Minggu, 27 Januari 2013

MANFAAT SHALAT MALAM

Oleh
Muhammad bin Suud Al-Uraifi

Di antara manfaat shalat Tahajjud adalah:

Pertama: Seorang manusia bila ia berdiri melakukan shalat Tahajjud
karena Allah, maka ia akan mudah berdiri pada hari di mana semua
manusia akan berdiri menghadap kepada Rabb alam semesta. Namun bila
seseorang bersenang-senang dan menghabiskan hari-harinya dengan
kesia-siaan maka ia akan mendapatkan kesulitan di akhirat sana. Maka
seseorang yang lelah di dunia ini, akan senang, bahagia dan menikmati
suasana di akhirat sana.

Kedua: Laki-laki yang senantiasa melakukan shalat Tahajjud akan
diberikan oleh Allah pada hari Kiamat kelak istri-istri yang banyak
dari kalangan bidadari. Balasan adalah sesuai dengan amal perbuatan
manusia.

Ketiga: Mendapatkan kesehatan badan. Seseorang yang bangun di waktu
malam untuk melakukan shalat Tahajjud wajahnya akan dijadikan oleh
Allah berwibawa, bersinar dan bercahaya.

Keempat: Hidayah, taufik dan bimbingan manusia kepada kebaikan segala
urusannya ada-lah bila ia menunaikan hak-hak Allah. Maka Allah akan
menunjukinya kepada jalan-jalan kebaikan tanpa ia sadari dan berbagai
faidah, pe-mahaman dan karunia datang di tengah gelapnya malam. Bila
manusia tidak mampu memahami sesuatu lalu ia bangun untuk melakukan
shalat malam maka Allah akan membukakan pemaha-man kepadanya.

Kelima: Ini adalah manfaat yang paling besar dan agung, yaitu melihat
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila para ahli ibadah mengetahui bahwa
mereka tidak akan melihat Rabb-nya pada hari Kiamat kelak, maka mereka
akan binasa sebagaimana dikemukakan oleh al-Hasan al-Bashri.[2]


MENINGGALKAN SHALAT TAHAJJUD
Keadaan orang yang meninggalkan shalat Tahajjud dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok, yaitu:

Pertama: Orang yang meninggalkan rutinitas shalat Tahajjudnya
Yaitu orang yang tidak bisa melakukan shalat Tahajjud karena ada suatu
halangan, seperti sakit, atau ketiduran, atau lainnya. Orang seperti
ini dengan izin Allah, tetap dituliskan pahala untuknya sebagaimana
hadits yang telah dikemukakan sebelumnya. Namun demikian mereka
disunnahkan mengqadha’ shalat Tahajjudnya yang tertinggal itu di siang
hari dengan tanpa melakukan witir.

Dari 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, ia menuturkan,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ نَامَ عَنْ حِزْبِهِ أَوْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ، فَقَرَأَهُ مَا
بَيْنَ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الظُّهْرِ، كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا
قَرَأَهُ مِنَ اللَّيْلِ.

"Barangsiapa yang tertidur dari wiridnya atau dari kebiasaannya yang
lain, lalu ia membaca bacaannya tersebut pada waktu antara shalat
Fajar dan shalat Zhuhur, maka dituliskan untuknya pahala seperti ia
membacanya di malam hari."[3]
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan:

أَنَّ رَسُـوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، كَانَ إِذَا
نَامَ مِنَ اللَّيْلِ مِنْ وَجَعٍ أَوْ غَيْرِهِ، فَلَمْ يُصَلِّ
بِاللَّيْلِ، صَلَّى مِنَ النَّهَارِ اِثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً.

"Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila di malam hari
tidur karena sakit atau lainnya sehingga beliau tidak melakukan shalat
Tahajjud, maka di siang harinya beliau shalat sebanyak dua belas
raka'at."[4]

Kedua: Orang yang meninggalkan shalat Tahajjud setelah sebelumnya
rutin melakukannya
Ketahuilah semoga Allah merahmati kita dan Anda, bahwa tidak
seyogyanya Anda meninggal-kan shalat Tahajjud, bila anda termasuk
orang yang suka melakukannya. Sebab itu mengindikasikan Anda berpaling
dari ibadah. 'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash mengatakan, "Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku:

ياَ عَبْـدَ اللهِ لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ، كَانَ يَقُوْمُ اللَّيْلَ
فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ.

'Wahai ‘Abdullah, janganlah kamu seperti si Fulan, dahulunya ia suka
melakukan shalat Tahajjud, lalu tidak melakukannya lagi."[5]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Hadits ini menunjukkan
disunnahkannya melakukan kebaikan yang biasa dilakukan secara
terus-menerus tanpa mengabaikannya. Dari hadits ini juga dapat dipetik
kesimpulan tentang dimakruhkannya menghentikan ibadah, walaupun ibadah
tersebut bukan ibadah yang wajib."[6]

Ketiga: Orang yang tidak pernah melakukan shalat malam sama sekali
Tanpa diragukan lagi, bahwa orang yang tidak melakukan shalat Tahajjud
telah mengabaikan menjalin komunikasi dengan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Bagaimana seorang mengaku mencintai Allah, lalu ketika terbuka
kesempatan baginya untuk ber-khalwah (menyendiri menunajat kepada
Allah), ia justru meremehkannya, bermalas-malasan dan tidur. Ia tidak
mau untuk menerima shalat Tahajjud ini, yang mana ia merupakan
tempatnya berlindung. Ia justru menyia-nyiakan keutamaan dan pahala
yang besar serta dorongan Allah untuk melakukan shalat Tahajjud. Hanya
Allah-lah tempat memohon pertolongan atas minimnya bagian yang
diperoleh dan hilangnya taufik-Nya.
Perhatikanlah sangsi yang diterima oleh orang yang meninggalkan shalat malam!

Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam diceritakan tentang seseorang yang tidur, tidak
bangun-bangun hingga pagi hari, lalu beliau bersabda,

ذَاكَ رَجُلٌ بَالَ الشَّيْطَانُ فِي أُذُنِهِ.

'Itu adalah seseorang yang telinganya di-kencingi syaitan!'"[7]

Al-Bukhari rahimahullah berkata, “'Aqdusy Syaithaani 'ala Qaafiyatir
Ra’-si idza lam Yushalli bil Lail, "Bab: Ikatan syaitan mengikat
ikatan di pangkal kepala seseorang, apabila ia tidak melakukan shalat
Tahajjud." Kemudian ia meriwayatkan hadits melalui sanadnya yang
sampai kepada Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ
نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ، يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ: عَلَيْكَ لَيْلٌ
طَوِيْلٌ فَارْقُدْ، فَإِذَا اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللهَ اِنْحَلَّتْ
عُقْدَةٌ، فَإِنْ تَوَضَّأَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ صَلَّى
اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَأَصْبَحَ نَشِيْطًا طَيِّبَ النَّفْسِ، وَإِلاَّ
أَصْبَحَ خَبِيْثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ.

"Syaitan mengikat sebanyak tiga ikatan di pangkal kepala seseorang
dari kalian ketika ia tidur, yang pada masing-masing ikatan itu
tertulis, 'Malammu panjang, maka tidurlah!' Bila ia bangun lalu
berdzikir kepada Allah, maka satu ikatan lepas, lalu bila ia berwudhu’
satu ikatan lagi lepas, lalu bila ia shalat satu ikatan lagi lepas.
Maka di pagi harinya ia memiliki semangat dan dengan jiwa yang baik.
Namun jika ia tidak melakukan hal itu, maka jiwanya dalam keadaan
buruk dan ia pemalas."[8]

Sebagian kaum Salaf mengatakan, "Bagaimana mungkin seseorang bisa
selamat dari buruknya hisab, sedangkan di malam hari ia tidur dan di
siang hari ia bermain-main?"

Berusahalah wahai saudaraku -semoga Allah melindungi Anda- untuk
melakukan shalat Tahajjud, walaupun hanya dua raka'at yang ringan
(pendek) sebelum Fajar, karena di dalamnya terdapat keberkahan.
Raka'at yang sedikit dari shalat di malam hari adalah terhitung
banyak. Bersabarlah atas hal itu dan lakukanlah secara kontinyu,
karena dengan bersabar, khusyu', meminta dan merendah kepada Allah
engkau akan mendapat keteguhan, pertolongan dan hilangnya kelelahan
serta beban yang berat.

[Disalin dari kitab "Kaanuu Qaliilan minal Laili maa Yahja’uun" karya
Muhammad bin Su'ud al-‘Uraifi diberi pengantar oleh Syaikh 'Abdullah
al-Jibrin, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Shalat Tahajjud, Penerbit
Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Umuurul Muyassarah li Qiyaamil Lail oleh Wahid
'Abdussalam Baali, (hal. 56) dan lihat juga Ruhbaanul Lail oleh Sayid
Husain al-'Afani, (II/38).
[2]. Ada pula manfaat kesehatan yang didapat oleh orang yang melakukan
shalat Tahajjud dan hal itu telah diisyaratkan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِيْنَ
قَبْلَكُمْ، وَقُرْبَةٌ إِلَى اللهِ تَعَالَى، وَمَنْهَاةٌ عَنِ
اْلإِثْمِ، وَتَكْفِيْرٌ لِلسَّيِّئَاتِ، وَمُطْرَدَةٌ لِلدَّاءِ عَنِ
الْجَسَدِ.

"Lakukanlah shalat Tahajjud, karena itu adalah tradisi kaum shalih
sebelum kalian, sarana mendekatkan diri kepada Allah, pencegah dari
perbuatan dosa, penghapus kesalahan dan pengusir segala penyakit dari
tubuh." Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 4079).

Dr. Samir Isma'il al-Hulw dalam bukunya, "Malam, Tidur dan Bangun di
saat itu" telah memaparkan hal itu di mana ia mengemukakan,
"Sesungguhnya shalat Tahajjud akan menjadikanmu memiliki cita-cita
besar dan semangat serta dapat menjauhkanmu dari rasa nyeri di
punggung di hari tuamu. Dalam salah satu kajian kedokteran ditemukan
bahwa para lansia yang biasa melakukan shalat Tahajjud memiliki
tingkat kesehatan tulang punggung yang lebih baik dibanding-kan dengan
orang-orang yang tidak melakukannya. Demikian pula bahwa shalat
Tahajjud dapat melindungi seseorang dari serangan penyakit kebekuan
aliran darah yang bisa mengakibatkan sesak dada (gangguan pernafasan)
juga berhentinya fungsi hati dan otak. Sebab orang yang bangun di
waktu malam memutus pola tidur dan ketenangannya yang panjang, yang
mana hal itu bisa membuat munculnya penyakit kebekuan aliran darah,
(hal 62) dengan sedikit perubahan redaksi.

[3]. HR. Muslim dalam kitab Shalaatil Musaafiriin bab Jaami'i
Shalaatil Laili wa Man Naama 'anhu aw Maridha (hadits no. 747).
[4]. HR. Muslim dalam kitab Shalaatil Musaafiriin, bab Jaami'u
Shalaatil Laili wa man Naama 'anhu aw Maridha (hadits no. 746).
[5]. HR. Al-Bukhari dalam kitab at-Tahajjud bab Maa Yukrahu min Tarki
Qiyaamil Laili liman Kaana Yaquumuh (hadits no. 1152).
[6]. Fat-hul Baari (III/46).
[7]. HR. Al-Bukhari dalam kitab Bad-il Halq bab Shifatu Ibliis wa
Junuudih, (no. 3270). Dan Muslim, kitab Shalaatil Musaa-firiin, bab
Maa Ruwiya fii man Naamal Laila Ajma'a hatta Ashbaha, (no. 774).
[8]. HR. Al-Bukhari dalam kitab at-Tahajjud bab 'Aqdusy Syai-thaani
'ala Qaafiyatir Ra'si idza lam Yushalli bil Lail, (hadits no. 1142)
dan Muslim dalam kitab Shalaatil Musaafiriin, bab Maa Ruwiya fii man
Naamal Laila Ajma'a hatta Ashbaha, (hadits no. 776).

http://almanhaj.or.id/content/3496/slash/0/manfaat-shalat-malam-meninggalkan-shalat-tahajjud/

HUKUM SHALAT MALAM

Oleh
Muhammad bin Suud Al-Uraifi

Mayoritas ulama mengatakan bahwa hukum shalat malam adalah sunnah
mu'akkadah (yang sangat) ditekankan berdasarkan al-Qur-an, as-Sunnah
dan ijma' kaum muslimin. [1]

Dari 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu menuturkan, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepadanya dan kepada
putri beliau, Fathimah, di malam hari, lalu beliau berkata, "Mengapa
kalian tidak shalat?" Aku ('Ali) berkata, "Wahai Rasulullah, jiwa kami
ada di tangan Allah, jika Allah berkehendak membangunkan kami (untuk
shalat) tentu kami akan bangun." Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu pergi ketika kami mengatakan begitu dan beliau sama sekali tidak
membalas kami hingga kemudian aku mendengarnya mengatakan sambil
memukul pahanya.

وَكَانَ اْلإِنسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلاً

"Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah." [Al-Kahfi: 54].[2]

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma menuturkan, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat pada suatu malam di masjid lalu
orang-orang bermakmum dengannya. Kemudian beliau shalat lagi pada
malam berikutnya dan orang-orang yang shalat bersamanya bertambah
banyak. Kemudian pada malam ketiga atau keempat orang-orang telah
berkumpul, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar untuk
shalat bersama mereka. Ketika di pagi hari beliau berkata, "Aku telah
mengetahui apa yang kalian lakukan dan aku tidak keluar menemui kalian
melainkan karena aku takut shalat ini akan diwajibkan atas kalian."
Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan.[3]

Berdasarkan kedua hadits ini dan hadits-hadits lainnya al-Bukhari
membuat sebuah bab dengan judul “Tahriidhin Nabiy Shallallahu ‘alaihi
wa sallam 'ala Qayaamil Laili min Ghairi Iijaab" (Dorongan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan shalat malam tanpa
mewajibkannya.)

Ibnu Hajar berkata, "Ibnu al-Munir mengatakan, judul bab ini
mengandung dua hal; dorongan (untuk melakukan shalat malam) dan tidak
mewajibkannya."[4]

Komentar saya, Pada mulanya shalat malam diwajibkan lalu hukum itu
dihapuskan, (berikut penjelasannya):

Dari Sa'ad bin Hisyam Radhiyallahu anhu, ia bertanya kepada Ummul
Mukminin 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, "Wahai Ummul Mukminin,
ceritakanlah kepadaku tentang shalat malam yang dilakukan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam?" ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata,
"Bukankah kamu telah membaca ayat ini,

يَآأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ

'Wahai orang yang berselimut?'"

Aku menjawab, "Ya." ‘Aisyah berkata, "Sesungguhnya Allah telah
mewajibkan shalat malam di awal surat ini, lalu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya melakukannya selama setahun
hingga telapak kaki mereka pecah-pecah. Akhir surat ini Allah tahan di
atas langit selama dua belas bulan, lalu barulah Allah menurunkan
keringanan di akhir surat ini, maka jadilah shalat malam tersebut
shalat yang sunnah, untuk melengkapi shalat-shalat yang wajib."[5]

Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma menafsirkan firman Allah, (قُمِ
الَّيْلَ إِلاَّ قَلِيلاً ) "Bangunlah untuk shalat di malam hari
kecuali sedikit daripadanya" dengan mengatakan, "Allah memerintahkan
Nabi-Nya dan kaum mukmin untuk melakukan shalat di malam hari kecuali
sedikit daripadanya, lalu hal itu membuat berat mereka sehingga Allah
meringankannya dan mengasihani mereka dengan menurunkan ayat,

عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُمْ مَّرْضَى

"Allah tahu bahwa di antara kalian ada orang-orang yang sedang sakit."

Dengan turunnya ayat ini Allah telah membuat mereka merasa lapang dan
tidak sempit. Masa di antara turunnya dua ayat itu adalah setahun,
yakni antara ayat,

يَآأَيُّهَا الْمُـزَّمِّلُ قُـمِ الَّيْلَ

"Wahai orang yang berselimut, bangunlah untuk melakukan shalat di malam hari."

Dan ayat

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

"Bacalah apa yang mudah bagimu" [6] hingga akhir surat.

Dalil-Dalil Lain Yang Menunjukkan Bahwa Shalat Malam Adalah Sunnah.
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia menceritakan, bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun pada suatu malam lalu beliau
berkata:

سُبْحَانَ اللهِ مَاذَا أُنْزِلَ اللَّيْلَةَ مِنَ الْفِتْنَةِ، مَاذَا
أُنْزِلَ مِنَ الْخَـزَائِنِ، مَنْ يُوْقِظُ صَوَاحِبَ الْحُجُرَاتِ، يَا
رُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٍ فِي اْلآخِرَةِ.

"Subhanallah, ujian apa yang Allah turunkan malam ini dan simpanan apa
yang Dia turunkan bagi orang yang membangunkan wanita-wanita yang
tengah tidur di kamarnya. Wahai kaum, banyak wanita-wanita yang
berpakaian di dunia tetapi telanjang di akhirat."[7]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Tidak wajibnya melakukan shalat
malam, diambil dari sikap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
tidak mewajibkan para wanita tersebut melakukannya."[8]

Dari Abu Umamah Radhiyallahu anhu ia menuturkan, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِيْنَ
قَبْلَكُمْ، وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ، وَمُكَفِّرَةٌ
لِلسَّيِّئَاتِ، مَنْهَاةٌ عَنِ اْلإِثْمِ.

"Lakukanlah shalat malam oleh kalian, karena hal itu merupakan
kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian. Ia pun dapat mendekatkan
kalian kepada Rabb kalian, menghapus segala kesalahan dan mencegah
dari perbuatan dosa." [9]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia meriwayatkan sebuah hadits dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang di antara sabdanya adalah:

تَعَلَّمُوْا الْقُرْآنَ، وَاقْرَأُوْهُ، وَإِنْ لَمْ تَقُوْمُوْا بِهِ،
فَإِنَّ مَثَلَ الْقُرْآنِ لِمَنْ تَعَلَّمَهُ فَقَرَأَهُ وَقَامَ بِهِ
كَمَثَلِ جَرَابٍ مَحْشُوٍّ مِسْكًا، يَفُوْحُ رِيْحُهُ فِي كُلِّ
مَكَانٍ، وَمَثَلُ مَنْ تَعَلَّمَهُ وَرَقَدَ وَهُوَ فِي جَوْفِهِ،
كَمَثَلِ جَرَابٍ أُوْكِيَ عَلَى مِسْكٍ.

"Pelajarilah oleh kalian al-Qur-an dan bacalah, walaupun kalian tidak
melakukan shalat malam dengan bacaan al-Qur-an itu, karena
sesungguhnya perumpamaan orang yang mempelajari al-Qur-an lalu
membacanya dan melakukan shalat malam dengan bacaan al-Qur-an itu,
seperti kantung yang berisi minyak misik dan semerbaknya menyebar ke
seluruh tempat. Sedangkan perumpamaan orang yang mempelajari al-Qur-an
dan ia tidur (tidak bangun untuk melakukan shalat malam) sedang
al-Qur-an itu ada dihafalannya, seperti kantung yang ditutup dengan
minyak misik." [10]

Seorang laki-laki berkata kepada Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma,
"Sesungguhnya aku ingin melakukan shalat Tahajjud karena Allah, tapi
aku tidak mampu karena lemah." Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata,
"Wahai anak saudaraku, tidurlah semampumu dan bertakwalah kepada Allah
semampumu pula." [11]

Sufyan rahimahullah berkata, "Seburuk-buruk keadaan seorang mukmin
adalah saat ia tidur dan sebaik-baik keadaan orang yang jahat adalah
saat ia tidur. Karena seorang mukmin bila ia terbangun ia selalu dalam
keadaan taat kepada Allah dan itu lebih baik daripada ia tidur.
Sedangkan orang yang jahat bila ia terbangun ia selalu dalam keadaan
bermaksiat kepada Allah, maka tidurnya lebih baik daripada
terjaganya." [12]

TATA CARA MELAKUKAN SHALAT MALAM

Tidak ada tata cara khusus dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang cara melakukan shalat malam, tetapi tata cara yang ada adalah
beragam, sehingga seorang muslim boleh melakukan cara yang mana saja.

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam bukunya Zaadul Ma'aad [13] membuat
pasal dengan judul: "Pasal tentang tuntunan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam melakukan shalat malam" Di sini ia menyebutkan
tata cara yang banyak tentang shalat malam yang bersumber dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Antara lain adalah:

Pertama: Cara yang dikemukakan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun pada malam hari lalu
melakukan shalat dua raka'at dengan memperlama berdiri, ruku' dan
sujud. Kemudian beliau pergi lalu tidur hingga meniup-niup. [14]
Kemudian beliau melakukan itu sebanyak tiga kali dengan enam raka'at.
Pada tiap kalinya beliau bersiwak dan berwudhu’ dan beliau membaca,

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ
وَالنَّهَارِ لأَيَاتٍ لأُوْلِي اْلأَلْبَابِ

(hingga akhir surat). Kemudian beliau melakukan shalat Witir tiga
raka'at, lalu muadzin adzan dan beliau keluar untuk melakukan shalat
Shubuh… (dan seterusnya hingga akhir hadits).[15]

Kedua: Cara yang disampaikan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, yaitu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan
mengerjakan dua raka'at yang pendek, lalu beliau menyempurnakan
rutinitasnya melakukan shalat sebanyak sebelas raka'at. Pada tiap dua
raka'at beliau salam dan melakukan witir satu raka'at.

Ketiga: Tiga belas raka'at seperti cara yang kedua.

Keempat: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat
malam sebanyak delapan raka'at dengan salam pada tiap-tiap dua
raka'at, lalu shalat Witir sebanyak lima raka'at sekaligus, tanpa
duduk kecuali pada raka'at akhir.[16]

Kelima: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sebanyak
sembilan raka'at dengan melakukannya secara bersambung pada delapan
raka'at tanpa duduk kecuali pada raka'at yang kedelapan, di mana di
akhir raka'at ini beliau duduk untuk berdzikir kepada Allah,
memuji-Nya dan berdo’a kepada-Nya, lalu beliau bangun tanpa salam dan
meneruskan raka'at yang kesembilan, lalu setelah itu duduk, membaca
tasyahud dan salam. Se-telah salam beliau shalat lagi dua raka'at
dengan duduk.[17]

Keenam: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat tujuh raka'at
seperti cara melakukan sembilan raka'at sebelumnya, (yaitu enam
raka'at dilakukan secara bersambung tanpa duduk kecuali pada raka'at
akhir, di mana beliau duduk untuk berdzikir, memuji Allah dan berdo’a
kepada-Nya dan setelah itu bangun tanpa salam untuk melakukan raka'at
yang ketujuh dan setelah itu baru beliau salam), lalu setelah salam
beliau shalat dua raka'at dengan duduk.

Ketujuh: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua
raka'at-dua raka'at lalu beliau shalat Witir tiga raka'at tanpa
dipisahkan di antara tiga raka'at itu dengan salam (salam setelah tiga
raka'at). Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Witir tiga
raka'at tanpa dipisah-kan di antara raka'at-raka'at itu.[18]

Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullah berkata: "Cara yang kami
pilih bagi orang yang melakukan shalat malam adalah, melakukannya dua
raka'at-dua raka'at, dengan salam pada tiap-tiap dua raka'at itu, dan
terakhir ditutup dengan satu raka'at, berdasarkan hadits-hadits ini."
Perkataannya, "Ini pendapat kami" merupakan pilihan dan bukan sebuah
kewajiban. Sebab telah diri-wayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa beliau shalat lima raka'at tanpa salam kecuali di
akhirnya. Dengan demikian, maka sabda Nabi yang berbunyi, "Shalat itu
dilakukan dua raka'at-dua raka'at," adalah sebuah pilihan. Sedangkan
bagi yang menginginkan melakukannya tiga raka'at, atau lima raka'at,
atau tujuh raka'at, atau sembilan raka'at tanpa salam kecuali di
akhirnya, maka hal itu boleh, tetapi yang baik adalah, salam pada tiap
dua raka'at dan witir satu raka'at. [19]

Berdiri Dengan Lama:
Di antara tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bahwa
beliau memperlama berdiri dalam shalat.

Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Aku shalat bersama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau memperlama
berdirinya hingga aku ingin berbuat buruk." Ia ditanya, "Apa yang kamu
akan lakukan?" Ia mengatakan, "Aku ingin saja duduk dan meninggalkan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam."[20]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Hadits ini menunjukkan
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih memperlama berdiri
dalam melakukan shalat malam, dan Ibnu Mas'ud adalah seorang yang kuat
yang selalu mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia tidak
ingin duduk, kecuali setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdiri lama sekali yang tidak biasanya beliau dilakukan."[21]

Berdiri Dan Duduk Dalam Shalat
Ibnul Qayyim mengemukakan, bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki tiga cara: [22]

Pertama : Shalat dengan berdiri dan ini yang paling sering beliau lakukan.

Kedua : Shalat dalam keadaan duduk dan ruku' dalam keadaan duduk pula.

Ketiga : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat dalam
keadaan duduk dan bila bacaannya tinggal sedikit beliau bangun lalu
ruku' dalam keadaan berdiri.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Ketiga cara itu bersumber
secara shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam."[23]

[Disalin dari kitab "Kaanuu Qaliilan minal Laili maa Yahja’uun" karya
Muhammad bin Su'ud al-‘Uraifi diberi pengantar oleh Syaikh 'Abdullah
al-Jibrin, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Shalat Tahajjud, Penerbit
Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Lihat Haasyiyatur Raudhil Murbi', (II/220).
[2]. HR. Al-Bukhari dalam kitab at-Tahajjud bab Tahriidhin Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam 'ala Shalaatil Laili min Ghairi Iijaab,
(hadits no. 1127) dan Muslim dalam kitab Shalaatil Musaafiriin bab Maa
Ruwiya fii man Naamal Laila Ajma'a hatta Ashbaha, (hadits no. 775).
[3]. HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Aadzaan bab Shalaatil Lail (hadits
no. 731) dan Muslim dalam kitab Shalaatil Musaa-firiin, bab Istihbaabi
Shalaatin Naafilah fii Baitihi wa Jawaa-ziha fil Masjid (hadits no.
781).
[4]. Fat-hul Baarii (III/14).
[5]. HR. Muslim dalam Shahiihnya dalam kitab Shalaatul Musaafiriin bab
Jaami'i Shalaatil Laili wa Man Naama 'anhu aw Maridha (hadits no.
746).
[6]. Tafsiir ath-Thabari (XIV/125).
[7]. HR. Al-Bukhari dalam kitab at-Tahajjud bab Tahriidhin Nabiy
Shalalllahu ‘alaihi wa sallam 'ala Shalaatil Laili wan Nawaafil min
Ghairi Iijaab (hadits no. 1126).
[8]. Fat-hul Baarii (III/14).
[9]. HR. At-Tirmidzi dalam kitab Da'awaat, bab Du'aa'-un Nabiy (hadits
no. 3549). Setelah menyebutkan hadits Bilal, at-Tirmidzi berkata:
"Hadits ini lebih shahih dari hadits Abu Idris yang periwayatannya
bersumber dari Bilal." Hadits ini juga dikeluarkan oleh al-Hakim dalam
al-Mustadrak, (I/308) dan ia berkomentar, "Hadits ini shahih sesuai
kriteria keshahihan yang ditetapkan al-Bukhari." Penilaiannya
disepakati oleh adz-Dzahabi. Hadits ini juga dikeluarkan oleh
al-Baihaqi, (II/502). Sedangkan al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil,
(II/199) ia menilainya hasan.
[10]. HR. At-Tirmidzi dalam kitab Fadhaa-ilil Qur-aan, bab Fadhiilati
Suuratil Baqarah, (hadits no. 2876) dengan komen-tarnya, "Hadits ini
hasan." Juga dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam kitab Muqaddimah, bab
Fadhli man Ta'allamal Qur-aan wa 'Allamah (hadits no. 205).
[11]. Mukhtashar Qiyamil Lail (hal. 26).
[12]. Ibid, (hal. 26).
[13]. Zaadul Ma’aad oleh Ibnul Qayyim, (I/329).
[14]. Di antara salah satu bentuk sunnah menjelang tidur, lihat
rincian tata caranya pada buku-buku fiqih.-Ed.
[15]. HR. Muslim (hadits no. 763).
[16]. Cara ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalaatul
Musaafiriin wa Qashriha, bab Shalaatil Laili wa 'Adadu Raka'aatin
Nabiy Shallallahu 'alaihi wa sallam (hadits no. 738).
[17]. Cara ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalaatil
Musaafiriin, bab Jaami'i Shalaatil Laili wa man Naama 'anhu aw Maridha
(hadits no. 746).
[18]. HR. Ahmad dalam Musnadnya (hadits no. 24697).
[19]. Lihat Mukhtashar Qiyaamil Lail, (hal. 127).
[20]. HR. Al-Bukhari dalam kitab at-Tahajjud, bab Thuulil Qiyaam fii
Shalaatil Lail, (hadits no. 1135) dan Muslim dalam kitab Shalaatil
Musaafiriin, bab Istihbaabu Tathwiilil Qiraa-ah fii Shalaatil Lail
(hadits no. 773).
[21]. Fat-hul Baarii (III/19).
[22]. Zaadul Ma’aad Fii Hadyi Khairil ‘Ibaad oleh Ibnul Qayyim, (I/331).
[23]. Komentar saya: Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh
pembaca yang budiman:

(a). Pahala shalat dengan duduk adalah setengah pahala shalat dengan
berdiri, berdasarkan hadits 'Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu bahwa
ia berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang orang yang shalat dengan duduk?" Beliau menjelaskan,

إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ، وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ
نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ
الْقَاعِدِ.

"Bila ia shalat dengan berdiri maka itu lebih baik, dan barangsiapa
yang shalat dengan duduk maka baginya setengah pahala orang yang
shalat dengan berdiri, dan barangsiapa yang shalat dengan posisi tidur
maka baginya setengah pahala orang yang shalat dengan duduk." [HR.
Al-Bukhari, no. 1115].

(b). Apabila sesuatu yang menghalanginya untuk shalat berdiri adalah
karena lemah, atau sakit, atau uzur yang lain, maka pahala shalatnya
dengan duduk sama dengan pahala shalatnya dengan berdiri. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلَ مَا كَانَ
يَعْمَلُ مُقِيْمًا صَحِيْحًا.

"Bila seorang hamba sakit atau melakukan perjalanan, maka ditulis
baginya pahala seperti ia dalam keadaan menetap dan sehat." [HR.
Al-Bukhari, no. 2774]

(c). Di antara keistimewaan yang dimiliki Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah, bahwa pahala yang beliau peroleh dengan shalat duduk
adalah sama dengan pahala beliau shalat berdiri. ‘Abdullah bin 'Amr
berkata, "Diceritakan kepadaku, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

صَلاَةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلاَةِ.

'Shalat seseorang dalam keadaan duduk adalah setengah pahala shalatnya
dalam keadaan berdiri.'

Lalu aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku dapati
beliau tengah shalat dengan duduk, lalu aku letakkan tanganku di atas
kepalanya, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, 'Ada apa
dengan dirimu wahai ‘Abdullah bin 'Amr?' Aku berkata, 'Telah
disampaikan padaku bahwa engkau bersabda, 'Shalat seseorang dalam
keadaan duduk adalah setengah pahala shalatnya dalam keadaan berdiri.'
Dan kini engkau shalat dengan duduk.' Nabi berkata,

أَجَلْ، وَلَكِنِّىْ لَسْتُ كَأَحِدٍ مِنْكُمْ.

'Betul, tapi aku tidak sama dengan kalian.'" [HR. Muslim, no. 735]

http://almanhaj.or.id/content/3498/slash/0/hukum-shalat-malam-tata-cara-melakukan-shalat-malam/

Doa di Sepertiga Malam Terakhir

Di antara doa yang mustajab (mudah diijabahi atau dikabulkan) adalah doa di sepertiga malam terakhir. Namun kita sering melalaikan hal ini karena waktu malam kita biasa diisi dengan tidur lelap. Cobalah kita bertekad kuat untuk mendapatkan waktu tersebut. Malamnya kita isi dengan shalat tahajjud dan memperbanyak do’a pada Allah atas setiap hajat kita.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ فِى اللَّيْلِ لَسَاعَةً لاَ يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ

Di malam hari terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah berkaitan dengan dunia dan akhiratnya bertepatan dengan waktu tersebut melainkan Allah akan memberikan apa yang ia minta. Hal ini berlaku setiap malamnya.” (HR. Muslim no. 757)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَتَنَزَّلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ ، مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ ، وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

Rabb kita tabaroka wa ta’ala turun setiap malam ke langit dunia hingga tersisa sepertiga malam terakhir, lalu Dia berkata: ‘Siapa yang berdoa pada-Ku, aku akan memperkenankan doanya. Siapa yang meminta pada-Ku, pasti akan Kuberi. Dan siapa yang meminta ampun pada-Ku, pasti akan Kuampuni’.” (HR. Bukhari no. 6321 dan Muslim no. 758). 

Muhammad bin Isma’il Al Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab ‘Doa pada separuh malam’. Imam Nawawi menyebutkan judul dalam Shahih Muslim Bab ‘Dorongan untuk berdoa dan berdzikir di akhir malam dan terijabahnya doa saat itu’.
Ibnu Hajar menjelaskan, “Bab yang dibawakan oleh Al Bukhari menerangkan mengenai keutamaan berdoa pada waktu tersebut hingga terbit fajar Shubuh dibanding waktu lainnya.” (Fathul Bari, 11/129)

Ibnu Baththol berkata, “Waktu tersebut adalah waktu yang mulia dan terdapat dorongan beramal di waktu tersebut. Allah Ta’ala mengkhususkan waktu itu dengan nuzul-Nya (turunnya Allah). Allah pun memberikan keistimewaan pada waktu tersebut dengan diijabahinya doa dan diberi setiap  yang diminta.” (Syarh Al Bukhari, 19/118)

Ada suatu pelajaran menarik dari Imam Al Bukhari. Beliau membawakan Bab dengan judul “Doa pada separuh malam”. Padahal hadits yang beliau bawakan setelah itu berkenaan dengan doa ketika sepertiga malam terakhir. Mengapa bisa demikian?

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan bahwa Al Bukhari mengambil judul Bab tersebut dari firman Allah,

قُمِ اللَّيْلَ إِلاَّ قَلِيلاً نِصْفَهُ أَوِ انقُصْ مِنْهُ قَلِيلاً

Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit.” (QS. Al Muzzamil: 2-3). Judul bab tersebut diambil oleh Al Bukhari dari ayat Al Qur’an di atas. Dalam hadits sendiri menunjukkan bahwa waktu terijabahnya doa adalah pada sepertiga malam terakhir. Ini menunjukkan bahwa hendaknya seorang muslim benar-benar memperhatikan waktu tersebut dengan ia bersiap-siap sebelum masuk sepertiga malam terakhir yang awal. Hendaklah setiap hamba bersiap diri dengan kembali pada Allah kala itu agar mendapatkan sebab ijabahnya doa. Setiap muslim hendaklah memperhatikan waktunya di malam dan siang hari dengan doa dan ibadah kepada Allah Ta’ala. (Syarh Al Bukhari,  19/119)

Catatan:

Waktu malam dihitung dari tenggelamnya matahari (waktu Maghrib) hingga terbit fajar Shubuh. Jika waktu Maghrib kira-kira pukul 18.00 dan waktu Shubuh pukul 04.00, berarti waktu malam ada sekitar 10 jam. Pertengahan malam berarti jam 11 malam. Sedangkan sepertiga malam terakhir dimulai kira-kira jam 1 dinihari.
Moga Allah mudahkan waktu kita di malam hari diisi dengan shalat tahajjud ikhlas karena-Nya dan semoga Allah memperkenankan setiap doa-doa kita.

Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi:
Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al ‘Asqolani, terbitan Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.
Shahih Al Bukhari, Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah Al Bukhari, Mawqi’ Wizaroh Al Awqof Al Mishriyyah.
Shahih Muslim, Muslim bin Al Hajjaj Abul Husain Al Qusyairi An Naisaburi, Tahqiq: Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, terbitan Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi.
Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, Asy Syamilah.

http://rumaysho.com/belajar-islam/amalan/3439-doa-di-sepertiga-malam-terakhir.html


KEUTAMAAN SHALAT MALAM DAN ANJURANNYA

Oleh
Muhammad bin Suud Al-Uraifi

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di dalam al-Qur-an pada
banyak ayat dan juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
banyak hadits tentang besarnya pahala yang diperoleh dari melaksanakan
shalat malam. Bahkan, ketahuilah wahai pembaca yang budiman –sebelum
kami memaparkan ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut– bahwa shalat
yang paling baik setelah shalat wajib adalah shalat malam, dan hal ini
telah menjadi ijma' (kesepakatan) ulama.[1]

Ayat-Ayat Tentang Keutamaan Shalat Malam Dan Anjurannya
Di dalam banyak ayat, Allah Subhanahu wa Ta’ala menganjurkan kepada
Nabi-Nya yang mulia untuk melakukan shalat malam. Antara lain adalah:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ

"Dan pada sebagian malam hari shalat Tahajjud-lah kamu...." [Al-Israa'/17: 79]

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلًا وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ
لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا

"Dan sebutlah nama Rabb-mu pada (waktu) pagi dan petang. Dan pada
sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah
kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari." [Al-Insaan/76:
25-26].

وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَأَدْبَارَ السُّجُودِ

"Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai
shalat." [Qaaf/50: 40].

وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا ۖ وَسَبِّحْ
بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ
وَإِدْبَارَ النُّجُومِ

"Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabb-mu, maka sesungguhnya
kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji
Rabb-mu ketika kamu bangun berdiri, dan bertasbihlah kepada-Nya pada
be-berapa saat di malam hari dan waktu terbenam bintang-bintang (di
waktu fajar)." [Ath-Thuur/52: 48-49]

Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan memerintahkan kepada beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah selesai melakukan shalat
wajib agar melakukan shalat malam,[2] hal itu sebagaimana terdapat
pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ

"Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada
Rabb-mu-lah hendaknya kamu berharap." [Asy-Syarh/94 : 7-8)

Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memuji para hamba-Nya yang shalih yang
senantiasa melakukan shalat malam dan bertahajjud, Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:

كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ
يَسْتَغْفِرُونَ

"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam
mereka memohon ampun (kepada Allah)." [Adz-Dzaariyaat/51: 17-18]

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhumamengatakan, "Tak ada satu pun malam
yang terlewatkan oleh mereka melainkan mereka melakukan shalat
walaupun hanya beberapa raka'at saja."[3]

Al-Hasan al-Bashri berkata, "Setiap malam mereka tidak tidur kecuali
sangat sedikit sekali."[4]

Al-Hasan juga berkata, "Mereka melakukan shalat malam dengan lamanya
dan penuh semangat hingga tiba waktu memohon ampunan pada waktu
sahur."[5]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam memuji dan menyanjung mereka:

تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا
وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا
أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ

"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a
kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkah-kan
sebagian dari rizki yang Kami berikan ke-pada mereka. Seorang pun
tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu
(bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata, sebagai
balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." [As-Sajdah/32:
16-17]

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, "Yang dimaksud dengan apa yang
mereka lakukan adalah shalat malam dan meninggalkan tidur serta
berbaring di atas tempat tidur yang empuk."[6]

Al-'Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Cobalah renungkan
bagaimana Allah membalas shalat malam yang mereka lakukan secara
sembunyi dengan balasan yang Ia sembunyikan bagi mereka, yakni yang
tidak diketahui oleh semua jiwa. Juga bagaimana Allah membalas rasa
gelisah, takut dan gundah gulana mereka di atas tempat tidur saat
bangun untuk melakukan shalat malam dengan kesenangan jiwa di dalam
Surga."[7]

Dari Asma' binti Yazid Radhiyallahu anha, ia berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا جَمَعَ اللهُ اْلأَوَّلِيْنَ وَاْلآخِرِيْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ،
جَاءَ مُنَادٍ فَنَادَى بِصَوْتٍ يَسْمَعُ الْخَلاَئِقُ: سَيَعْلَمُ
أَهْلُ الْجَمْعِ اَلْيَوْمَ مَنْ أَوْلَى بِالْكَرَمِ، ثُمَّ يَرْجِعُ
فَيُنَادِي: لِيَقُمَ الَّذِيْنَ كاَنَتْ (تَتَجَافَى جُنُوْبُهُمْ)
فَيَقُوْمُوْنَ وَهُمْ قَلِيْلٌ.

"Bila Allah mengumpulkan semua manusia dari yang pertama hingga yang
terakhir pada hari Kiamat kelak, maka datang sang penyeru lalu
memanggil dengan suara yang terdengar oleh semua makhluk, 'Hari ini
semua yang berkumpul akan tahu siapa yang pantas mendapatkan
kemuliaan!' Kemudian penyeru itu kembali seraya berkata, 'Hendaknya
orang-orang yang 'lambungnya jauh dari tempat tidur' bangkit, lalu
mereka bangkit, sedang jumlah mereka sedikit."[8]

Di antara ayat-ayat yang memuji orang-orang yang selalu melakukan
shalat malam adalah firman Allah:

أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ
الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ

"(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang
yang beribadah di waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia
takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya?..."
[Az-Zumar/39: 9].

لَيْسُوا سَوَاءً ۗ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ
آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ

"Mereka itu tidak sama, di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang
berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di
malam hari, sedang mereka juga bersujud (shalat)." [Ali ‘Imraan/3:
113]

وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا

"Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk
Rabb mereka." [Al-Furqaan/25: 64]

سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ

"Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud...."
[Al-Fat-h/48: 29]

الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ
وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

"(Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang
menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu
sahur." [Ali-'Imran/3: 17].

Dan lain sebagainya dari ayat-ayat al-Qur-an.

Saya katakan, "Barangsiapa yang menginginkan pengetahuan yang
bermanfaat dan faidah yang banyak, hendaknya menelaah penafsiran
ayat-ayat ini dalam kitab-kitab tafsir, karena di sana terdapat
manfaat dan faidah yang amat besar. Saya sengaja tidak memaparkannya
di sini, semata karena komitmen saya untuk membahas secara ringkas dan
tidak mendalam."

Hadits-Hadits Tentang Keutamaan Shalat Malam Dan Anjurannya:
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menganjurkan kepada para
Sahabatnya untuk melakukan shalat malam dan membaca al-Qur-an di
dalamnya. Hadits-hadits yang mengungkapkan tentang hal ini sangat
banyak untuk dapat dihitung. Namun kami hanya akan menyinggung
sebagiannya saja, berikut panda-ngan para ulama sekitar masalah ini.

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ صَلاَةِ الْمَفْرُوْضَةِ، صَلاَةُ اللَّيْلِ.

"Shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat yang
dilakukan di malam hari."[9]

Al-Bukhari rahimahullah berkata: "Bab Keutamaan Shalat Malam."
Selanjutnya ia membawakan hadits dengan sanadnya yang sampai kepada
Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa ia berkata: "Seseorang di masa
hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bermimpi
menceritakannya kepada beliau. Maka aku pun berharap dapat bermimpi
agar aku ceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Saat aku muda aku tidur di dalam masjid lalu aku bermimpi seakan dua
Malaikat membawaku ke Neraka. Ternyata Neraka itu berupa sumur yang
dibangun dari batu dan memiliki dua tanduk. Di dalamnya terdapat
orang-orang yang aku kenal. Aku pun ber ucap, 'Aku berlindung kepada
Allah dari Neraka!' Ibnu 'Umar melanjutkan ceritanya, 'Malaikat yang
lain menemuiku seraya berkata, 'Jangan takut!' Akhirnya aku ceritakan
mimpiku kepada Hafshah dan ia menceritakannya kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda:

نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللهِ، لَوْ كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ.

'Sebaik-baik hamba adalah ‘Abdullah seandainya ia melakukan shalat
pada sebagian malam.'

Akhirnya 'Abdullah tidak pernah tidur di malam hari kecuali hanya
beberapa saat saja."[10]

Ibnu Hajar berkata: "Yang menjadi dalil dari masalah ini adalah sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 'Sebaik-baik hamba adalah
'Abdullah seandainya ia melakukan shalat pada sebagian malam.' Kalimat
ini mengindikasikan bahwa orang yang melakukan shalat malam adalah
orang yang baik."[11]

Ia berkata lagi, "Hadits ini menunjukkan bahwa shalat malam bisa
menjauhkan orang dari adzab."[12]

‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam selalu melakukan shalat malam hingga kedua telapak kakinya
pecah-pecah."[13]

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:

يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ
نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ: عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيْلٌ
فَارْقُدْ! فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللهَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ،
فَإِنْ تَوَضَّأَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ صَلَّى اِنْحَلَّتْ
عُقْدَةٌ، فَأَصْبَحَ نَشِيْطًا طَيِّبَ النَّفْسِ، وَإِلاَّ أَصْبَحَ
خَبِيْثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ.

"Syaitan mengikat di pangkal kepala seseorang darimu saat ia tidur
dengan tiga ikatan yang pada masing-masingnya tertulis, 'Malammu
sangat panjang, maka tidurlah!' Bila ia bangun lalu berdzikir kepada
Allah, maka satu ikatan lepas, bila ia berwudhu’ satu ikatan lagi
lepas dan bila ia shalat satu ikatan lagi lepas. Maka di pagi hari ia
dalam keadaan semangat dengan jiwa yang baik. Namun jika ia tidak
melakukan hal itu, maka di pagi hari jiwanya kotor dan ia menjadi
malas."[14]

Ibnu Hajar berkata: "Apa yang terungkap dengan jelas dalam hadits ini
adalah, bahwa shalat malam memiliki hikmah untuk kebaikan jiwa
walaupun hal itu tidak dibayangkan oleh orang yang melakukannya, dan
demikian juga sebaliknya. Inilah yang diisyaratkan Allah dalam
firman-Nya:

إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا

"Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu')
dan bacaan di waktu itu lebih terkesan." [Al-Muzzammil/73: 6]

Sebagian ulama menarik kesimpulan dari hadits ini bahwa orang yang
melakukan shalat malam lalu ia tidur lagi, maka syaitan tidak akan
kembali untuk mengikat dengan beberapa ikatan seperti semula."[15]

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْـدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ،
وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ.

"Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah (berpuasa pada)
bulan Allah yang mulia (Muharram) dan shalat yang paling utama setelah
shalat wajib adalah shalat malam."[16]

An-Nawawi rahimahullah berkata: "Hadits ini menjadi dalil bagi
kesepakatan ulama bahwa shalat sunnah di malam hari adalah lebih baik
daripada shalat sunnah di siang hari."[17]

Ath-Thibi berkata: "Demi hidupku, sungguh, seandainya tidak ada
keutamaan dalam melakukan shalat Tahajjud selain pada firman Allah:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَىٰ أَنْ
يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

"Dan pada sebagian malam hari bershalat ta-hajjudlah kamu sebagai
suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Rabb-mu mengang-katmu ke
tempat yang terpuji." [Al-Israa’/17: 79]

Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا
وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا
أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ

"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a
kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan
sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak
mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam
nikmat) yang menyedapkan pandangan mata..." [As-Sajdah/32: 16-17].

Juga ayat-ayat yang lainnya, maka hal itu sudah cukup menjadi bukti
keistimewaan shalat ini."[18]

Dari 'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash Radhiyallahu anhuma ia menuturkan,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللهِ صَلاَةُ دَاوُدَ، وَأَحَبُّ الصِّيَامِ
إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ: كاَنَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُوْمُ
ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَيَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا.

"Shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Nabi Dawud
Alaihissallam dan puasa yang paling dicintai Allah juga puasa Nabi
Dawud Alaihissallam. Beliau tidur setengah malam, bangun sepertiga
malam dan tidur lagi seperenam malam serta berpuasa sehari dan berbuka
sehari."[19]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Al-Mahlabi mengatakan Nabi
Dawud Alaihissallam mengistirahatkan dirinya dengan tidur pada awal
malam lalu ia bangun pada waktu di mana Allah menyeru, 'Adakah orang
yang meminta?, niscaya akan Aku berikan permintaannya!' lalu ia
meneruskan lagi tidurnya pada malam yang tersisa sekedar untuk dapat
beristirahat dari lelahnya melakukan shalat Tahajjud. Tidur terakhir
inilah yang dilakukan pada waktu Sahur. Metode seperti ini lebih
dicintai Allah karena bersikap sayang terhadap jiwa yang dikhawatirkan
akan merasa bosan (jika dibebani dengan beban yang berat,-ed) dan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

إِنَّ اللهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوْا.

'Sesungguhnya Allah tidak akan pernah merasa bosan sampai kalian
sendiri yang akan merasa bosan.'

Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin selalu melimpahkan karunia-Nya dan
memberikan kebaikan-Nya."[20]

Dari Jabir bin 'Abdillah Radhiyallahu anhu ia berkata, aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ فِي اللَّيْلِ لَسَاعَـةً، لاَ يُوَافِقُهَا رَجُـلٌ مُسْلِمٌ
يَسْأَلُ اللهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ إِلاَّ
أَعْطَاهُ إِيَّاهُ، وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ.

"Sesungguhnya di malam hari terdapat waktu tertentu, yang bila seorang
muslim memohon kepada Allah dari kebaikan dunia dan akhirat pada waktu
itu, maka Allah pasti akan memberikan kepadanya, dan hal tersebut ada
di setiap malam."[21]

An-Nawawi rahimahullah berkata, "Hadits ini menetapkan adanya waktu
dikabulkannya do’a pada setiap malam, dan mengandung dorongan untuk
selalu berdo’a di sepanjang waktu malam, agar mendapatkan waktu
itu."[22]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رَحِمَ اللهُ رَجُـلاً، قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى، وَأَيْقَظَ
اِمْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِيْ وَجْهِهَا الْمَاءَ،
وَرَحِمَ اللهُ اِمْرَأَةً، قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ، وَ
أَيْقَظَتْ زَوْجَهَا، فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِيْ وَجْهِهِ الْمَاءَ.

"Semoga Allah merahmati seorang suami yang bangun di waktu malam lalu
shalat dan ia pun membangunkan isterinya lalu sang istri juga shalat.
Bila istri tidak mau bangun ia percikkan air ke wajahnya. Semoga Allah
merahmati seorang isteri yang bangun di waktu malam lalu ia shalat dan
ia pun membangunkan suaminya. Bila si suami enggan untuk bangun ia pun
memercikkan air ke wajahnya."[23]

Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنِ اسْتَيْقَظَ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ فَصَلَّيَا
رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا، كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا
وَالذَّاكِرَاتِ.

"Barangsiapa yang bangun di waktu malam dan ia pun membangunkan
isterinya lalu mereka shalat bersama dua raka'at, maka keduanya akan
dicatat termasuk kaum laki-laki dan wanita yang banyak berdzikir
kepada Allah."[24]

Al-Munawi berkata, "Hadits ini seperti dikemukakan oleh ath-Thibi
menunjukkan bahwa orang yang mendapatkan kebaikan seyogyanya
menginginkan untuk orang lain apa yang ia inginkan untuk dirinya
berupa kebaikan, lalu ia pun memberikan kepada yang terdekat terlebih
dahulu."[25]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ كُلَّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ، صَحَّابٍ فِي
اْلأَسْوَاقِ، جِيْفَةٍ بِاللَّيْلِ، حِمَارٍ بِالنَّهَارِ، عَالِمٍ
بِأَمْرِ الدُّنْيَا جَاهِلٍ بِأَمْرِ اْلآخِرَةِ.

"Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang perilakunya kasar,
sombong, tukang makan dan minum serta suka berteriak di pasar. Ia
seperti bangkai di malam hari dan keledai di siang hari. Dia hanya
tahu persoalan dunia tapi buta terhadap urusan akhirat.'"[26]

Dari Anas Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

جَعَلَ اللهُ عَلَيْكُمْ صَلاَةَ قَوْمٍ أَبْرَارٍ يَقُوْمُوْنَ
اللَّيْلَ وَيَصُوْمُوْنَ النَّهَارَ، لَيْسُوْا بِأَثَمَةٍ وَلاَ
فُجَّارٍ.

“Allah telah menjadikan pada kalian shalat kaum yang baik; mereka
shalat di waktu malam dan berpuasa di waktu siang. Mereka bukanlah
para pelaku dosa dan orang-orang yang jahat.”[27]

Dari 'Abdullah bin Salam Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Yang pertama
kali aku dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
sabda beliau:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلاَمَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ،
وَصِلُوا اْلأَرْحَـامَ، وَصَلُّوْا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ،
تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ.

"Wahai manusia, tebarkan salam, berilah makan, sambunglah tali
silaturahmi dan shalatlah di malam hari saat manusia tertidur, niscaya
kalian akan masuk ke dalam Surga dengan selamat."[28]

'Abdullah bin Qais mengatakan, bahwa ‘Aisyah Radhiyallahun anhuma
berkata: "Janganlah kalian meninggalkan shalat malam karena Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya. Jika
beliau sakit atau malas, beliau shalat dalam keadaan duduk."[29]

Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَضْلُ صَلاَةِ اللَّـيْلِ عَلَى صَلاَةِ النَّهَارِ، كَفَضْلِ صَدَقَةِ
السِّرِّ عَلَى صَدَقَةِ الْعَلاَنِيَةِ.

"Keutamaan shalat malam atas shalat siang, seperti keutamaan
bersedekah secara sembunyi atas bersedekah secara
terang-terangan."[30]

Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu ia menuturkan pula, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ إِنَّ اللهَ يَضْحَكُ إِلَى رَجُلَيْنِ: رَجُلٌ قَـامَ فِيْ
لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ مِنْ فِرَاشِهِ وَلِحَافِهِ وَدِثَارِهِ، فَتَوَضَّأَ
ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ، فَيَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
لِمَلاَئِكَتِهِ: مَا حَمَلَ عَـبْدِيْ هَذَا عَلَى مَا صَنَعَ؟
فَيَقُوْلُوْنَ: رَبُّنَا رَجَاءً مَا عِنْدَكَ وَشَفَقَةً مِمَّا
عِنْدَكَ، فَيَقُوْلُ: فَإِنِّي قَدْ أَعْطَيْتُهُ مَا رَجَا
وَأَمَّنْتُهُ مِمَّا يُخَافُ.

"Ketahuilah, sesungguhnya Allah tertawa terhadap dua orang laki-laki:
Seseorang yang bangun pada malam yang dingin dari ranjang dan
selimutnya, lalu ia berwudhu’ dan melakukan shalat. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman kepada para Malaikat-Nya, 'Apa yang mendorong
hamba-Ku melakukan ini?' Mereka menjawab, 'Wahai Rabb kami, ia
melakukan ini karena mengharap apa yang ada di sisi-Mu dan takut dari
apa yang ada di sisi-Mu pula.' Allah berfirman, 'Sesungguhnya Aku
telah memberikan kepadanya apa yang ia harapkan dan memberikan rasa
aman dari apa yang ia takutkan.'"[31]

Masih banyak lagi hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang menjelaskan tentang keutamaan shalat malam, dorongan terhadapnya
dan kedudukan orang-orang yang senantiasa melakukannya.

Atsar Sahabat Dan Kaum Salaf Tentang Keutamaan Shalat Malam Dan Anjurannya
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Sesungguhnya di dalam
Taurat tertulis, 'Sungguh Allah telah memberikan kepada orang-orang
yang lambungnya jauh dari tempat tidur apa yang tidak pernah terlihat
oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah
terlintas dalam hati manusia, yakni apa yang tidak di-ketahui oleh
Malaikat yang dekat kepada Allah dan Nabi yang diutus-Nya.'"[32]

Dari Ya’la bin ‘Atha' ia meriwayatkan dari bibinya Salma, bahwa ia
berkata, "'Amr bin al-'Ash berkata, 'Wahai Salma, shalat satu raka'at
di waktu malam sama dengan shalat sepuluh raka'at di waktu siang."[33]

'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata, "Seandainya tidak
ada tiga perkara; seandainya aku tidak pergi berjihad di jalan Allah,
seandainya aku tidak mengotori dahiku dengan debu karena ber-sujud
kepada Allah dan seandainya aku tidak duduk bersama orang-orang yang
mengambil kata-kata yang baik seperti mereka mengambil kurma-kurma
yang baik, maka aku merasa senang berjumpa dengan Allah."[34]

Saat menjelang wafatnya Ibnu 'Umar, ia berkata, "Tidak ada sesuatu
yang sangat aku sedihkan di dunia ini selain rasa dahaga di siang hari
dan kelelahan di malam hari."

Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, "Kemulian seseorang terletak
pada shalatnya di malam hari dan sikapnya menjauhi apa yang ada pada
tangan orang lain."[35]

Thalhah bin Mashraf berkata, "Aku mendengar bila seorang laki-laki
bangun di waktu malam untuk melakukan shalat malam, Malaikat
memanggilnya, 'Berbahagialah engkau karena engkau telah menempuh jalan
para ahli ibadah sebelummu.'" Thalhah mengatakan lagi, "Malam itu pun
berwasiat kepada malam setelahnya agar membangunkannya pada waktu di
mana ia bangun." Thalhah mengatakan lagi, "Kebaikan turun dari atas
langit ke pembelahan rambutnya dan ada penyeru yang berseru,
'Seandainya seorang yang bermunajat tahu siapa yang ia seru, maka ia
tidak akan berpaling (dari munajatnya).’”[36]

Dari al-Hasan al-Bashri berkata, “Kami tidak mengetahui amal ibadah
yang lebih berat daripada lelahnya melakukan shalat malam dan
menafkahkan harta ini.”[37]

Al-Hasan juga pernah ditanya, “Mengapa orang yang selalu melakukan
shalat Tahajjud wajahnya lebih indah?” Ia menjawab, “Sebab mereka
menyendiri bersama ar-Rahman (Allah), sehingga Allah memberikan
kepadanya cahaya-Nya.”[38]

Syuraik berkata, “Barangsiapa yang banyak shalatnya di malam hari,
maka wajahnya akan tampak indah di siang hari."[39]

Yazid ar-Riqasyi berkata, "Shalat malam akan menjadi cahaya bagi
seorang mukmin pada hari Kiamat kelak dan cahaya itu akan berjalan
dari depan dan belakangnya. Sedangkan puasa seorang hamba akan
menjauhkannya dari panasnya Neraka Sa'ir."[40]

Wahab bin Munabih berkata, "Shalat di waktu malam akan menjadikan
orang yang rendah kedudukannya, mulia, dan orang yang hina, berwibawa.
Sedangkan puasa di siang hari akan mengekang seseorang dari dorongan
syahwatnya. Tidak ada istirahat bagi seorang mukmin tanpa masuk
Surga."[41]

Al-Awza'i berkata, "Aku mendengar barangsiapa yang lama melakukan
shalat malam, maka Allah akan meringankan siksanya pada hari Kiamat
kelak."[42]

Ishaq bin Suwaid berkata, "Orang-orang Salaf memandang bahwa
berekreasi adalah dengan cara puasa di siang hari dan shalat di malam
hari."[43]

Saya katakan, "Dari pemaparan terdahulu jelaslah bahwa shalat malam
memiliki keutamaan yang besar dan hanya orang yang merugi yang
meninggalkannya."

Kita berlindung kepada Allah dari kerugian dan hanya Dia-lah tempat
memohon pertolongan.

[Disalin dari kitab "Kaanuu Qaliilan minal Laili maa Yahja’uun" karya
Muhammad bin Su'ud al-‘Uraifi diberi pengantar oleh Syaikh 'Abdullah
al-Jibrin, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Shalat Tahajjud, Penerbit
Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Lihat Haasyiyatur Raudhil Murbi’, (II/219).
[2]. Lihat Tafsiir Fat-hul Qadiir oleh as-Syaukani, (V/667).
[3]. Tafsiir ath-Thabari, (XIII/197)
[4]. Ibid (XIII/200).
[5]. Ibid.
[6]. Tafsiir Ibni Katsir (VI/363).
[7]. Baca Haadil Arwaah ilaa Bilaadil Afraah oleh Ibnul Qayyim (hal. 278).
[8]. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya'la dalam al-Musnadul Kabiir
(IV/373) dari hadits Asma' binti Yazid x. Juga diriwayatkan oleh
al-Mundziri dalam at-Targhiib wat-Tarhiib, (I/215).
[9]. HR. Muslim, kitab ash-Shiyaam bab Fadhli Shaumil Mu-harram, (no. 1163).
[10]. HR. Al-Bukhari, kitab al-Jumu'ah, bab Fadhli Qiyaamul Lail,
(hadits no. 1122) dan Muslim, kitab Fadhaa-ilish Sha-haabah bab Fiqhi
Fadhaa-ili ‘Abdillah bin ‘Umar c, (hadits no. 2479).
[11]. Fat-hul Baarii (III/9).
[12]. Ibid, (III/10).
[13]. HR. Al-Bukhari, kitab Tafsiirul Qur-aan bab Liyaghfirallaahu
laka maa Taqaddama min Dzanbika… (hadits no. 4837) dan Muslim, kitab
Shifatul Qiyaamah bab Iktsaaril A’maal wal Ijtihaadi fil 'Ibaadah
(hadits no. 2820).
[14]. HR. Al-Bukhari, kitab at-Tahajjud, bab 'Aqdisy Syaithaani 'alaa
Qaafiyatir Ra'-si idzza lam Yushshalli bil Lail, (hadits no. 1142) dan
Muslim, kitab Shalaatil Musaafiriin, bab Maa Warada fii man Naamal
Laila Ajma'a hatta Ashbaha, (hadits no. 776).
[15]. Fat-hul Baarii (III/33).
[16]. Telah ditakhrij sebelumnya.
[17]. Lihat Shahiih Muslim bi Syarhin Nawawi (VIII/55).
[18]. Lihat Tuhfatul Ahwadzii bisy Syarh Jaami'it Tirmidzi oleh
al-Mubarakfuri, (II/425).
[19]. HR. Al-Bukhari dalam Shahiihnya kitab Ahaadiitsil Anbiyaa’, bab
Ahabbish Shalaati ilallaah Shalaati Dawud... (hadits no. 3420) dan
Muslim dalam kitab ash-Shiyaam bab an-Nahyi 'an Shawmid Dahr, (hadits
no. 1159).
[20]. Fat-hul Baarii (III/21).
[21]. HR. Muslim dalam kitab Shalaatul Musaafiriin, bab Fil Laili
Saa'tun Mustajaabun fii had Du'aa', (hadits no. 757).
[22]. Lihat Shahiih Muslim bi Syarhin Nawawi (VI/36).
[23]. HR. Abu Dawud dalam kitab ash-Shalaah, bab Qiyaamul Lail,
(hadits no. 1308), an-Nasa-i dalam kitab Qiyaamul Lail, bab
at-Targhiibu fii Qiyaamil Lail, (hadits no. 1610), Ibnu Majah dalam
kitab Iqaamatush Shalaah, bab Maa Jaa-a fii man Ayqazha Ahlahu minal
Lail, (hadits no. 1336), Ibnu Khuzaimah dalam Shahiihnya, (II/183),
Ibnu Hibban dalam Shahiihnya (VI/306) sebagaimana yang terdapat dalam
al-Ihsaan), al-Hakim dalam al-Mustadrak, (I/309) dengan komentarnya,
"Ini adalah hadits shahih sesuai kriteria yang ditetapkan Muslim."
Penilaian al-Hakim disepakati pula oleh adz-Dzahabi. Sedangkan
al-'Allamah al-Albani dalam Shahiihut Targhiib (no. 621) menilai
hadits ini hasan.
[24]. HR. Abu Dawud dalam kitab ash-Shalaah, bab al-Hatstsu 'ala
Qiyaamil Lail, (hadits no. 1451), Ibnu Majah, dalam kitab Iqaamatish
Shalaah, bab Maa Jaa-a fii man Ayqazha Ahlahu minal Lail, (1339), Ibnu
Hibban dalam Shahiihnya, (VI/307) sebagaimana dalam al-Ihsaan,
al-Hakim (I/316) dan ia berkata, "Ini adalah hadits shahih sesuai
kriteria al-Bukhari dan Muslim, hanya saja keduanya tidak
mengeluarkannya." Penilaian ini disepakati oleh adz-Dzahabi. Hadits
ini dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiihul Jaami' (hadits no.
330).
[25]. Lihat Faidhul Qadiir oleh al-Munawi, (IV/25).
[26]. HR. Al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra, (X/194) dan al-Albani
dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (hadits no. 195) menilai
hadits ini shahih.
[27]. HR. 'Abd bin Humaid, (II/147) dan adh-Dhiya' al-Maqdisi dalam
al-Mukhtaarah, (V/74), melalui jalur periwayatan yang bersumber dari
'Abd bin Humaid. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albani dalam
Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (hadits no. 1810).
[28]. HR. At-Tirmidzi dalam kitab Shifatil Qiyaamah bab Minhu…,
(hadits no. 2485). Beliau mengomentari hadits ini dengan mengatakan,
"Ini adalah hadits yang shahih." Hadits ini juga dikeluarkan Ahmad
dalam Musnadnya, (hadits no. 23272) dan ad-Darimi dalam Sunannya,
(hadits no. 1460). Al-Hakim mengatakan, "Hadits ini sanadnya shahih,"
lihat al-Mustadrak, (IV/176).
[29]. HR. Abu Dawud dalam kitab ash-Shalaah, bab Qiyaamil Lail,
(hadits no. 1307), Ahmad dalam Musnadnya, (hadits no. 25583), al-Hakim
dalam al-Mustadraknya, (I/452). Al-Hakim berkata, "Hadits ini shahih
sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Muslim." Penilaian al-Hakim
disetujui oleh adz-Dzahabi.
[30]. HR. Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd, (hal. 8) dan Abu Nu'aim dalam
al-Hilyah, (IV/166). Al-Haitsami (II/251) berkata, "Hadits ini
diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu'jamul Kabiir dan para
perawinya adalah tsiqah."
[31]. HR. Ahmad, (I/416), Ibnu Hibban (VI/297, sebagaimana yang
terdapat dalam al-Ihsaan), al-Hakim, (II/112), Ibnu 'Ashim dalam
as-Sunnah, (I/249). Al-Hakim berkata: "Sanad hadits ini shahih."
Penilaian al-Hakim disetujui oleh adz-Dzahabi. Sedangkan al-Haitsami
dan al-Albani menilainya hasan.
[32]. HR. Al-Marwazi. Lihat Mukhtashar Qiyaamil Lail, (hal. 36) dan
al-Hakim dalam al-Mustadrak, (II/414). Al-Hakim menilai hadits ini
shahih dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[33]. Lihat ash-Shalaah wat Tahajjud oleh Ibnu al-Khirath, (298).
[34]. Mukhtashar Qiyaamil Lail (hal. 62).
[35]. Ibid (hal. 63).
[36]. Atsar ini diriwayatkan oleh al-Aajuri dalam Fadhlu Qiyaamil
Laili wat Tahajjud (hal. 58).
[37]. Lihat ash-Shalaatu wat Tahajjud (hal. 298).
[38]. Atsar ini diriwayatkan oleh al-Marwazi. Lihat Mukhtashar
Qiyaamil Lail (hal. 58).
[39]. Lihat al-Kaamil karya Ibnu 'Adi, (II/526). Komentar saya
(penulis): Sebagian ulama ada yang menisbatkan ini kepada sabda Nabi
dan penisbatan ini tidak benar. Ibnul Jauzi menyebutkan atsar ini
dalam al-Maudhuu'aat, (II/109) dan Ibnu Thahir dalam Tadzkiratul
Maudhuu'aat, (hal. 351). Kisah atsar ini selengkapnya adalah seperti
berikut:Tsabit bin Musa, seorang zahid, datang kepada Syuraik
al-Qadhi, sedang al-Mustamli ada di depannya. Syuraik mengatakan
al-A'masy menceritakan kepada kami dari Abu Sufyan dari Jabir, ia
menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
-tanpa menyebut matan haditsnya-, lalu ketika ia memandang Tsabit ia
berkata, "Barangsiapa yang selalu melakukan shalat di malam hari maka
wajahnya akan tampak indah di siang hari." Yang dimaksudkan dengan
ucapannya itu adalah Tsabit bin Musa karena kezuhudannya, lalu Tsabit
mengira bahwa ia meri-wayatkan hadits ini bersumber dari Nabi (hadits
marfu') dengan sanad ini. Lihat perkataan as-Sakhawi dalam Fat-hul
Mughiits (I/311).
[40]. Lihat as-Shalaatu wat Tahajjud (hal. 298).
[41]. Ibid, (299).
[42]. Lihat Mukhtashar Qiyaamil Lail, (hal. 66).
[43]. Ibid, (hal. 67).

http://almanhaj.or.id/content/3499/slash/0/keutamaan-shalat-malam-dan-anjurannya/