Rabu, 10 September 2014

Apakah tolok ukur mampu dalam berhaji dan apa saja persyaratannya?

Apakah tolok ukur mampu dalam berhaji dan apa saja persyaratannya?

Jawab:

Tolok ukur mampu dalam berhaji telah ditafsirkan dalam hadits, yaitu memiliki bekal dan kendaraan. Namun, tolok ukur dalam hal ini lebih umum dari hal tersebut.

Barangsiapa yang mampu berangkat menuju Mekkah dengan berbagai sarana yang ada, maka dia wajib berhaji dan berumrah. Apabila dia mampu berjalan dan mengangkut barangnya, atau menjumpai orang lain yang dapat mengangkutnya, maka dia wajib berhaji dan berumrah.

Demikian pula, jika dia mampu membayar biaya transportasi untuk menggunakan alat transportasi modern seperti kapal laut, mobil, dan pesawat, maka haji dan umrah wajib baginya.

Apabila dia memiliki bekal dan kendaraan untuk berhaji, namun tidak mampu menemukan orang yang bisa menjaga barang dan keluarganya, atau dia tidak memiliki uang untuk dinafkahkan kepada keluarganya selama dia berhaji, maka haji tidak wajib baginya karena adanya masyaqqah.  

Demikian pula, apabila ternyata jalur perjalanan adalah jalur yang rawan atau dia khawatir akan adanya perampok, adanya pajak yang teramat memberatkan, atau waktu tidak cukup untuk sampai ke Mekkah, atau dia tidak mampu menaiki berbagai alat transportasi yang ada dikarenakan sakit atau adanya bahaya, maka kewajiban haji gugur darinya dan dia wajib mencari orang untuk menggantikannya berhaji apabila dia memiliki kemampuan finansial untuk itu.

Apabila dia tidak memiliki kemampuan finansial untuk itu, maka haji tidak wajib baginya. Wallahu a’lam. Syaikh Ibnu Jibrin. Fatawa Islamiyah: Asy Syamilah Rangkuman Dari penjelasan beliau di atas, tolok ukur mampu dalam berhaji adalah sebagai berikut: Memiliki bekal dan kendaraan yang bisa mengantarkan seorang untuk berhaji ke Mekkah.

Jika tidak memiliki kendaraan, maka dia memiliki kemampuan finansial untuk membiayai perjalanan haji yang akan ditempuhnya. Meninggalkan uang sebagai nafkah keluarganya selama ditinggal berhaji. Ini merupakan pendapat jumhur[1] Ada orang yang mampu menjaga barang dan keluarganya. Adanya keamanan selama melakukan perjalanan, baik keamanan yang terkait dengan jiwa maupun harta.

Perjalanan berhaji memungkinkan untuk dilakukan oleh jama’ah haji ditinjau dari segi fisik jama’ah dan waktu. Catatan Bagi kaum muslimin yang memenuhi semua ketentuan di atas, haji wajib untuk dilaksanakan olehnya.

Kami menghimbau diri kami dan kaum muslimin untuk memprioritaskan penunaian kewajiban berhaji daripada sekedar memenuhi hasrat memiliki harta yang tidak urgen seperti mobil dan kebutuhan-kebutuhan non primer lainnya. Terdapat ancaman bagi mereka yang telah mampu untuk berhaji namun tidak menunaikannya. Allah ta’ala berfirman, وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا ومن كفر فإن الله غنى عن العالمين
(٩٧) “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.

Barangsiapa yang kufur/mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Ali ‘Imran: 97). Al Hasan Al Bashri rahimahullah dan ulama selain beliau berkata tatkala menafsirkan ayat ini, إن من ترك الحج وهو قادر عليه فهو كافر “Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan kewajiban berhaji dan dia mampu menunaikannya, dialah orang yang kafir/mengingkari kewajiban haji.” (Tafsir Al Qurthubi 4/153; Asy Syamilah).

Qatadah meriwayatkan dari Al Hasan, dia berkata bahwa ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, لقد هممت أن أبعث رجالا إلى الامصار فينظرون إلى من كان له مال ولم يحج فيضربون عليه الجزية، فذلك قوله تعالى: ” ومن كفر فإن الله غني عن العالمين “

“Sungguh saya berkeinginan untuk mengutus beberapa orang ke setiap kota untuk meneliti siapa saja yang memiliki harta namun tidak menunaikan haji, kemudian jizyah diterapkan atas mereka karena mereka itulah yang dimaksudkan Allah dalam firman-Nya yang artinya, “ Barangsiapa yang kufur/mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” (Tafsir Al Qurthubi 4/153; Asy Syamilah). Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, لو مات جار لي وله ميسرة ولم يحج لم أصل عليه

“Jika tetanggaku wafat dan dirinya memiliki kemampuan untuk berhaji namun dia tidak menunaikannya, niscaya saya tidak akan menyalatinya” (Tafsir Al Qurthubi 4/154; Asy Syamilah).  

Penulis:

Muhammad Nur Ichwan Muslim

[1] Fathul Qadir 2/126; Al Majmu’ 7/53-57; Al Mughni 3/222. Afwan Komisi fatwa saudi arabia dan Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah juga mempunyai fatwa mengenai arti kemampuan melaksanakan haji sbb: ARTI KEMAMPUAN MELAKSANAKAN HAJI Oleh Al-Lajnah Ad-Daiman Lil Ifta

Pertanyaan Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Apakah yang dimaksudkan kemampuan melaksanakan haji ? Apakah pahala haji yang terbesar ketika pergi ke Mekkah ataukah setelah kembali darinya ? Dan apakah pahala haji di sisi Allah lebih besar jika dia kembali dari Mekkah menuju tanah airnya ?  

Jawaban Arti kemampuan dalam haji adalah sehat badan, ada kendaraan sampai ke Masjidil Haram, baik dengan kapal terbang, mobil, binatang atau ongkos membayar kendaraan sesuai keadaan. Juga memiliki bekal yang cukup selama perjalanan sejak pergi sampai pulang. Dan perbekalan itu harus merupakan kelebihan dari nafkah orang-orang yang menjadi tanggungannya sampai dia kembali dari haji. 

Dan jika yang haji atau umrah seorang perempuan maka harus bersama suami atau mahramnya selama dalam bepergian untuk haji dan umrah. Adapun pahala haji maka tergantung kadar keikhlasan orang karena Allah, ketekunan melaksanakan manasik, menjauhi hal-hal yang menafikan kesempurnaan haji, dalam mencurahkan harta dan tenaga, baik dia kembali, mukim, atau meninggal sebelum merampungkan haji ataupun setelahnya. Allah adalah yang mengetahui kondisi seseorang dan akan memberikan balasannya.

Sedang kewajiban setiap mukallaf adalah beramal dengan tekun dan memperhatikan amalnya dalam kesesuaiannya dengan syari'at Islam lahir dan batin seakan dia melihat Allah. Sebab meskipun dia tidak dapat melihat-Nya tapi Allah selalu melihat dia dan memperhatikan setiap gerak hati dan langkah fisiknya.

Maka janganlah seseorang mencari-cari apa yang menjadi hak Allah. Sebab Allah Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya, melipatgandakan pahala kebaikan, mengampuni keburukan dan tidak akan menzhalimi siapa pun. Maka hendaklah setiap orang memperhatikan dirinya dan membiarkan apa yang menjadi hak Allah.

Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana, Maha Adil, Maha Penyantun lagi Maha Penyayang. Dan dalam pertanyaan yag sama, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin menjawab sebagai berikut. Tentang kemampuan dalam haji dijelaskan dalam hadits, yaitu bila seorang mendapatkan bekal dan kendaraan. 

Barangkali yang lebih umum dari itu adalah, bahwa orang yang mampu sampai ke Mekkah dengan cara apapun maka dia wajib haji dan umrah. Jika dia mampu dengan berjalan dan membawa bekalnya atau mendapatkan orang yang membawakan bekalnya maka dia wajib haji.

Dan jika seseorang mempunyai ongkos transportasi modern seperti kapal laut, kapal udara dan mobil, maka dia wajib haji. Dan jika dia mendapatkan bekal dan kendaraan, tapi tidak mendapatkan orang yang menjaga harta dan keluarganya, atau tidak mendapatkan apa yang dia nafkahkan kepada keluarganya selama dia pergi haji maka dia tidak wajib haji karena dia tidak mempunyai kemampuan.

Demikian pula jika di jalan terdapat sesuatu yang menakutkan atau ditakutkan seperti perampok, atau diharuskan membayar pajak mahal, atau waktunya tidak cukup untuk sampai ke Mekkah, atau tidak mampu naik kendaraan apapun karena sakit atau akan mendatangkan mudharat lebih berat, maka kewajiban haji gugur darinya dan dia wajib menggantikannya kepada orang lain jika dia mempunyai kemampuan harta, dan jika tidak maka tidak wajib haji.

Wallahu a'lam. ANAK YANG PERGI HAJI ATAS BIAYA ORANG TUANYA Oleh Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta Pertanyaan Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya :

Saya mempunyai anak berusia kurang lebih 20 tahun dan saya mempunyai mobil tapi tidak dapat menyetir dan anak saya mampu menyertir. Saya ingin haji membawa mobil dengan harapan anak saya yang menyetir sekaligus dia dapat melaksanakan kewajiban hajinya. Tapi anak saya mendengar di sekolahnya bahwa orang yang belum mampu melaksanakan kewajiban haji tidak boleh melaksanakan dari harta orang tuanya, kecuali jika dia telah bekerja sendiri dan mendapatkan uang senilai haji.

Mohon penjelasan. Jawaban Jika seorang anak melaksanakan haji atas biaya bapaknya hajinya sah. Maka yang utama baginya adalah segera haji bersama bapaknya untuk membantu dalam mengendarai mobil. Sebab demikian itu termasuk tanda bakti anak kepada bapak.  

[Disalin dari Buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i hal. 54 - 56.

Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc.] TIDAK WAJIB MELAKUKAN IBADAH HAJI KECUALI ORANG YANG MAMPU Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Syaikh yang mulia, saya seorang pelajar yang sudah mencapai usia baligh, namun tidak mempunyai harta. Apakah boleh saya meminta dana kepada orang tua saya untuk menunaikan ibadah haji saat ini, atau saya menunggu sampai saya selesai belajar dan telah bekerja agar saya menunaikan ibadah haji dengan harta saya sendiri, dan ini akan memakan waktu yang cukup lama. Apa nasehat syaikh kepada saya.

Jawaban Haji itu tidak wajib atas seseorang bila ia tidak mempunyai harta, sekalipun ayahnya adalah orang kaya, dan tidak perlu meminta kepada ayahnya sejumlah dana yang cukup untuk dapat menunaikan ibadah haji. Para ulama telah mengatakan, “Andaikata ayahmu memberimu sejumlah uang agar kamu menunaikan ibadah haji, maka kamu tidak harus menerimanya. Kamu boleh menolaknya sambil mengatakan : Aku belum ingin menunaikan ibadah haji, karena haji belum wajib atasku”. Sebagian ulama juga ada yang megatakan :

“Kalau ada seseorang (seperti ayah atau saudara kandung) yang memberimu uang agar dengannya kamu dapat beribadah haji, maka kamu wajib menerima pemberian itu dan menunaikan ibadah haji dengannya. Tetapi kalau kamu diberi uang oleh orang lain yang kamu khawatirkan ia akan mengungkit-ngungkit pemberian itu di hari kemudian, maka kamu tidak harus menerimanya” Ini adalah pendapat yang shahih.

Yang jadi masalah adalah seseorang diberi uang oleh orang lain agar ia menunaikan ibadah haji wajib, apakah ia wajib menerima uang pemberian itu dan menunaikan haji wajib dengannya? Jawabannya : Tidak wajib. Ia boleh menolaknya karena khawatir diungkit-ungkit kembali. Sebab haji belum wajib atasnya karena belum mempunyai kemampuan. Tetapi jika yang memberi uang itu adalah ayahnya atau saudara kandungnya, maka kami katakana :

Silahkan terima pemberian itu dan laksanakanlah ibadah haji dengannya, karena ayahmu dan saudara kandungmu tidak akan mengungkit-ngungkit kembali pemberian itu. Berdasarkan itu semua, kami katakan kepada saudara penanya (pelajar)

:Tunggu hingga Allah menjadikan kamu orang yang mampu dan kamu dapat menunaikan ibadah haji dengan hartamu sendiri, dan kamu tidak berdosa apabila kamu terlambat menunaikan ibadah haji (karena belum mampu)  

[Ibnu Utsaimin ; Al-Liqa As-Syahri, vol. 16, hal.22] [Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq] Semoga memberikan

Pencerahan Jazzakallahu Khairan Sumber: http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/tolak-ukur-mampu-dalam-berhaji.html http://almanhaj.or.id/content/472/slash/0/arti-kemampuan-melaksanakan-haji-dan-anak-yang-pergi-haji-atas-biaya-orang-tuanya/ http://kangaswad.wordpress.com/2013/10/01/haji-dulu-atau-beli-rumah/ http://muslimafiyah.com/naik-haji-dulu-atau-beli-mobil-ya.html