Kamis, 02 Agustus 2012

ANDRI WONGSO

BERANI SUKSES

Pikirkan apa yang berani Anda Impikan
Inginkan apa yang berani Anda Pikirkan
Putuskan apa yang berani Anda Inginkan
Rencanakan apa yang berani Anda Putuskan

Lakukan apa yang berani Anda Rencanakan
Yakini apa yang berani Anda Lakukan
Perjuangkan apa yang berani Anda Yakini
Sukseskan apa yang berani Anda Perjuangkan

Nikmati apa yang telah berani Anda Sukseskan
Sadari apa yang sedang Anda Nikmati

"Budaya Menghukum"



oleh :
Prof. DR. Rheinald Kasali
(Pengusaha & Guru Besar FE UI)



LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada

guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.

Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai A (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.

Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji.

Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat.
“Maaf Bapak dari mana?”
“Dari Indonesia,” jawab saya.
Dia pun tersenyum.

BUDAYA MENGHUKUM

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.

“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu.

“Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,” lanjutnya.

“Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!”

Dia pun melanjutkan argumentasinya.
“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat.” Ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.

Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam.

Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat.

Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.

Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

***

Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya.

Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.

Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement.

Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel.

Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.

Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut.

“Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”

Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”.

Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut?

Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.

Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya.

Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun.

Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan.

Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

-----
Semoga Bermanfaat.
Semangat ber-PRESTASI ..!!
Hamasah ..!!
:-)

* Sumber : email dari Teh Isriyanti Mambraku, Syukron Teh..

Hidup

Hidup itu indah..
jangan dibuat masalah
sebab anugrah dari Gusti Allah
jagalah biar berkah
agar terhindar dari susah...

HAPPY RAMADHAN...

Ramadhan is the holy month of fasting morning until sunset.
It is also the occasion to get together with your loved ones.

During the month of Ramadhan Sahur is the meal taken before
sunrise and ifthar is the one taken when the fast is broken after sunset.

Ramadhan  is the month in which the Qur'an was sent down
as a guide to Mankind.

Ramadhan is the times to thank Allah and also the time to thank
your friends, family and loved ones for sending their prayers.


Rumah Tangga

Kita menangis kepenatan. Penat rupanya alam rumahtangga ni - ke sana ke mari menjaga kebajikan suami  dan anak. Bekerja di luar penat. Bekerja di rumah juga penat.
Kita menangis berjauhan. Setelah halal dalam pernikahan, berjauhan pula. Kerana tuntutan kerja. Atau belajar.
Kita menangis tidak cukup wang. Terpaksa berhutang. Tidak mampu bergembira macam pasangan lain. Makan minum malah bercatu. Terpaksa duduk rumah saja tidak cukup duit untuk petrol.
Kita menangis kerana ujian mertua dan ipar duai yang menarik banyak privasi rumahtangga. Kita menangis tersepit antara keluarga sendiri dan keluarga pasangan.
Kita menangis kerana pasangan atau anak-anak diuji sakit kronik yang menuntut seribu satu pengorbanan.
Antara banyak-banyak ujian ini, jangan lupa berhati-hati dengan ujian keimanan.
Musibah terbesar sebuah perkahwinan adalah apabila pasangan semakin jauh dari hubungan dengan tuhan. Solat diabaikan. Akhlak dengan Allah tidak dititikberatkan.
Musibah terbesar sebuah perkahwinan adalah apabila islam hanya pada nama dan kad pengenalan. Bukan pada rutin dan tujuan hidup seharian. Sedangkan islam is a way of life.
Musibah terbesar sebuah perkahwinanan adalah apabila amalan-amalan syirik dan khurafat menjadi pilihan. Percaya pada tangkal untuk memujuk anak menangis, atau ramuan bomoh menundukkan suami.
Musibah terbesar sebuah perkahwinan adalah apabila pasangan tahu akan kewajipan menuruti Sunnah dan Quran, tapi terus selesa dalam kejahilan dan kelalaian. Solat dilalaikan, pergaulan tanpa batasan, tiada peruntukan masa dan kewangan untuk mencari ilmu agama, aurat didedahkan besar-besaran, tidak amanah dalam pekerjaan.
Musibah terbesar sebuah perkahwinan ialah apabila suami isteri fokus membeli rumah besar dan kereta besar namun rumah itu seperti kuburan kerana jauh dari tilawah dan tadabbur Al Quran.

Bila rumahtangga diberi ujian kesenangan, adakah rasa bersyukur? Adakah kesenangan menambah ketaatan?
Bila seorang isteri dan ibu kurang ilmu kurang iman, nescaya akan mencipta musibah yang besar untuk generasi mendatang. Menyiapkan pakaian dan makan minum anak-anak, mengambil menghantar anak ke alam persekolahan. Apakah pemberian kita untuk menyiapkan jiwa anak itu melalui kehidupan dengan bertuhan? Anak-anak amat bijak mengukur kehebatan dirinya dengan peperiksaan, adakah mereka tahu mengukur nilai diri menurut Al Quran?
Musibah besar jika anak-anak kita tidak tahu hubungannya dengan tuhan, tidak tahu apakah ertinya hakikat kehidupan. Solat ditinggalkan, ibu bapa dibiarkan.
Ada suami dan anak-anak yang baik, adakah makin kenal dan cinta pada Allah? Atau sekadar kenal kemahuan suami dan anak-anak? Atau sekadar mengingati tanggungjawab kepada suami dan anak tanpa mengetahui tanggungjawab sebagai hamba Allah.
Sesungguhnya islam bukan sekadar adat kebiasaan. AL-Quran bukan sekadar menjadi pelengkap dulang hantaran. Bukan sekadar tersimpan tinggi di almari perhiasan.
Ayuh selamatkan diri dari musibah. Jalinkan hubungan dengan tuhan yang semakin ditinggalkan. Bina keutuhan diri dan famili dengan Al-Quran dan As Sunnah. Kenalkan diri kepada petunjuk Allah dan Rasul yang membawa kebahagiaan.
* Peringatan buat hati yang tidak hangat dengan iman... Hati sayakah itu.... :-(
- Artikel iluvislam.com

Biodata Penulis

Nurul Adni Adnan dilahirkan 22 September 1984. Puteri sulung ayahbonda tercinta, Adnan Abdul Manap dan Normah Sabar. Anak ketiga dari sembilan beradik. Berasal dari Kuala Pilah, Negeri Sembilan. Kini menetap di Meru, Klang. Telah berumahtangga dan diamanahkan seorang cahaya mata. Beliau berkongsi karya di http://sisi-kehidupan.blogspot.com

DIDIK ANAK DEKATI ALLAH DAHULU SEBELUM MENCARI JODOH


Buat ibu bapa yang anak-anaknya meningkat remaja, topik cinta adalah sesuatu yang perlu dibincangkan secara terbuka dengan anak-anak. Pengaruh budaya luar yang mendesak perhubungan bebas antara lelaki dan wanita serta naluri semula jadi untuk mencari pasangan mewajibkan kita untuk tidak mengabaikan perkara ini. Keinginan untuk hidup berpasangan sememangnya dititipkan dalam jiwa setiap insan. Keinginan mempunyai pasangan ini lazimnya mula terasa semasa usia meningkat remaja.
Saya pernah menghadiri suatu sessi kuliah yang penceramahnya seorang lelaki muda berbangsa Greek, memeluk Islam pada usia dewasa. Menariknya dalam kuliah ini, beliau berkongsi cerita tentang bagaimana beliau menemui isterinya, seorang wanita Islam dari Malaysia. Katanya, selepas memeluk Islam, beliau meninggalkan cara hidup lama, tidak lagi mahu ada teman wanita.
Sebaliknya beliau berpegang kepada prinsip, "Find Allah and he or she will find you." Maksudnya,"Carilah Allah dan anda akan temui gadis atau jejaka idaman hatimu." Betapa indahnya konsep ini! Saya kira ini bermakna, jika kita hendak mencari suami atau isteri yang paling sesuai, dekatkanlah diri dengan Allah dan yakinlah bahawa Dia akan pertemukan kita dengan jejaka atau gadis yang secocok dengan kita. Inilah konsep yang amat perlu diterapkan dalam jiwa remaja anak-anak dan diri kita sendiri, iaitu :
- Cinta yang hakiki, iaitu cinta yang membawa kita ke syurga bermula dengan cinta kepada Allah. Dari sinilah terbitnya cinta kepada orang lain seperti cinta kepada ibu bapa, suami, anak-anak dan sahabat.
- Cinta yang membawa ke syurga antara lelaki dan wanita ialah apabila pasangan lelaki dan wanita ini mencintai satu sama lain semata-mata kerana Allah. Ini bermakna, mendirikan rumahtangga dengan niat untuk mengikut sunnah Rasulullah S.A.W. yang amat digalakkan oleh Islam.
- Bila suami isteri mencintai satu sama lain kerana Allah, jika timbul konflik, masing-masing tidak egoistik, kedua-duanya akan merujuk kepada AlQuran dan Sunnah dan lebih mudah untuk maaf memaafkan. Dengan itu, perbezaan pendapat ini tidak memanjang menjadi suatu pertelingkahan yang besar dan dapat dibendung dan diselesaikan dengan baik.
Sehingga si suami bertanggapan isterinya sentiasa mendahulukan kepentingannnya dan si isteri pula merasakan dialah wanita yang bertakhta di hati suaminya. Redhanya suami kepada isteri dan isteri kepada suami ini pada hemat saya adalah satu cara untuk kita menambah saham akhirat dan satu lagi langkah mendekatkan kita kepada Allah dan syurgaNya.
Wallahua'lam.
Biodata Penulis
Jamilah Samian Merupakan seorang Trainer Profesional yang ditauliahkan oleh Institut Pengurusan Malaysia. Beliau juga seorang Neuro Linguistic Programming (NLP) Practitioner berdaftar dengan American Board of NLP.

KABAR CINTA DARI SYURGA

Perkataan CINTA hanya lima huruf dan dua suku kata. Namun pengaruhnya cukup berat dalam kehidupan setiap insan. Saya masih ingat kata-kata pujangga yang dicoret seorang kakak senior dalam buku autograf saya sebelum menamatkan persekolahan dahulu. Coretannya berbunyi begini: "To love is nothing; to be loved is something. But to love and be loved is everything."
Alangkah indahnya hidup ini apabila orang yang kita cintai membalas cinta kita. Hari-hari yang dilalui terasa sempurna dan bahagia. Alangkah bertuahnya anda yang berjaya menemui pasangan sehinggakan saling cinta mencintai setulus hati seumur hidup. Namun, bagaimanakah kita boleh menemui cinta yang luhur dan sejati ini? Jawabnya, dengan mencintai seseorang semata-mata kerana Allah.
Saya masih ingat, kali pertama saya mendengar kalimah "Biarlah semua yang kita lakukan itu kerana Allah. Hatta cinta sekalipun, jika mencintai seseorang biarlah semata-mata kerana Allah,"saya termenung sejenak. Terasa kabur dan sukar difahami. Namun jauh di lubuk hati, saya yakin inilah cinta yang lebih baik, bermanfaat dan yang Allah mahu kita praktikkan. Apa ertinya mencintai seseorang kerana Allah , tidak kira sama ada orang yang dicintai itu sahabat, ibu atau bapa, anak, suami atau isteri? Mungkin paparan peristiwa di bawah boleh membantu kita memahaminya.
KISAH SETEGUK AIR
Dalam Peperangan Yarmuk, seorang pembawa air tercari-cari pejuang Islam yang mungkin memerlukan air. Akhirnya beliau menjumpai seorang pejuang yang cedera parah dan mengerang kesakitan. Namun belum sempat pembawa air ini menyuakan air ke bibir pejuang ini, tedengar rintihan seorang pejuang lain yang berteriak "Air! Air! Berikanlah saya air!"
Pejuang pertama yang sedang nazak mengisyaratkan kepada pembawa air untuk meninggalkannya dan memberikan air tersebut kepada pejuang kedua. Pembawa air ini bergegas kepada pejuang kedua yang juga berlumuran darah dan nyata tipis peluangnya untuk hidup. Namun belum sempat pejuang kedua ini meneguk air yang dibawakan kepadanya, terdengar teriakan "Air! Air! Berikanlah saya air!" daripada pejuang ketiga.
Pejuang kedua juga mengisyaratkan kepada pembawa air ini untuk segera memberi air kepada orang ketiga yang berteriak tadi. Namun sesampainya pembawa air ini kepada pejuang ketiga dan belum sempat dia memberi air kepadanya, pejuang tersebut yang sedang nazak juga menghembuskan nafas yang terakhir. Pembawa air ini bergegas kepada pejuang kedua tadi, tapi dia pun telah mati syahid juga. Dia bergegas ke pejuang pertama, tapi pejuang pertama itu pun sudah meninggal dunia. Menitis air mata si pembawa air tadi bila menyedari betapa tiga orang pejuang ini sanggup mengorbankan keperluan masing-masing demi orang lain!
(Saya sengaja tidak menyebut nama-nama pejuang dan pembawa air dalam kisah di atas kerana beberapa sumber yang saya rujuk memberikan nama-nama yang berlainan. Harap sudi perbetulkan jika saya silap di sini.)
Paparan kisah seteguk air di atas menunjukkan beberapa ciri cinta kerana Allah, iaitu:
- Memahami bahawa orang yang kita cintai itu milik Allah dan dia boleh diambil olehNya pada bila-bila masa
- Bila kita mencintai seseorang kerana Allah, kita mementingkan dirinya lebih daripada diri kita sendiri meskipun ini    bermakna kita mengetepikan keperluan peribadi. Relevannya poin ini kerana dunia sekarang amat menitikberatkan    individualisme, iaitu mementingkan diri sendiri.
Kisah seteguk air jelas menggambarkan cinta yang luhur dan sejati. Tidak kira sama ada cinta antara lelaki dan wanita, suami dan isteri, anak-anak, ibu bapa atau sahabat. Sebagai ibu bapa, kita perlu mendidik anak-anak supaya mencari cinta yang hakiki, iaitu cinta yang membawa kita ke syurga. Satu-satunya cinta yang membawa kita ke syurga ialah mencintai seseorang kerana Allah. Ia tidak mudah dilakukan, tetapi memerlukan usaha yang berterusan.


Wallahua'lam.
- Artikel iluvislam.com

Biodata Penulis

Jamilah Samian Merupakan seorang Trainer Profesional yang ditauliahkan oleh Institut Pengurusan Malaysia. Beliau juga seorang Neuro Linguistic Programming (NLP) Practitioner berdaftar dengan American Board of NLP.Antara Buku-buku nukilan beliau termasuk “IBU KOOL BAPA HEBAT”, “ANAK LELAKI KOOL DAN HEBAT” dan “TIPS GROOVI MENDIDIK GENERASI Y DAN Z”.Temui beliau di Konvensyen Super Parents yang akan diadakan di PICC Putrajaya pada 26 dan 27 Mei ini.