Selasa, 26 Februari 2013

Bagaimana Doa Dapat Mempercepat Kesembuhan Pasien

 
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (QS. Al Mu'min, 40:60)
 
Menurut Al Qur'an, doa, yang berarti "seruan, menyampaikan ungkapan, permintaan, permohonan pertolongan," adalah berpalingnya seseorang dengan tulus ikhlas kepada Allah, dan memohon pertolongan dari-Nya, Yang Mahakuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, dengan kesadaran bahwa dirinya adalah wujud yang memiliki kebergantungan. Penyakit adalah salah satu dari contoh tersebut yang dengannya manusia paling merasakan kebergantungan ini dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Tambahan lagi, penyakit adalah sebuah ujian, yang direncanakan menurut Hikmah Allah, yang terjadi dengan Kehendak-Nya, dan sebagai peringatan bagi manusia akan kefanaan dan ketidaksempurnaan kehidupan ini, dan juga sebagai sumber pahala di Akhirat atas kesabaran dan ketaatan karenanya.
Sebaliknya mereka yang tidak memiliki iman, meyakini bahwa jalan kesembuhan adalah melalui dokter, obat atau kemampuan teknologi mutakhir dari ilmu pengetahuan modern. Mereka tidak pernah berhenti untuk merenung bahwa Allah-lah yang menyebabkan keseluruhan perangkat tubuh mereka untuk bekerja di saat mereka sedang sehat, atau Dialah yang menciptakan obat yang membantu penyembuhan dan para dokter ketika mereka sakit. Banyak orang hanya kembali menghadap kepada Allah di saat mereka sadar bahwa para dokter dan obat-obatan tidak memiliki kesanggupan. Orang-orang yang berada pada keadaan tersebut memohon pertolongan hanya kepada Allah, setelah menyadari bahwa hanya Dialah yang dapat membebaskan mereka dari kesulitan. Allah telah menyatakan pola pikir ini dalam sebuah ayat:
 
Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan. (QS, Yunus, 10:12)
 
Padahal sesungguhnya, sekalipun dalam keadaan sehat, atau tanpa cobaan atau kesulitan lain, seseorang wajib berdoa dan bersyukur kepada Allah atas segala kenikmatan, kesehatan dan seluruh karunia yang telah Dia berikan.
 
Inilah satu sisi paling penting dari doa: Di samping berdoa dengan lisan menggunakan suara, penting pula bagi seseorang melakukan segala upaya untuk berdoa melalui perilakunya. Berdoa dengan perilaku bermakna melakukan segala sesuatu yang mungkin untuk mencapai harapan tertentu. Misalnya, di samping berdoa, seseorang yang sakit sepatutnya juga pergi ke dokter ahli, menggunakan obat-obatan yang berkhasiat, dan menjalani perawatan rumah sakit jika perlu, atau perawatan khusus dalam bentuk lain. Sebab, Allah mengaitkan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini pada sebab-sebab tertentu. Segala sesuatu di dunia dan di alam semesta terjadi mengikuti sebab-sebab ini. Oleh karena itu, seseorang haruslah melakukan segala hal yang diperlukan dalam kerangka sebab-sebab ini, sembari berharap hasilnya dari Allah, dengan kerendahan diri, berserah diri dan bersabar, dengan menyadari bahwa Dialah yang menentukan hasilnya.
 
Pengaruh menguntungkan dari keimanan dan doa bagi orang sakit, dan bagaimana hal ini dapat mempercepat penyembuhan adalah sesuatu yang telah menarik perhatian dari dan dianjurkan oleh para dokter. Dengan judul "God and Health: Is Religion Good Medicine? Why Science Is Starting to Believe" [Tuhan dan Kesehatan: Apakah Agama Adalah Obat Yang Baik? Mengapa Ilmu Pengetahuan Mulai Percaya], majalah terkenalNewsweek terbitan tanggal 10 November 2003 mengangkat pengaruh agama dalam penyembuhan penyakit sebagai bahasan utamanya. Majalah tersebut melaporkan bahwa keimanan kepada Tuhan meningkatkan harapan pasien dan membantu pemulihan mereka dengan mudah, dan bahwa ilmu pengetahuan mulai meyakini bahwa pasien dengan keimanan agama akan pulih lebih cepat dan lebih mudah. Menurut pendataan oleh Newsweek, 72% masyarakat Amerika mengatakan mereka percaya bahwa berdoa dapat menyembuhkan seseorang dan berdoa membantu kesembuhan. Penelitian di Inggris dan Amerika Serikat juga telah menyimpulkan bahwa doa dapat mengurangi gejala-gejala penyakit pada pasien dan mempercepat proses penyembuhannya.
 
Menurut penelitian yang dilakukan di Universitas Michigan, depresi dan stres teramati pada orang-orang yang taat beragama dengan tingkat rendah. Dan, menurut penemuan di Universitas Rush di Chicago, tingkat kematian dini di kalangan orang-orang yang beribadah dan berdoa secara teratur adalah sekitar 25% lebih rendah dibandingkan pada mereka yang tidak memiliki keyakinan agama. Penelitian lain yang dilakukan terhadap 750 orang, yang menjalani pemeriksaan angiocardiography [jantung dan pembuluh darah], membuktikan secara ilmiah "kekuatan penyembuhan dari doa." Telah diakui bahwa tingkat kematian di kalangan pasien penyakit jantung yang berdoa menurun 30% dalam satu tahun pasca operasi yang mereka jalani.
 
Sejumlah contoh doa yang disebutkan dalam Al Qur'an adalah:
Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang". Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah. (QS. Al Anbiyaa', 21:83-84)
 
Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau.  Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman. (QS. Al Anbiyaa', 21:87-88)
 
Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: "Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik. Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami.(QS. Al Anbiyaa', 21:89-90)
 
Sesungguhnya Nuh telah menyeru Kami: maka sesungguhnya sebaik-baik yang memperkenankan (adalah Kami). (QS. Ash Shaaffaat, 37:75)
 
Sebagaimana telah disebutkan, doa tidak semestinya hanya dilakukan untuk menghilangkan penyakit, atau kesulitan-kesulitan duniawi lainnya. Orang beriman yang sejati haruslah senantiasa berdoa kepada Allah dan menerima apa pun yang datang dari-Nya. Kenyataan bahwa sejumlah manfaat doa yang diwahyukan di dalam banyak ayat Al Qur'an kini sedang diakui kebenarannya secara ilmiah, sekali lagi mengungkapkan keajaiban yang dimiliki Al Qur'an.
 
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al Baqarah, 2:186)
 
..."Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholihah"...[HR. Muslim]

please visit our weblog:
http://ppmimuska.wordpress.com
http://muslimahkorea.multiply.com
 

JANGAN MARAH, KAMU AKAN MASUK SURGA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَوْصِنِيْ ، قَالَ :
(( لَا تَغْضَبْ )). فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )).
رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang laki-laki
berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berilah aku
wasiat”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi
permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Engkau jangan marah!” [HR al-Bukhâri].

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh: al-Bukhâri (no. 6116), Ahmad
(II/362, 466, III/484), at-Tirmidzi (no. 2020), Ibnu Hibban (no.
5660-5661 dalam at-Ta’lîqâtul Hisân), ath-Thabrani dalam
al-Mu’jamul-Kabîr (II/261-262, no. 2093-2101), Ibnu Abi Syaibah dalam
al-Mushannaf (no. 25768-25769), ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (no.
20286), al-Baihaqi dalam Syu’abul-Îmân (no. 7924, 7926), al-Baihaqi
dalam as-Sunanul-Kubra (X/105), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah
(XIII/159, no. 3580).

SYARAH HADITS
Sahabat yang meminta wasiat dalam hadits ini bernama Jariyah bin
Qudamah rahimahullah . Ia meminta wasiat kepada Nabi dengan sebuah
wasiat yang singkat dan padat yang mengumpulkan berbagai perkara
kebaikan, agar ia dapat menghafalnya dan mengamalkannya. Maka Nabi
berwasiat kepadanya agar ia tidak marah. Kemudian ia mengulangi
permintaannya itu berulang-ulang, sedang Nabi tetap memberikan jawaban
yang sama. Ini menunjukkan bahwa marah adalah pokok berbagai
kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala kebaikan.

Marah adalah bara yang dilemparkan setan ke dalam hati anak Adam
sehingga ia mudah emosi, dadanya membara, urat sarafnya menegang,
wajahnya memerah, dan terkadang ungkapan dan tindakannya tidak masuk
akal.

DEFINISI MARAH
Marah ialah bergejolaknya darah dalam hati untuk menolak gangguan yang
dikhawatirkan terjadi atau karena ingin balas dendam kepada orang yang
menimpakan gangguan yang terjadi padanya.

Marah banyak sekali menimbulkan perbuatan yang diharamkan seperti
memukul, melempar barang pecah belah, menyiksa, menyakiti orang, dan
mengeluarkan perkataan-perkataan yang diharamkan seperti menuduh,
mencaci maki, berkata kotor, dan berbagai bentuk kezhaliman dan
permusuhan, bahkan sampai membunuh, serta bisa jadi naik kepada
tingkat kekufuran sebagaimana yang terjadi pada Jabalah bin Aiham, dan
seperti sumpah-sumpah yang tidak boleh dipertahankan menurut syar’i,
atau mencerai istri yang disusul dengan penyesalan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqâlani rahimahullah berkata, “Adapun
hakikat marah tidaklah dilarang karena merupakan perkara tabi’at yang
tidak bisa hilang dari perilaku kebiasaan manusia.”[1]

Yang dimaksud dengan hadits di atas adalah marah yang dilakukan karena
menuruti hawa nafsu dan menimbulkan kerusakan.

Di dalam Al-Qur`ân Karim disebutkan bahwasanya Allah marah. Adapun
marah yang dinisbatkan kepada Allah Ta’ala Yang Mahasuci adalah marah
dan murka kepada orang-orang kafir, musyrik, munafik, dan orang-orang
yang melewati batas-Nya. Allah Ta’ala berfirman:

وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ
وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ ۚ عَلَيْهِمْ
دَائِرَةُ السَّوْءِ ۖ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ
وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan
(juga) orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka
buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (adzab) yang buruk,
dan Allah murka kepada mereka dan mengutuk mereka, serta menyediakan
neraka Jahannam bagi mereka. Dan (neraka Jahannam) itu seburuk-buruk
tempat kembali. [al-Fath/48 : 6][2].

Di dalam hadits yang panjang tentang syafaat disebutkan bahwa Allah
sangat marah yang belum pernah marah seperti kemarahan saat itu baik
sebelum maupun sesudahnya.[3]

Setiap muslim wajib menetapkan sifat marah bagi Allah, tidak boleh
mengingkarinya, tidak boleh ditakwil, dan tidak boleh menyamakan
dengan sifat makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar,
Maha Melihat. [asy-Syûrâ/42 : 11].

Sifat marah bagi Allah merupakan sifat yang sesuai dengan keagungan
dan kemuliaan bagi Allah, dan ini merupakan manhaj Salaf yang wajib
ditempuh oleh setiap muslim.

Adapun marah yang dinisbatkan kepada makhluk; ada yang terpuji ada
pula yang tercela. Terpuji apabila dilakukan karena Allah Azza wa
Jalla dalam membela agama Allah Azza wa Jalladengan ikhlas, membela
hak-hak-Nya, dan tidak menuruti hawa nafsu, seperti yang dilakukan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau marah karena
ada hukum-hukum Allah dan syari’at-Nya yang dilanggar, maka beliau
marah. Begitu pula marahnya Nabi Musa Alaihissallam [4] dan marahnya
Nabi Yunus Alaihissallam [5] . Adapun yang tercela apabila dilakukan
karena membela diri, kepentingan duniawi, dan melewati batas.

Dalam hadits di atas disebutkan larangan marah karena marah mengikuti
emosi dan hawa nafsu yang pengaruhnya membawa kepada kehancuran dan
kebinasaan.

Ja’far bin Muhammad rahimahullah mengatakan, “Marah adalah pintu
segala kejelekan.” Dikatakan kepada Ibnu Mubarak rahimahullah ,
“Kumpulkanlah untuk kami akhlak yang baik dalam satu kata!” Beliau
menjawab, “Meninggalkan amarah.” Demikian juga Imam Ahmad rahimahullah
dan Ishaq rahimahullah menafsirkan bahwa akhlak yang baik adalah
dengan meninggalkan amarah.

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Engkau jangan marah
“ kepada orang yang meminta wasiat kepada beliau mengandung dua hal.

Pertama : Maksud dari perintah beliau ialah perintah untuk memiliki
sebab-sebab yang menghasilkan akhlak yang baik, berupa dermawan, murah
hati, penyantun, malu, tawadhu’, sabar, menahan diri dari mengganggu
orang lain, pemaaf, menahan amarah, wajah berseri, dan akhlak-akhlak
baik yang semisalnya.

Apabila jiwa terbentuk dengan akhlak-akhlak yang mulia ini dan menjadi
kebiasaan baginya, maka ia mampu menahan amarah, pada saat timbul
berbagai sebabnya.

Kedua : Maksud sabda Nabi ialah, “Engkau jangan melakukan tuntutan
marahmu apabila marah terjadi padamu, tetapi usahakan dirimu untuk
tidak mengerjakan dan tidak melakukan apa yang diperintahnya.” Sebab,
apabila amarah telah menguasai manusia, maka amarah itu yang
memerintah dan yang melarangnya.

Makna ini tercermin dalam firman Allah Ta’ala:

وَلَمَّا سَكَتَ عَنْ مُوسَى الْغَضَبُ

Dan setelah amarah Musa mereda… [al-A’râf/7 : 154].

Apabila manusia tidak mengerjakan apa yang diperintahkan amarahnya dan
dirinya berusaha untuk itu, maka kejelekan amarah dapat tercegah
darinya, bahkan bisa jadi amarahnya menjadi tenang dan cepat hilang
sehingga seolah-olah ia tidak marah.

Pada makna inilah terdapat isyarat dalam Al-Qur`ân dengan firman-Nya
Azza wa Jalla :

وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ

… Dan apabila mereka marah segera memberi maaf. [asy-Syûrâ/42 : 37].

Juga dengan firman-Nya Ta’ala:

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ
يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

…Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan)
orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. [Ali
‘Imrân/3 : 134].

Nabi memerintahkan orang yang sedang marah untuk melakukan berbagai
sebab yang dapat menahan dan meredakan amarahnya. Dan beliau memuji
orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.

Diantara cara yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
meredam amarah adalah dengan mengucapkan: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ .

Diriwayatkan dari Sulaiman bin Shurad Radhiyallahu anhu, ia berkata:
Kami sedang duduk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba
ada dua orang laki-laki saling mencaci di hadapan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Seorang dari keduanya mencaci temannya sambil
marah, wajahnya memerah, dan urat lehernya menegang, maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh, aku mengetahui satu
kalimat, jika ia mengucapkannya niscaya hilanglah darinya apa yang ada
padanya (amarah). Seandainya ia mengucapkan,

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.

(Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk)". Para
sahabat berkata, "Tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan
Rasulullah?" Laki-laki itu menjawab, "Aku bukan orang gila".[6]

Allah Ta’ala memerintahkan kita apabila kita diganggu setan hendaknya
kita berlindung kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:

وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ
ۚ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Dan jika setan datang mengodamu, maka berlindunglah kepada Allah.
Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. [al-A’râf/7 : 200].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan agar orang yang marah
untuk duduk atau berbaring. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda:

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ ، فَإِنْ ذَهَبَ
عَنْهُ الْغَضَبُ ، وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ.

Apabila seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia
duduk; apabila amarah telah pergi darinya, (maka itu baik baginya) dan
jika belum, hendaklah ia berbaring.[7]

Ada yang mengatakan bahwa berdiri itu siap untuk balas dendam, sedang
orang duduk tidak siap untuk balas dendam, sedang orang berbaring itu
sangat kecil kemungkinan untuk balas dendam.

Maksudnya ialah hendaknya seorang muslim mengekang amarahnya dalam
dirinya dan tidak menujukannya kepada orang lain dengan lisan dan
perbuatannya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan apabila seseorang
marah hendaklah ia diam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ.

Apabila seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam. [8]

Ini juga merupakan obat yang manjur bagi amarah, karena jika orang
sedang marah maka keluarlah darinya ucapan-ucapan yang kotor, keji,
melaknat, mencaci-maki dan lain-lain yang dampak negatifnya besar dan
ia akan menyesal karenanya ketika marahnya hilang. Jika ia diam, maka
semua keburukan itu hilang darinya.

Menurut syari’at Islam bahwa orang yang kuat adalah orang yang mampu
melawan dan mengekang hawa nafsunya ketika marah. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ
يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.

Orang yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang
kuat ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.[9]

Imam Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan bahwa melawan hawa nafsu
lebih berat daripada melawan musuh.[10]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang keutamaan
orang yang dapat menahan amarahnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda:

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللهُ
عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى
يُخَيِّرَهُ اللهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ مَا شَاءَ.

Barangsiapa menahan amarah padahal ia mampu melakukannya, pada hari
Kiamat Allah k akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, kemudian
Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang ia sukai.[11]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada
seorang sahabatnya,

لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ.

Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk Surga.[12]

Yang diwajibkan bagi seorang Mukmin ialah hendaklah keinginannya itu
sebatas untuk mencari apa yang dibolehkan oleh Allah Ta’ala baginya,
bisa jadi ia berusaha mendapatkannya dengan niat yang baik sehingga ia
diberi pahalanya karena. Dan hendaklah amarahnya itu untuk menolak
gangguan terhadap agamanya dan membela kebenaran atau balas dendam
terhadap orang-orang yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sebagaiman
Allah Ta’ala berfirman:

قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ
وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِين
َوَيُذْهِبْ غَيْظَ قُلُوبِهِمْ

Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan
(perantaraan) tanganmu dan Dia akan menghina mereka dan menolongmu
(dengan kemenangan) atas mereka, serta melegakan hati orang-orang yang
beriman. Dan Dia menghilangkan kemarahan hati mereka (orang Mukmin)…
[at-Taubah/9 : 14-15].

Ini adalah keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau
tidak balas dendam untuk dirinya sendiri. Namun jika ada hal-hal yang
diharamkan Allah dilanggar, maka tidak ada sesuatu pun yang sanggup
menahan kemarahan beliau. Dan beliau belum pernah memukul pembantu dan
wanita dengan tangan beliau, namun beliau menggunakan tangan beliau
ketika berjihad di jalan Allah.

‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ditanya tentang akhlak Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia menjawab, “Akhlak beliau adalah
Al-Qur`ân.”[13] Maksudnya beliau beradab dengan adab Al-Qur`ân,
berakhlak dengan akhlaknya. Beliau ridha karena keridhaan Al-Qur`ân
dan marah karena kemarahan Al-Qur`ân.

Karena sangat malunya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menghadapi siapa pun dengan sesuatu yang beliau benci, bahkan
ketidaksukaan beliau terlihat di wajah beliau, sebagaimana
diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri , ia berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang
dipingit. Apabila beliau melihat sesuatu yang dibencinya, kami
mengetahuinya di wajah beliau.”[14]

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi tahu Ibnu Mas’ud
Radhiyallahu anhu tentang ucapan seseorang, “Pembagian ini tidak
dimaksudkan untuk mencari wajah Allah.” Maka ucapan itu terasa berat
bagi beliau, wajah beliau berubah, beliau marah, dan Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallamhanya bersabda:

لَقَدْ أُوْذِيَ مُوْسَى بِأَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ.

Sungguh Musa disakiti dengan yang lebih menyakitkan daripada ini,
namun beliau bersabar.[15]

Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat atau
mendengar sesuatu yang membuat Allah murka, maka beliau marah
karenanya, menegurnya, dan tidak diam. Beliau pernah memasuki rumah
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dan melihat tirai yang terdapat gambar
makhluk hidup padanya, maka wajah beliau berubah dan beliau merobeknya
lalu bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling keras adzabnya pada
hari Kiamat ialah orang yang menggambar gambar-gambar ini.”[16]

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi pengaduan tentang
imam yang shalat lama dengan manusia hingga sebagian mereka terlambat,
beliau marah, bahkan sangat marah, menasihati manusia, dan menyuruh
meringankan shalat (supaya tidak memanjangkan shalatnya).[17]

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dahak di kiblat
masjid, beliau marah, mengeruknya, dan bersabda, “Sesungguhnya jika
salah seorang dari kalian berada dalam shalat, maka Allah ada di depan
wajahnya. Oleh karena itu, ia jangan sekali-kali berdahak di depan
wajahnya ketika shalat.”[18]

Diantara do’a yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallambaca ialah:

أَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَى.

Aku memohon kepada-Mu perkataan yang benar pada saat marah dan ridha.[19]

Ini sangat mulia, yaitu seorang hanya berkata benar ketika ia marah
atau ridha, karena sebagian manusia jika mereka marah , mereka tidak
bisa berhenti dari apa yang mereka katakan.

Dari Jabir , ia berkata, “Kami pernah berjalan bersama Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada satu peperangan, dan ada seorang
laki-laki berada di atas untanya. Unta orang Anshar itu berjalan
lambat kemudian orang Anshar itu berkata, ‘Berjalanlah semoga Allah
melaknatmu.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada
orang itu, ‘Turunlah engkau dari unta tersebut. Engkau jangan
menyertai kami dengan sesuatu yang telah dilaknat. Kalian jangan
mendo’akan kejelekan bagi diri kalian. kalian jangan mendo’akan
kejelekan bagi anak-anak kalian. Kalian jangan mendo’akan kejelekan
bagi harta kalian. Tidaklah kalian berada di satu waktu jika waktu
tersebut permintaan diajukan, melainkan Allah akan mengabulkan bagi
kalian.”[20]

Ini semua menunjukkan bahwa do’a orang yang marah akan dikabulkan jika
bertepatan dengan waktu yang diijabah, dan pada saat marah ia dilarang
berdo’a bagi kejelekan dirinya, keluarganya, dan hartanya.

Seorang ulama Salaf rahimahullah berkata, ”Orang yang marah jika
penyebab marahnya adalah sesuatu yang diperbolehkan seperti sakit dan
perjalanan, atau penyebab amarahnya adalah ketaatan seperti puasa, ia
tidak boleh dicela karenanya,” maksudnya ialah orang tersebut tidak
berdosa jika yang keluar darinya ketika ia marah ialah perkataan yang
mengandung hardik, caci-maki, dan lain sebagainya, seperti disabdakan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sesungguhnya aku hanyalah
manusia, aku ridha seperti ridhanya manusia dan aku marah seperti
marahnya manusia. Orang Muslim mana saja yang pernah aku caci dan aku
cambuk, maka aku menjadikannya sebagai penebus (dosa) baginya.”[21]

Sedang jika yang keluar dari orang yang marah adalah kekufuran,
kemurtadan, pembunuhan jiwa, mengambil harta tanpa alasan yang benar,
dan lain sebagainya, maka orang Muslim tidak ragu bahwa orang marah
tersebut mendapat hukuman karena semua itu. Begitu juga jika yang
keluar dari orang yang marah adalah perceraian, pemerdekaan budak, dan
sumpah, ia dihukum karena itu semua tanpa ada perbedaan pendapat di
dalamnya.[22]

Diriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas bahwa seorang laki-laki
berkata, “Aku mentalaq istriku dengan talak tiga ketika aku marah.”
Maka Ibnu ‘Abbas berkata, “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas tidak bisa
menghalalkan untukmu apa yang telah Allah haramkan atasmu, engkau
telah mendurhakai kepada Rabb-mu, dan engkau mengharamkan istrimu atas
dirimu sendiri.”[23]

Diriwayatkan dengan shahih dari banyak Sahabat bahwa mereka berfatwa
sesungguhnya sumpah orang yang marah itu sah dan di dalamnya terdapat
kaffarat.

Al-Hasan rahimahullah berkata, “Thalaq yang sesuai Sunnah ialah suami
mentalaq istrinya dengan talaq satu dalam keadaan suci dan tidak
digauli. Suami mempunyai hak pilih antara masa tersebut dengan
istrinya selama tiga kali haidh. Jika ia ingin rujuk dengan istrinya,
ia berhak melakukannya. Jika ia marah, istrinya menunggu tiga kali
haidh atau tiga bulan jika ia tidak haidh agar marahnya hilang.”
Al-Hasan rahimahullah berkata lagi, “Allah menjelaskan agar tidak
seorang pun menyesal dalam perceraiannya seperti yang diperintahkan
Allah.” Diriwayatkan oleh al-Qadhi Isma’il.[24]

BAGAIMANA MENGOBATI AMARAH JIKA TELAH BERGEJOLAK?
Orang yang marah hendaklah melakukan hal-hal berikut:
1. Berlindung kepada Allah dari godaan setan dengan membaca:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.
2. Mengucapkan kalimat-kalimat yang baik, berdzikir, dan istighfar.
3. Hendaklah diam, tidak mengumbar amarah.
4. Dianjurkan berwudhu’.[25]
5. Merubah posisi, apabila marah dalam keadaan berdiri hendaklah
duduk, dan apabila marah dalam keadaan duduk hendaklah berbaring.
6. Jauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
7. Berikan hak badan untuk beristirahat.
8. Ingatlah akibat jelek dari amarah.
9. Ingatlah keutamaan orang-orang yang dapat menahan amarahnya.

Wallâhu a’lam.

FAWA`ID HADITS
1. Semangatnya para Sahabat untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagi mereka.
2. Dianjurkan memberikan nasihat dan wasiat bagi orang yang memintanya.
3. Seorang muslim harus mencari jalan-jalan kebaikan dan keselamatan
yang sesuai dengan Sunnah.
4. Mengulangi nasihat memiliki manfaat yang banyak.
5. Larangan dari marah berdasarkan sabda beliau, “Engkau jangan
marah!” Sebab, amarah dapat menimbulkan berbagai kerusakan yang besar
apabila seseorang berbuat dengan menuruti hawa nafsu untuk membela
dirinya.
6. Agama Islam melarang akhlak yang jelek, dan larangan tersebut
mengharuskan perintah berakhlak yang baik.
7. Marah merupakan sifat dan tabi’at manusia.
8. Dianjurkan untuk menahan marah dan ini termasuk dari sifat seorang mukmin.
9. Melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.
10. Dianjurkan menjauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
11. Marah yang terpuji adalah apabila seseorang marah karena Allah,
untuk membela kebenaran, dan tidak menuruti hawa nafsu dan tidak
merusak.
12. Sabar dan pemaaf adalah sifat orang yang beriman dan berbuat kebajikan.
13. Apabila seseorang marah hendaklah ia berlindung kepada Allah dari
godaan setan yang terkutuk, dan melakukan apa yang disebutkan di atas
tentang obat meredam amarah.

Maraaji’:
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Al-Mu’jamul Ausath lith-Thabrani.
3. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa
al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
4. As-Sunanul Kubra lin-Nasâ`i.
5. Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhish-Shâlihîn, karya Syaikh Salim bin
‘Id al-Hilali.
6. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq:
Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhim Bâjis.
7. Kutubus Sab’ah.
8. Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
9. Mustadrak al-Hakim.
10. Qawâ’id wa Fawâ`id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim
Muhammad Sulthan.
11. Shahiih al-Jâmi’ish Shaghîr.
12. Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban.
13. Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb.
14. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
15. Sunan ad-Darimi.
16. Sunan al-Baihaqi.
17. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih
al-‘Utsaimin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429/2008M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Fat-hul Bâri, X/520.
[2]. Lihat juga QS. Thâhaa ayat 81 dan Qs. al-Mumtahanah ayat 13.
[3]. HR al-Bukhâri (no. 3162, 4435), Muslim (no. 194), at-Tirmidzi
(no. 2434), Ahmad (II/435), Ibnu Hibban (no. 6431 –at-Ta’lîqâtul
Hisân), Ibnu Abi Syaibah (no. 32207), dan an-Nasâ`i dalam
As-Sunanul-Kubra (no. 11222).
[4]. Lihat Qs. al-A’râf/7 ayat 150.
[5]. Lihat Qs. al-Anbiyâ` ayat 87.
[6]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3282, 6048, 6115), Muslim (no. 2610).
Penafsiran ucapan “Aku bukan orang gila” silakan lihat Fat-hul Bâri
(X/467).
[7]. Shahîh. HR Ahmad (V/152), Abu Dawud (no. 4782), dan Ibnu Hibban
(no. 5688) dari Sahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu.
[8]. Shahîh. HR Ahmad (I/239, 283, 365), al-Bukhâri dalam al-Adabul
Mufrad (no. 245, 1320), al-Bazzar (no. 152- Kasyful Astâr) dari
Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma. Hadits ini dishahîhkan oleh
Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish-Shaghîr (no. 693) dan
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1375).
[9]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6114) dan Muslim (no. 2609) dari
Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[10]. Lihat Fat-hul-Bâri (X/518).
[11]. Hasan. HR Ahmad (III/440), Abu Dawud (no. 4777), at-Tirmidzi
(no. 2021), dan Ibnu Majah (no. 4286) dari Sahabat Mu’adz bin Anas
al-Juhani Radhiyallahu anhu. Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam
Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 6522).
[12]. Shahîh. HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath (no. 2374) dari
Sahabat Abu Darda Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni
dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 7374) dan Shahîh at-Targhîb
wat-Tarhîb (no. 2749).
[13]. Shahîh. HR Muslim (no. 746), Ahmad (VI/54, 91, 111, 188, 216),
an-Nasâ`i (III/199-200), Ibnu Majah (no. 2333), dan ad-Darimi
(I/345-346).
[14]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6102) dan Muslim (no. 2320).
[15]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3150, 4336) dan Muslim (no. 1062).
[16]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 5954, 6109) dan Muslim (no. 2107 (91)).
[17]. Shahîh. HR Muslim (no. 466) dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu anhu.
[18]. Shahîh. HR Mâlik dalam al-Muwaththa (I/194), al-Bukhâri (no.
406, 753, 1213, 6111), Muslim (no. 547), Abu Dawud (no. 479), dan
an-Nasâ`i (II/51) dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Diriwayatkan
pula oleh al-Bukhâri (no. 405, 413) dan Muslim (no. 551) dari Anas bin
Mâlik Radhiyallahu anhu. Diriwayatkan pula oleh al-Bukhâri (no. 408,
409) dan Muslim (no. 548) dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu.
[19]. Shahîh. HR Ahmad (IV/264), an-Nasâ`i (III/54-55), dan Ibnu
Hibban (no. 1968 –at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Ammar bin Yasir
Radhiyallahu anhuma
[20]. Shahîh. HR. Muslim (no. 3009).
[21]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6361), Muslim (no. 2601), dan Ibnu
Hibban (no. 6481-6482 –at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu.
[23]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/375).
[24]. Shahîh. HR. Abu Dawud (no. 2197) dan ad-Daraquthni (IV/13-14, no. 3862).
[25]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/377.
Ada riwayat tentang hal ini tetapi riwayatnya dha’if.


http://almanhaj.or.id/content/3518/slash/0/jangan-marah-kamu-akan-masuk-surga/

Hati yang Sehat

Hati yang sehat dan selamat -kata Ibnul Qayyim- adalah hati yang lepas
dari noda syirik dan mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Inilah hati yang nantinya bermanfaat ketika bertemu Sang
Khalik di hari kiamat kelak.

Perlu kita tahu bahwa hati itu ada tiga macam. Ada hati yang sehat
(selamat dari penyakit), hati yang sakit dan hati yang mati. Ketiga
jenis hati ini disebutkan dalam ayat berikut ini,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ إِلَّا
إِذَا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنْسَخُ
اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آَيَاتِهِ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (52) لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ
فِتْنَةً لِلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ
وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ (53) وَلِيَعْلَمَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَيُؤْمِنُوا
بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ
آَمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (54)

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak
(pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan,
syaitan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah
menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah
menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana, agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu,
sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit
(hati yang sakit) dan yang mati hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang
yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat, dan agar
orang-orang yang telah diberi ilmu (yang punya hati yang sehat),
meyakini bahwasanya Al Quran itulah yang hak dari Rabb-mu lalu mereka
beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah
Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang
lurus.” (QS. Al Hajj: 52-54). Dalam ayat ini, disebutkan tiga macam
hati, yaitu dua hati yang terkena fitnah dan satu hati yang selamat.
Hati yang terkena fitnah adalah hati yang sakit dan yang mati.
Sedangkan hati yang selamat adalah hati orang beriman yang selalu
tunduk dan patuh pada Rabb-Nya, serta selalu merasakan ketenangan.

Bagaimana keadaan hati yang sehat?

Hati yang sehat, itulah yang akan selamat pada kegentingan hari kiamat
kelak. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ
بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89)

“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali
orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy
Syu’araa’: 88-89).

Hati yang sehat adalah hati yang selamat dari syahwat yang menyelisihi
perintah dan larangan Allah dan selamat dari syubhat yang bertentangan
dengan kabar dari Allah, selamat dari penghambaan pada selain Allah,
selamat dari berhukum pada selain hukum Rasulullah. Hati yang sehat
juga selamat dari cinta ibadah yang menduakan Allah, dari takut ibadah
yang menduakan Allah, begitu pula dari rasa harap yang menduakan
Allah. Intinya, segala ubudiyah (penghambaan) hanyalah ditujukan pada
Allah, itulah hati yang selamat. Demikian kalimat yang jaami’ ketika
mendefinisikan hati yang sehat sebagaimana diuraikan oleh Ibnul
Qayyim.

Hati yang sehat, selamat dari syirik (penghambaan ibadah pada selain
Allah) dan hati tersebut tunduk pada syari’at yang dibawa oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dua unsur penting ini
dimiliki oleh orang yang memiliki hati yang sehat. Demikian kesimpulan
dari Ibnul Qayyim rahimahullah.

Dalam ibadah ditanyakan dua hal, yaitu: (1) Mengapa? (2) Bagaimana?

Sebagian salaf berkata,

ما من فعلة وإن صغرت إلا ينشر لها ديوانان : لم وكيف أى لم فعلت وكيف فعلت

“Setiap amalan tidak lepas dari dua pertanyaan yaitu mengapa dan
bagaimana, maksudnya (1) mengapa dilakukan? (2) bagaimana dilakukan?”
(Ighotsatul Lahfan, 1: 42).

Pertanyaan pertama dimaksudkan apakah motivasi yang mendorong
melakukan amalan tersebut, apakah dilakukan untuk meraup keuntungan
dunia, suka akan pujian manusia, takut pada celaan mereka, ataukah
ingin mendekatkan diri pada Allah.

Pertanyaan kedua dimaksudkan bagaimana amalan tersebut dilakukan,
apakah sesuai yang disyari’atkan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa
sallam- ataukah tidak.

Intinya, pertanyaan pertama tentang ikhlas dalam amalan, sedangkan
pertanyaan kedua tentang ittiba’ (mengikuti ajaran Rasul - shallallahu
‘alaihi wa sallam-). Amalan tidaklah diterima melainkan dengan
memenuhi dua syarat ini. Sehingga hati yang selamat dan meraih
kebahagiaan adalah hati yang ikhlas dan hati yang berusaha mengikuti
setiap petunjuk Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam
amalan ibadah. Sehingga Ibnul Qayyim pun mengatakan,

فهذا حقيقة سلامة القلب الذي ضمنت له النجاة والسعادة

“Inilah (hati yang ikhlas dan ittiba’) itulah hakikat hati yang salim,
yang akan meraih keselamatan dan kebahagiaan.” (Ighotsatul Lahfan, 1:
43).

Semoga Allah menganugerahkan pada kita hati yang sehat, bersih dari
noda syirik dan noda amalan tiada tuntunan.

Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi:

Ighotsatul Lahfan fii Mashoyidisy Syaithon, Ibnu Qayyim Al Jauziyah,
terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, tahun 1432 H.

---

Riyadh-KSA, 11 Rabi’ul Akhir 1434 H

www.rumaysho.com

http://rumaysho.com/belajar-islam/manajemen-qolbu/4256-hati-yang-sehat.html

SEHARUSNYA KITA SELALU MENANGIS


Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari

Pernahkah anda menangis -dalam keadaan sendirian- karena takut siksa
Allah Azza wa Jalla ? ketahuilah, sesungguhnya hal itu merupakan
jaminan selamat dari neraka. Menangis karena takut kepada Allah Azza
wa Jalla akan mendorong hamba untuk selalu istiqâmah di jalan-Nya,
sehingga akan menjadi perisai dari api neraka. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَلِجُ النَّارَ رَجُلٌ بَكَى مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ حَتَّى يَعُوْدَ
اللَّبَنُ فِي الضَّرْعِ وَلاَ يَجْتَمِعُ غُبَارٌ فِي سَبِيْلِ اللَّهِ
وَدُخَانُ جَهَنَّمَ

Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada
Allah sampai air susu kembali ke dalam teteknya. Dan debu di jalan
Allah tidak akan berkumpul dengan asap neraka Jahannam.[1]

MENGAPA HARUS MENANGIS?
Seorang Mukmin yang mengetahui keagungan Allah Azza wa Jalla dan
hak-Nya, setiap dia melihat dirinya banyak melalaikan kewajiban dan
menerjang larangan, dia khawatir dosa-dosa itu akan menyebabkan siksa
Allah Azza wa Jalla kepadanya. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ
أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ
وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ قَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ

Sesungguhnya seorang Mukmin itu melihat dosa-dosanya seolah-olah dia
berada di kaki sebuah gunung, dia khawatir gunung itu akan menimpanya.
Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya seperti seekor
lalat yang hinggap di atas hidungnya, dia mengusirnya dengan tangannya
–begini-, maka lalat itu terbang. [HR. at-Tirmidzi, no. 2497 dan
dishahîhkan oleh al-Albâni rahimahullah]

Ibnu Abi Jamrah rahimahullah berkata, "Sebabnya adalah, karena hati
seorang Mukmin itu diberi cahaya. Apabila dia melihat pada dirinya ada
sesuatu yang menyelisihi hatinya yang diberi cahaya, maka hal itu
menjadi berat baginya. Hikmah perumpamaan dengan gunung yaitu apabila
musibah yang menimpa manusia itu selain runtuhnya gunung, maka masih
ada kemungkinan mereka selamat dari musibah-musibah itu. Lain halnya
dengan gunung, jika gunung runtuh dan menimpa seseorang, umumnya dia
tidak akan selamat. Kesimpulannya bahwa rasa takut seorang Mukmin
(kepada siksa Allah Azza wa Jalla -pen) itu mendominasinya, karena
kekuatan imannya menyebabkan dia tidak merasa aman dari hukuman itu.
Inilah keadaan seorang Mukmin, dia selalu takut (kepada siksa
Allah-pen) dan bermurâqabah (mengawasi Allah). Dia menganggap kecil
amal shalihnya dan khawatir terhadap amal buruknya yang kecil".
[Tuhfatul Ahwadzi, no. 2497]

Apalagi jika dia memperhatikan berbagai bencana dan musibah yang telah
Allah Azza wa Jalla timpakan kepada orang-orang kafir di dunia ini,
baik dahulu maupun sekarang. Hal itu membuatnya tidak merasa aman dari
siksa Allah Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَكَذَٰلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَىٰ وَهِيَ ظَالِمَةٌ ۚ
إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لِمَنْ خَافَ
عَذَابَ الْآخِرَةِ ۚ ذَٰلِكَ يَوْمٌ مَجْمُوعٌ لَهُ النَّاسُ وَذَٰلِكَ
يَوْمٌ مَشْهُودٌ وَمَا نُؤَخِّرُهُ إِلَّا لِأَجَلٍ مَعْدُودٍ يَوْمَ
يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ
وَسَعِيدٌ فَأَمَّا الَّذِينَ شَقُوا فَفِي النَّارِ لَهُمْ فِيهَا
زَفِيرٌ وَشَهِيقٌ

Dan begitulah adzab Rabbmu apabila Dia mengadzab penduduk
negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya adzab-Nya sangat pedih
lagi keras. Sesungguhnya pada peristiwa itu benar-benar terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada adzab akhirat. Hari
Kiamat itu adalah suatu hari dimana manusia dikumpulkan untuk
(menghadapi)-Nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh
segala makhluk). Dan Kami tiadalah mengundurkannya, melainkan sampai
waktu yang tertentu. Saat hari itu tiba, tidak ada seorangun yang
berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang
celaka dan ada yang bahagia. Adapun orang-orang yang celaka, maka
(tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan
menarik nafas (dengan merintih). [Hûd/11:102-106]

Ketika dia merenungkan berbagai kejadian yang mengerikan pada hari
Kiamat, berbagai kesusahan dan beban yang menanti manusia di akhirat,
semua itu pasti akan menggiringnya untuk takut kepada Allah Azza wa
Jalla al-Khâliq . Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ
شَيْءٌ عَظِيمٌ يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّا
أَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ
سُكَارَىٰ وَمَا هُمْ بِسُكَارَىٰ وَلَٰكِنَّ عَذَابَ اللَّهِ شَدِيدٌ

Hai manusia, bertakwalah kepada Rabbmu. Sesungguhnya kegoncangan hari
kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).
(Ingatlah), pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, semua
wanita yang menyusui anaknya lalai terhadap anak yang disusuinya, dan
semua wanita yang hamil gugur kandungan. Kamu melihat manusia dalam
keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk. Akan tetapi
adzab Allah itu sangat keras. [al-Hajj/22:1-2]

Demikianlah sifat orang-orang yang beriman. Di dunia, mereka takut
terhadap siksa Rabb mereka, kemudian berusaha menjaga diri dari
siksa-Nya dengan takwa, yaitu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Maka, Allah Azza wa Jalla memberikan balasan sesuai
dengan jenis amal mereka. Dia memberikan keamanan di hari Kiamat
dengan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya. Allah Azza wa Jalla
berfirman:

وَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ يَتَسَاءَلُونَ قَالُوا إِنَّا
كُنَّا قَبْلُ فِي أَهْلِنَا مُشْفِقِينَ فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا
وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ إِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلُ نَدْعُوهُ ۖ
إِنَّهُ هُوَ الْبَرُّ الرَّحِيمُ

Dan sebagian mereka (penghuni surga-pent) menghadap kepada sebagian
yang lain; mereka saling bertanya. Mereka mengatakan: "Sesungguhnya
kami dahulu sewaktu berada di tengah-tengah keluarga, kami merasa
takut (akan diadzab)". Kemudian Allah memberikan karunia kepada kami
dan memelihara kami dari azab neraka. Sesungguhnya kami dahulu
beribadah kepada-Nya. Sesungguhnya Dia-lah yang melimpahkan kebaikan
lagi Maha Penyayang. [ath-Thûr/52:25-28]

ILMU ADALAH SEBAB TANGISAN KARENA ALLAH AZZA WA JALLA
Semakin bertambah ilmu agama seseorang, semakin tambah pula takutnya
terhadap keagungan Allah Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla
berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ
كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ
إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak, ada yang bermacam-macam warna (dan
jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun. [Fâthir/35:28]

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عُرِضَتْ عَلَيَّ الْجَنَّةُ وَالنَّارُ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ فِي
الْخَيْرِ وَالشَّرِّ وَلَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ
قَلِيْلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا قَالَ فَمَا أَتَى عَلَى أَصْحَابِ
رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمٌ أَشَدُّ
مِنْهُ قَالَ غَطَّوْا رُءُوْسَهُمْ وَلَهُمْ خَنِيْنٌ

Surga dan neraka ditampakkan kepadaku, maka aku tidak melihat tentang
kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya kamu mengetahui
apa yang aku ketahui, kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak
menangis.
Anas bin Mâlik –perawi hadits ini mengatakan, "Tidaklah ada satu hari
pun yang lebih berat bagi para Sahabat selain hari itu. Mereka
menutupi kepala mereka sambil menangis sesenggukan. [HR. Muslim, no.
2359]

Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Makna hadits ini, 'Aku tidak pernah
melihat kebaikan sama sekali melebihi apa yang telah aku lihat di
dalam surga pada hari ini. Aku juga tidak pernah melihat keburukan
melebihi apa yang telah aku lihat di dalam neraka pada hari ini.
Seandainya kamu melihat apa yang telah aku lihat dan mengetahui apa
yang telah aku ketahui semua yang aku lihat hari ini dan sebelumnya,
sungguh kamu pasti sangat takut, menjadi sedikit tertawa dan banyak
menangis". [Syarah Muslim, no. 2359]

Hadits ini menunjukkan anjuran menangis karena takut terhadap siksa
Allah Azza wa Jalla dan tidak memperbanyak tertawa, karena banyak
tertawa menunjukkan kelalaian dan kerasnya hati.

Lihatlah para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum, begitu mudahnya mereka
tersentuh oleh nasehat! Tidak sebagaimana kebanyakan orang di zaman
ini. Memang, mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya,
paling banyak pemahaman agamanya, paling cepat menyambut ajaran agama.
Mereka adalah Salafus Shâlih yang mulia, maka selayaknya kita
meneladani mereka. [Lihat Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhus Shâlihin
1/475; no. 41]

Seandainya kita mengetahui bahwa tetesan air mata karena takut kepada
Allah Azza wa Jalla merupakan tetesan yang paling dicintai oleh Allah
Azza wa Jalla , tentulah kita akan menangis karena-Nya atau berusaha
menangis sebisanya. Nabi Muhammad n menjelaskan keutamaan tetesan air
mata ini dengan sabda beliau:

لَيْسَ شَيْءٌ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ قَطْرَتَيْنِ وَأَثَرَيْنِ
قَطْرَةٌ مِنْ دُمُوْعٍ فِيْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَقَطْرَةُ دَمٍ تُهَرَاقُ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأَمَّا اْلأ َثَرَانِ فَأَثَرٌ فِي سَبِيْلِ
اللَّهِ وَأَثَرٌ فِي فَرِيْضَةٍ مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ

Tidak ada sesuatu yang yang lebih dicintai oleh Allah daripada dua
tetesan dan dua bekas. Tetesan yang berupa air mata karena takut
kepada Allah dan tetesan darah yang ditumpahkan di jalan Allah. Adapun
dua bekas, yaitu bekas di jalan Allah dan bekas di dalam
(melaksanakan) suatu kewajiban dari kewajiban-kewajibanNya.[2]

Namun yang perlu kita perhatikan juga bahwa menangis tersebut adalah
benar-benar karena Allah Azza wa Jalla , bukan karena manusia, seperti
dilakukan di hadapan jama'ah atau bahkan dishooting TV dan disiarkan
secara nasional. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjanjikan kebaikan besar bagi seseorang yang menangis dalam keadaan
sendirian. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَظِلَّ إِلاَّ
ظِلُّهُ اْلإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ
وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي
اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ
امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ
يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

Tujuh (orang) yang akan diberi naungan oleh Allah pada naungan-Nya di
hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Pertama: Imam yang
berbuat adil; kedua: pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Rabbnya;
ketiga: seorang laki-laki yang hatinya tergantung di masjid-masjid;
keempat: dua orang lak-laki yang saling mencintai karena Allah,
keduanya berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah; kelima:
seorang laki-laki yang diajak oleh seorang wanita yang memiliki
kedudukan dan kecantikan, lalu dia berkata: “Sesungguhnya aku takut
kepada Allah”; keenam: seorang laki-laki yang bersedekah dengan cara
sembunyi-sembunyi, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang
diinfakkan oleh tangan kanannya; ketujuh: seorang laki-laki yang
menyebut Allah di tempat yang sepi sehingga kedua matanya meneteskan
air mata”.[HR. al-Bukhâri, no. 660; Muslim, no. 1031]

Hari Kiamat adalah hari pengadilan yang agung. Hari ketika setiap
hamba akan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya. Hari saat
isi hati manusia akan dibongkar, segala rahasia akan ditampakkan di
hadapan Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Perkasa. Maka kemana
orang akan berlari? Alangkah bahagianya orang-orang yang akan
mendapatkan naungan Allah Azza wa Jalla pada hari itu. Dan salah satu
jalan keselamatan itu adalah menangis karena takut kepada Allah Azza
wa Jalla .

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah berkata, "Wahai
saudaraku, jika engkau menyebut Allah Azza wa Jalla , sebutlah Rabbmu
dengan hati yang kosong dari memikirkan yang lain. Jangan fikirkan
sesuatupun selain-Nya. Jika engkau memikirkan sesuatu selain-Nya,
engkau tidak akan bisa menangis karena takut kepada Allah Azza wa
Jalla atau karena rindu kepada-Nya. Karena, seseorang tidak mungkin
menangis sedangkan hatinya tersibukkan dengan sesuatu yang lain.
Bagaimana engkau akan menangis karena rindu kepada Allah Azza wa Jalla
dan karena takut kepada-Nya jika hatimu tersibukkan dengan selain-Nya?
Oleh karena itu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"seorang laki-laki yang menyebut Allah di tempat yang sepi", yaitu
hatinya kosong dari selain Allah Azza wa Jalla , badannya juga kosong
(dari orang lain), dan tidak ada seorangpun di dekatnya yang
menyebabkan tangisannya menjadi riyâ' dan sum'ah. Namun, dia melakukan
dengan ikhlas dan konsentrasi". [Syarh Riyâdhus Shâlihîn 2/342, no.
449]

Setelah kita mengetahui hal ini, maka alangkah pantasnya kita mulai
menangis karena takut kepada Allah Azza wa Jalla . Wallâhul Musta'ân.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII/1431/2010M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. at-Tirmidzi, no. 1633, 2311; an-Nasâ`i 6/12; Ahmad 2/505;
al-Hâkim 4/260; al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 14/264. Syaikh Salîm
al-Hilâli hafizhahullah mengatakan, "Shahîh lighairihi". Lihat
penjelasannya dalam kitab Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhus Shâlihîn
1/517; no. 448)
[2]. HR. at-Tirmidzi, no. 1669; dihasankan oleh Syaikh Salîm al-Hilâli
hafizhahullah dalam Bahjatun Nâzhirîn, 1/523, no. 455

http://almanhaj.or.id/content/3534/slash/0/seharusnya-kita-selalu-menangis/
 

Selasa, 12 Februari 2013

WASIAT RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALAM KEPADA ABU DZAR AL-GHIFARI


عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ : بِحُبِّ الْمَسَاكِيْنِ
وَأَنْ أَدْنُوَ مِنْهُمْ، وَأَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلُ
مِنِّي وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوقِيْ، وَأَنْ أَصِلَ رَحِمِيْ
وَإِنْ جَفَانِيْ، وَأَنْ أُكْثِرَ مِنْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ
بِاللهِ، وَأَنْ أَتَكَلَّمَ بِمُرِّ الْحَقِّ، وَلاَ تَأْخُذْنِيْ فِي
اللهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ، وَأَنْ لاَ أَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا.

Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah)
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1)
supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2)
beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di
bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku, (3)
beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka
berlaku kasar kepadaku, (4) aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan lâ
haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali
dengan pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk mengatakan
kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut
celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan (7) beliau
melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia”.

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh imam-imam ahlul-hadits, di antaranya:
1. Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/159).
2. Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/156, no. 1649), dan
lafazh hadits ini miliknya.
3. Imam Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (no. 2041-al-Mawârid).
4. Imam Abu Nu’aim dalam Hilyatu- Auliyâ` (I/214, no. 521).
5. Imam al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/91).
Dishahîhkan oleh Syaikh al-‘Allamah al-Imam al-Muhaddits Muhammad
Nashiruddin al-Albâni t dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no.
2166).

FIQIH HADITS
Pertama : Mencintai Orang-Orang Miskin Dan Dekat Dengan Mereka.
Wasiat yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tujukan untuk Abu
Dzar ini, pada hakikatnya adalah wasiat untuk ummat Islam secara umum.
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada
Abu Dzar agar mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka.
Kita sebagai ummat Islam hendaknya menyadari bahwa nasihat Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini tertuju juga kepada kita semua.

Orang-orang miskin yang dimaksud, adalah mereka yang hidupnya tidak
berkecukupan, tidak punya kepandaian untuk mencukupi kebutuhannya, dan
mereka tidak mau meminta-minta kepada manusia. Pengertian ini sesuai
dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَيْسَ الْمِسْكِيْنُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوْفُ عَلَى
النَّاسِ، فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ
وَالتَّمْرَتَانِ. قَالُوْا : فَمَا الْمِسْكِيْنُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟
قَالَ: الَّذِيْ لاَ يَجِدُ غِنًى يُغْنِيْهِ وَلاَ يُفْطَنُ لَهُ
فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ، وَلاَ يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا.

"Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta
kepada orang lain agar diberikan sesuap dan dua suap makanan dan
satu-dua butir kurma.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, (kalau
begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Beliau menjawab,"Mereka
ialah orang yang hidupnya tidak berkecukupan, dan dia tidak mempunyai
kepandaian untuk itu, lalu dia diberi shadaqah (zakat), dan mereka
tidak mau meminta-minta sesuatu pun kepada orang lain.”[1]

Islam menganjurkan umatnya berlaku tawadhu` terhadap orang-orang
miskin, duduk bersama mereka, menolong mereka, serta bersabar bersama
mereka.

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumpul bersama
orang-orang miskin, datanglah beberapa pemuka Quraisy hendak berbicara
dengan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tetapi mereka enggan
duduk bersama dengan orang-orang miskin itu, lalu mereka menyuruh
beliau agar mengusir orang-orang fakir dan miskin yang berada bersama
beliau. Maka masuklah dalam hati beliau keinginan untuk mengusir
mereka, dan ini terjadi dengan kehendak Allah Ta’ala. Lalu turunlah
ayat:

وَلَا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ
يُرِيدُونَ وَجْهَهُ

Janganlah engkau mengusir orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan
petang hari, mereka mengharapkan wajah-Nya. [al-An’âm/6:52].[2]

Mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, yaitu dengan
membantu dan menolong mereka, bukan sekedar dekat dengan mereka. Apa
yang ada pada kita, kita berikan kepada mereka karena kita akan
diberikan kemudahan oleh Allah Ta’ala dalam setiap urusan, dihilangkan
kesusahan pada hari Kiamat, dan memperoleh ganjaran yang besar.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ
اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ
عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ...

Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin,
Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Dan
barangsiapa yang memudahkan kesulitan orang yang dililit hutang, Allah
akan memudahkan atasnya di dunia dan akhirat…[3]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

السَّاعِى عَلَى اْلأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِيْنِ كَالْمُجَاهِدِ فِيْ
سَبِيْلِ اللهِ –وَأَحْسِبُهُ قَالَ-: وَكَالْقَائِمِ لاَ يَفْتُرُ
وَكَالصَّائِمِ لاَ يُفْطِرُ.

"Orang yang membiayai kehidupan para janda dan orang-orang miskin
bagaikan orang yang berjihad fii sabiilillaah.” –Saya (perawi) kira
beliau bersabda-, “Dan bagaikan orang yang shalat tanpa merasa bosan
serta bagaikan orang yang berpuasa terus-menerus”[4].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berkumpul bersama
orang-orang miskin, sampai-sampai beliau berdo’a kepada Allah agar
dihidupkan dengan tawadhu’, akan tetapi beliau mengucapkannya dengan
kata "miskin".

اَللَّهُمَّ أَحْيِنِيْ مِسْكِيْنًا وَأَمِتْنِيْ مِسْكِيْنًا
وَاحْشُرْنِيْ فِيْ زُمْرَةِ الْمَسَاكِيْنِ.

Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam
keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama rombongan orang-orang
miskin.[5]

Ini adalah doa dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar Allah
Ta’ala memberikan sifat tawadhu` dan rendah hati, serta agar tidak
termasuk orang-orang yang sombong lagi zhalim maupun orang-orang kaya
yang melampaui batas. Makna hadits ini bukanlah meminta agar beliau
menjadi orang miskin, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Atsir
rahimahullah , bahwa kata "miskin" dalam hadits di atas adalah
tawadhu`.[6] Sebab, di dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berlindung dari kefakiran.[7]

Beliau berdoa seperti ini, karena beliau mengetahui bahwa orang-orang
miskin akan memasuki surga lebih dahulu daripada orang-orang kaya.
Tenggang waktu antara masuknya orang-orang miskin ke dalam surga
sebelum orang kaya dari kalangan kaum Muslimin adalah setengah hari,
yaitu lima ratus tahun.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُسْلِمِيْنَ الْجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ
بِنِصْفِ يَوْمٍ وَهُوَ خَمْسُ مِائَةِ عَامٍ.

Orang-orang faqir kaum Muslimin akan memasuki surga sebelum
orang-orang kaya (dari kalangan kaum Muslimin) selama setengah hari,
yaitu lima ratus tahun.[8]

Orang–orang miskin yang masuk surga ini, adalah mereka yang taat
kepada Allah, mentauhidkan-Nya dan menjauhi perbuatan syirik,
menjalankan Sunnah dan menjauhi perbuatan bid’ah, menjalankan
perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Sebab terlambatnya orang-orang kaya memasuki surga selama lima ratus
tahun, adalah karena semua harta mereka akan dihitung dan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Ta’ala.

Dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdo’a agar mencintai orang-orang miskin. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ، وَتَرْكَ
الْمُنْكَرَاتِ، وَحُبَّ الْمَسَاكِيْنِ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِيْ
وَتَرْحَمَنِيْ، وَإِذََا أَرَدْتَ فِتْنَةَ قَوْمٍ فَتَوَفَّنِيْ
غََيْرَ مَفْتُوْنٍ، وَأَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ،
وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِيْ إِلَى حُبِّكَ.

Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar aku dapat melakukan
perbuatan-perbuatan baik, meninggalkan perbuatan munkar, mencintai
orang miskin, dan agar Engkau mengampuni dan menyayangiku. Jika Engkau
hendak menimpakan suatu fitnah (malapetaka) pada suatu kaum, maka
wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terkena fitnah itu. Dan aku
memohon kepada-Mu rasa cinta kepada-Mu, rasa cinta kepada orang-orang
yang mencintaimu, dan rasa cinta kepada segala perbuatan yang
mendekatkanku untuk mencintai-Mu.[9]

Selain itu, dengan menolong orang-orang miskin dan lemah, kita akan
memperoleh rezeki dan pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

هَلْ تُنْصَرُوْنَ وَتُرْزَقُوْنَ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ.

Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab adanya
orang-orang lemah dari kalangan kalian.[10]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

إِنَّمَا يَنْصُرُ اللهُ هَذَهِ اْلأُمَّةَ بِضَعِيْفِهَا:
بِدَعْوَتِهِمْ، وَصَلاَتِهِمْ، وَإِخْلاَصِهِمْ.

Sesungguhnya Allah menolong ummat ini dengan sebab orang-orang lemah
mereka di antara mereka, yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan
mereka.[11]

Kedua : Melihat Kepada Orang Yang Lebih Rendah Kedudukannya Dalam Hal
Materi Dan Penghidupan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita agar
melihat orang yang berada di bawah kita dalam masalah kehidupan dunia
dan mata pencaharian. Tujuan dari hal itu, agar kita tetap mensyukuri
nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوْا إِلَى
مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ
اللهِ عَلَيْكُمْ.

Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang
yang berada di atasmu, karena yang demikian lebih patut, agar kalian
tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu.[12]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang Muslim melihat
kepada orang yang di atas. Maksudnya, jangan melihat kepada orang
kaya, banyak harta, kedudukan, jabatan, gaji yang tinggi, kendaraan
yang mewah, rumah mewah, dan lainnya. Dalam kehidupan dunia terkadang
kita melihat kepada orang-orang yang berada di atas kita. Hal ini
merupakan kesalahan yang fatal. Dalam masalah tempat tinggal,
misalnya, terkadang seseorang hidup bersama keluarganya dengan
"mengontrak rumah", maka dengan keadaannya ini hendaklah ia bersyukur
karena masih ada orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal dan
tidur beratapkan langit. Begitu pun dalam masalah penghasilan,
terkadang seseorang hanya mendapat nafkah yang hanya cukup untuk makan
hari yang sedang dijalaninya saja, maka dalam keadaan ini pun ia harus
tetap bersyukur karena masih ada orang-orang yang tidak memiliki
penghasilan dan ada orang yang hanya hidup dari menggantungkan
harapannya kepada orang lain.

Sedangkan dalam masalah agama, ketaatan, pendekatan diri kepada Allah,
meraih pahala dan surga, maka sudah seharusnya kita melihat kepada
orang yang berada di atas kita, yaitu para nabi, orang-orang yang
jujur, para syuhada, dan orang-orang yang shalih. Apabila para
salafush-shalih sangat bersemangat dalam melakukan shalat, puasa,
shadaqah, membaca Al-Qur`ân, dan perbuatan baik lainnya, maka kita pun
harus berusaha melakukannya seperti mereka. Dan inilah yang dinamakan
berlomba-lomba dalam kebaikan.

Dalam masalah berlomba-lomba meraih kebaikan ini, Allah Tabarâka wa
Ta’ala berfirman:

وَفِي ذَٰلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ

Dan untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba.
[al-Muthaffifîn/83:26].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita melihat
kepada orang yang berada di bawah kita dalam masalah dunia, agar kita
menjadi orang-orang yang bersyukur dan qana’ah. Yaitu merasa cukup
dengan apa yang Allah telah karuniakan kepada kita, tidak hasad dan
tidak iri kepada manusia.
Apabila seorang muslim hanya mendapatkan makanan untuk hari yang
sedang ia jalani sebagai kenikmatan yang paling besar baginya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyinggung hal ini
dalam sabdanya:

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِيْ سِرْبِهِ، مُعَافًى فِيْ جَسَدِهِ،
وَعِنْدَهُ قُوْتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
بِحَذَافِيْرِهَا.

Siapa saja di antara kalian yang merasa aman di tempat tinggalnya,
diberikan kesehatan pada badannya, dan ia memiliki makanan untuk
harinya itu, maka seolah-olah ia telah memiliki dunia seluruhnya.[13]

Abu Dzar Radhiyallahu anhu adalah teladan kita dalam hal ini. Beliau
mencari makan untuk hari yang sedang dijalaninya, sedangkan untuk esok
harinya beliau mencarinya lagi. Beliau melakukan yang demikian itu
terus-menerus dalam kehidupannya. Mudah-mudahan Allah meridhai beliau.

Ketiga : Menyambung Silaturahmi Meskipun Karib Kerabat Berlaku Kasar.
Imam Ibnu Manzhur rahimahullah berkata tentang silaturahmi: “Al-Imam
Ibnul-Atsir rahimahullah berkata, ‘Silaturahmi adalah ungkapan
mengenai perbuatan baik kepada karib kerabat karena hubungan senasab
atau karena perkawinan, berlemah lembut kepada mereka, menyayangi
mereka, memperhatikan keadaan mereka, meskipun mereka jauh dan berbuat
jahat. Sedangkan memutus silaturahmi, adalah lawan dari hal itu
semua’.”[14]

Dari pengertian di atas, maka silaturahmi hanya ditujukan pada
orang-orang yang memiliki hubungan kerabat dengan kita, seperti kedua
orang tua, kakak, adik, paman, bibi, keponakan, sepupu, dan lainnya
yang memiliki hubungan kerabat dengan kita.

Sebagian besar kaum Muslimin salah dalam menggunakan kata silaturahmi.
Mereka menggunakannya untuk hubungan mereka dengan rekan-rekan dan
kawan-kawan mereka. Padahal silaturahmi hanyalah terbatas pada
orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan kita. Adapun
kepada orang yang bukan kerabat, maka yang ada hanyalah ukhuwwah
Islamiyyah (persaudaraan Islam).

Silaturahmi yang hakiki bukanlah menyambung hubungan baik dengan orang
yang telah berbuat baik kepada kita, namun silaturahmi yang hakiki
adalah menyambung hubungan kekerabatan yang telah retak dan putus, dan
berbuat baik kepada kerabat yang berbuat jahat kepada kita. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِيْ إِذَا
قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا.

Orang yang menyambung kekerabatan bukanlah orang yang membalas
kebaikan, tetapi orang yang menyambungnya adalah orang yang menyambung
kekerabatannya apabila diputus.[15]

Imam al-‘Allamah ar-Raghib al-Asfahani rahimahullah menyatakan bahwa
rahim berasal dari kata rahmah yang berarti lembut, yang memberi
konsekuensi berbuat baik kepada orang yang disayangi.[16]

Ar-Rahim, adalah salah satu nama Allah. Rahim (kekerabatan), Allah
letakkan di ‘Arsy. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الرَّحِمُ مَعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ، تَقُوْلُ: مَنْ وَصَلَنِيْ وَصَلَهُ
اللهُ، وَمَنْ قَطَعَنِيْ قَطَعَهُ اللهُ.

Rahim (kekerabatan) itu tergantung di ‘Arsy. Dia berkata,"Siapa yang
menyambungku, Allah akan menyambungnya. Dan siapa yang memutuskanku,
Allah akan memutuskannya. [17]

Menyambung silaturahmi dan berbuat baik kepada orang tua adalah wajib
berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur`ân dan as-Sunnah. Sebaliknya,
memutus silaturahmi dan durhaka kepada orang tua adalah haram dan
termasuk dosa besar.

Allah Ta’ala berfirman:

وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ

…Dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan…
[al-Baqarah/2:27].

Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari t
berkata: “Pada ayat di atas, Allah menganjurkan hamba-Nya agar
menyambung hubungan kerabat dan orang yang memiliki hubungan rahim,
serta tidak memutuskannya”.[18]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan antara menyambung
silaturahmi dengan keimanan terhadap Allah dan hari Akhir. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ.

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia
menyambung silaturahmi.[19]

Dengan bersilaturahmi, Allah akan melapangkan rezeki dan memanjangkan
umur kita. Sebaliknya, orang yang memutuskan silaturahmi, Allah akan
sempitkan rezekinya atau tidak diberikan keberkahan pada hartanya.

Adapun haramnya memutuskan silaturahmi telah dijelaskan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ.

Tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahmi.[20]

Bersilaturahmi dapat dilakukan dengan cara mengunjungi karib kerabat,
menanyakan kabarnya, memberikan hadiah, bersedekah kepada mereka yang
miskin, menghormati mereka yang berusia lebih tua dan menyayangi yang
lebih muda dan lemah, serta menanyakan terus keadaan mereka, baik
dengan cara datang langsung, melalui surat, maupun dengan
menghubunginya lewat telepon ataupun short massage service (sms). Bisa
juga dilakukan dengan meminta mereka untuk bertamu, menyambut
kedatangannya dengan suka cita, memuliakannya, ikut senang bila mereka
senang dan ikut sedih bila mereka sedih, mendoakan mereka dengan
kebaikan, tidak hasad (dengki) terhadapnya, mendamaikannya bila
berselisih, dan bersemangat untuk mengokohkan hubungan di antara
mereka. Bisa juga dengan menjenguknya bila sakit, memenuhi
undangannya, dan yang paling mulia ialah bersemangat untuk berdakwah
dan mengajaknya kepada hidayah, tauhid, dan Sunnah, serta menyuruh
mereka melakukan kebaikan dan melarang mereka melakukan dosa dan
maksiat.

Hubungan baik ini harus terus berlangsung dan dijaga kepada karib
kerabat yang baik dan istiqamah di atas Sunnah. Adapun terhadap karib
kerabat yang kafir atau fasik atau pelaku bid’ah, maka menyambung
kekerabatan dengan mereka dapat melalui nasihat dan memberikan
peringatan, serta berusaha dengan sungguh-sungguh dalam
melakukannya.[21]

Silaturahmi yang paling utama adalah silaturahmi kepada kedua orang
tua. Orang tua adalah kerabat yang paling dekat, yang memiliki jasa
yang sangat besar, mereka memberikan kasih dan sayangnya sepanjang
hidup mereka. Maka tidak aneh jika hak-hak mereka memiliki tingkat
yang besar setelah beribadah kepada Allah. Di dalam Al-Qur`ân terdapat
banyak ayat yang memerintahkan kita agar berbakti kepada kedua orang
tua.

Birrul-walidain adalah berbuat baik kepada kedua orang tua, baik
berupa bantuan materi, doa, kunjungan, perhatian, kasih sayang, dan
menjaga nama baik pada saat keduanya masih hidup maupun setelah
keduanya meninggal dunia. Birrul-walidain adalah perbuatan baik yang
paling baik.

Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia
berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
:

أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ : اَلصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ:
قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ
أَيٌّ ؟ قَالَ : الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ.

“Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab,"Shalat pada waktunya
(dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya).” Aku
bertanya,"Kemudian apa?” Beliau menjawab,"Berbakti kepada kedua orang
tua.” Aku bertanya,"Kemudian apa?” Beliau menjawab,"Jihad di jalan
Allah.” [22]

Selain itu, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melarang kita berbuat durhaka
kepada kedua orang tua. Sebab, durhaka kepada kedua orang tua adalah
dosa besar yang paling besar.

Silaturahmi memiliki sekian banyak manfaat yang sangat besar,
diantaranya sebagai berikut.
1. Dengan bersilaturahmi, berarti kita telah menjalankan perintah
Allah dan Rasul-Nya.
2. Dengan bersilaturahmi akan menumbuhkan sikap saling tolong-menolong
dan mengetahui keadaan karib kerabat.
3. Dengan bersilaturahmi, Allah akan meluaskan rezeki dan memanjangkan
umur kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bersabda:

مَنْ أَ حَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِى
أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ .

Barangsiapa yang suka diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya,
maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.[23]
4. Dengan bersilaturahmi, kita dapat menyampaikan dakwah, menyampaikan
ilmu, menyuruh berbuat baik, dan mencegah berbagai kemungkaran yang
mungkin akan terus berlangsunng apabila kita tidak mencegahnya.
5. Silaturahmi sebagai sebab seseorang masuk surga.

Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu anhu, bahwasanya
ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu
amal yang dapat memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari
neraka,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَعْبُدُ اللهَ وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ،
وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ.

Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatu pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung
silaturahmi.[24]

Keempat : Memperbanyak Ucapan ‘Lâ Haula wa lâ Quwwata illâ Billâh’
(Tidak Ada Daya Dan Upaya Kecuali Dengan Pertolongan Allah)
Mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kalimat
lâ haulâ wa lâ quwwata illâ billâh?

Jawabannya, agar kita melepaskan diri kita dari segala apa yang kita
merasa mampu untuk melakukannya, dan kita serahkan semua urusan kepada
Allah. Sesungguhnya yang dapat menolong dalam semua aktivitas kita
hanyalah Allah Ta’ala, dan ini adalah makna ucapan kita setiap kali
melakukan shalat,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon
pertolongan. [al-Fâtihah/1:5].

Dan kalimat ini, adalah makna dari doa yang sering kita ucapkan dalam
akhir shalat kita:

اَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ.

Ya Allah, tolonglah aku agar dapat berdzikir kepada-Mu, bersyukur
kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.[25]

Pada hakikatnya seorang hamba tidak memiliki daya dan upaya kecuali
dengan pertolongan Allah. Seorang penuntut ilmu tidak akan mungkin
duduk di majlis ilmu, melainkan dengan pertolongan Allah. Seorang guru
tidak akan mungkin dapat mengajarkan ilmu yang bermanfaat, melainkan
dengan pertolongan Allah. Begitupun seorang pegawai, tidak mungkin
dapat bekerja melainkan dengan pertolongan Allah.

Seorang hamba tidak boleh sombong dan merasa bahwa dirinya mampu untuk
melakukan segala sesuatu. Seorang hamba seharusnya menyadari bahwa
segala apa yang dilakukannya semata-mata karena pertolongan Allah.
Sebab, jika Allah tidak menolong maka tidak mungkin dia melakukan
segala sesuatu. Artinya, dengan mengucapkan kalimat ini, seorang hamba
berarti telah menunjukkan kelemahan, ketidakmampuan dirinya, dan
menunjukkan bahwa ia adalah orang yang sangat membutuhkan pertolongan
Allah.

Kelima : Berani Mengatakan Kebenaran Meskipun Pahit.
Pahitnya kebenaran, tidak boleh mencegah kita untuk mengucapkannya,
baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Apabila sesuatu itu
jelas sebagai sesuatu yang haram, syirik, bid’ah dan munkar, jangan
sampai kita mengatakan sesuatu yang haram adalah halal, yang syirik
dikatakan tauhid, perbuatan bid’ah adalah Sunnah, dan yang munkar
dikatakan ma’ruf.

Menyembah kubur, misalnya, yang sudah jelas perbuatan syirik namun
banyak para dai yang beralasan bahwa hal tersebut, adalah permasalahan
yang masih diperselisihkan. Seorang dai harus tegas mengatakan
kebenaran, perbuatan yang bid’ah harus dikatakan bid’ah, dan perbuatan
yang haram harus dikatakan haram, dengan membawakan dalil dan
penjelasan para ulama tentang keharamannya.

Sesungguhnya jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq
(kebenaran) kepada penguasa.

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.

Jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran)
kepada penguasa yang zhalim.[26]

Yaitu dengan mendatangi mereka dan menasihati mereka dengan cara yang
baik. Jika tidak bisa, dapat dilakukan dengan menulis surat atau
melalui orang yang menjadi wakil mereka, tidak dengan mengadakan
orasi, provokasi, demonstrasi. Dan tidak boleh menyebarkan aib mereka
melalui mimbar, mimbar Jum’at, dan yang lainnya.

Islam telah memberikan ketentuan dalam menasihati para pemimpin (ulil
amri). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَةً
وَلَكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ
فَذَاكَ وَ إِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ.

Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan
dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri
dengannya. Kalau penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang
terbaik. Dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka
sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan
kepadanya.[27]

Keenam : Tidak Takut Celaan Para Pencela Dalam Berdakwah Di Jalan Allah.
Dalam berdakwah di jalan Allah Ta’ala, banyak orang yang menolak,
mencela, dan lainnya. Hati yang sakit pada umumnya menolak kebenaran
yang disampaikan. Ketika kebenaran itu kita sampaikan dan mereka
mencela, maka kita diperintahkan untuk terus menyampaikan dakwah yang
haq dengan ilmu, lemah lembut, dan sabar.

Di antara akhlak yang mulia, adalah berani dalam menyampaikan
kebenaran, dan ini merupakan akhlak Salafush-Shalih. Islam mencela
sifat penakut. Hal ini dapat tercermin dari perintah untuk maju ke
medan perang dan tidak boleh mundur pada saat telah berhadapan dengan
musuh. Disamping itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berlindung kepada Allah dari sifat pengecut. Beliau berdoa dalam
haditsnya:

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ
أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ
الدُّنْيَا، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ.

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut,
aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir, aku berlindung kepada-Mu
dari dikembalikan kepada umur yang paling hina (pikun), aku berlindung
kepada-Mu dari fitnah dunia, dan aku berlindung kepada-Mu dari adzab
kubur.[28]

Dakwah yang diberkahi Allah ini (dakwah kepada tauhid dan Sunnah)
harus diperjuangkan oleh para dai, supaya tegak dan berkembang. Para
dai yang menyeru kepadanya tidak boleh merasa takut. Kepada para dai
yang menyeru kepada dakwah yang haq ini, jangan merasa takut apabila
mendapat celaan, cobaan, penolakan, dan pertentangan. Jangan
sekali-kali mundur dalam menegakkan kebenaran dan tidak mau lagi
berdakwah. Dakwah mengajak manusia kepada tauhid dan Sunnah harus
terus berjalan meskipun orang mencela, mencomooh, dan menolaknya.

Seorang dai tidak boleh mundur dalam berdakwah di jalan Allah dan
tidak boleh takut, karena Allah yang akan menolong orang-orang yang
berada di atas manhaj yang haq.

Dalam Al-Qur`ân, Allah Ta’ala menyebutkan tentang orang-orang yang
menyampaikan risalah Allah, sedangkan mereka tidak takut. Allah Ta’ala
berfirman:

الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا
يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ ۗ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا

(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka
takut kepada-Nya dan tidak merasa takut kepada siapa pun selain kepada
Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.
[al-Ahzaab/33:39].

Dan di antara ciri hamba yang dicintai Allah, adalah mereka tidak
takut celaan para pencela. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ
فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ
اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad
(keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum,
Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah
lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras
terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang
tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia
Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
Mahaluas (pemberian-Nya), Mahamengetahui.” [al-Mâidah/5:54].

Ketujuh : Tidak Meminta-Minta Sesuatu Kepada Orang Lain.
Orang yang dicintai Allah, Rasul-Nya, dan manusia, adalah orang yang
tidak meminta-minta kepada orang lain dan zuhud terhadap apa yang
dimiliki orang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh
umatnya agar tidak meminta-minta kepada manusia, karena meminta-minta
hukum asalnya adalah haram. Seorang Muslim harus berusaha makan dengan
hasil keringatnya sendiri, dengan usaha kita sendiri, dan bukan dari
usaha dan belas kasihan orang lain. Seorang Muslim harus berusaha
sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena Allah yang akan
menolongnya.

Masyarakat yang masih awam (minim dalam ilmu agama), mereka berusaha
untuk menghidupi keluarga mereka dengan berjualan, baik di
pinggir-pinggir jalan maupun di kendaraan umum, seperti bus dan kereta
api. Yang demikian itu lebih mulia daripada dia meminta-minta kepada
manusia. Seharusnya hal ini menjadi cambuk bagi para penuntut ilmu,
agar mereka pun berusaha memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan
keringat mereka sendiri, dan tidak bergantung kepada orang lain.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َلأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِخُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى
ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ
أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ.

Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat
kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya, sehingga
dengannya Allah menjaga kehormatannya. Itu lebih baik baginya daripada
ia meminta-minta kepada manusia. Mereka memberinya atau tidak
memberinya.[29]

Meminta-minta merupakan perbuatan yang sangat tercela, dan hukum
asalnya adalah haram, kecuali untuk maslahat kaum Muslimin karena
termasuk tolong-menolong dalam kebaikan, seperti untuk pembangunan
masjid, pondok pesantren, biaya hidup anak yatim, dan yang sepertinya.
Ini pun harus dengan cara yang baik, yaitu dengan mendatangi
orang-orang yang kaya dan mampu atau diumumkan di masjid, bukan dengan
cara meminta-minta di pinggir jalan. Sebab, perbuatan tersebut tidak
ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya, serta merusak nama baik Islam dan kaum Muslimin. Adapun
meminta-minta untuk kepentingan pribadi, maka hukumnya haram dalam
Islam.

Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu
anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:

يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ ِلأَحَدِ
ثَلاَثَةٍ: رَجُلٌ تَحَمَّلَ حَمَلَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ
حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ. وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ
اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ
قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ (أَوْ قَالَ:سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ). وَرَجُلٌ
أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ
قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ. فَحَلَّتْ لَهُ
الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ (أَوْ
قَالَ:سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ) فَمَا سِوَاهُنَّ مَنَ الْمَسْأَلَةِ، يَا
قَبِيْصَةُ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.

Wahai, Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan kecuali
bagi salah seorang dari tiga macam: (1) seseorang yang menanggung
hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya,
kemudian ia berhenti (tidak meminta-minta lagi), (2) seseorang yang
ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta
sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) orang yang ditimpa
kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya
mengatakan "Si Fulan telah ditimpa kesengsaraan," ia boleh
meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta
selain tiga hal itu, wahai Qabishah, adalah haram, dan orang yang
memakannya adalah memakan yang haram.[30]

Bahkan orang yang selalu meminta-minta, kelak pada hari Kiamat tidak
ada daging sedikit pun pada wajahnya, sebagaimana ia tidak malu untuk
meminta-minta kepada manusia di dunia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.

Seseorang senantiasa minta-minta kepada orang lain hingga ia akan
datang pada hari Kiamat dengan tidak ada sekerat daging pun di
wajahnya.[31]

Maksudnya bahwa pada hari Kiamat ia akan dikumpulkan di hadapan Allah
dalam keadaan wajahnya hanya tulang (tengkorak) saja, tidak ada daging
padanya. Hal itu sebagai hukuman baginya, dan sebagai tanda dosa
baginya ketika di dunia ia selalu minta-minta dengan wajahnya tanpa
malu.[32]

PENUTUP
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca,
dan wasiat Rasulullah ini dapat kita laksanakan dengan ikhlas karena
Allah Ta’ala. Mudah-mudahan shalawat dan salam tetap tercurah kepada
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kepada kelurga dan
para sahabat beliau.

Akhir seruan kami, segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XI/1428/2007M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1039 (101)), Abu
Dawud (no. 1631), dan an-Nasâ`i (V/85). Dari Sahabat Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu.
[2]. Lihat Shahîh Muslim (no. 2413), Sunan Ibni Majah (no. 4128), dan
Tafsîr Ibni Katsir (III/90).
[3]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad
(II/252, 325), Abu Dawud (no. 3643), at-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu
Majah (no. 225), dan Ibnu Hibban (no. 78 dalam al-Mawârid). Dari
Sahabat Abu Hurairah.
[4]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5353, 6006,
6007) dan Muslim (no. 2982), dari Sahabat Abu Hurairah. Lafazh ini
milik Muslim.
[5]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 4126), ‘Abd bin
Humaid dalam al-Muntakhab (no. 1000), dan selain keduanya. Lihat
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 308) dan Irwâ`ul Ghalîl (no.
861).
[6]. Lihat an-Nihâyah fî Gharîbil-Hadîts (II/385) oleh Imam Ibnul-Atsir.
[7]. HR an-Nasâ`i (VIII/265, 268) dan al-Hakim (I/531).
[8]. Hadits hasan shahîh. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2353,
2354) dan Ibnu Majah (no. 4122), dari Abu Hurairah. Lihat Shahîh Sunan
at-Tirmidzi (II/276, no. 1919).
[9]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/243), lafazh ini
miliknya, at-Tirmidzi (no. 3235), dan al-Hakim (I/521), dan dihasankan
oleh at-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata,"Aku pernah bertanya kepada
Muhammad bin Isma’il –yakni Imam al-Bukhari- maka ia menjawab, ‘Hadits
ini hasan shahîh’.” Dari Sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiyalahu anhu .
Di akhir hadits, Rasulullah bersabda:
إِنَّهَا حَقٌّ، فَادْرُسُوْهَا وَتَعَلَّمُوْهَا.
Sesungguhnya ia (doa tersebut) merupakan hal yang benar, maka pelajari
(hafalkan), dan perdalamlah.
[10]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2896) dari
Sahabat Mush’ab bin Sa’d Radhiyallahu anhu .
[11]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh an-Nasâ`i (VI/45) dari Sahabat
Mush’ab bin Sa’d Radhiyallahu anhu. Lihat Shahîh Sunan an-Nasâ`i
(II/669, no. 2978).
[12]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6490), Muslim
(no. 2963), at-Tirmidzi (no. 2513), dan Ibnu Majah (no. 4142), dari
Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[13]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2346), Ibnu
Majah (no. 4141), dan al-Bukhari dalam al-Adabul-Mufrad (no. 300), dan
selainnya. Dari ‘Ubaidullah bin Mihshan Radhiyallahu anhu. Lihat
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2318).
[14]. Lisânul-‘Arab (XV/318).
[15]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5991), Abu
Dawud (no. 1697), dan at-Tirmidzi (no. 1908), dari Sahabat ‘Abdullah
bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma.
[16]. Lihat Mufrâdât al-Fâzhil-Qur`ân, halaman 347.
[17]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5989) dan
Muslim (no. 2555), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma. Lafazh ini milik
Muslim.
[18]. Tafsîr ath-Thabari (I/221).
[19]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6138), dari
Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[20]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5984) dan
Muslim (no. 2556), dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[21]. Lihat Qathî`atur-Rahim: al-Mazhâhir al-Asbâb Subulul-‘Ilaj, oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, halaman 21-22.
[22]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 527), Muslim
(no. 85), an-Nasâ`i (I/292-293), at-Tirmidzi (no. 173), dan Ahmad
(I/409-410,439, 451).
[23]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Bukhari (no. 5986) dan Muslim
(no. 2557 (21)).
[24]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1396) dan
Muslim (no. 13).
[25]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1522), an-Nasâ`i
(III/53), Ahmad (V/245), dan al-Hakim (I/173, III/273) beliau
menshahîhkannya, dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[26]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/251, 656), Ibnu Majah
(no. 4012), ath-Thabrani dalam al-Kabîr (VIII/282, no. 8081), dan
al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 2473), dan selainnya. Dari
Sahabat Abu Umamah z . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no.
490).
[27]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam
as-Sunnah, Bab: Kaifa Nashihatur-Ra’iyyah lil- Wulât (II/ 507-508 no.
1096, 1097, 1098), Ahmad (III/403-404) dan al-Hakim (III/290) dari
‘Iyadh bin Ghunm z .
[28]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2822, 6365,
6370, 6390) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[29]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1471, 2075),
dari Sahabat az-Zubair bin al-‘Awwam Radhiyallahu anhu.
[30].Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1044), Abu Dawud
(no. 1640), Ibnu Khuzaimah (no. 2361), dan selain mereka.
[31]. Hadits shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1474) dan
Muslim (no. 1040), dari Sahabat Ibnu ‘Umar c . Lafazh ini milik
Muslim.
[32]. Lihat Syarah Shahîh Muslim (VII/130) oleh Imam an-Nawawi rahimahullah .

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



http://almanhaj.or.id/content/3517/slash/0/wasiat-rasulullah-shallallahu-alaihi-wa-sallam-kepada-abu-dzar-al-ghifari/