Senin, 24 April 2017

Era Kebijaksanaan

“Kang, saya sudah menutup semua akun media sosial saya. Saya puyeng dengan banyaknya berita yang berseliweran. Saya terutama dipusingkan dengan banyak berita bohong, fitnah, kebencian, dan ketidakjelasan lainnya. Saya lebih baik ‘puasa medsos’.” Kata seorang sahabat suatu sore.

Keengganan teman saya ini bisa jadi bukan sendirian. Saya pikir masih banyak orang seperti dia. Sebagai bagian dari kaum “digital stranger”, sejatinya orang-orang yang berusia diatas 35 tahun bisa jadi gagap terhadap keriuhan medsos. Dan itu menjadi wajar sebab mereka kurang mampu membedakan mana dunia realitas mana yang bersifat imajinasi. Mana yang nyata mana yang maya.

Kata seorang sahabat, kondisi ini terjadi karena kaum ini dibesarkan sebagai generasi pengetahuan. Mereka didik untuk mampu mengumpulkan sebanyak mungkin informasi. Sebab, paradigmanya adalah orang yang menguasai informasi, orang yang menguasai pengetahuan, adalah orang yang cerdas. Dan orang cerdas akan mampu berkuasa.

Sayangnya paradigma era sekarang ini telah berubah. Informasi begitu mudah didapat. Pengetahuan tinggal diklik di laptop, gawai, atau berbagai device lainnya. Siapa pun akan mudah mengaksesnya. Informasi menyerbu kita dari sejak bangun tidur sampai memejamkan mata. Artinya, informasi dan pengetahuan tidak lagi eksklusif. Semua memilikinya. Dan itu berarti yang punya informasi bukan lagi kaum berkuasa.

Lantas apa yang perlu dilakukan oleh kaum asing di dunia digital ini? Saya jadi teringat sebuah tulisan, “Jika manusia diumpamakan sebagai sebuah bangunan, saat ini fondasinya telah terguncang; ornamen dan dekorasinya sangat baik, tetapi dasarnya rapuh. Kita harus memperbaiki fondasi yang rapuh untuk menyelamatkan masa depan.” Dan fondasi itu adalah kebijaksanaan dalam menyikapi informasi. Tabik. (#catatanHK, ngacapruk malam).

 http://www.islamic-bookfair.com/era-kebijaksanaan/