عَلَى مِسْكٍ.
"Pelajarilah oleh kalian al-Qur-an dan bacalah, walaupun kalian tidak
melakukan shalat malam dengan bacaan al-Qur-an itu, karena
sesungguhnya perumpamaan orang yang mempelajari al-Qur-an lalu
membacanya dan melakukan shalat malam dengan bacaan al-Qur-an itu,
seperti kantung yang berisi minyak misik dan semerbaknya menyebar ke
seluruh tempat. Sedangkan perumpamaan orang yang mempelajari al-Qur-an
dan ia tidur (tidak bangun untuk melakukan shalat malam) sedang
al-Qur-an itu ada dihafalannya, seperti kantung yang ditutup dengan
minyak misik." [10]
Seorang laki-laki berkata kepada Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma,
"Sesungguhnya aku ingin melakukan shalat Tahajjud karena Allah, tapi
aku tidak mampu karena lemah." Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata,
"Wahai anak saudaraku, tidurlah semampumu dan bertakwalah kepada Allah
semampumu pula." [11]
Sufyan rahimahullah berkata, "Seburuk-buruk keadaan seorang mukmin
adalah saat ia tidur dan sebaik-baik keadaan orang yang jahat adalah
saat ia tidur. Karena seorang mukmin bila ia terbangun ia selalu dalam
keadaan taat kepada Allah dan itu lebih baik daripada ia tidur.
Sedangkan orang yang jahat bila ia terbangun ia selalu dalam keadaan
bermaksiat kepada Allah, maka tidurnya lebih baik daripada
terjaganya." [12]
TATA CARA MELAKUKAN SHALAT MALAM
Tidak ada tata cara khusus dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang cara melakukan shalat malam, tetapi tata cara yang ada adalah
beragam, sehingga seorang muslim boleh melakukan cara yang mana saja.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam bukunya Zaadul Ma'aad [13] membuat
pasal dengan judul: "Pasal tentang tuntunan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam melakukan shalat malam" Di sini ia menyebutkan
tata cara yang banyak tentang shalat malam yang bersumber dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Antara lain adalah:
Pertama: Cara yang dikemukakan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun pada malam hari lalu
melakukan shalat dua raka'at dengan memperlama berdiri, ruku' dan
sujud. Kemudian beliau pergi lalu tidur hingga meniup-niup. [14]
Kemudian beliau melakukan itu sebanyak tiga kali dengan enam raka'at.
Pada tiap kalinya beliau bersiwak dan berwudhu’ dan beliau membaca,
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ
وَالنَّهَارِ لأَيَاتٍ لأُوْلِي اْلأَلْبَابِ
(hingga akhir surat). Kemudian beliau melakukan shalat Witir tiga
raka'at, lalu muadzin adzan dan beliau keluar untuk melakukan shalat
Shubuh… (dan seterusnya hingga akhir hadits).[15]
Kedua: Cara yang disampaikan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, yaitu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan
mengerjakan dua raka'at yang pendek, lalu beliau menyempurnakan
rutinitasnya melakukan shalat sebanyak sebelas raka'at. Pada tiap dua
raka'at beliau salam dan melakukan witir satu raka'at.
Ketiga: Tiga belas raka'at seperti cara yang kedua.
Keempat: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat
malam sebanyak delapan raka'at dengan salam pada tiap-tiap dua
raka'at, lalu shalat Witir sebanyak lima raka'at sekaligus, tanpa
duduk kecuali pada raka'at akhir.[16]
Kelima: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sebanyak
sembilan raka'at dengan melakukannya secara bersambung pada delapan
raka'at tanpa duduk kecuali pada raka'at yang kedelapan, di mana di
akhir raka'at ini beliau duduk untuk berdzikir kepada Allah,
memuji-Nya dan berdo’a kepada-Nya, lalu beliau bangun tanpa salam dan
meneruskan raka'at yang kesembilan, lalu setelah itu duduk, membaca
tasyahud dan salam. Se-telah salam beliau shalat lagi dua raka'at
dengan duduk.[17]
Keenam: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat tujuh raka'at
seperti cara melakukan sembilan raka'at sebelumnya, (yaitu enam
raka'at dilakukan secara bersambung tanpa duduk kecuali pada raka'at
akhir, di mana beliau duduk untuk berdzikir, memuji Allah dan berdo’a
kepada-Nya dan setelah itu bangun tanpa salam untuk melakukan raka'at
yang ketujuh dan setelah itu baru beliau salam), lalu setelah salam
beliau shalat dua raka'at dengan duduk.
Ketujuh: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua
raka'at-dua raka'at lalu beliau shalat Witir tiga raka'at tanpa
dipisahkan di antara tiga raka'at itu dengan salam (salam setelah tiga
raka'at). Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Witir tiga
raka'at tanpa dipisah-kan di antara raka'at-raka'at itu.[18]
Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullah berkata: "Cara yang kami
pilih bagi orang yang melakukan shalat malam adalah, melakukannya dua
raka'at-dua raka'at, dengan salam pada tiap-tiap dua raka'at itu, dan
terakhir ditutup dengan satu raka'at, berdasarkan hadits-hadits ini."
Perkataannya, "Ini pendapat kami" merupakan pilihan dan bukan sebuah
kewajiban. Sebab telah diri-wayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa beliau shalat lima raka'at tanpa salam kecuali di
akhirnya. Dengan demikian, maka sabda Nabi yang berbunyi, "Shalat itu
dilakukan dua raka'at-dua raka'at," adalah sebuah pilihan. Sedangkan
bagi yang menginginkan melakukannya tiga raka'at, atau lima raka'at,
atau tujuh raka'at, atau sembilan raka'at tanpa salam kecuali di
akhirnya, maka hal itu boleh, tetapi yang baik adalah, salam pada tiap
dua raka'at dan witir satu raka'at. [19]
Berdiri Dengan Lama:
Di antara tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bahwa
beliau memperlama berdiri dalam shalat.
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Aku shalat bersama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau memperlama
berdirinya hingga aku ingin berbuat buruk." Ia ditanya, "Apa yang kamu
akan lakukan?" Ia mengatakan, "Aku ingin saja duduk dan meninggalkan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam."[20]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Hadits ini menunjukkan
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih memperlama berdiri
dalam melakukan shalat malam, dan Ibnu Mas'ud adalah seorang yang kuat
yang selalu mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia tidak
ingin duduk, kecuali setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdiri lama sekali yang tidak biasanya beliau dilakukan."[21]
Berdiri Dan Duduk Dalam Shalat
Ibnul Qayyim mengemukakan, bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki tiga cara: [22]
Pertama : Shalat dengan berdiri dan ini yang paling sering beliau lakukan.
Kedua : Shalat dalam keadaan duduk dan ruku' dalam keadaan duduk pula.
Ketiga : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat dalam
keadaan duduk dan bila bacaannya tinggal sedikit beliau bangun lalu
ruku' dalam keadaan berdiri.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Ketiga cara itu bersumber
secara shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam."[23]
[Disalin dari kitab "Kaanuu Qaliilan minal Laili maa Yahja’uun" karya
Muhammad bin Su'ud al-‘Uraifi diberi pengantar oleh Syaikh 'Abdullah
al-Jibrin, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Shalat Tahajjud, Penerbit
Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Lihat Haasyiyatur Raudhil Murbi', (II/220).
[2]. HR. Al-Bukhari dalam kitab at-Tahajjud bab Tahriidhin Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam 'ala Shalaatil Laili min Ghairi Iijaab,
(hadits no. 1127) dan Muslim dalam kitab Shalaatil Musaafiriin bab Maa
Ruwiya fii man Naamal Laila Ajma'a hatta Ashbaha, (hadits no. 775).
[3]. HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Aadzaan bab Shalaatil Lail (hadits
no. 731) dan Muslim dalam kitab Shalaatil Musaa-firiin, bab Istihbaabi
Shalaatin Naafilah fii Baitihi wa Jawaa-ziha fil Masjid (hadits no.
781).
[4]. Fat-hul Baarii (III/14).
[5]. HR. Muslim dalam Shahiihnya dalam kitab Shalaatul Musaafiriin bab
Jaami'i Shalaatil Laili wa Man Naama 'anhu aw Maridha (hadits no.
746).
[6]. Tafsiir ath-Thabari (XIV/125).
[7]. HR. Al-Bukhari dalam kitab at-Tahajjud bab Tahriidhin Nabiy
Shalalllahu ‘alaihi wa sallam 'ala Shalaatil Laili wan Nawaafil min
Ghairi Iijaab (hadits no. 1126).
[8]. Fat-hul Baarii (III/14).
[9]. HR. At-Tirmidzi dalam kitab Da'awaat, bab Du'aa'-un Nabiy (hadits
no. 3549). Setelah menyebutkan hadits Bilal, at-Tirmidzi berkata:
"Hadits ini lebih shahih dari hadits Abu Idris yang periwayatannya
bersumber dari Bilal." Hadits ini juga dikeluarkan oleh al-Hakim dalam
al-Mustadrak, (I/308) dan ia berkomentar, "Hadits ini shahih sesuai
kriteria keshahihan yang ditetapkan al-Bukhari." Penilaiannya
disepakati oleh adz-Dzahabi. Hadits ini juga dikeluarkan oleh
al-Baihaqi, (II/502). Sedangkan al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil,
(II/199) ia menilainya hasan.
[10]. HR. At-Tirmidzi dalam kitab Fadhaa-ilil Qur-aan, bab Fadhiilati
Suuratil Baqarah, (hadits no. 2876) dengan komen-tarnya, "Hadits ini
hasan." Juga dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam kitab Muqaddimah, bab
Fadhli man Ta'allamal Qur-aan wa 'Allamah (hadits no. 205).
[11]. Mukhtashar Qiyamil Lail (hal. 26).
[12]. Ibid, (hal. 26).
[13]. Zaadul Ma’aad oleh Ibnul Qayyim, (I/329).
[14]. Di antara salah satu bentuk sunnah menjelang tidur, lihat
rincian tata caranya pada buku-buku fiqih.-Ed.
[15]. HR. Muslim (hadits no. 763).
[16]. Cara ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalaatul
Musaafiriin wa Qashriha, bab Shalaatil Laili wa 'Adadu Raka'aatin
Nabiy Shallallahu 'alaihi wa sallam (hadits no. 738).
[17]. Cara ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalaatil
Musaafiriin, bab Jaami'i Shalaatil Laili wa man Naama 'anhu aw Maridha
(hadits no. 746).
[18]. HR. Ahmad dalam Musnadnya (hadits no. 24697).
[19]. Lihat Mukhtashar Qiyaamil Lail, (hal. 127).
[20]. HR. Al-Bukhari dalam kitab at-Tahajjud, bab Thuulil Qiyaam fii
Shalaatil Lail, (hadits no. 1135) dan Muslim dalam kitab Shalaatil
Musaafiriin, bab Istihbaabu Tathwiilil Qiraa-ah fii Shalaatil Lail
(hadits no. 773).
[21]. Fat-hul Baarii (III/19).
[22]. Zaadul Ma’aad Fii Hadyi Khairil ‘Ibaad oleh Ibnul Qayyim, (I/331).
[23]. Komentar saya: Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh
pembaca yang budiman:
(a). Pahala shalat dengan duduk adalah setengah pahala shalat dengan
berdiri, berdasarkan hadits 'Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu bahwa
ia berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang orang yang shalat dengan duduk?" Beliau menjelaskan,
إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ، وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ
نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ
الْقَاعِدِ.
"Bila ia shalat dengan berdiri maka itu lebih baik, dan barangsiapa
yang shalat dengan duduk maka baginya setengah pahala orang yang
shalat dengan berdiri, dan barangsiapa yang shalat dengan posisi tidur
maka baginya setengah pahala orang yang shalat dengan duduk." [HR.
Al-Bukhari, no. 1115].
(b). Apabila sesuatu yang menghalanginya untuk shalat berdiri adalah
karena lemah, atau sakit, atau uzur yang lain, maka pahala shalatnya
dengan duduk sama dengan pahala shalatnya dengan berdiri. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلَ مَا كَانَ
يَعْمَلُ مُقِيْمًا صَحِيْحًا.
"Bila seorang hamba sakit atau melakukan perjalanan, maka ditulis
baginya pahala seperti ia dalam keadaan menetap dan sehat." [HR.
Al-Bukhari, no. 2774]
(c). Di antara keistimewaan yang dimiliki Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah, bahwa pahala yang beliau peroleh dengan shalat duduk
adalah sama dengan pahala beliau shalat berdiri. ‘Abdullah bin 'Amr
berkata, "Diceritakan kepadaku, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
صَلاَةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلاَةِ.
'Shalat seseorang dalam keadaan duduk adalah setengah pahala shalatnya
dalam keadaan berdiri.'
Lalu aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku dapati
beliau tengah shalat dengan duduk, lalu aku letakkan tanganku di atas
kepalanya, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, 'Ada apa
dengan dirimu wahai ‘Abdullah bin 'Amr?' Aku berkata, 'Telah
disampaikan padaku bahwa engkau bersabda, 'Shalat seseorang dalam
keadaan duduk adalah setengah pahala shalatnya dalam keadaan berdiri.'
Dan kini engkau shalat dengan duduk.' Nabi berkata,
أَجَلْ، وَلَكِنِّىْ لَسْتُ كَأَحِدٍ مِنْكُمْ.
'Betul, tapi aku tidak sama dengan kalian.'" [HR. Muslim, no. 735]
http://almanhaj.or.id/content/3498/slash/0/hukum-shalat-malam-tata-cara-melakukan-shalat-malam/