Kamis, 01 Agustus 2013

Mendidik anak di negeri orang

Edisi Parenting : Mendidik Anak dengan Tauhid di Negeri Minoritas 
By Aida Nursidah


Suatu sore, saya sedang menemani anak saya bermain di sebuah taman. Bersama ibu-ibu lain, memang kegiatan tersebut adalah rutinitas setiap sore yang selalu kami kerjakan. Tak jauh dari pemandangan kami, terlihat seorang pasangan muda-mudi sedang berduaan di sebuah kursi. Sedang tentu saja, anak-anak kami yang sedang menikmati bermain bersama melihat pemandangan kurang baik tersebut.

Cukup kaget, karena seorang sahabat Muslimah alih-alih mendekati pasangan itu. Kebetulan beliau bukan orang Indonesia, namun bagi saya tentu saja keberaniannya nyaris merontokkan jiwa saya saat itu. Ia pun spontan berkata,

“Apakah Anda tidak memiliki rumah?”
Si orang Korea itu tercengang heran.
“Mengapa Anda lakukan itu di depan anak-anak kami? Anak kami melihat Anda, lebih baik Anda pulang, di sini bukan tempat yang cukup baik untuk Anda.
“Maaf…” si orang Korea pun berkata datar.

Beruntung, bagi saya Muslimah itu bertemu dengan karakter orang Korea yang lumayan sabar. Sebetulnya cukup banyak saya jumpai, karakter orang Korea yang pemarah, kurang Sabar, apalagi untuk dikatai hal seperti itu. Secara negara ini bukannya negara bebas? Orang bisa berbuat seenaknya, tanpa melihat efek agama, budaya dan tabiat orang per orang.

Saya jadi berpikir sejenak. Apa iya mesti seprotektif itu untuk melindungi anak kita. Pun sebetulnya saya menaruh kagum pada muslimah tersebut. Teringat sebuah hadist, Jika sebuah kemungkaran di depan mata, maka sebaik-sebaiknya mukmin memeranginya dengan tangannya, sedang selemah-lemahnya iman adalah cukup bisa bersedih dengan kemungkaran itu.
***
Mendidik anak di negeri minoritas muslim, adalah tema yang sering di angkat oleh para ibu muslimah yang berdomisili di luar negeri, khususnya Negeri Minoritas muslim. Tema ini saya angkat, mengingat dan menimbang cukup banyak jadi perhatian bagi kita sebagai seorang muslimah yang bertanggung jawab, bukan sekedar diri pribadi tapi juga keluarga khususnya anak-anak kita.
Dalam Alquran Surat Annisa ayat 9 dijelaskan :

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ
وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

Artinya:“Dan hendaklah orang-orang takut kepada Allah, bila seandainya mereka meninggalkan anak-anaknya, yang dalam keadaan lemah, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar”. (an-Nisa’: 9)

Dalam sebuah kajian oleh Ustadz Fauzil Adhiem dikatakan, bahwa ayat ini menjadi referensi bagi setiap orang tua yang bertanggung jawab akan anak-anaknya. Lemah dalam artian, kurangnya akidah yang terpatri dalam jiwa sang anak bukan  lemah akan berbagai aksesoris yang biasanya menjadi konsen dalam kehidupan kita sebagai orang tua. Dan tentu saja, saya yakin mengaca kepada pengalaman pribadi, kekhawatiran ini cukup dirasa saat kita hidup membersamai anak di negeri minoritas muslim. Hal itu sebetulnya sedikit banyaknya perlu kita syukuri, karena pemandangan yang sama, hal yang sama bukan berarti tidak pernah steril ada di negeri muslim itu sendiri bukan?

Sehingga jelas, konsentrasi utama saat kita tinggal di negeri seperti ini adalah menyoal akidah. Berawal dari mana, tentu kita semua tahu, mendidik anak tidak terbatas pada batasan umur anak itu sendiri. Istri Imran dalam AlQuran, bahkan pernah bernadzar  saat ia masih belum memiliki anak, ia berkata, Ya Allah jika kelak engkau tiupkan janin pada rahimku, jadikanlah ia seorang hamba Allah yang mengabdi kepadaMu (Ali Imran,35). Kemudian doanya Nabi Ibrahim untuk anak-anaknya “ Robbihabli minashaalihin” Ya Tuhanku Anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang sholeh (Assafat, 100).
 
Banyak kisah dari para Nabi, sahabat Nabi, hingga para Shalafushalih, bahwa mereka cukup konsen mendidik tauhid anak-anak mereka sedini mungkin. Karena memang doanya orang tua itu, ikhtiar orang tuanya itu yang kelak membawa serta keshalihan dan kebaikan sang anak itu sendiri.

Sahabat muslimah bisa mengkaji sirah Ibunda Asma bagaimana beliau membesarkan, meneguhkan dan menemani perjuangan anaknya Abdullah bin Zubair hingga akhir masa. Perjuangan ibunda dari Imam Bukhari, yang begitu sabar berdoa dan berusaha memberikan pendidikan akidah yang terbaik untuk anaknya. Hingga saat Imam bukhari, tiba-tiba mendapat cobaan dibutakan matanya, hanya karena doa sang ibu dan Allah perkenankan, maka sang anak bisa melihat kembali, dan siap melalap semua ilmu pengetahuan yang difasilitasi oleh ibunya, hingga beliau menjadi seorang Imam yang kita tangguhkan hingga sekarang.

Kemudian yang menjadi konsen saya yang kedua adalah mengenai pola asuh ibu. Sudah barang tentu, tinggal di Korea sekian lama, tidak mungkin kita membiarkan anak kita tidak bersekolah. Saking takutnya anak kita ternoda dengan kehidupan Korea yang tidak sesuai dengan agama kita. Kajian dari beberapa ustadzah yang pernah saya ikuti, menyimpulkan bahwa yang terpenting adalah imunitas. Bukan menghindari. Untuk hal ini, tentu peran ibu sangat diutamakan. Karena dengan aktifitas yang cukup padat di Korea ini, baik sebagai pelajar maupun pekerja, saya menyangsikan Ayah bisa konsen untuk bisa menangani hal ini. Mungkin bisa, tapi tentu porsinya tidak sebesar ibu.

Dalam Kajian SEMOL Kharisma Jerman, bersama Ibu Canti Besari pernah dibahas mengenai hal ini. Pentingnya anak di asuh ibunya saat masih kecil, sebetulnya lebih melatih ibu itu sendiri untuk belajar menjadi ibu, dan menangani setiap kesulitan saat membersamai anak. Meski mungkin, tentu dengan aktifitas tanpa ART di sini sangat merepotkan. Namun tetap anak bersama ibu adalah lebih baik untuk perkembangan dan pertumbuhan anak itu sendiri.

Ustadz Fauzil Adhiem juga membenarkan hal tersebut, dengan mengatakan bahwa 0-5 tahun anak sebetulnya hanya butuh teladan dari orang tuanya. Belum butuh pembelajaran dari yang lain selain dari kedua orang tuanya sendiri.

Jika saya pernah mendengar kajian Ustadz Budi Ashari, dikatakan bahwa masa 0-2 tahun anak termasuk kategori masa menyusui. Tentunya baiknya, kedekatan intens dengan ibu lebih diutamakan untuk kategori anak ini. Dan 2-4/5 thn (hingga usia TK) termasuk masa Hadonah atau pengasuhan. Jadi di sini biasanya anak sedang belajar mengexplore segala hal, keingin tahuannya banyak, mulai banyak bicara, dan bertanya itu kenapa? Saat ini dirasa paling tepat untuk menanamkan Tauhid yang bisa dipahami hingga betul-betul anak bisa berkomunikasi 2 arah dengan kita khususnya tentang kepahaman keTuhanan, konsep halal haram, dan segala sesuatunya yang berkaitan dengan budaya di Korea yang tidak sesuai dengan syari`at islam.

Ustadz Dr Agus Setiawan, dalam kajiannya tentang Anak di Wina Austria juga pernah mengemukakan hal yang sama. Masa 0-7 tahun, cukup wajar jika orang tua cukup disibukkan dengan anak-anaknya. Karena masa ini, menurut Imam Ali adalah masa orang tua menjadi pelayan bagi anak-anaknya. Termasuk melayani, dan mewarnai anak dengan aksesoris keTuhanan dan aksesoris agama yang harus ia pahami. Ustadz juga menambahkan, bahwa ada baiknya jika kita membesarkan anak di negeri minoritas muslim, sebaiknya anak diberi kesempatan untuk bertemu dan bermain dengan kawannya sesama muslim. Agar anak merasa tidak sendiri, pengakuannya sebagai sebagai seorang muslim terpancar di jiwa anak, dan memiliki rasa percaya diri sebagai seorang muslim yang sejatinya.

Efek dari usaha ini, jika saya pernah mendengar cerita dari seorang ibu di Jerman, anaknya yang masih sekolah TK, pernah menangis dan melapor kepada ibunda tercinta. Subhanallah, ternyata sang anak bercerita bahwa dia tidak sengaja memakan sosis yang diberikan gurunya di sekolah. Karena hari itu adalah hari berbagi. Mungkin karena kelupaan sang guru, jika anak itu termasuk yang tidak boleh diberikan makanan lain kecuali makanan dari ibunya.

Dan Subhanallahnya anak itu melapor dan jujur pada ibunya akan kejadian yang membuat ia menangis sejadi-jadinya. Saya yakin, anak-anak sahabat muslimah di sini pasti ada yang memiliki pengalaman yang sama. Daya imun yang luar biasa, di mana mungkin orang dewasa saja masih enggan meninggalkan hal-hal yang haram yang berkeliaran di sekeliling kita.

In Sya Allah, itu saja dua hal yang bisa saya berikan kepada ibunda muslimah sekalian yang ada di Korea. Saya mohon maaf jika ada kata, atau kalimat yang menyinggung In Sya Allah saya mencatatkan ini bukan semata-mata terpikir dari pikiran saya pribadi. Namun beberapa kajian yang cukup penting memang menjadi pedoman saya selama mengasuh anak-anak di sini.

Sekian tulisan pamungkas saya, karena in sya Allah setelah ini saya mohon pamit dari amanah menulis di kajian ini. In sya Allah dengan izin Allah, ke depan saya akan mengerjakan amanah lain yang mudah-mudahan lebih bermanfaat bagi kehidupan saya. Mohon maaf atas segala khilaf, kekurangan yang telah saya lakukan selama ini. Semoga kelak, Allah berkenan mengabulkan doa dan harapan kita untuk anak-anak kita. Aamiin Ya Robbal `aalamiin.

Salam, Aida


..."Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholihah"...[HR. Muslim]