📋NICE HOME WORK📋
LINK SETORAN NHW#4
1. Pada subject postingan tulis dengan format :
NHW#4_nama lengkap_asal IIP
Contoh : NHW#4_Sakinah Ginna_IIP Cianjur
2. Deadline pengumpulan NHW#4 ialah:
Senin, 12 Juni 2017, pukul 06.00 WIB
3. Dispensasi pengumpulan dimohon wapri koordinator mingguan paling lambat Senin, 12 Juni 2017, pukul 05.59 WIB
Selamat mengerjakan Nice Homework #4😊
Silakan bunda mengumpulkan link setoran NHW#4 nya di comment thread ini.
Salam Ibu Profesional
/Syarifah Alawiyah/
📚NICE HOMEWORK #4📚
MENDIDIK DENGAN KEKUATAN FIITRAH
Bunda dan calon bunda peserta matrikulasi Ibu Profesional Batch #4,
kini sampailah kita pada tahap menguatkan ilmu yang kita dapatkan
kemarin, dalam bentuk tugas.
Tugas ini kita namakan NICE HOMEWORK dan disingkat menjadi NHW.
Dalam materi "MENDIDIK DENGAN KEKUATAN FIITRAH" kali ini, NHW nya adalah sbb:
a. Mari kita lihat kembali Nice Homework #1 , apakah sampai hari ini
anda tetap memilih jurusan ilmu tersebut di Universitas Kehidupan ini?
Atau setelah merenung beberapa minggu ini, anda ingin mengubah jurusan
ilmu yang akan dikuasai?
b. Mari kita lihat Nice Homework #2, sudahkah kita belajar
konsisten untuk mengisi checklist harian kita? Checklist ini sebagai
sarana kita untuk senantiasa terpicu “memantaskan diri” setiap saat.
Latih dengan keras diri anda, agar lingkungan sekitar menjadi lunak
terhadap diri kita.
b.Baca dan renungkan kembali Nice Homework #3, apakah sudah
terbayang apa kira-kira maksud Allah menciptakan kita di muka bumi ini?
Kalau sudah, maka tetapkan bidang yang akan kita kuasai, sehingga peran
hidup anda akan makin terlihat.
Contoh :
Seorang Ibu setiap kali beraktivitas selalu memberikan inspirasi
banyak ibu-ibu yang lain. Bidang pelajaran yang paling membuatnya
berbinar-binar adalah “Pendidikan Ibu dan Anak”. Lama kelamaan sang ibu
ini memahami peran hidupnya di muka bumi ini adalah sebagai inspirator.
Misi Hidup : memberikan inspirasi ke orang lain
Bidang : Pendidikan Ibu dan Anak
Peran : Inspirator
c. Setelah menemukan 3 hal tersebut, susunlah ilmu-ilmu apa saja yang diperlukan untuk menjalankan misi hidup tersebut.
Contoh : Untuk bisa menjadi ahli di bidang Pendidikan Ibu dan Anak
maka Ibu tersebut menetapkan tahapan ilmu yang harus dikuasai oleh
sebagai berikut :
1. Bunda Sayang : Ilmu-ilmu seputar pengasuhan anak
2. Bunda Cekatan : Ilmu-ilmu seputar manajemen pengelolaan diri dan rumah tangga
3. Bunda Produktif : Ilmu-ilmu seputar minat dan bakat, kemandirian finansial dll.
4. Bunda Shaleha : Ilmu tentang berbagi manfaat kepada banyak orang
d. Tetapkan Milestone untuk memandu setiap perjalanan anda menjalankan Misi Hidup
contoh : Ibu tersebut menetapkan KM 0 pada usia 21 th, kemudian
berkomitmen tinggi akan mencapai 10.000 (sepuluh ribu ) jam terbang di
satu bidang tersebut, agar lebih mantap menjalankan misi hidup. Sejak
saat itu setiap hari sang ibu mendedikasikan 8 jam waktunya untuk
mencari ilmu, mempraktekkan, menuliskannya bersama dengan anak-anak.
Sehingga dalam jangka waktu kurang lebih 4 tahun, sudah akan terlihat
hasilnya.
Milestone yang ditetapkan oleh ibu tersebut adalah sbb :
KM 0 – KM 1 ( tahun 1 ) : Menguasai Ilmu seputar Bunda Sayang
KM 1 – KM 2 (tahun 2 ) : Menguasai Ilmu seputar Bunda Cekatan
KM 2 – KM 3 (tahun 3 ) : Menguasai Ilmu seputar Bunda Produktif
KM 3 – KM 4 ( tahun 4) : Menguasai Ilmu seputar Bunda shaleha
e. Koreksi kembali checklist anda di NHW#2, apakah sudah anda
masukkan waktu-waktu untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut di atas. Kalau
belum segera ubah dan cantumkan.
f. Lakukan, lakukan, lakukan, lakukan
Sang Ibu di contoh di atas adalah perjalanan sejarah hidup Ibu Septi
Peni, sehingga menghadirkan kurikulum Institut Ibu Profesional, yang
program awal matrikulasinya sedang kita jalankan bersama saat ini.
Sekarang buatlah sejarah anda sendiri.
Karena perjalanan ribuan mil selalu dimulai oleh langkah pertama, segera tetapkan KM 0 anda.
Salam Ibu Profesional,
/Tim Matrikulasi IIP/
Kamis, 08 Juni 2017
Minggu, 04 Juni 2017
NHW#3 Membangun Peradaban dari dalam rumah
MEMBANGUN PERADABAN DARI DALAM RUMAH
Jikalau rumah adalah sumber peradaban, dimana keluarga merupakan pondasi utama peradaban dibangun. Maka sudah sepatutnya kita memperhatikan keluarga dengan sebaik baiknya. Keluarga merupakan institusi terkecil dimana terdiri dari ayah, ibu dan anak. Masing masing anggota keluarga tersebut pastinya memiliki peran yang teramat penting, atau spesifik, kalau pada materi institut ibu peradaban bahwa setiap anggota keluarga itu memiliki peran yang sudah digariskan oleh Allah SWT Sang Pencipta sesuai dengan Kehendak-Nya. Jadi luar biasa bukan, misi seseorang itu dilahirkan ke dunia ini, bertemu jodoh dengan siapa itu juga ada maksud dan tujuannya sesuai dengan Sang Maha Pencipta. Tinggal kita sebagai makhluk Tuhan, mampu menangkap kehendak Tuhan dengan potensi yang diberikan, kemudian dikembangkan sesuai dengan akal pikiran yang diberikan Tuhan.
A. Aliran rasa untuk tugas membuat surat cinta kepada pasangan.
Jika diminta membuat surat cinta kepada pasangan menggunakan kertas surat dan ditulis tangan, he he sebelumnya saya belum pernah melakukan. Secara jaman internet sekarang ini, yang namanya pegang kertas dan pulpen sudah jarang. Semua pesan dilakukan seringnya lewat media elektronik, pesan singkat, kirim surat, kirim kabar menggunakan media sosial. Kembali ke menulis surat cinta pada pasangan, paling nyambung kalau suami tipe romantis kali yeaa.. Kalau tipenya adem ayem aja...rasanya gimana gitu...ditanggapi sepintas lalu...Jadi mewek sendiri...Secara kalau pesan atau kirim surat biasa juga cuma dibalas icon smile di whatsapp...jadinya tidak mengharap tinggi tinggi responnya seperti apa. Pada dasarnya, pasangan kita merupakan pasangan yang ketika bertemu sudah digariskan Tuhan dengan potensi sesuai dengan keadaan kita. Pasangan kita punya kelebihan dan potensi yang sudah dipilih untuk menyeimbangkan hidup kita. Yang kedepannya dapat mengantarkan anak anak untuk dapat mencapai kesuksesan hidupnya baik didunia maupun di akhirat. Memiliki pasangan sebagai seorang pendidik, ini merupakan potensi yang luar biasa. Dengan pengalamannya sebagai pendidik bertahun tahun sebelum kami menikah, itu sudah cukup menenangkan hati, pasangan kita mampu menjadi partner mengantarkan anak anak ke arah lebih baik.
B. Memiliki keturunan merupakan anugerah tersendiri yang harus di syukuri. Sekian tahun menikah, dan dikaruniai putra tentunya sangat menggembirakan buat kami. Ketika tahun lalu diberi kesempatan untuk memiliki anak, tentu juga ini dirasakan sebagai amanah yang besar yang dititipkan kepada kami sebagai orang tua. Sekali lagi setiap anak tidak pesan akan dilahirkan oleh ibu yang mana, dididik di keluarga mana. Intinya orangtuanya harus sadar jika anak ini punya tugas besar yang diperankan nantinya kelak ketika dewasa. Jadi sudah tanggungjawab orangtua memainkan perannya juga agar sesuai dengan kehendak Tuhan. Melahirkan anak pertama laki laki saat itu tentu bahagia, walaupun dapat anak perempuan juga senang. Akan tetapi sekian tahun menunggu untuk mendapatkan momongan, pasti senangnya melebihi yang lain. Apalagi saat itu semua yang lahir bareng diriku...dapat anak perempuan semua. Ini merupakan tantangan sekaligus potensi bahwa anak yang terlahir dari rahim yang dititipkan oleh Allohumma ini harus dijaga sebaik baiknya dan pastinya punya peran dan makna penting dalam kehidupan.
C. Menengok ke dalam diri kita, kita sebagai seorang ibu, Istri dan individu, juga memiliki peran penting dalam keluarga. Mengapa kita dihadirkan dalam kondisi seperti ini, pasti ada maksud nya. Ditakdirkan sebagai ibu pekerja pasti bukan hal yang mudah. Memiliki anak setelah berkeluarga memiliki tanggung jawab yang lebih, baik dalam pengaturan waktu yang optimal dan berkualitas harus dipikirkan dengan baik.
Walaupun demikian saya sangat bersyukur setidaknya untuk diri sendiri secara ekonomi tidak menyulitkan orang lain. Memiliki pasangan yang tidak always stand by at home, membuat saya harus bisa mandiri memutuskan segala sesuatu. Dan bijak dalam hal keuangan.
D. Melihat lingkungan sekitar keluarga, saya sangat bersyukur sekali. Memiliki orang tua yang masih lengkap hal ini menjadi peneguhan hati saya untuk kondisi saat ini. Mohon maaf saya belum bisa mandiri seutuhnya dan menyerahkan penjagaan anak saya ke asisten rumah tangga. Saya bersyukur orang tua masih mau dititipkan sampai Saya tiba di rumah. Untuk hal ini kondisi masih demikian, dan saya masih membutuhkannya. Alhamdulillah lingkungan keluarga mendukung. Untuk lingkungan tetangga, sebenarnya dari dulu masih kuliah perpustakaan, ingin sekali punya taman bacaan umum untuk lingkungan sekitar, bisa melalui perpustakaan masjid, maupun perpustakaan rw bekerjasama dengan Posyandu atau PKK. Sejak kecil saya bersyukur berada di lingkungan perumahan yang banyak kegiatan, tinggal kita memilih dan sesuaikan dengan waktu belajar. Dari mulai sekolah diniyah, sebelum atau selepas sekolah negeri, kemudian ada sanggar tari daerah, ada klub karateka INKADO, ada kursus balet anak/aerobik, malamnya ada pengajian khusus anak-anak, les bahasa inggris, les mata pelajaran sekolah...hehe banyak ya. Saya bersyukur sekali dilingkungan yang penuh banyak pilihan kegiatan. Kalau sekarang lebih banyak lagi, tapi biayanya aduhai...jadi mikir, kok orang tua saya dulu bisa ya membebaskan saya ikut apa saja waktu itu yang penting kegiatan yang baik untuk anak dan anaknya suka.
Jikalau rumah adalah sumber peradaban, dimana keluarga merupakan pondasi utama peradaban dibangun. Maka sudah sepatutnya kita memperhatikan keluarga dengan sebaik baiknya. Keluarga merupakan institusi terkecil dimana terdiri dari ayah, ibu dan anak. Masing masing anggota keluarga tersebut pastinya memiliki peran yang teramat penting, atau spesifik, kalau pada materi institut ibu peradaban bahwa setiap anggota keluarga itu memiliki peran yang sudah digariskan oleh Allah SWT Sang Pencipta sesuai dengan Kehendak-Nya. Jadi luar biasa bukan, misi seseorang itu dilahirkan ke dunia ini, bertemu jodoh dengan siapa itu juga ada maksud dan tujuannya sesuai dengan Sang Maha Pencipta. Tinggal kita sebagai makhluk Tuhan, mampu menangkap kehendak Tuhan dengan potensi yang diberikan, kemudian dikembangkan sesuai dengan akal pikiran yang diberikan Tuhan.
A. Aliran rasa untuk tugas membuat surat cinta kepada pasangan.
Jika diminta membuat surat cinta kepada pasangan menggunakan kertas surat dan ditulis tangan, he he sebelumnya saya belum pernah melakukan. Secara jaman internet sekarang ini, yang namanya pegang kertas dan pulpen sudah jarang. Semua pesan dilakukan seringnya lewat media elektronik, pesan singkat, kirim surat, kirim kabar menggunakan media sosial. Kembali ke menulis surat cinta pada pasangan, paling nyambung kalau suami tipe romantis kali yeaa.. Kalau tipenya adem ayem aja...rasanya gimana gitu...ditanggapi sepintas lalu...Jadi mewek sendiri...Secara kalau pesan atau kirim surat biasa juga cuma dibalas icon smile di whatsapp...jadinya tidak mengharap tinggi tinggi responnya seperti apa. Pada dasarnya, pasangan kita merupakan pasangan yang ketika bertemu sudah digariskan Tuhan dengan potensi sesuai dengan keadaan kita. Pasangan kita punya kelebihan dan potensi yang sudah dipilih untuk menyeimbangkan hidup kita. Yang kedepannya dapat mengantarkan anak anak untuk dapat mencapai kesuksesan hidupnya baik didunia maupun di akhirat. Memiliki pasangan sebagai seorang pendidik, ini merupakan potensi yang luar biasa. Dengan pengalamannya sebagai pendidik bertahun tahun sebelum kami menikah, itu sudah cukup menenangkan hati, pasangan kita mampu menjadi partner mengantarkan anak anak ke arah lebih baik.
B. Memiliki keturunan merupakan anugerah tersendiri yang harus di syukuri. Sekian tahun menikah, dan dikaruniai putra tentunya sangat menggembirakan buat kami. Ketika tahun lalu diberi kesempatan untuk memiliki anak, tentu juga ini dirasakan sebagai amanah yang besar yang dititipkan kepada kami sebagai orang tua. Sekali lagi setiap anak tidak pesan akan dilahirkan oleh ibu yang mana, dididik di keluarga mana. Intinya orangtuanya harus sadar jika anak ini punya tugas besar yang diperankan nantinya kelak ketika dewasa. Jadi sudah tanggungjawab orangtua memainkan perannya juga agar sesuai dengan kehendak Tuhan. Melahirkan anak pertama laki laki saat itu tentu bahagia, walaupun dapat anak perempuan juga senang. Akan tetapi sekian tahun menunggu untuk mendapatkan momongan, pasti senangnya melebihi yang lain. Apalagi saat itu semua yang lahir bareng diriku...dapat anak perempuan semua. Ini merupakan tantangan sekaligus potensi bahwa anak yang terlahir dari rahim yang dititipkan oleh Allohumma ini harus dijaga sebaik baiknya dan pastinya punya peran dan makna penting dalam kehidupan.
C. Menengok ke dalam diri kita, kita sebagai seorang ibu, Istri dan individu, juga memiliki peran penting dalam keluarga. Mengapa kita dihadirkan dalam kondisi seperti ini, pasti ada maksud nya. Ditakdirkan sebagai ibu pekerja pasti bukan hal yang mudah. Memiliki anak setelah berkeluarga memiliki tanggung jawab yang lebih, baik dalam pengaturan waktu yang optimal dan berkualitas harus dipikirkan dengan baik.
Walaupun demikian saya sangat bersyukur setidaknya untuk diri sendiri secara ekonomi tidak menyulitkan orang lain. Memiliki pasangan yang tidak always stand by at home, membuat saya harus bisa mandiri memutuskan segala sesuatu. Dan bijak dalam hal keuangan.
D. Melihat lingkungan sekitar keluarga, saya sangat bersyukur sekali. Memiliki orang tua yang masih lengkap hal ini menjadi peneguhan hati saya untuk kondisi saat ini. Mohon maaf saya belum bisa mandiri seutuhnya dan menyerahkan penjagaan anak saya ke asisten rumah tangga. Saya bersyukur orang tua masih mau dititipkan sampai Saya tiba di rumah. Untuk hal ini kondisi masih demikian, dan saya masih membutuhkannya. Alhamdulillah lingkungan keluarga mendukung. Untuk lingkungan tetangga, sebenarnya dari dulu masih kuliah perpustakaan, ingin sekali punya taman bacaan umum untuk lingkungan sekitar, bisa melalui perpustakaan masjid, maupun perpustakaan rw bekerjasama dengan Posyandu atau PKK. Sejak kecil saya bersyukur berada di lingkungan perumahan yang banyak kegiatan, tinggal kita memilih dan sesuaikan dengan waktu belajar. Dari mulai sekolah diniyah, sebelum atau selepas sekolah negeri, kemudian ada sanggar tari daerah, ada klub karateka INKADO, ada kursus balet anak/aerobik, malamnya ada pengajian khusus anak-anak, les bahasa inggris, les mata pelajaran sekolah...hehe banyak ya. Saya bersyukur sekali dilingkungan yang penuh banyak pilihan kegiatan. Kalau sekarang lebih banyak lagi, tapi biayanya aduhai...jadi mikir, kok orang tua saya dulu bisa ya membebaskan saya ikut apa saja waktu itu yang penting kegiatan yang baik untuk anak dan anaknya suka.
Minggu, 28 Mei 2017
NHW#2 Indikator Keberhasilan Ibu Profesional
1. Indikator sebagai Ibu bagi anaknya.salah satu peran ibu yang paling penting dalam institusi keluarga adalah, ibu sebagai pendidik. Maka sudah sepatutnya peran ini dijadikan indikator keberhasilan ibu profesional. Adapun tugas pendidikan anak dalam keseharian bagi yang memiliki balita dapat di breaking down sebagai berikut :
a. Mengajarkan doa doa harian. Contoh,setiap kali aktivitas makan, tidur, berpakaian pada pekan pertama, pekan berikutnya doa masuk kamar mandi, pekan berikutnya, doa berpakaian. Pekan berikutnya, doa belajar. Terus diulang ulang.
b. Melakukan aktivitas belajar sambil bermain setiap sabtu dan minggu di luar ruangan atau outdoor dua kali dalam sebulan, ke tempat terdekat di alam terbuka.
c. Selalu mengajak aktivitas ibadah terutama sholat berjamaah. Mencontohkan setiap hari
d. Memberikan hafalan surat pendek pada setiap pekan, setiap pekan berganti surat hafalan
e. Mengadakan aktivitas harian 3 kali dalam seminggu, bermain sambil belajar dengan alat permainan di rumah
2. Indikator sebagai istri dalam rumah tangga bagi suaminya.
a. Menjaga kerapihan rumah, setiap 2 pekan mengadakan kerja bakti bersama
b. Setiap satu kali dalam sebulan masak.bersama menu favorit
c. Mengadakan kegiatan bersama dengan suami sebulan sekali outdoor seperti bersepeda ke ruang terbuka seperti ui
d. Memberikan hadiah spesial di hari ulang tahun atau hari spesial lainnya
3. Indikator sebagai individu.
a. Melakukan eksperimen membuat makanan baru setiap pekan.
b. Belajar menulis setiap ada event kegiatan pelatihan menulis
c. Membaca dan menyelesaikan satu buku setiap pekan
a. Mengajarkan doa doa harian. Contoh,setiap kali aktivitas makan, tidur, berpakaian pada pekan pertama, pekan berikutnya doa masuk kamar mandi, pekan berikutnya, doa berpakaian. Pekan berikutnya, doa belajar. Terus diulang ulang.
b. Melakukan aktivitas belajar sambil bermain setiap sabtu dan minggu di luar ruangan atau outdoor dua kali dalam sebulan, ke tempat terdekat di alam terbuka.
c. Selalu mengajak aktivitas ibadah terutama sholat berjamaah. Mencontohkan setiap hari
d. Memberikan hafalan surat pendek pada setiap pekan, setiap pekan berganti surat hafalan
e. Mengadakan aktivitas harian 3 kali dalam seminggu, bermain sambil belajar dengan alat permainan di rumah
2. Indikator sebagai istri dalam rumah tangga bagi suaminya.
a. Menjaga kerapihan rumah, setiap 2 pekan mengadakan kerja bakti bersama
b. Setiap satu kali dalam sebulan masak.bersama menu favorit
c. Mengadakan kegiatan bersama dengan suami sebulan sekali outdoor seperti bersepeda ke ruang terbuka seperti ui
d. Memberikan hadiah spesial di hari ulang tahun atau hari spesial lainnya
3. Indikator sebagai individu.
a. Melakukan eksperimen membuat makanan baru setiap pekan.
b. Belajar menulis setiap ada event kegiatan pelatihan menulis
c. Membaca dan menyelesaikan satu buku setiap pekan
Senin, 22 Mei 2017
Bangga Menjadi Ibu Rumah Tangga
Bangga Menjadi Ibu Rumah Tangga
Penulis: Ummu Ayyub
Muroja'ah: Ust Abu Ahmad
Hebat rasanya ketika mendengar ada seorang wanita lulusan sebuah universitas ternama telah bekerja di sebuah perusahaan bonafit dengan gaji jutaan rupiah per bulan. Belum lagi perusahaan sering menugaskan wanita tersebut terbang ke luar negri untuk menyelesaikan urusan perusahaan. Tergambar seolah kesuksesan telah dia raih. Benar seperti itukah?
Kebanyakan orang akan beranggapan demikian. Sesuatu dikatakan sukses lebih dinilai dari segi materi sehingga jika ada sesuatu yang tidak memberi nilai materi akan dianggap remeh. Cara pandang yang demikian membuat banyak dari wanita muslimah bergeser dari fitrohnya. Berpandangan bahwa sekarang sudah saatnya wanita tidak hanya tinggal di rumah menjadi ibu, tapi sekarang saatnya wanita `menunjukkan eksistensi diri' di luar. Menggambarkan seolah-olah tinggal di rumah menjadi seorang ibu adalah hal yang rendah.
Kita bisa dapati ketika seorang ibu rumah tangga ditanya teman lama "Sekarang kerja dimana?" rasanya terasa berat untuk menjawab, berusaha mengalihkan pembicaraan atau menjawab dengan suara lirih sambil tertunduk "Saya adalah ibu rumah tangga". Rasanya malu! Apalagi jika teman lama yang menanyakan itu "sukses" berkarir di sebuah perusahaan besar. Atau kita bisa dapati ketika ada seorang muslimah lulusan universitas ternama dengan prestasi bagus atau bahkan berpredikat cumlaude hendak berkhidmat di rumah menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anak, dia harus berhadapan dengan "nasehat" dari bapak tercintanya: "Putriku! Kamu kan sudah sarjana, cumlaude lagi! Sayang kalau cuma di rumah saja ngurus suami dan anak." Padahal, putri tercintanya hendak berkhidmat dengan sesuatu yang mulia, yaitu sesuatu yang memang menjadi tanggung jawabnya. Disana ia ingin mencari surga.
Ibu Sebagai Seorang Pendidik
Syaikh Muhammad bin Shalih al `Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa perbaikan masyarakat bisa dilakukan dengan dua cara: Pertama, perbaikan secara lahiriah, yaitu perbaikan yang berlangsung di pasar, masjid, dan berbagai urusan lahiriah lainnya. Hal ini banyak didominasi kaum lelaki, karena merekalah yang sering nampak dan keluar rumah. Kedua, perbaikan masyarakat di balik layar, yaitu perbaikan yang dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peran ini diserahkan pada kaum wanita sebab wanita merupakan pengurus rumah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wa ta'ala yang artinya:
"Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. " (QS. Al-Ahzab: 33)
Pertumbuhan generasi suatu bangsa adalah pertama kali berada di buaian para ibu. Ini berarti seorang ibu telah mengambil jatah yang besar dalam pembentukan pribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar! Mengajari mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah, menancapkan tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecintaan pada Al Quran dan As Sunah sebagai pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan pada Al Haq, mengajari mereka bagaimana beribadah pada Allah yang telah menciptakan mereka, mengajari mereka akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka bagaimana menjadi pemberani tapi tidak sombong, mengajari mereka untuk bersyukur, mengajari bersabar, mengajari mereka arti disiplin, tanggung jawab, mengajari mereka rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi. Termasuk di dalamnya hal yang menurut banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang kecil dan remeh, seperti mengajarkan pada anak adab ke kamar mandi. Bukan hanya sekedar supaya anak tau bahwa masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal semacam itu bisa menjadi kebiasaan yang lekat padanya. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk membiasakannya.
Sebuah Tanggung Jawab
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan- Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. " (QS. At Tahrim: 6)
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang artinya: "Peliharalah dirimu dan keluargamu!" di atas menggunakan Fi'il Amr (kata kerja perintah) yang menunjukkan bahwa hukumnya wajib. Oleh karena itu semua kaum muslimin yang mempunyai keluarga wajib menyelamatkan diri dan keluarga dari bahaya api neraka.
Tentang Surat At Tahrim ayat ke-6 ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu `anhu berkata, "Ajarkan kebaikan kepada dirimu dan keluargamu." (Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak-nya (IV/494), dan ia mengatakan hadist ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim, sekalipun keduanya tidak mengeluarkannya)
Muqatil mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah, setiap muslim harus mendidik diri dan keluarganya dengan cara memerintahkan mereka untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan maksiat.
Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa beberapa ulama mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta'ala akan meminta pertanggungjawaban setiap orang tua tentang anaknya pada hari kiamat sebelum si anak sendiri meminta pertanggungjawaban orang tuanya. Sebagaimana seorang ayah itu mempunyai hak atas anaknya, maka anak pun mempunyai hak atas ayahnya. Jika Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Kami wajibkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya." (QS. Al Ankabut: 7), maka disamping itu Allah juga berfirman, "Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang berbahan bakar manusia dan batu." (QS. At Tahrim: 6)
Ibnu Qoyyim selanjutnya menjelaskan bahwa barang siapa yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang bermanfaat baginya, lalu ia membiarkan begitu saja, berarti telah melakukan kesalahan besar. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua yang acuh tak acuh terhadap anak mereka, tidak mau mengajarkan kewajiban dan sunnah agama. Mereka menyia-nyiakan anak ketika masih kecil sehingga mereka tidak bisa mengambil keuntungan dari anak mereka ketika dewasa, sang anak pun tidak bisa menjadi anak yang bermanfaat bagi ayahnya.
Adapun dalil yang lain diantaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala yang artinya:
"dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat." (QS asy Syu'ara': 214)
Abdullah bin Umar radhiyallahu `anhuma mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu `alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Kaum lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya di rumah, dia bertanggung jawab atas keluarganya. Wanita pun pemimpin yang mengurusi rumah suami dan anak-anaknya. Dia pun bertanggung jawab atas diri mereka. Budak seorang pria pun jadi pemimpin mengurusi harta tuannya, dia pun bertanggung jawab atas kepengurusannya. Kalian semua adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. " (HR. Bukhari 2/91)
Dari keterangan di atas, nampak jelas bahwa setiap insan yang ada hubungan keluarga dan kerabat hendaknya saling bekerja sama, saling menasehati dan turut mendidik keluarga. Utamanya orang tua kepada anak, karena mereka sangat membutuhkan bimbingannya. Orang tua hendaknya memelihara fitrah anak agar tidak kena noda syirik dan dosa-dosa lainnya. Ini adalah tanggung jawab yang besar yang kita akan dimintai pertanggungjawaban tentangnya.
Siapa Menanam, Dia akan Menuai Benih
Bagaimana hati seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh? Ketika tabungan anak kita yang usia 5 tahun mulai menumpuk, "Mau untuk apa nak, tabungannya? " Mata rasanya haru ketika seketika anak menjawab "Mau buat beli CD murotal, Mi!" padahal anak-anak lain kebanyakan akan menjawab "Mau buat beli PS!" Atau ketika ditanya tentang cita-cita, "Adek pengen jadi ulama!" Haru! mendengar jawaban ini dari seorang anak tatkala ana-anak seusianya bermimpi "pengen jadi Superman!"
Jiwa seperti ini bagaimana membentuknya? Butuh seorang pendidik yang ulet dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang yang sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan tawakal dan bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Lalu… jika seperti ini, bisakah kita begitu saja menitipkannya pada pembantu atau membiarkan anak tumbuh begitu saja?? Kita sama-sama tau lingkungan kita bagaimana (TV, media, masyarakat,…) Siapa lagi kalau bukan kita, wahai para ibu -atau calon ibu-?
Setelah kita memahami besarnya peran dan tanggung jawab seorang ibu sebagai seorang pendidik, melihat realita yang ada sekarang sepertinya keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang mereka sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah terkotori dengan syirik atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah tidak mengerjakannya… Bagaimana mungkin pekerjaan menancapkan tauhid di dada-dada generasi muslim bisa dibandingkan dengan gaji jutaan rupiah di perusahaan bonafit? Sungguh! sangat jauh perbandingannya.
Anehnya lagi, banyak ibu-ibu yang sebenarnya tinggal di rumah namun tidak juga mereka memperhatikan pendidikan anaknya, bagaimana kepribadian anak mereka dibentuk. Penulis sempat sebentar tinggal di daerah yang sebagian besar ibu-ibu nya menetap di rumah tapi sangat acuh dengan pendidikan anak-anak mereka. Membesarkan anak seolah hanya sekedar memberinya makan. Sedih!
Padahal anak adalah investasi bagi orang tua di dunia dan akhirat! Setiap upaya yang kita lakukan demi mendidiknya dengan ikhlas adalah suatu kebajikan. Setiap kebajikan akan mendapat balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak inginkah hari kita terisi dengannya? Atau memang yang kita inginkan adalah kesuksesan karir anak kita, meraih hidup yang berkecukupan, cukup untuk membeli rumah mewah, cukup untuk membeli mobil mentereng, cukup untuk membayar 10 pembantu, mempunyai keluarga yang bahagia, berakhir pekan di villa. Tanpa memperhatikan bagaimana aqidah, bagaimana ibadah, asal tidak bertengkar dan bisa senyum dan tertawa ria di rumah, disebutlah itu dengan bahagia.
Ketika usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan tubuh ini hanya mampu berbaring dan tak bisa bangkit dari ranjang untuk sekedar berjalan. Siapa yang mau mengurus kita kalau kita tidak pernah mendidik anak-anak kita? Bukankah mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang dulu pernah kita banggakan, atau mungkin sedang asik dengan istri dan anak-anak mereka?
Ketika malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur, ketika diri sangat membutuhkan doa padahal pada hari itu diri ini sudah tidak mampu berbuat banyak karena pintu amal telah ditutup, siapakah yang mendoakan kita kalau kita tidak pernah mengajari anak-anak kita?
Lalu…
Masihkah kita mengatakan jabatan ibu rumah tangga dengan kata `cuma'? dengan tertunduk dan suara lirih karena malu?
Wallahu a'lam
Maroji':
1. Dapatkan Hak-Hakmu, Wahai Muslimah oleh Ummu Salamah as Salafiyyah. Judul asli: Al-Intishaar li Huquuqil Mu'minaat
2. Mendidik Anak bersama Nabi oleh Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid. Judul Asli: Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah lit-Thifl
3. Majalah Al Furqon Edisi: 8 Tahun V/Rabi'ul Awwal 1427/April 2006
ps : Idealisme normatif atau realistiskah ditengah kejamnya fitnah dunia ini, bagai buah simalakama
Penulis: Ummu Ayyub
Muroja'ah: Ust Abu Ahmad
Hebat rasanya ketika mendengar ada seorang wanita lulusan sebuah universitas ternama telah bekerja di sebuah perusahaan bonafit dengan gaji jutaan rupiah per bulan. Belum lagi perusahaan sering menugaskan wanita tersebut terbang ke luar negri untuk menyelesaikan urusan perusahaan. Tergambar seolah kesuksesan telah dia raih. Benar seperti itukah?
Kebanyakan orang akan beranggapan demikian. Sesuatu dikatakan sukses lebih dinilai dari segi materi sehingga jika ada sesuatu yang tidak memberi nilai materi akan dianggap remeh. Cara pandang yang demikian membuat banyak dari wanita muslimah bergeser dari fitrohnya. Berpandangan bahwa sekarang sudah saatnya wanita tidak hanya tinggal di rumah menjadi ibu, tapi sekarang saatnya wanita `menunjukkan eksistensi diri' di luar. Menggambarkan seolah-olah tinggal di rumah menjadi seorang ibu adalah hal yang rendah.
Kita bisa dapati ketika seorang ibu rumah tangga ditanya teman lama "Sekarang kerja dimana?" rasanya terasa berat untuk menjawab, berusaha mengalihkan pembicaraan atau menjawab dengan suara lirih sambil tertunduk "Saya adalah ibu rumah tangga". Rasanya malu! Apalagi jika teman lama yang menanyakan itu "sukses" berkarir di sebuah perusahaan besar. Atau kita bisa dapati ketika ada seorang muslimah lulusan universitas ternama dengan prestasi bagus atau bahkan berpredikat cumlaude hendak berkhidmat di rumah menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anak, dia harus berhadapan dengan "nasehat" dari bapak tercintanya: "Putriku! Kamu kan sudah sarjana, cumlaude lagi! Sayang kalau cuma di rumah saja ngurus suami dan anak." Padahal, putri tercintanya hendak berkhidmat dengan sesuatu yang mulia, yaitu sesuatu yang memang menjadi tanggung jawabnya. Disana ia ingin mencari surga.
Ibu Sebagai Seorang Pendidik
Syaikh Muhammad bin Shalih al `Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa perbaikan masyarakat bisa dilakukan dengan dua cara: Pertama, perbaikan secara lahiriah, yaitu perbaikan yang berlangsung di pasar, masjid, dan berbagai urusan lahiriah lainnya. Hal ini banyak didominasi kaum lelaki, karena merekalah yang sering nampak dan keluar rumah. Kedua, perbaikan masyarakat di balik layar, yaitu perbaikan yang dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peran ini diserahkan pada kaum wanita sebab wanita merupakan pengurus rumah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wa ta'ala yang artinya:
"Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. " (QS. Al-Ahzab: 33)
Pertumbuhan generasi suatu bangsa adalah pertama kali berada di buaian para ibu. Ini berarti seorang ibu telah mengambil jatah yang besar dalam pembentukan pribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar! Mengajari mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah, menancapkan tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecintaan pada Al Quran dan As Sunah sebagai pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan pada Al Haq, mengajari mereka bagaimana beribadah pada Allah yang telah menciptakan mereka, mengajari mereka akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka bagaimana menjadi pemberani tapi tidak sombong, mengajari mereka untuk bersyukur, mengajari bersabar, mengajari mereka arti disiplin, tanggung jawab, mengajari mereka rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi. Termasuk di dalamnya hal yang menurut banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang kecil dan remeh, seperti mengajarkan pada anak adab ke kamar mandi. Bukan hanya sekedar supaya anak tau bahwa masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal semacam itu bisa menjadi kebiasaan yang lekat padanya. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk membiasakannya.
Sebuah Tanggung Jawab
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan- Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. " (QS. At Tahrim: 6)
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang artinya: "Peliharalah dirimu dan keluargamu!" di atas menggunakan Fi'il Amr (kata kerja perintah) yang menunjukkan bahwa hukumnya wajib. Oleh karena itu semua kaum muslimin yang mempunyai keluarga wajib menyelamatkan diri dan keluarga dari bahaya api neraka.
Tentang Surat At Tahrim ayat ke-6 ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu `anhu berkata, "Ajarkan kebaikan kepada dirimu dan keluargamu." (Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak-nya (IV/494), dan ia mengatakan hadist ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim, sekalipun keduanya tidak mengeluarkannya)
Muqatil mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah, setiap muslim harus mendidik diri dan keluarganya dengan cara memerintahkan mereka untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan maksiat.
Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa beberapa ulama mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta'ala akan meminta pertanggungjawaban setiap orang tua tentang anaknya pada hari kiamat sebelum si anak sendiri meminta pertanggungjawaban orang tuanya. Sebagaimana seorang ayah itu mempunyai hak atas anaknya, maka anak pun mempunyai hak atas ayahnya. Jika Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Kami wajibkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya." (QS. Al Ankabut: 7), maka disamping itu Allah juga berfirman, "Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang berbahan bakar manusia dan batu." (QS. At Tahrim: 6)
Ibnu Qoyyim selanjutnya menjelaskan bahwa barang siapa yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang bermanfaat baginya, lalu ia membiarkan begitu saja, berarti telah melakukan kesalahan besar. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua yang acuh tak acuh terhadap anak mereka, tidak mau mengajarkan kewajiban dan sunnah agama. Mereka menyia-nyiakan anak ketika masih kecil sehingga mereka tidak bisa mengambil keuntungan dari anak mereka ketika dewasa, sang anak pun tidak bisa menjadi anak yang bermanfaat bagi ayahnya.
Adapun dalil yang lain diantaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala yang artinya:
"dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat." (QS asy Syu'ara': 214)
Abdullah bin Umar radhiyallahu `anhuma mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu `alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Kaum lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya di rumah, dia bertanggung jawab atas keluarganya. Wanita pun pemimpin yang mengurusi rumah suami dan anak-anaknya. Dia pun bertanggung jawab atas diri mereka. Budak seorang pria pun jadi pemimpin mengurusi harta tuannya, dia pun bertanggung jawab atas kepengurusannya. Kalian semua adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. " (HR. Bukhari 2/91)
Dari keterangan di atas, nampak jelas bahwa setiap insan yang ada hubungan keluarga dan kerabat hendaknya saling bekerja sama, saling menasehati dan turut mendidik keluarga. Utamanya orang tua kepada anak, karena mereka sangat membutuhkan bimbingannya. Orang tua hendaknya memelihara fitrah anak agar tidak kena noda syirik dan dosa-dosa lainnya. Ini adalah tanggung jawab yang besar yang kita akan dimintai pertanggungjawaban tentangnya.
Siapa Menanam, Dia akan Menuai Benih
Bagaimana hati seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh? Ketika tabungan anak kita yang usia 5 tahun mulai menumpuk, "Mau untuk apa nak, tabungannya? " Mata rasanya haru ketika seketika anak menjawab "Mau buat beli CD murotal, Mi!" padahal anak-anak lain kebanyakan akan menjawab "Mau buat beli PS!" Atau ketika ditanya tentang cita-cita, "Adek pengen jadi ulama!" Haru! mendengar jawaban ini dari seorang anak tatkala ana-anak seusianya bermimpi "pengen jadi Superman!"
Jiwa seperti ini bagaimana membentuknya? Butuh seorang pendidik yang ulet dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang yang sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan tawakal dan bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Lalu… jika seperti ini, bisakah kita begitu saja menitipkannya pada pembantu atau membiarkan anak tumbuh begitu saja?? Kita sama-sama tau lingkungan kita bagaimana (TV, media, masyarakat,…) Siapa lagi kalau bukan kita, wahai para ibu -atau calon ibu-?
Setelah kita memahami besarnya peran dan tanggung jawab seorang ibu sebagai seorang pendidik, melihat realita yang ada sekarang sepertinya keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang mereka sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah terkotori dengan syirik atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah tidak mengerjakannya… Bagaimana mungkin pekerjaan menancapkan tauhid di dada-dada generasi muslim bisa dibandingkan dengan gaji jutaan rupiah di perusahaan bonafit? Sungguh! sangat jauh perbandingannya.
Anehnya lagi, banyak ibu-ibu yang sebenarnya tinggal di rumah namun tidak juga mereka memperhatikan pendidikan anaknya, bagaimana kepribadian anak mereka dibentuk. Penulis sempat sebentar tinggal di daerah yang sebagian besar ibu-ibu nya menetap di rumah tapi sangat acuh dengan pendidikan anak-anak mereka. Membesarkan anak seolah hanya sekedar memberinya makan. Sedih!
Padahal anak adalah investasi bagi orang tua di dunia dan akhirat! Setiap upaya yang kita lakukan demi mendidiknya dengan ikhlas adalah suatu kebajikan. Setiap kebajikan akan mendapat balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak inginkah hari kita terisi dengannya? Atau memang yang kita inginkan adalah kesuksesan karir anak kita, meraih hidup yang berkecukupan, cukup untuk membeli rumah mewah, cukup untuk membeli mobil mentereng, cukup untuk membayar 10 pembantu, mempunyai keluarga yang bahagia, berakhir pekan di villa. Tanpa memperhatikan bagaimana aqidah, bagaimana ibadah, asal tidak bertengkar dan bisa senyum dan tertawa ria di rumah, disebutlah itu dengan bahagia.
Ketika usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan tubuh ini hanya mampu berbaring dan tak bisa bangkit dari ranjang untuk sekedar berjalan. Siapa yang mau mengurus kita kalau kita tidak pernah mendidik anak-anak kita? Bukankah mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang dulu pernah kita banggakan, atau mungkin sedang asik dengan istri dan anak-anak mereka?
Ketika malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur, ketika diri sangat membutuhkan doa padahal pada hari itu diri ini sudah tidak mampu berbuat banyak karena pintu amal telah ditutup, siapakah yang mendoakan kita kalau kita tidak pernah mengajari anak-anak kita?
Lalu…
Masihkah kita mengatakan jabatan ibu rumah tangga dengan kata `cuma'? dengan tertunduk dan suara lirih karena malu?
Wallahu a'lam
Maroji':
1. Dapatkan Hak-Hakmu, Wahai Muslimah oleh Ummu Salamah as Salafiyyah. Judul asli: Al-Intishaar li Huquuqil Mu'minaat
2. Mendidik Anak bersama Nabi oleh Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid. Judul Asli: Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah lit-Thifl
3. Majalah Al Furqon Edisi: 8 Tahun V/Rabi'ul Awwal 1427/April 2006
ps : Idealisme normatif atau realistiskah ditengah kejamnya fitnah dunia ini, bagai buah simalakama
Jumat, 19 Mei 2017
Nice Home Work #1 Adab Menuntut Ilmu
MATRIKULASI IBU PROFESIONAL BATCH
#4
NICE HOMEWORK #1
ADAB MENUNTU ILMU
1. Tentukan
satu jurusan ilmu yang akan anda tekuni di universitas kehidupan ini.
2. Alasan
terkuat apa yang anda miliki sehingga ingin menekuni ilmu tersebut.
3. Bagaimana
strategi menuntut ilmu yang akan anda rencanakan di bidang tersebut?
4. Berkaitan
dengan adab menuntut ilmu , perubahan sikap apa saja yang anda perbaiki dalam
proses mencari ilmu tersebut.
Menuntut ilmu adalah salah satu
cara meningkatkan kemuliaan hidup kita,
maka carilah dengan cara cara yang mulia.
Setelah materi adab menuntut ilmu
kemarin, ini nice home work nya.
Satu jurusan ilmu yang akan saya
tekuni di universitas kehidupan ini
salah satunya yaitu ilmu menulis atau writing. Baik itu menulis fiksi maupun non fiksi atau ilmiah.
Mengapa saya ingin menekuni ilmu
menulis ini dan alasan apa yang saya miliki, tiada lain dan tiada bukan adalah
karena sehari-hari saya berada tidak jauh di dunia yang berkaitan dengan ilmu
menulis itu sendiri. Yah, saya kerja di perpustakaan dengan banyak sumber
literatur. Dalam hati saya, setidaknya saya harus punya buku dengan tulisan
sendiri sekurang-kurangnya 1 ( satu) buku di dalam hidup saya. Mudah-mudahan
tidak hanya satu dalam seumur hidup saya, akan tetapi satu buku dalam setiap
tahun. Aamiin.
Strategi menuntut ilmu menulis
yang akan saya rencanakan tersebut. Salah satunya yaitu dengan ikut pelatihan
menulis. Mencari guru menulis. Ikut dalam
grup kelompok menulis. Dan latihan menulis.
Berkaitan dengan adab menuntut
ilmu. Perubahan sikap yang saya perbaiki dalam proses mencari ilmu menulis ini
adalah pertama ilmu itu sendiri. Ilmu untuk menuntut ilmu itu sendiri yaitu
ilmu menulis. Jika ilmu itu adalah cahaya dari Sang pemilik ilmu , maka saya
memohon untuk diberikan cahaya ilmu menulis, diberikan hidayah yaitu dengan
membersihkan niat dari hal-hal yang buruk, dan menghindari dari terhalangnya
masuknya ilmu.
Selalu bergegas dalam mengikuti
ilmu menulis. Semoga saya dapat selalu mengikuti pelatihan ataupun workshop
menulis baik yang diadakan oleh IIP maupun dari yang lainnya. Dan dapat dengan
segera mengamalkan ilmu menulis dengan mengulang-ulang, latihan, dan dihindari
dari sikap merasa lebih tahu.
Kemudian yang lainnya yaitu dengan
mengikuti pelatihan, otomatis kita akan mendapatkan guru yang sudah pengalaman
menulis dan berusaha untuk mendapatkan ridhonya dan menaruh rasa hormat
kepadanya
Berkaitan dengan sumber ilmu. Saya
tentunya tidak akan menggunakan sumber ilmu yang tidak jelas diketahui
asal-usulnya. Dalam hal ini , referensi merupakan hal yang sangat penting. Tidak
mendukung perbuatan plagiator, bersifat kritis, tidak mudah percaya dalam menerima
informasi yang datang sebelum paham sumber ilmunya. Menulis juga dalam rangka
menyebarkan ilmu. Dalam hal ini adab menyebarkan ilmu juga terkait didalamnya. Semoga
dalam menuntut ilmu menulis nantinya diberikan keberkahan, sehingga dapat
mendatangkan kebaikan bagi semua.
Senin, 24 April 2017
Era Kebijaksanaan
“Kang, saya sudah menutup semua akun media sosial saya. Saya puyeng
dengan banyaknya berita yang berseliweran. Saya terutama dipusingkan
dengan banyak berita bohong, fitnah, kebencian, dan ketidakjelasan
lainnya. Saya lebih baik ‘puasa medsos’.” Kata seorang sahabat suatu
sore.
Keengganan teman saya ini bisa jadi bukan sendirian. Saya pikir masih banyak orang seperti dia. Sebagai bagian dari kaum “digital stranger”, sejatinya orang-orang yang berusia diatas 35 tahun bisa jadi gagap terhadap keriuhan medsos. Dan itu menjadi wajar sebab mereka kurang mampu membedakan mana dunia realitas mana yang bersifat imajinasi. Mana yang nyata mana yang maya.
Kata seorang sahabat, kondisi ini terjadi karena kaum ini dibesarkan sebagai generasi pengetahuan. Mereka didik untuk mampu mengumpulkan sebanyak mungkin informasi. Sebab, paradigmanya adalah orang yang menguasai informasi, orang yang menguasai pengetahuan, adalah orang yang cerdas. Dan orang cerdas akan mampu berkuasa.
Sayangnya paradigma era sekarang ini telah berubah. Informasi begitu mudah didapat. Pengetahuan tinggal diklik di laptop, gawai, atau berbagai device lainnya. Siapa pun akan mudah mengaksesnya. Informasi menyerbu kita dari sejak bangun tidur sampai memejamkan mata. Artinya, informasi dan pengetahuan tidak lagi eksklusif. Semua memilikinya. Dan itu berarti yang punya informasi bukan lagi kaum berkuasa.
Lantas apa yang perlu dilakukan oleh kaum asing di dunia digital ini? Saya jadi teringat sebuah tulisan, “Jika manusia diumpamakan sebagai sebuah bangunan, saat ini fondasinya telah terguncang; ornamen dan dekorasinya sangat baik, tetapi dasarnya rapuh. Kita harus memperbaiki fondasi yang rapuh untuk menyelamatkan masa depan.” Dan fondasi itu adalah kebijaksanaan dalam menyikapi informasi. Tabik. (#catatanHK, ngacapruk malam).
http://www.islamic-bookfair.com/era-kebijaksanaan/
Keengganan teman saya ini bisa jadi bukan sendirian. Saya pikir masih banyak orang seperti dia. Sebagai bagian dari kaum “digital stranger”, sejatinya orang-orang yang berusia diatas 35 tahun bisa jadi gagap terhadap keriuhan medsos. Dan itu menjadi wajar sebab mereka kurang mampu membedakan mana dunia realitas mana yang bersifat imajinasi. Mana yang nyata mana yang maya.
Kata seorang sahabat, kondisi ini terjadi karena kaum ini dibesarkan sebagai generasi pengetahuan. Mereka didik untuk mampu mengumpulkan sebanyak mungkin informasi. Sebab, paradigmanya adalah orang yang menguasai informasi, orang yang menguasai pengetahuan, adalah orang yang cerdas. Dan orang cerdas akan mampu berkuasa.
Sayangnya paradigma era sekarang ini telah berubah. Informasi begitu mudah didapat. Pengetahuan tinggal diklik di laptop, gawai, atau berbagai device lainnya. Siapa pun akan mudah mengaksesnya. Informasi menyerbu kita dari sejak bangun tidur sampai memejamkan mata. Artinya, informasi dan pengetahuan tidak lagi eksklusif. Semua memilikinya. Dan itu berarti yang punya informasi bukan lagi kaum berkuasa.
Lantas apa yang perlu dilakukan oleh kaum asing di dunia digital ini? Saya jadi teringat sebuah tulisan, “Jika manusia diumpamakan sebagai sebuah bangunan, saat ini fondasinya telah terguncang; ornamen dan dekorasinya sangat baik, tetapi dasarnya rapuh. Kita harus memperbaiki fondasi yang rapuh untuk menyelamatkan masa depan.” Dan fondasi itu adalah kebijaksanaan dalam menyikapi informasi. Tabik. (#catatanHK, ngacapruk malam).
http://www.islamic-bookfair.com/era-kebijaksanaan/
Kedangkalan Literasi
Apa sih Literasi itu? National Institute for Literacy,
mendefinisikan Literasi sebagai kemampuan individu untuk membaca,
menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat
keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.
Education Development Center (EDC) menyatakan bahwa literasi lebih dari sekedar kemampuan baca tulis. Namun lebih dari itu, literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya. Dengan pemahaman bahwa literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia.
Membaca memang akar dari literasi. Tanpa membaca, kita tergagap-gagap memahami dunia. Sayangnya hanya ada 1 dari 1.000 orang Indonesia yang membaca buku secara rutin. Ini pekerjaa rumah yang cukup besar bagi bangsa ini. Dan hebohnya hoax adalah bukti bangsa ini tidak punya kemampuan saring sebelum sharing. Bukti pendeknya pikiran dan dangkalnya pemahaman.
Lantas apa yang bisa kita perbuat? Apakah kita kita masih perlu mengejar ketinggalan dari bangsa lain? Sepertinya jargon itu sudah kehilangan ruhnya. Sebab, secepat-cepatnya kita mengejar, bangsa lain akan selalu di depan. Sebab bangsa lain tidaklah diam. Kita jadinya sibuk mengejar mimpi orang lain. Dan kita tetap ngos-ngosan mengejar di belakangnya. Kita tetap akan menjadi follower, tanpa pernah menjadi leader.
Untuk menjadi leader, bangsa ini harusnya punya impian hebat atau punya musuh bersama. Sebab, itulah yang akan mampu menyatukan semua potensi bangsa ini. Kalau impian hebat belum punya, sejatinya kita menciptakan musuh bersama. Dan siapa musuh bersama itu?
Sepertinya kedangkalan kemampuan literasi bangsa ini layak dijadikan musuh bersama. Sebab, UNESCO menjelaskan bahwa kemampuan literasi merupakan hak setiap orang dan merupakan dasar untuk belajar sepanjang hayat. Kemampuan literasi dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Salam literasi. #catatanHK, ngacapruk subuh.
http://www.islamic-bookfair.com/kedangkalan-literasi/
Education Development Center (EDC) menyatakan bahwa literasi lebih dari sekedar kemampuan baca tulis. Namun lebih dari itu, literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya. Dengan pemahaman bahwa literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia.
Membaca memang akar dari literasi. Tanpa membaca, kita tergagap-gagap memahami dunia. Sayangnya hanya ada 1 dari 1.000 orang Indonesia yang membaca buku secara rutin. Ini pekerjaa rumah yang cukup besar bagi bangsa ini. Dan hebohnya hoax adalah bukti bangsa ini tidak punya kemampuan saring sebelum sharing. Bukti pendeknya pikiran dan dangkalnya pemahaman.
Lantas apa yang bisa kita perbuat? Apakah kita kita masih perlu mengejar ketinggalan dari bangsa lain? Sepertinya jargon itu sudah kehilangan ruhnya. Sebab, secepat-cepatnya kita mengejar, bangsa lain akan selalu di depan. Sebab bangsa lain tidaklah diam. Kita jadinya sibuk mengejar mimpi orang lain. Dan kita tetap ngos-ngosan mengejar di belakangnya. Kita tetap akan menjadi follower, tanpa pernah menjadi leader.
Untuk menjadi leader, bangsa ini harusnya punya impian hebat atau punya musuh bersama. Sebab, itulah yang akan mampu menyatukan semua potensi bangsa ini. Kalau impian hebat belum punya, sejatinya kita menciptakan musuh bersama. Dan siapa musuh bersama itu?
Sepertinya kedangkalan kemampuan literasi bangsa ini layak dijadikan musuh bersama. Sebab, UNESCO menjelaskan bahwa kemampuan literasi merupakan hak setiap orang dan merupakan dasar untuk belajar sepanjang hayat. Kemampuan literasi dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Salam literasi. #catatanHK, ngacapruk subuh.
http://www.islamic-bookfair.com/kedangkalan-literasi/
Langganan:
Postingan (Atom)