Senin, 06 Januari 2014

Pernik pernikahan: menyikapi perbedaan

         Setiap orang yang menikah memiliki idealisme masing-masing tentang apa tujuan mereka berumah tangga dan bagaimana seharusnya ia dan pasangannya membangun rumah tangga mereka. Begitu pun saya dan suami. Kami memiliki idealisme tentang kemana dan bagaimana Keluarga ini akan berlayar. Kami bersyukur karena sejak awal, kami memiliki idealisme yang sesuai satu sama lain. Dengan adanya kesesuaian idealisme tersebut, kami bisa berharap bahwa rumah tangga yang kami jalani akan terhindar dari masalah-masalah prinsipil seperti perbedaan agama, perbedaan persepsi tentang berkeluarga, perbedaan tujuan berkeluarga, perbedaan persepsi tentang peran istri dan suami, dan masalah-masalah lain yang menurut kami masuk pada ranah prinsip hidup. Dan harapan kami sejauh ini dapat terlihat wujudnya. Tidak ada perbedaan yang sifatnya prinsipil yang bisa saja berpengaruh secara signifikan terhadap keharmonisan rumah tangga.Tetapi, menurut Ibu saya dalam kehidupan rumah tangga, justru seringnya masalah timbul akibat perbedaan yang sifatnya tidak prinsipil, alias perbedaan yang dapat dikatakan sepeleDan itu sering kami alami (pasti dialami pula oleh pasangan-pasangan lainnya). 


       Perbedaan-perbedaan sepele seperti itu banyak jumlahnya. Sifatnya sepele sekali, dari mulai perbedaan cara melipat baju, cara menjemur cucian, cara menamai masakan tertentu, cara tidur, dan lain sebagainya. Kemudian kami menjadi sangat kagum pada mereka yang menikahi orang dengan suku, atau kewarganegaraan, atau agama, yang berbeda dengan dirinya. It must be not easy.Spradely (Antropolog) bilang bahwa setiap kelompok budaya memandang semesta dengan kacamata yang berbeda-beda. Realita yang ada dikonstruksi melalui suatu proses yang kompleks, dimulai dari bagaimana manusia membentuk persepsi terhadap peristiwa yang terjadi disekitarnya. Persepsi tersebut merupakan representasi mental yang tidak bisa dirasakan secara langsung, tapi dapat diamati melalui perilaku simbolik. Peristiwa yang terjadi tersebut kemudian menjadi suatu tanda (sign)dalam persepsi manusia dan dimaknai sebagai simbol. Untuk mengatur perilaku simbolik itulah dibutuhkan aturan (rule). Ketika dua kebudayaan dengan dua aturan yang berbeda bertemu, bisa jadi menimbulkan clash atau benturanSederhananya begini, kalau ada dua orang yang memiliki perbedaan budaya bernaung dalam suatu institusi bernama ‘pernikahan’ dan harus komitmen seumur hidupnya, penyesuaian antar keduanya pasti sulit. Karena mereka membawa dua persepsi, perilaku simbolik, dan konsep yang berbeda dari masing-masing keluarga besar. Behavior’ keduanya bahkan terbentuk dari kecil, dan bisa jadi ada sesuatu yang given yang sangat sulit untuk diubah. Masalah akan timbul ketika ada perilaku yang tidak disenangi. Akan tetapi, bukan berarti mereka tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan baru, atau tidak bisa menerima hal-hal yang tidak disenanginya.

             Pengalaman orang tua saya, waktu satu atau dua tahun itu belum cukup untuk sampai pada titik menerima. Makanya wajar kalau dalam kognisi manusia cinta dan benci itu beda tipis. Contohnya, ketika kita mendengar lagu yang tidak kita senangi, rasa benci itu akan terus kita rekam dalam kognisi kita dan membuat kita bersenandung atau terngiang-ngiang tanpa sadar. Sering kan kita berkata, “ini kenapa gue jadi nyanyi lagu ini terus?” Lama-lama bisa jadi malah suka.

         Dalam rumah tangga, rasa-rasa tidak suka itu harus disesuaikan melalui suatu proses yang panjang. Contoh sederhananya begini. saya tidak senang karena suami sering nyasaran. Pada mulanya saya sangat kesal, tetapi akan ada titik di mana masing-masing pihak menerima dengan lapang. Saat salah satunya ketika sedang berpisah, Hal-hal buruk yang paling terekam dalam kognisi itu malah akan menjadi yang paling dirindukan, karena paling sering dipermasalahkan, hehe


         Mungkin memang benar bahwa untuk mengikat senyawa dua unsur yang berbeda itu dibutuhkan konflik-konflik kecil (atau malah besar), agar hidup menjadi lebih dinamis. Ibaratnya, kalau kata suami saya, dua orang itu kadang butuh jarak, biar cinta masing-masing memberontak #eaaaa

         Tentu perbedaan antar pasangan harus disikapi sebagai sesuatu yang wajar terjadi, justru aneh jika kita menemukan pasangan yang sama persis dengan diri kita. Dan seperti kesimpulan yang sering disampaikan kaum moderat, semua dikembalikan pada masing-masing individu, ambil saja hikmahnya.Ya, dengan menikah, kami bisa lebih banyak belajar bagaimana menyikapi perbedaan. Kami bisa lebih banyak belajar menekan egoisme yang ada pada diri masing-masing. Kami bisa lebih banyak belajar untuk tidak memperbesar masalah-masalah sepele. Dan yang terpenting, kami bisa lebih banyak belajar untuk berkolaborasi demi mencapai tujuan berumah tangga yang telah sama-sama kami sepakati.

          Prinsipnya, jangan sampai  hal sepele merusak pondasi yang sudah dibangun bersama-sama. Disinilah kami juga menjadi memahami pentingnya membangun idealisme yang kuat tentang berumah tangga dan pentingnya menikahi seseorang yang memiliki idealisme yang juga kuat untuk berumah tangga. Termasuk dalam menentukan tujuan berumah tangga. Tujuan yang sama dan besar akan berfungsi sebagai pengingat manakala terjadi perbedaan-perbedaan sepele yang menyebabkan badai dan guncangan dalam rumah tangga. Pengingat bahwa tujuan yang diimpikan bersama jauh lebih besar daripada masalah yang dihadapi. Jika demikian, sebanyak atau separah apapun perbedaan-perbedaan ‘sepele’ terjadi, tidak akan berpengaruh besar karena rumah tangga tersebut dibangun karena adanya kesamaan tujuan, dan tujuannya sama-sama besar. Pernikahan ibarat sebuah gunung. Dari jauh kita memandangnya begitu indah dan kita ingin sekali mencapai puncaknya. Namun ketika kita mendekat, kita menyadari bahwa untuk mencapai puncak kita harus melalui jalan yang terjal dan berliku. Tidak semua orang mau bersusah payah berkorban melaluinya. Tapi, apakah kamu rela menyerah padahal keindahan puncak sudah jelas-jelas dijanjikan?

*)Atas permintaan yang bersangkutan, nama pengirim tidak disertakan
 
 
..."Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholihah"...[HR. Muslim]

please visit our weblog:
http://ppmimuska.wordpress.com
http://muslimahkorea.multiply.com