Selasa, 12 November 2013

RIZKI, TIDAK MESTI BERWUJUD MATERI


Di dalam Lisan al 'Arab, Ibnu al Manzhur rahimahullah menjelaskan, ar rizqu, adalah sebuah kata yang sudah dimengerti maknanya, dan terdiri dari dua macam. Pertama, yang bersifat zhahirah (nampak terlihat), semisal bahan makanan pokok. Kedua, yang bersifat bathinah bagi hati dan jiwa, berbentuk pengetahuan dan ilmu-ilmu.[1]

Mengacu pada penjelasan Ibnu al Manzhur tersebut, maka hakikat rizki tidak hanya berwujud harta atau materi belaka seperti asumsi kebanyakan orang. Tetapi, yang dimaksud rizki adalah yang bersifat lebih umum dari itu. Semua kebaikan dan maslahat yang dinikmati seorang hamba terhitung sebagai rejeki. Hilangnya kepenatan pikiran, selamat dari kecelakaan lalu-lintas, atau bebas dari terjangkiti penyakit berat, semua ini merupakan contoh kongkret dari rizki. Bayangkan, apabila kejadian-kejadian itu menimpa pada diri kita, maka bisa dipastikan bisa menguras pundi-pundi uang yang kita miliki. Tidak jarang, tabungan menjadi ludes untuk mendapatkan kesembuhan. Imam an Nawawi rahimahullah mengisyaratkan makna tersebut dalam kitab Syarh Shahih Muslim (16/141).

Anugerah rizki Allah Subhanahu wa Ta'ala meliputi setiap makhluk hidup. Limpahan karunia itu cerminan rahmat dan kemurahanNya. Porsi rizki masing-masing manusia bahkan sudah ditentukan sejak dini, ketika manusia itu masih berupa janin berusia 120 hari.

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam hadits yang panjang :

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ ......ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ

"Sesungguhnya salah seorang dari kalian dihimpun penciptaannya di perut ibunya … lantas diutuslah malaikat dan meniupkan ruh padanya. Dan ia diperintah untuk menuliskan empat ketetapan, (yaitu) menulis rizki, ajal, amalan dan apakah ia (nanti) celaka atau bahagia …". [2]

Kendatipun rizki telah ditetapkan semenjak manusia berada di perut ibunya, tetapi Allah Subhanhu wa Ta'ala tidak menjelaskan secara detail. Tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui pendapatan rizki yang akan ia peroleh pada setiap harinya, ataupun selama hidupnya. Ini semua mengandung hikmah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا

"Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diperolehnya besok". [Luqman/31 : 34]

SPIRIT DARI AL QUR`AN
Langit tidak akan pernah menurunkan hujan berlian atawa emas perak. Laut pun tidak mengirimkan kekayaan perutnya ke daratan, sehingga orang-orang bisa beramai-ramai mengaisnya. Islam tidak menganjurkan pemeluknya untuk memerankan diri sebagai penganggur, meski dengan dalil untuk mengkonsentrasikan diri dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jadi, usaha itu merupakan keharusan. Tidak ada kependetaan atau kerahiban dalam Islam. Seorang muslim tidak selayaknya senang bergantung kepada orang lain, menunggu belas kasih dari orang-orang yang lalu-lalang melewatinya.

Renungkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung". [al Jumu’ah/62 : 10].

Al Qurthubi rahimahullah mengatakan: “Berpencarlah kalian di bumi untuk berdagang, dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kalian, serta untuk mencari sebagian dari rizki Allah Subhanahu wa Ta'ala ”.[3]

Allah Subhanahu wa Ta'alal berfirman :

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ

"Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah sebagian dari rizkiNya". [al Mulk/67 : 15].

Tentang ayat ini, Ibnu Katsir mengatakan : “Menyebarlah kemanapun kalian inginkan di penjuru-penjurunya, dan berkelilinglah di sudut-sudut, tepian dan wilayah-wilayahnya untuk menjalankan usaha dan perniagaan”. [4]

RIZKI HARUS HALAL
Al Qur`an dan Sunnah telah mendorong manusia agar mencari rizki yang halal lagi thayyib. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ

"Wahai manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, pakailah cara baik dalam mencari (rizki). Sesungguhnya seseorang tidak akan meninggal sampai ia sudah meraih seluruh (bagian) rizkinya, meskipun tertunda darinya. Bertakwalah kepada Allah dan lakukan cara yang baik dalam mencari (rizki)".[5]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengingatkan manusia, hendaknya berhati-hati dari fitnah harta. Jangan meremehkan pentingnya rizki yang halal, dan harus selektif dalam menghimpun rizki. Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan hadits marfu’ :

َ يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلَالِ أَمْ مِنْ الْحَرَامِ

"Akan datang suatu masa pada manusia, seseorang tidak peduli terhadap apa yang digenggamnya, apakah dari halal atau dari yang haram".[6]

BERKAH ITU PENTING!
Berkah (atau barokah), berasal dari kata الْبُرُوك (al buruk). Maksudnya ialah الثُّبُوت (ats tsubut atau menetap).

Az Zajjaj mengartikan berkah, sebagaimana dikutip oleh al Qurthubi dalam tafsirnya, dengan limpahan pada setiap hal yang mengandung kebaikan. Kata itu pun dimaksudkan pula kepada makna pertambahan dengan tetap terpeliharanya dzat aslinya.

Namun perlu dingat, pengertian berkah ini tidak melulu identik dengan limpahan materi yang dimiliki, tetapi juga menyertai harta yang sedikit. Hal ini tercermin pada diri yang merasa berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan satu keluarga, meskipun income yang didapatkan masih tergolong jauh jika dianggap cukup.

Dalam hadits Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu di bawah ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya :

يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ وَكَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ

"Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini begitu hijau lagi manis. Maka barangsiapa yang mengambilnya dengan kesederhanaan jiwa, niscaya akan diberkahi. Dan barangsiapa mengambilnya dengan kemuliaan jiwa, niscaya tidak diberkahi; layaknya orang yang makan, namun tidak pernah merasa kenyang".[8]

Tentang hadits ini, al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, bahwa mayoritas manusia tidak memahami keberadaan berkah, kecuali pada harta yang semakin bertambah banyak. Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan dengan permisalan itu, bahwa berkah merupakan salah satu makhluk Allah, dan membawakan permisalan yang sudah akrab dengan manusia. [9]

Dari sini kita bisa mengetahui, bahwa cara-cara yang legal dalam mengais rizki, tidak hanya mendatangkan rizki yang halal lagi thayyib, tetapi juga akan berpengaruh pada lahir insan-insan masa depan, yaitu anak-anak yang berjiwa suci lagi berkepribadian luhur, lantaran mendapatkan asupan gizi dari makanan halal. Selain itu, juga dapat menghadirkan karunia lain, yang tidak bisa terpantau oleh indera ataupun dihitung dengan materi. Itulah berkah.

TIGA PEMBAWA BERKAH PADA HARTA
Pertama : Syukur.
Kenikmatan yang didapatkan seseorang pada setiap datang, tidak terhitung jumlahnya, termasuk di antaranya harta benda. Kenikmatan ini menuntut seseorang untuk memanifestasikan syukur kepada al Khaliq yang telah melimpahkan rizki. Rasa syukur dan terima kasih serta pujian kepada Allah Azza wa Jalla atas nikmat itu, merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan berkah dan tambahan pada harta yang dimiliki.

Ibnul Qayyim berkata, "Allah menjadikan sikap bersyukur sebagai salah satu sebab bertambahnya rizki, pemeliharaan dan penjagaan atas nikmatNya (pada orang yang bersyukur). (Demikian ini merupakan) tangga bagi orang bersyukur menuju Dzat yang disyukuri. Bahkan hal itu menempatkannya menjadi yang disyukuri”. [10]

Syukur jangan dipahami secara sempit, atau hanya dengan lantunan kata "alhamdulillah" atau "wa asy syukru lillah". Syukur yang seperti ini tidaklah tepat, dan tidak pelak lagi, yang demikian itu merupakan pandangan yang terlalu dangkal. Syukur memiliki makna yang lebih jauh dan lebih luas dari sekedar ucapan tersebut. Segala perbuatan baik, seperti shalat, puasa, pengakuan kurang dalam menjalankan ketaatan, menghargai nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala , memperbincangkannya, menerima dengan ridha, walaupun sedikit, semuanya masuk dalam bentuk syukur. Dengan bersyukur, maka Allah akan menambahhkan karuniaNya kepada kita. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ

"Jika engkau bersyukur, niscaya Kami benar-benar akan menambahimu". [Ibrahim : 7].

Al Qurthubi menjelaskan, artinya, jika engkau mensyukuri nikmatKu, niscaya Aku tambahkan kepada kalian dari kemurahanKu. Ayat ini merupakan dalil yang tegas bahwa bersyukur menjadi factor yang akan menambah kenikmatan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. [11]

Kedua : Shadaqoh.
Tidak sedikit ayat dan hadits yang menjelaskan shadaqoh dan infak merupakan salah satu penunjang yang dapat mendatangkan rizki dan meraih berkah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

"Allah menghapuskan riba dan mengembangkan shadaqoh".[al Baqarah : 276].

Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala akan meningkatkannya di dunia ini dengan berkah dan memperbanyak pahalanya dengan melipatgandakannya di akhirat. [12]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Asma` bintu Abi Bakar Radhiyallahu 'anha :

أَنْفِقِي وَلَا تُحْصِي فَيُحْصِيَ اللَّهُ عَلَيْكِ

"Berinfaklah, janganlah engkau menahan diri, akibatnya Allah akan memutus (berkah) darimu". [13]

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,"Larangan dari menahan diri untuk bersedekah lantaran takut habis (apa yang dimiliki), sikap ini merupakan faktor paling yang mempengaruhi terhentinya keberkahan. Karena Allah membalas pahala infak tanpa ada batas hitungannya." [14]

As Sindi memaknai hadits di atas dengan mengatakan : "Janganlah engkau menahan apa yang ada di tanganmu, akibatnya Allah akan mempersulit pintu-pintu rizki. Dalam hadits ini terkandung pengertian, bahwa kedermawanan akan membuka pintu rizki, dan kikir adalah sebaliknya”.[15]

Al Mubarakfuri berkata, "Hadits ini menunjukkan, bahwa sedekah meningkatkan harta dan menjadi salah satu penyebab keberkahan dan pertambahannya; dan (menunjukkan pula), kalau orang yang bakhil, tidak bersedekah, (maka) Allah mempersulit dirinya dan menghambat keberkahan pada harta dan pertambahannya." [16]

Ketiga : Silaturahmi.
Usaha lain yang bisa mendukung bertambahnya rizki dan bisa mendatangkan keberkahan pada harta yang dimiliki, yaitu menyambung jalinan silaturahmi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

"Barangsiapa ingin dilapangkan dalam rizkinya dan ditunda ajalnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahmi".[17]

Hadits di atas menunjukkan manfaat menyambung tali silaturahmi, yaitu dapat mendatangkan curahan kebaikan dari Allah berbentuk rizki, terhindar dari keburukan, dan diraihnya keberkahan.

Al Hafizh rahiamhullah berkata : “Para ulama mengatakan, yang dimaksud dilapangkan rizkinya adalah, adanya keberkahan padanya. Sebab menyambung tali silaturahmi adalah sedekah, dan sedekah mengembangkan harta, sehingga semakin bertambah dan bersih”.[18]

Wa billahit taufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03//Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lisanu al ‘Arab, 10/1115.
[2]. HR Muslim, kitab al Qadr, bab Kaifa al Khalqu al Adami fi Bathni Ummi wa Kitabati Rizqihi, 4/ 2037-2038.
[3]. Al Jami’ li Ahkami al Qur`an (18/105).
[4]. Tafsir al Qur`ani al ‘Azhim (4/105), dengan ringkasan.
[5]. HR Ibnu Majah, kitab at Tijarat, bab al Iqtishad fi Thalabi al Ma’isyah (2/724), dan dishahihkan oleh al Albani.
[6]. HR al Bukhari, kitab al Buyu’, bab Man Lam Yubali min Haitsu Kasaba al Mal (4/296).
[7]. Al Jami’u Li Ahkami al Qur`an : 13/1 pada tafsir ayat pertama surat al Furqan.
[8]. HR al Bukhari, kitab az Zakat, bab al Isti’faf ‘an al Mas`alah (3/3350); Muslim, kitab az Zakat, bab Takhawwufi ma Yakhruju min Zahrati ad Dunya (2/727-729).
[9]. Fat-hul Bari (3/337)).
[10]. Madarijus Salikin (2/252) secara ringkas.
[11]. Al Jami’u li Ahkami al Qur`an (9/353).
[12]. Al Jami’u li Ahkami al Qur`an (14/41).
[13]. HR al Bukhari (3/299-300, 3/301, 5/217), Muslim (2/713), Abu Dawud (2/134), at Tirmidzi (6/94), an Nasaa-i (5/74).
[14]. Fat-hul Bari (3/301).
[15]. Hasyiyah as Sindi ‘ala Sunan an Nasaa-i (5/74-75)
[16]. Tuhfatul Ahwadi (6/94).
[17]. HR al Bukhari (4/301), (10/415).
[18]. Fathul Bari (4/303). 
 
__._,_.___




Agar Dikaruniai Anak

1. Perbanyaklah berdoa kepada Alloh.

Penuhi adab-adab berdoa. Diantaranya adalah, memulainya dengan menyebut Nama-nama Alloh. Yaa Rahman, Yaa Rahiim, Yaa Hayyu, Yaa Qayyum, Yaa Shomad. dst. Kemudian bersholawat kepada Nabi Shallallohu 'alaihi wa salam. Kemudian awali doa kita dengan memohon ampun, kemudian baru permintaan lainnya, seperti memohon keturunan, dll. Kemudian, doakan juga saudara-saudara kita. Jika kita menginginkan anak sholih, doakan saudara kita agar diberi anak yang sholih. Karena tiap kita mendoakan saudara kita, maka malaikat akan mendokan kita "dan semoga untukmu hal yang sama". Kemudian tutup doa kita dengan kembali membaca sholawat kepada Nabi Shollallohu 'alaihi wa sallam.

Maksimalkan waktu-waktu yang terbaik untuk berdoa. Diantara waktu tersebut adalah, diantara adzan dan iqomah, sepertiga malam terakhir khususnya di waktu sahur, di hari jumat, di waktu ashar, di saat sujud, pada saat tahiyat akhir, di saat safar, di waktu hujan. Terlebih negara kita adalah negara beriklim tropis, jadi hujan sangat sering, maka perbanyaklah doa di waktu-waktu tersebut. Karena keutamaan hujan ini tidak banyak terjadi seperti misalnya negara-negara timur tengah sana. Sungguh, ini anugerah besar yang Alloh berikan pada negara beriklim tropis, bisa sering-sering berdoa saat hujan. Apalagi kalau beberapa hal tersebut Qadarulloh menjadi satu. Dihari jumat, di waktu ashar, saat itu hujan turun, dan antum sedang safar.

Untuk penjelasan lebih detail tentang berdoa, baik tata cara dan lafadznya, bisa antum baca di buku Doa dan Wirid tulisan ustadz Yazid, terbitan Pustaka Imam Syafi'i.

Kemudian yakinlah dalam berdoa. Antum sudah melakukan amalan lahir yaitu berdoa. Tentunya diperlukan hadirnya hati ketika berdoa. Nah, hati merupakan ruh amal-amal lahir, sedangkan ruhnya hati, adalah yakin. Demikian penjelasan imam Ibnul Qayyim.

"Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami." (QS. As-Sajadah: 24)

Kemudian setelah yakin, sandingkanlah dengan sabar.

"Dan tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang sabar." (QS. Fushilat: 35)

2. Perbanyaklah Istighfar.

"maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai." (QS. Nuh: 10-12)

Perbanyaklah beristighfar kepada Alloh dalam sehari 70x atau 100x. Gunakan lafadz-lafadz istighfar yang sudah dicontohkan Nabi Shollallohu 'alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Demi Allah. Sungguh aku selalu beristighfar dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR. Bukhari)

“Wahai sekalian manusia. Taubatlah (beristigfar) kepada Allah karena aku selalu bertaubat kepada-Nya dalam sehari sebanyak 100 kali.” (HR. Muslim)

Diantara lafadz istighfar adalah,

Dari Ibnu Umar, beliau mengatakan bahwa jika kami menghitung dzikir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu majelis, beliau mengucapkan,

رَبِّ اغْفِرْ لِى وَتُبْ عَلَىَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

‘Robbigfirliy wa tub ‘alayya, innaka antat tawwabur rohim’ [Ya Allah ampunilah aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang] sebanyak 100 kali. (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 556)

Dan bacaan istighfar yang paling sempurna adalah penghulu istighfar (sayyidul istighfar) sebagaimana yang terdapat dalam shohih Al Bukhari dari Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Penghulu istighfar adalah apabila engkau mengucapkan,

اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ

“Allahumma anta robbi laa ilaha illa anta, kholaqtani wa ana ‘abduka wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu. A’udzu bika min syarri maa shona’tu, abuu-u laka bini’matika ‘alayya, wa abuu-u bi dzanbi, faghfirliy fainnahu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta"

[Ya Allah! Engkau adalah Rabbku, tidak ada Rabb yang berhak disembah kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau]. (HR. Bukhari no. 6306)

Dari artikel 'Nabi Tidak Pernah Bosan Beristighfar — Muslim.Or.Id'

Dan waktu yang utama untuk beristighfar adalah pada waktu sahur.

"dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Alloh)." (QS. Adz-Dzariyat: 18)

Bagaimana jika kedua hal ini digabungkan. Membaca sayyidul istighfar di waktu utama untuk istighfar.

Semoga Alloh memudahkan segala urusan kita, memberkahi dan mengaruniakan kita keturunan yang sholih dan sholihah. Barokallohu fiikum.

Allohu a'lam...

APABILA BELUM DIKARUNIAI ANAK


Allah Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu, Mahaadil, Maha Mengetahui, dan Mahabijaksana menganugerahkan anak kepada pasangan suami isteri, dan ada pula yang tidak diberikan anak. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَفِي رَوَايَةٍ : اقْسِمُوا الْمَالَ بَيْنَ أَهْلِ الْفَرَائِضِ عَلَ كِتَابِ اللَّهِ فَمَا تَرَكَتِ الْفَرَائِضُ فَئلأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۚ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا ۖ وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا ۚ إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ

“Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi; Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa.” [Asy-Syuuraa : 49-50]

Apabila sepasang suami isteri sudah menikah sekian lama namun ditakdirkan oleh Allah belum memiliki anak, maka janganlah ia berputus asa dari rahmat Allah ‘Azza wa Jalla. Hendaklah ia terus berdo’a sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam dan Zakariya ‘alaihis salaam telah berdo’a kepada Allah sehingga Allah ‘Azza wa Jalla mengabulkan do’a mereka.

Do’a mohon dikaruniai keturunan yang baik dan shalih terdapat dalam Al-Qur-an, yaitu:

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

“Ya Rabb-ku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.” [Ash-Shaaffaat : 100]

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“...Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.” [Al-Furqaan : 74]

رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ

“...Ya Rabb-ku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa keturunan) dan Engkau-lah ahli waris yang terbaik.” [Al-Anbiyaa' : 89]

رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

“...Ya Rabb-ku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar do’a.” [Ali ‘Imran : 38]

Suami isteri yang belum dikaruniai anak, hendaknya ikhtiar dengan berobat secara medis yang dibenarkan menurut syari’at, juga menkonsumsi obat-obat, makanan dan minuman yang menyuburkan. Juga dengan meruqyah diri sendiri dengan ruqyah yang diajarkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan terus menerus istighfar (memohon ampun) kepada Allah atas segala dosa. Serta senantiasa berdo’a kepada Allah di tempat dan waktu yang dikabulkan. Seperti ketika thawaf di Ka’bah, ketika berada di Shafa dan Marwah, pada waktu sa’i, ketika wuquf di Arafah, berdo’a di sepertiga malam yang akhir, ketika sedang berpuasa, ketika safar, dan lainnya.[10]

Apabila sudah berdo’a namun belum terkabul juga, maka ingatlah bahwa semua itu ada hikmahnya. Do’a seorang muslim tidaklah sia-sia dan Insya Allah akan menjadi simpanannya di akhirat kelak.

Janganlah sekali-kali seorang muslim berburuk sangka kepada Allah! Hendaknya ia senantiasa berbaik sangka kepada Allah. Apa yang Allah takdirkan baginya, maka itulah yang terbaik. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya, Mahabijaksana dan Mahaadil.

Bagi yang belum dikaruniai anak, gunakanlah kesempatan dan waktu untuk berbuat banyak kebaikan yang sesuai dengan syari’at, setiap hari membaca Al-Qur-an dan menghafalnya, gunakan waktu untuk membaca buku-buku tafsir dan buku-buku lain yang bermanfaat, berusaha membantu keluarga, kerabat terdekat, tetangga-tetangga yang sedang susah dan miskin, mengasuh anak yatim, dan sebagainya.

Mudah-mudahan dengan perbuatan-perbuatan baik yang dikerjakan dengan ikhlas mendapat ganjaran dari Allah di dunia dan di akhirat, serta dikaruniai anak-anak yang shalih.
Selengkapnya baca di http://almanhaj.or.id/content/2318/slash/0/hak-dan-kewajiban-suami-isteri-menurut-syariat-islam-yang-mulia/
 
Wallahu Ta'ala A'lam

8 Macam Puasa Sunnah


Pada kesempatan kali ini, Rumaysho.com mencoba mengangkat pembahasan puasa sunnah yang bisa diamalkan sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga bermanfaat.

Sungguh, puasa adalah amalan yang sangat utama. Di antara ganjaran puasa disebutkan dalam hadits berikut,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi” (HR. Muslim no. 1151).

Adapun puasa sunnah adalah amalan yang dapat melengkapi kekurangan amalan wajib. Selain itu pula puasa sunnah dapat meningkatkan derajat seseorang menjadi wali Allah yang terdepan (as saabiqun al muqorrobun).[1] Lewat amalan sunnah inilah seseorang akan mudah mendapatkan cinta Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi,

وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ

Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari no. 2506).

1. Puasa Senin Kamis

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ

Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 747. Shahih dilihat dari jalur lainnya).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.” (HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Shahih)

2. Puasa Tiga Hari Setiap Bulan Hijriyah

Dianjurkan berpuasa tiga hari setiap bulannya, pada hari apa saja.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ

Kekasihku (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: [1] berpuasa tiga hari setiap bulannya, [2] mengerjakan shalat Dhuha, [3] mengerjakan shalat witir sebelum tidur.”( HR. Bukhari no. 1178)

Mu’adzah bertanya pada ‘Aisyah,

أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَتْ نَعَمْ. قُلْتُ مِنْ أَيِّهِ كَانَ يَصُومُ قَالَتْ كَانَ لاَ يُبَالِى مِنْ أَيِّهِ صَامَ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.” Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau melakukan puasa tersebut?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya semau beliau).” (HR. Tirmidzi no. 763 dan Ibnu Majah no. 1709. Shahih)

Namun, hari yang utama untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal dengan ayyamul biid.[2] Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ الْبِيضِ فِي حَضَرٍ وَلَا سَفَرٍ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.” (HR. An Nasai no. 2345. Hasan).

Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,

يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ

Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Hasan)

3. Puasa Daud

Cara melakukan puasa Daud adalah sehari berpuasa dan sehari tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أحَبُّ الصِّيَامِ إلى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ، وَأحَبُّ الصَّلاةِ إِلَى اللهِ صَلاةُ دَاوُدَ: كَانَ يَنَامُ نِصْفَ الليل، وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَكَانَ يُفْطِرُ يَوْمًا وَيَصُوْمُ يَوْمًا

Puasa yang paling disukai oleh Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh malam, dan bangun pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya. Beliau biasa berbuka sehari dan berpuasa sehari.” (HR. Bukhari no. 3420 dan Muslim no. 1159)

Dari 'Abdullah bin 'Amru radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَنِّى أَقُولُ وَاللَّهِ لأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ . فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « أَنْتَ الَّذِى تَقُولُ وَاللَّهِ لأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ » قُلْتُ قَدْ قُلْتُهُ . قَالَ « إِنَّكَ لاَ تَسْتَطِيعُ ذَلِكَ ، فَصُمْ وَأَفْطِرْ ، وَقُمْ وَنَمْ ، وَصُمْ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ، فَإِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا ، وَذَلِكَ مِثْلُ صِيَامِ الدَّهْرِ » . فَقُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمَيْنِ » . قَالَ قُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ . قَالَ « فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا ، وَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ ، وَهْوَ عَدْلُ الصِّيَامِ » . قُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « لاَ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ »
.
Disampaikan kabar kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa aku berkata; "Demi Allah, sungguh aku akan berpuasa sepanjang hari dan sungguh aku akan shalat malam sepanjang hidupku." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadanya ('Abdullah bin 'Amru): "Benarkah kamu yang berkata; "Sungguh aku akan berpuasa sepanjang hari dan sungguh aku pasti akan shalat malam sepanjang hidupku?". Kujawab; "Demi bapak dan ibuku sebagai tebusannya, sungguh aku memang telah mengatakannya". Maka Beliau berkata: "Sungguh kamu pasti tidak akan sanggup melaksanakannya. Akan tetapi berpuasalah dan berbukalah, shalat malam dan tidurlah dan berpuasalah selama tiga hari dalam setiap bulan karena setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa dan itu seperti puasa sepanjang tahun." Aku katakan; "Sungguh aku mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah". Beliau berkata: "Kalau begitu puasalah sehari dan berbukalah selama dua hari". Aku katakan lagi: "Sungguh aku mampu yang lebih dari itu". Beliau berkata: "Kalau begitu puasalah sehari dan berbukalah sehari, yang demikian itu adalah puasa Nabi Allah Daud 'alaihi salam yang merupakan puasa yang paling utama". Aku katakan lagi: "Sungguh aku mampu yang lebih dari itu". Maka beliau bersabda: "Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu". (HR. Bukhari no. 3418 dan Muslim no. 1159)

Ibnu Hazm mengatakan, “Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari melakukan puasa lebih dari puasa Daud yaitu sehari puasa sehari tidak.”[3]

Ibnul Qayyim Al Jauziyah mengatakan, “Puasa seperti puasa Daud, sehari berpuasa sehari tidak adalah lebih afdhol dari puasa yang dilakukan terus menerus (setiap harinya).”[4]

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Puasa Daud sebaiknya hanya dilakukan oleh orang yang mampu dan tidak merasa sulit ketika melakukannya. Jangan sampai ia melakukan puasa ini sampai membuatnya meninggalkan amalan yang disyari’atkan lainnya. Begitu pula jangan sampai puasa ini membuatnya terhalangi untuk belajar ilmu agama. Karena ingat, di samping puasa ini masih ada ibadah lainnya yang mesti dilakukan. Jika banyak melakukan puasa malah membuat jadi lemas, maka sudah sepantasnya tidak memperbanyak puasa. ... Wallahul Muwaffiq.”[5]

4. Puasa di Bulan Sya’ban

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156).
Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156)

Yang dimaksud di sini adalah berpuasa pada mayoritas harinya (bukan seluruh harinya[6]) sebagaimana diterangkan oleh Az Zain ibnul Munir.[7] Para ulama berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib.[8]

5. Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)

6. Puasa di Awal Dzulhijah

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».

"Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah)." Para sahabat bertanya: "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun." (HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968. Shahih). Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[9] Di antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa.
Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya[10], ...” (HR. Abu Daud no. 2437. Shahih).

7. Puasa ‘Arofah

Puasa ‘Arofah ini dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa ‘Arofah? Beliau menjawab, ”Puasa ‘Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim no. 1162). Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa ‘Arofah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ وَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ أُمُّ الْفَضْلِ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.” (HR. Tirmidzi no. 750. Hasan shahih).

8. Puasa ‘Asyura

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah - Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163). An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram.”[11]

Keutamaan puasa ‘Asyura sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qotadah di atas. Puasa ‘Asyura dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad  di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa ‘Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan puasa pada hari sebelumnya (9 Muharram). Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa ‘Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.

Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ - إِنْ شَاءَ اللَّهُ - صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ ». قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.

Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134).

Ketentuan dalam Melakukan Puasa Sunnah

Pertama: Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.

Pada suatu hari, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, "Apakah kamu mempunyai makanan?" Kami menjawab, "Tidak ada." Beliau berkata, "Kalau begitu, saya akan berpuasa." Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, "Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju)." Maka beliau pun berkata, "Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa." (HR. Muslim no. 1154). An Nawawi memberi judul dalam Shahih Muslim, “Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum waktu zawal (bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa sunnah meskipun tanpa udzur. ”

Kedua: Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan puasa tersebut.[12]

Ketiga: Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seizin suaminya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)
An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.”[13] Beliau rahimahullah menjelaskan pula, “Adapun jika si suami bersafar, maka si istri boleh berpuasa. Karena ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak mungkin bisa bersenang-senang dengannya.”[14]

Semoga Allah beri taufik untuk beramal sholih.
 
Disempurnakan di Panggang-GK, 24 Rajab 1431 H (07/07/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Doa dan Tips Agar Dikaruniai Anak


Salah satu tujuan membangun rumah tangga adalah meneruskan garis keturunan. Kehadiaran anak menjadi pelengkap kebahagiaan sebuah keluarga ideal. Keluarga tanpa anak, bak ruang hampa tanpa perabotan.
Terlebih mereka yang memahami keutamaan anak bagi orang tua dalam Islam, sejuta harapan untuk memiliki anak akan senantiasa membayang-bayangi hidupnya. Hanya saja, kenyataan tidak selalu mengikuti harapan. Namun, sebagai orang yang beriman, kita tidak perlu terlalu merisaukan. Karena apapun yang kita alami, tidak akan disia-siakan. Semua bisa menjadi pahala.
 
Kuatkan Keyakinan
 
Kekuatan doa sebanding dengan kekuatan keyakianan. Karena itu, sebelum memohon kepada Allah, kuatkan keyakinan Anda tentang kekuasaan Allah terhadap isi doa yang Anda minta. Ketika Anda hendak memohon keturunan kepada Allah, tanamkan keyakinan secara mendalam bahwa Allah yang mangatur semua keturunan manusia.
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ (49) أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ
Hanya milik Allah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberi anak perempuan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dia memberi anak laki-laki kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Atau Dia memberi sepasang anak perempuan dan laki-laki. Dia juga yang menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki sebagai orang mandul. Sesunguhnya Dia Maha Mengetahui dan Maha Kuasa.” (QS. As-Syura: 49 – 50).
Dengan memahami hal ini, semangat Anda untuk semakin berharap kepada karunia Allah akan menjadi besar. Anda akan semakin bersandar kepada Sang Kuasa dan tidak bosan mengulang-ulang doa dan permohonan kepada-Nya. Dengan semangat ini, diharapkan bisa menjadi sebab Allah memperkenankan doanya. Karena sekali lagi, kekuatan doa itu setingkat dengan kekuatan keyakinan dan semangatnya.
Satu teladan yang membuktikan hal ini dan layak untuk kita tiru, ketabahan Nabi Zakariya ‘alaihis salam. Sampai di usia senja, Allah belum memberikan karunia anak untuk beliau. Namun, beliau tidak pupus harapan, sampaipun dalam kondisi yang membuat orang umumnya putus asa untuk memiliki anak. Dalam Alquran, Allah ceritakan perjuangan doa Nabi Zakariya,
ذِكْرُ رَحْمَتِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّا (2) إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا (3) قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا (4) وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا (5) يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا (6)
Menyebutkan penjelasan tentang rahmat Tuhanmu kepada hamba-Nya, Zakaria (2). Tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut (3). Ia berkata “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku (4). Sesungguhnya aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera (5), yang akan mewarisi aku dan mewarisi keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (6) (QS. Maryam: 2 – 6).
Beliau sudah tua, istri beliau mandul, yang secara logika manusia, mustahil punya keturunan. Tapi bagi Allah lain. Dia Maha Kuasa untuk memberikan apa yang beliau harapkan. Allah mengabulkan doa Zakariya,
وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَى رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ * فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
Ingatlah kisah Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: “Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik. Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Aku perbaiki isterinya (sehingga dapat mengandung). Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya: 89 – 90).
Kemudian, disamping manfaat di atas, ketika seseorang betul-betul meyakini Allahlah yang mengatur semua keturunan hamba-Nya, dia akan bisa membawa diri dengan baik. Dia akan menerima dan ridha terhadap takdir dan ketetapan Allah. Sehingga sekalipun dia tidak memiliki anak, kesabarannya bisa menjadi sumber pahala baginya.
Banyak Beristighfar
Jangan lupa iringi doa anda dengan banyak beristighfar dan memohon ampun kepada Allah. Karena Allah menjanjikan banyak hal bagi orang yang banyak istighfar, salah staunya adalah anak. Allah menceritakan ajakan Nabi Nuh kepada umatnya,
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا* يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَارًا* وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَارًا
… istighfarlah kepada Rabb-mu karena sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan menciptakan kebun-kebun dan sungai-sungai untukmu.” (QS. Nuh: 10-12).
Ada seseorang yang mengadu kepada Imam Hasan al-Bashri –ulama senior dari tabi’in– karena lama tidak punya anak. Orang itu meminta tolong agar Hasan mendoakannya supaya punya anak. Hasan al-Bashri mengatakan, “Perbanyak istighfar, memohon ampun kepada Allah.” Setelah ditanya, mengapa beliau memberi saran untuk banyak istighfar. Belliau menjawab,
ما قلت من عندي شيئاً ؛ إن الله تعالى يقول في سورة نوح :  ‏استغفروا ربكم إنه كان غفاراً ‏….
Saya tidak menjawab dengan logikaku. Sesungguhnya Allah berfirman di surat Nuh (yang aritnya): istighfarlah kepada Rabb-mu karena sesungguhnya Dia Maha Pengampun… dst.” (Tafsir al-Qurtubi, 18:302).
 
Adakah Doa Minta Anak
 
Beberapa situs dakwah yang peduli sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika ditanya tentang doa permohonan anak, mereka menegaskan bahwa tidak ada doa khusus yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam Fatwa Syabakah Islamiyah dinyatakan,
أما التزام دعاء معين تواظب عليه كأنه مطلوب بعينه لطلب الولد واعتقاد سنية ذلك، فهذا لم نقف على ما يدل على مشروعيته
Mengamalkan doa tertentu kemudian dirutinkan, seolah-olah doa itu doa itu secara khusus dianjurkan untuk meminta anak dan diyakini adanya anjuran doa ini, kami belum menjumpai adanya nash yang menunjukkan disyariatkannya doa khusus tersebut(Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 43435).
Hanya saja, dalam Alquran, Allah menyebutkan beberapa doa yang dipanjatkan Nabi Zakariya ketika memohon keturunan, dan anda bisa menirunya. Salah satunya doa Zakariya yang Allah sebutkan di surat Al-Anbiya di atas.Bisa juga dengan doa Nabi Ibrahim, yang telah lama menunggu kehadiran anak,
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku anak yang shaleh.” (QS. As-Shafat: 100)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya, bolehkah orang yang lama tidak dikaruniai anak memohon kepada Allah denagn doa Zakariya di surat Al-Anbiya.
Jawaban beliau,
Tidak masalah melantunkan doa seperti yang disebutkan. Dan jika dia berdoa dengan selain teks ini, seperti membaca :
اللهم ارزقني ذرية طيبة ، اللهم هب لي ذرية صالحة
“Ya Allah, berilah aku keturunan yang baik, anugrehkanlah aku keturunan yang shaleh.”
Atau doa-doa yang semisal, semuanya baik. Contoh doa lainnya adalah firman Allah
رَبِّ هَبْ لِيْ مِنْ لَّدُنْكَ ذُرِّيَةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيْعُ الدُّعَاءِ
Ya Allah, anugrehkanlah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Memperkenankan Doa.” (QS. Ali Imran: 38)
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 8:423).
Semoga Allah memberkahi semua keadaan kita.
Allahu a’lam
 
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembinawww.KonsultasiSyariah.com)