By Aida Nursidah
Suatu sore, saya sedang menemani anak saya bermain di sebuah
taman. Bersama ibu-ibu lain, memang kegiatan tersebut adalah rutinitas setiap
sore yang selalu kami kerjakan. Tak jauh dari pemandangan kami, terlihat
seorang pasangan muda-mudi sedang berduaan di sebuah kursi. Sedang tentu saja,
anak-anak kami yang sedang menikmati bermain bersama melihat pemandangan kurang
baik tersebut.
Cukup kaget, karena seorang sahabat Muslimah alih-alih mendekati
pasangan itu. Kebetulan beliau bukan orang Indonesia, namun bagi saya tentu
saja keberaniannya nyaris merontokkan jiwa saya saat itu. Ia pun spontan
berkata,
“Apakah Anda tidak memiliki rumah?”
Si orang Korea itu tercengang heran.
“Mengapa Anda lakukan itu di depan anak-anak kami? Anak kami
melihat Anda, lebih baik Anda pulang, di sini bukan tempat yang cukup baik
untuk Anda.
“Maaf…” si orang Korea pun berkata datar.
Beruntung, bagi saya Muslimah itu bertemu dengan karakter orang
Korea yang lumayan sabar. Sebetulnya cukup banyak saya jumpai, karakter orang
Korea yang pemarah, kurang Sabar, apalagi untuk dikatai hal seperti itu. Secara
negara ini bukannya negara bebas? Orang bisa berbuat seenaknya, tanpa melihat
efek agama, budaya dan tabiat orang per orang.
Saya jadi berpikir sejenak. Apa iya mesti seprotektif itu untuk
melindungi anak kita. Pun sebetulnya saya menaruh kagum pada muslimah tersebut.
Teringat sebuah hadist, Jika sebuah kemungkaran di depan mata, maka
sebaik-sebaiknya mukmin memeranginya dengan tangannya, sedang selemah-lemahnya
iman adalah cukup bisa bersedih dengan kemungkaran itu.
***
Mendidik anak di negeri minoritas muslim, adalah tema yang
sering di angkat oleh para ibu muslimah yang berdomisili di luar negeri,
khususnya Negeri Minoritas muslim. Tema ini saya angkat, mengingat dan
menimbang cukup banyak jadi perhatian bagi kita sebagai seorang muslimah yang
bertanggung jawab, bukan sekedar diri pribadi tapi juga keluarga khususnya
anak-anak kita.
Dalam Alquran Surat Annisa ayat 9 dijelaskan :
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ
لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا
اللَّهَ
وَلْيَقُولُوا قَوْلًا
سَدِيدًا
Artinya:“Dan hendaklah orang-orang takut kepada Allah, bila
seandainya mereka meninggalkan anak-anaknya, yang dalam keadaan lemah, yang
mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar”. (an-Nisa’:
9)
Dalam sebuah kajian oleh Ustadz Fauzil Adhiem dikatakan, bahwa
ayat ini menjadi referensi bagi setiap orang tua yang bertanggung jawab akan
anak-anaknya. Lemah dalam artian, kurangnya akidah yang terpatri dalam jiwa
sang anak bukan lemah akan berbagai aksesoris yang biasanya menjadi konsen
dalam kehidupan kita sebagai orang tua. Dan tentu saja, saya yakin mengaca
kepada pengalaman pribadi, kekhawatiran ini cukup dirasa saat kita hidup
membersamai anak di negeri minoritas muslim. Hal itu sebetulnya sedikit
banyaknya perlu kita syukuri, karena pemandangan yang sama, hal yang sama bukan
berarti tidak pernah steril ada di negeri muslim itu sendiri bukan?
Sehingga jelas, konsentrasi utama saat kita tinggal di negeri
seperti ini adalah menyoal akidah. Berawal dari mana, tentu kita semua tahu,
mendidik anak tidak terbatas pada batasan umur anak itu sendiri. Istri Imran
dalam AlQuran, bahkan pernah bernadzar saat ia masih belum memiliki anak,
ia berkata, Ya Allah jika kelak engkau tiupkan janin pada rahimku, jadikanlah
ia seorang hamba Allah yang mengabdi kepadaMu (Ali Imran,35). Kemudian doanya
Nabi Ibrahim untuk anak-anaknya “ Robbihabli minashaalihin” Ya Tuhanku
Anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang sholeh (Assafat, 100).
Banyak kisah dari para Nabi, sahabat Nabi, hingga para Shalafushalih,
bahwa mereka cukup konsen mendidik tauhid anak-anak mereka sedini mungkin.
Karena memang doanya orang tua itu, ikhtiar orang tuanya itu yang kelak membawa
serta keshalihan dan kebaikan sang anak itu sendiri.
Sahabat muslimah bisa mengkaji sirah Ibunda Asma bagaimana
beliau membesarkan, meneguhkan dan menemani perjuangan anaknya Abdullah bin
Zubair hingga akhir masa. Perjuangan ibunda dari Imam Bukhari, yang begitu
sabar berdoa dan berusaha memberikan pendidikan akidah yang terbaik untuk anaknya.
Hingga saat Imam bukhari, tiba-tiba mendapat cobaan dibutakan matanya, hanya
karena doa sang ibu dan Allah perkenankan, maka sang anak bisa melihat kembali,
dan siap melalap semua ilmu pengetahuan yang difasilitasi oleh ibunya, hingga
beliau menjadi seorang Imam yang kita tangguhkan hingga sekarang.
Kemudian yang menjadi konsen saya yang kedua adalah mengenai
pola asuh ibu. Sudah barang tentu, tinggal di Korea sekian lama, tidak mungkin
kita membiarkan anak kita tidak bersekolah. Saking takutnya anak kita ternoda
dengan kehidupan Korea yang tidak sesuai dengan agama kita. Kajian dari
beberapa ustadzah yang pernah saya ikuti, menyimpulkan bahwa yang terpenting
adalah imunitas. Bukan menghindari. Untuk hal ini, tentu peran ibu
sangat diutamakan. Karena dengan aktifitas yang cukup padat di Korea ini, baik
sebagai pelajar maupun pekerja, saya menyangsikan Ayah bisa konsen untuk bisa
menangani hal ini. Mungkin bisa, tapi tentu porsinya tidak sebesar ibu.
Dalam Kajian SEMOL Kharisma Jerman, bersama Ibu Canti Besari
pernah dibahas mengenai hal ini. Pentingnya anak di asuh ibunya saat masih
kecil, sebetulnya lebih melatih ibu itu sendiri untuk belajar menjadi ibu, dan
menangani setiap kesulitan saat membersamai anak. Meski mungkin, tentu dengan
aktifitas tanpa ART di sini sangat merepotkan. Namun tetap anak bersama ibu
adalah lebih baik untuk perkembangan dan pertumbuhan anak itu sendiri.
Ustadz Fauzil Adhiem juga membenarkan hal tersebut, dengan
mengatakan bahwa 0-5 tahun anak sebetulnya hanya butuh teladan dari orang
tuanya. Belum butuh pembelajaran dari yang lain selain dari kedua orang tuanya
sendiri.
Jika saya pernah mendengar kajian Ustadz Budi Ashari, dikatakan
bahwa masa 0-2 tahun anak termasuk kategori masa menyusui. Tentunya baiknya,
kedekatan intens dengan ibu lebih diutamakan untuk kategori anak ini. Dan 2-4/5
thn (hingga usia TK) termasuk masa Hadonah atau pengasuhan. Jadi di sini
biasanya anak sedang belajar mengexplore segala hal, keingin tahuannya banyak,
mulai banyak bicara, dan bertanya itu kenapa? Saat ini dirasa paling tepat
untuk menanamkan Tauhid yang bisa dipahami hingga betul-betul anak bisa
berkomunikasi 2 arah dengan kita khususnya tentang kepahaman keTuhanan, konsep
halal haram, dan segala sesuatunya yang berkaitan dengan budaya di Korea yang
tidak sesuai dengan syari`at islam.
Ustadz Dr Agus Setiawan, dalam kajiannya tentang Anak di Wina
Austria juga pernah mengemukakan hal yang sama. Masa 0-7 tahun, cukup wajar
jika orang tua cukup disibukkan dengan anak-anaknya. Karena masa ini, menurut
Imam Ali adalah masa orang tua menjadi pelayan bagi anak-anaknya. Termasuk
melayani, dan mewarnai anak dengan aksesoris keTuhanan dan aksesoris agama yang
harus ia pahami. Ustadz juga menambahkan, bahwa ada baiknya jika kita
membesarkan anak di negeri minoritas muslim, sebaiknya anak diberi kesempatan
untuk bertemu dan bermain dengan kawannya sesama muslim. Agar anak merasa tidak
sendiri, pengakuannya sebagai sebagai seorang muslim terpancar di jiwa anak,
dan memiliki rasa percaya diri sebagai seorang muslim yang sejatinya.
Efek dari usaha ini, jika saya pernah mendengar cerita dari
seorang ibu di Jerman, anaknya yang masih sekolah TK, pernah menangis dan
melapor kepada ibunda tercinta. Subhanallah, ternyata sang anak bercerita bahwa
dia tidak sengaja memakan sosis yang diberikan gurunya di sekolah. Karena hari
itu adalah hari berbagi. Mungkin karena kelupaan sang guru, jika anak itu
termasuk yang tidak boleh diberikan makanan lain kecuali makanan dari ibunya.
Dan Subhanallahnya anak itu melapor dan jujur pada ibunya akan
kejadian yang membuat ia menangis sejadi-jadinya. Saya yakin, anak-anak sahabat
muslimah di sini pasti ada yang memiliki pengalaman yang sama. Daya imun yang
luar biasa, di mana mungkin orang dewasa saja masih enggan meninggalkan hal-hal
yang haram yang berkeliaran di sekeliling kita.
In Sya Allah, itu saja dua hal yang bisa saya berikan kepada
ibunda muslimah sekalian yang ada di Korea. Saya mohon maaf jika ada kata, atau
kalimat yang menyinggung In Sya Allah saya mencatatkan ini bukan semata-mata
terpikir dari pikiran saya pribadi. Namun beberapa kajian yang cukup penting
memang menjadi pedoman saya selama mengasuh anak-anak di sini.
Sekian tulisan pamungkas saya, karena in sya Allah setelah ini
saya mohon pamit dari amanah menulis di kajian ini. In sya Allah dengan izin
Allah, ke depan saya akan mengerjakan amanah lain yang mudah-mudahan lebih
bermanfaat bagi kehidupan saya. Mohon maaf atas segala khilaf, kekurangan yang
telah saya lakukan selama ini. Semoga kelak, Allah berkenan mengabulkan doa dan
harapan kita untuk anak-anak kita. Aamiin Ya Robbal `aalamiin.
Salam, Aida
..."Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan
adalah wanita sholihah"...[HR. Muslim]